Pemerintah Yogyakarta telah memutuskan untuk membangun Terminal Tipe A dengan pendekatan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang memungkinkan sektor swasta untuk mengelola terminal dan bangunan komersial yang ada di dalam area terminal dalam bentuk konsesi Build, Operate, and Transfer (BOT). Gedung terminal dibangun dengan biaya yang lebih murah dibandingkan perkiraan pemerintah (OE, owner estimate) dan dengan produktivitas yang lebih tinggi. Pemegang konsesi tersebut sukses membangun infrastruktur, namun sayangnya mengalami kerugian finansial. Pihak Pemda dan sektor swasta gagal mengelola risiko pengurangan pendapatan karena kebijakan pemerintah lainnya yang berada di luar kendali mereka. PT Jakarta Monorail (JM) belum lama ini mulai kembali berinvestasi setelah bertahun-tahun terhenti. Dengan bekerjasama dengan investor baru, yaitu ORTUS, JM dapat merancang ulang pengelolaan pendapatan perusahaan karena dengan izin baru, perusahaan tidak lagi harus menjamin angka minimum pendapatan penumpang, seperti keharusan di perjanjian awal. Perusahaan mengakui bahwa pendapatan tarif tidak akan menutup biaya investasi, pemeliharaan, serta modal yang dikeluarkan. JM akan
Pengeluaran yang sangat besar diperlukan untuk sepenuhnya merasionalisasi sistem transportasi umum di Jakarta. Pemandangan di dekat terminal bus ini menunjukkan beberapa moda transportasi yang diandalkan oleh warga saat ini, termasuk sepeda motor, bemo, bajaj, Kopaja, dan ojek.
memanfaatkan area stasiun sebagai properti komersial, yang diharapkan memberi pendapatan lebih besar dibandingkan pendapatan dari penumpang. Semangat kewirausahaan investor ini patut diapresiasi, karena sektor swasta tidak memperoleh jaminan apapun dari pemerintah.
Pemerintah DKI Jakarta dan masyarakat Jakarta telah menunggu 24 tahun untuk dimulainya pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Diperkirakan MRT Jakarta akan menjadi sistem perkeretaapian perkotaan termahal di dunia. Meskipun Pemerintah Indonesia, dalam kasus ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), secara hukum yang memiliki kewajiban pembayaran pinjaman lunak ke Pemerintah Jepang, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban membayarkan 51 persen pinjaman ke pemerintah pusat. Meski pemerintah DKI Jakarta terlihat tidak memiliki risiko, namun sebenarnya mereka harus menanggung subsidi apabila tarif dikendalikan oleh pemerintah dan DPRD.
Pendesentralisasian Pendanaan
Pengawasan belanja sektor publik merupakan intervensi kebijakan yang penting. Saya termasuk yang percaya bahwa penguatan Pemda dalam perencanaan dan implementasi pembangunan, termasuk di sektor transportasi, harus disertai dengan alokasi pendanaan yang memadai dan sesuai. Terbukanya ruang fiskal yang diperoleh karena pengurangan subsidi BBM pada bulan Juli 2013 seharusnya menjadi momentum untuk mendorong desentralisasi fiskal di sektor transportasi. Pemerintah Pusat, sesuai dengan tanggung jawab yang dimilikinya, harus lebih berfokus pada penyusunan pedoman kebijakan dan penerapan untuk transportasi perkotaan. Program hibah bus daerah harus tuntas disertai dengan peningkatan kapasitas daerah untuk menambah armada transportasi melalui investasi sektor swasta. Desentralisasi dana untuk transportasi perkotaan akan menjadi instrumen untuk memperkuat kapasitas Pemda untuk membiayai sendiri program-programnya, tidak lagi tergantung pada alokasi dana pada Kemenhub, yang memiliki banyak prioritas lain.
Pengurangan belanja pegawai melalui alih daya dan pembukaan celah fiskal baru harus menjadi tugas Pemda,
disertai dengan aturan fiskal oleh Kemenkeu. Upaya untuk membatasi belanja pegawai dan perjalanan dinas hingga maksimal 50 persen dari APBD (saat ini sekitar 60–70 persen dari APBD) harus didukung. Apabila fleksibilitas anggaran ini diperoleh, maka angka 5–15 persen anggaran APBD untuk sektor transportasi akan memberikan ruang gerak untuk transportasi yang lebih inovatif bagi dinas perhubungan dan dinas pekerjaan umum untuk mendanai infrastruktur seperti fasilitas pejalan kaki, terminal, dan lebih banyak halte bus yang modern dan terpelihara. Jumlah yang telah ditingkatkan juga dapat diinvestasikan dalam manajemen keselamatan jalan raya yang lebih baik, termasuk untuk Area Traffic Control Schemes (ATCS), dan kamera pemantau untuk pengelolaan kemacetan yang lebih responsif.
Restrukturisasi pendapatan daerah untuk menaikkan kontribusi property-related taxes (pajak terkait properti) dan mengurangi ketergantungan pada "vehicle-related taxes" (pajak terkait kendaraan) harus menjadi prioritas jangka panjang. Secara umum, di Indonesia rasio kedua jenis pajak tersebut adalah 30:70 persen – angka yang cukup berbeda dengan negara-negara maju lain yang mendukung Pemda untuk mengembangkan area baru, melakukan revitalisasi bagian kota yang lebih tua, serta integrasi pembangunan permukiman, perkantoran, dan transportasi. Semakin banyak pendapatan daerah berasal dari pajak properti maupun value capture tax (pajak nilai terkait fasilitas infrastruktur suatu wilayah), seperti di Jepang, Pemda akan semakin bersemangat membangun area yang menguntungkan secara komersial dan secara lingkungan merupakan kota yang liveable (layak untuk ditinggali). Salah satu pemikiran saat ini adalah pemberian pembiayaan hibah bersaing (competitive grants) untuk transportasi yang berkelanjutan. Dengan diperkenalkannya program “mendukung Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMA)” yang didanai Jerman dan Inggris Raya bagi beberapa kota di Indonesia, seharusnya konsep ini bisa menjadi contoh alokasi hibah daerah di masa depan. Program-program ini dapat digabung dengan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) lainnya, didorong oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Prof. Dr. Danang Parikesit adalah guru besar transportasi, Universitas Gadjah Mada, dan merupakan Kepala Masyarakat Transportasi Indonesia. Sejak 2010 ia bekerja sebagai penasihat kebijakan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia juga menjabat Kepala The International Forum for Rural Transport and Development, sebuah organisasi non-pemerintah pembangunan internasional yang berbasis di Inggris Raya. Ia juga Anggota Dewan (Board of Directors) The Eastern Asia Society for Transport Studies, yang merupakan masyarakat akademis yang berbasis di Jepang dengan sasaran mendorong teori ilmiah dan pendekatan baru untuk sistem transportasi Asia. Ia sedang menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Prakarsa Infrastruktur Indonesia.
Tentang Penulis:
Rakyat. Sudah saatnya kita mendorong kota-kota untukmenunjukkan semangat terhadap isu keberlanjutan untuk melakukan inovasi, dan memberi penghargaan berupa hibah dari Pemerintah Pusat.
Belajar dari manajemen risiko dari proyek KPS yang didokumentasikan oleh Dana Penjaminan Infrastruktur Indonesia (IIGF, Indonesian Infrastructure Guarantee Fund), pemerintah perlu mengembangkan skema penjaminan risiko bagi prakarsa sektor swasta di sektor transportasi. Di masa depan, sektor ini dapat menarik sektor swasta untuk ikut mendanai proyek yang dapat mendorong peningkatan mobilitas. Perjanjian konsesi yang lebih adil, sistem tarif yang mencerminkan daya beli konsumen, insentif pengelolaan properti untuk memitigasi risiko pendapatan, dan proses perolehan lahan yang masuk akal merupakan faktor-faktor yang mendorong lebih banyak kesempatan bagi KPS.