Saat ini, layanan bus non-BRT dan angkot dioperasikan berdasarkan prinsip “setoran”, yaitu sopir diharuskan membayar sejumlah uang tetap kepada operator bus setiap harinya; setelah pengeluaran-pengeluaran tertentu terpenuhi (umumnya termasuk biaya bahan bakar, dan gaji kernet, jika ada), kelebihan yang ada diambil oleh sopir sebagai penghasilannya. Ini adalah sistem pengoperasian yang ditemukan di sebagian besar negara berkembang yang memiliki kapasitas pengaturan dan pengelolaan terbatas.
Sistem setoran menyederhanakan pengendalian pendapatan bagi pemilik atau operator bus, karena penghasilan terjamin sesuai jumlah yang telah ditetapkan, tanpa harus mengawasi layanan yang diberikan. Khususnya, sistem ini menghilangkan masalah pencurian uang tarif, yang selalu dihadapi oleh operator yang lebih resmi, dan yang memerlukan langkah-langkah kuat untuk mengendalikannya. Keharusan sopir membayar biaya bahan bakar dari pendapatan tarif menghilangkan masalah umum operator lainnya – yaitu pencurian bahan bakar. Namun, setoran memiliki kelemahan-kelemahan yang serius. Tanpa menggunakan tiket, sistem tarif flat menjadi hampir wajib; tidak ada informasi tentang permintaan penumpang dan pola perjalanan yang dapat diambil dari sistem tiket; dan sopir, yang memiliki dorongan untuk memaksimalkan pendapatannya, mungkin tergoda untuk mengemudi dengan cara yang berbahaya (ugal-ugalan) dan terlibat dalam praktik yang tidak diinginkan, seperti merintangi kendaraan pesaing atau mengusir penumpang sebelum mencapai akhir rute agar bisa berbalik dan mengambil penumpang yang menunggu di arah sebaliknya.
Kecuali layanan dikendalikan secara ketat, akan ada kecenderungan terjadi pasokan yang berlebihan pada jam-jam tertentu, dan tingkat layanan yang terlalu rendah ketika permintaan juga rendah. Dengan menggunakan sistem setoran, tidak mungkin terlaksana prosedur penjadwalan yang rumit, dengan frekuensi pengoperasian direncanakan bervariasi dalam satu hari, pada hari-hari yang berbeda dalam sepekan, dan di ruas-ruas yang berbeda dalam suatu rute guna mengoptimalkan pemanfaatan kendaraan (dan meminimalkan biaya), karena para sopir tidak akan mau menerima pengaturan yang dapat mengakibatkan beberapa bus memperoleh pendapatan lebih banyak dari yang lain.
Sistem setoran tidak memiliki tempat di dalam sistem transportasi umum resmi dan terorganisasi.
terhadap pilihan jaringan rute, dan sering mengakibatkan layanan yang tidak nyaman.
Jika tarif yang dipungut lebih mendekati perhitungan jarak yang ditempuh, akan dapat disediakan jaringan rute yang lebih nyaman, dan para operator dapat mengoptimalkan pendapatan tarif mereka. Namun, semakin rumit struktur tarif pada gilirannya akan memerlukan sistem pengaturan pendapatan atau sistem tiket yang lebih rumit. Tetapi hal ini juga akan memberikan peluang peningkatan. Sistem tiket elektronik (e-ticket) yang canggih tidak hanya memungkinkan pengenalan struktur tarif yang rumit tetapi juga membuat penggunaan layanan transportasi umum menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, penumpang dapat menggunakan tiket yang sama untuk perjalanan menggunakan bus, kereta, atau taksi mana pun di dalam wilayah yang besar, hanya dengan menggesek tiket saat masuk dan meninggalkan stasiun, dan saat naik atau turun bus. Tidak perlu mengeluarkan uang tunai, dan peluang penipuan juga sangat berkurang.
Sistem e-ticket juga dapat memberikan data yang berharga tentang pergerakan penumpang, yang dapat digunakan oleh operator dan pembuat kebijakan untuk merencanakan dan secara terus-menerus melakukan pemantauan dan menyempurnakan layanan, demi kepentingan semua pihak. Sistem semacam ini menjadi semakin umum di seluruh dunia: contoh-contoh terdekat dapat ditemukan di Hong Kong dan Singapura.
Kesimpulannya, dengan kendaraan yang tepat, dioperasikan secara efisien, dan dengan struktur tarif yang pantas serta sistem tiket yang efektif, mayoritas layanan transportasi umum
TransJakarta memperkenalkan e-ticket untuk penumpang pada bulan Januari 2013. Penumpang harus menempelkan e-ticket-nya di pintu putar ini untuk masuk halte.
Atas perkenan Richard Iles
Informasi biografi tentang para penulis dapat dilihat di halaman 67.
Tentang Para Penulis:
di Jakarta seharusnya dapat beroperasi tanpa subsidi, dengan tingkat tarif yang tidak jauh berbeda dari tarif yang ditetapkan saat ini. Namun, penting diperhatikan bahwa tarif harus dikaji ulang secara teratur dan disesuaikan untuk menutup setiap kenaikan biaya operasional. Penting untuk menetapkan kenaikan tarif secara “sedikit dan sering” daripada jarang-jarang sebagaimana terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Semakin lama kenaikan tarif ditunda, semakin besar kenaikannya ketika sudah tidak bisa ditunda lagi – dan itu yang selalu menciptakan kegelisahan. Manfaat lain dari sistem tiket elektronik adalah bahwa tarif tidak perlu terikat pada denominasi uang koin atau kertas: nilai berapa pun dapat diterapkan jika tidak perlu lagi menangani uang tunai atau memberikan kembalian. Jadi kenaikan atau variasinya bisa kecil dan sering, dengan dampak minimal.
Ada potensi besar untuk peningkatan dengan merombak sistem kendali pendapatan, yang saat ini sebagian besar dilakukan berdasarkan prinsip kasar “setoran” (lihat boks teks). Sistem e-ticket dasar sudah terpasang pada sistem TransJakarta dan kereta penumpang (commuter rail). Pada akhirnya, mengganti sistem ini dan sistem setoran dengan sistem tiket canggih untuk semua jaringan moda, dengan skala tarif dan struktur yang lebih fleksibel, akan memainkan peran penting dalam proses membawa sistem transportasi umum Jakarta ke abad 21.
●
Banyak organisasi pemerintah dan swasta dan individu yang terlibat dalam penyediaan layanan transportasi umum di Jakarta. Terminal bus disediakan dan didanai oleh Pemda DKI. Bengkel dan garasi dimiliki oleh operator bus yang lebih besar.
Dua perusahaan bus di Jakarta dimiliki pemerintah. Pemda DKI menjalankan PPD, yang mengoperasikan bus besar di trayek umum. DAMRI, dimiliki oleh Pemerintah Pusat, mengoperasikan Bus Rapid Transit (BRT) berdasarkan kontrak dengan TransJakarta, yang akan menjadi perusahaan bus kota pada tahun 2014. Pangsa pasar PPD menurun sejak operator swasta memasuki pasar, dan armada busnya sudah tua.
Ada beberapa operator bus swasta, beberapa di antaranya berbentuk koperasi. Beberapa operator swasta itu menjalankan BRT di bawah kontrak dengan TransJakarta, biasanya sebagai anggota konsorsium.
Di dalam sektor swasta, sebagian besar industri transportasi umum bersifat informal dan tidak selalu memberikan layanan yang aman dan efisien.
Peran-peran ini harus didefinisikan ulang dan dilakukan penugasan ulang peran, jika diperlukan, sehingga baik sektor formal maupun informal bertanggung jawab atas layanan yang paling sesuai bagi masing-masing pihak. Pemerintah harus mengubah lingkungan informal dengan regulasi yang buruk saat ini menjadi lingkungan yang mendorong pengembangan sektor transportasi swasta yang efisien yang dapat memberikan layanan yang aman, menarik, dengan tarif terjangkau.