• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membentuk Manusia Seutuhnya di Pendidikan Dasar

Dalam dokumen Jurnal No28 Thn16 Juni2017 (Halaman 91-109)

Hilda Karli

Email: temasain@gmail.com Universitas Terbuka UPBJJ Bandung

G

Abstrak

enerasi yang lahir tahun 2009 adalah generasi keturunan dari generasi yang lahir tahun 1980 an hidup dalam teknologi canggih dan era modern. Hal ini mempengaruhi pola pikir, sikap dan tindakannya. Tantangannya mempersiapkan manusia seutuhnya, manusia yang bertanggungjawab, mandiri, cerdas dengan memegang teguh nilai norma. Salah satu cara membentuk manusia seutuhnya dengan melatih dan membiasakan cara berpikir saintifik yang terintergrasi dengan pembentukan karakter. Dalam Kurikulum 2013 tersirat bahwa sejak siswa PAUD dan SD dikenalkan, dilatih, dibiasakan untuk berpikir saintifik dalam setiap mata pelajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas dengan pembelajaran tematik terpadu. Hal ini karena melalui berpikir siswa dikenalkan berbagai informasi untuk dipahami dan masuk memori otak, di mana menjadi bahan pertimbangannya ketika akan bertindak. Peran guru selain fasilitator juga pemodelan dalam menerapkan perilaku cerdas berhati nurani. Dalam penerapannya jenjang PAUD/TK dan SD berbeda. Bertahap dimulai dari sederhana menuju kompleks, seperti aspek cara kerja, bagaimana membuat pertanyaan, meramalkan, penggunaan alat dan bahan percobaan, bagaimana mengamati dan mengukur benda, komunikasi lisan dan tulisan, menunjukkan hasil pengamatan, kosa kata ilmiah yang digunakan dengan mengintegrasikan pertumbuhan karakter siswa dalam proses kegiatan mengajar secara kontinu.

Kata-kata kunci: berpikir saintifik, karakter, PAUD, SD

Building Holistic Human Being in Basic Education Abstract

The generation born in 2009 is a generation of descendants of a generation born in the 1980’s already living in technological sophistication and the modern era. This affects his mindset, attitude and actions in an era of openness. The challenge is to prepare the holistic human being who are responsible, independent, and intelligent by upholding the value of the norm. One way to build holistic human being is by training and familiarize the way of scientific thinking integrated with building his/her character. In the world of education, the 2013 Curriculum implicitly states that the students of early childhood and elementary school students are introduced, trained, are accustomed to scientific thinking in each subject in the process of teaching and learning activities in the classroom with integrated thematic learning. This is because through thinking, the students are introduced to various information to be understood and entered into the brain memory to be considered in their activities. The role of the teacher in addition to the facilitator is also modeling in applying the conscientious behavior of the conscience. In its application every PAUD / Kindergarten and Elementary School are different. Stages start from simple to complex, such as aspects of how they work, how to question, forecast, use of tools and experimental materials, how to observe and measure objects, how to communicate oral and written, how to show observations, scientific vocabularies used by integrating character growth Students in the process of continuous teaching activities.

Pendahuluan

Perubahan gaya hidup seperti pola pikir, peri- laku, dan sistim nilai mempengaruhi setiap individu. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin canggih. Tanpa disadari individu sudah mengalami perubahan baik dalam dunia pendidikan, sosial, agama, kesehatan, ideologi dan lain-lain. Perubahan tersebut dapat berdampak negatif dan positif bagi setiap individu. Hal ini tergantung pada bagaimana setiap individu menyikapi kondisi tersebut.

Gaya hidup orang tua atau buyut kita berbeda dengan gaya hidup anak dan cucu kita. Setiap generasi memiliki gaya hidup yang berbeda sesuai kondisi lingkungannya. Generasi yang lahir tahun sebelum 1960 (sekitar usia 57

tahun ke atas) disebut generasi ba by

boomers,hidup pada masa Indonesia masih kondisi prihatin kelahiran bayi sangat tinggi. Karakter generasi ini memegang teguh prinsip dan adat istiadat yang dianut seperti pekerja keras, gotong royong, manut pada orang yang dituakan, arif bijaksana saat mengambil keputusan dan berani ambil resiko. Tingkat pendidikan rerata di SD dan SMP, informasi sulit diperoleh ( radio, televisi masih jarang), orang tua masih mendominasi pendidikan anaknya di keluarga.

Generasi yang lahir di tahun 1963-1980 (sekitar usia 37-54 tahun) disebut generasi “X” memiliki karakter yang hampir mirip dengan keturunan generasi baby boomers seperti pekerja keras, gotong royong, manut pada orang yang dituakan, arif bijaksana saat mengambil keputusan dipikirkan matang-matang dan berani ambil resiko. Pada generasi ini terjadi peralihan dari dunia konvensional ke dunia teknologi seperti penggunaan komputer untuk mempermudah pekerjaan, secara tidak langsung berinovasi (pengembangan diri) terus menciptakan kemudahan pekerjaannya melalui komputerisasi guna menghasilkan uang untuk hidup, danrerata tingkat pendidikan SMA dan S1. Orang tua umumnya ibu tidak bekerja sehingga pendidikan anaknya masih dikenda- likan oleh ibu. Jumlah penduduk meningkat dari tahun ke tahun. BPS menunjukkan bahwa setiap

generasi semakin meningkat populasi pendu- duk. Pada tahun 1930 jumlah penduduk Indone- sia 60,7 juta, tahun 1971 sudah mencapai 119,2 juta naik 96% selama 41 tahun. Tahun 1990 jumlah penduduk 178,6 juta berarti naik 49.8% selama 10 tahun. Tahun 2000 sudah mencapai 205,1 juta ada kenaikan 14,8% selama 10 tahun lebih sedikit laju penduduk dari dekade sebelumnya. Tahun 2016 berjumlah 256,2 juta kenaikan 24,9% selama 1 dekade.

Generasi Y (generasi milenial) yang lahir di tahun 1980 -1994 sudah mulai keranjingan komputer karena berbagai aspek kehidupan

menggunakan Personal Computer (PC) bahkan

sudah diperkenalkan berbagai permainan dalam bentuk komputer (Video Games) dan jaringan internet sehingga informasi begitu cepat dan mudah diperoleh. Belanja atau pesan antar bahkan berkenalan melalui dunia maya pun sudah sangat mudah. Terlihat data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 bahwa pengguna internet paling sering mengunjungi web onlineshop sebesar 82,2 juta atau 62%. Sosial media yang paling banyak dikunjungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54% dan urutan kedua adalah Instagram sebesar 19,9 juta pengguna atau 15%.Dampak pola pikir dan karakter generasi ini dapat dikatakan generasi penuh ide-ide visioner dan inovatif yang memiliki pengetahuan dan penguasaan iptek dengan rerata tingkat pendidikan S1 dan S2. Di sisi lain hidup mulai banyak tekanan yang menimbulkan stres dan mulai menentang sistim nilai adat istiadat. Kurang bijaksana dalam mengambil keputusan artinya dalam mengambil keputusan logika rasional lebih diutamakan daripada hati nurani, lari dari tanggungjawab jika menemukan masalah. Tingkat pendidikan dan ekonomi mulai meningkat sehingga tingkat kenyamanan (harga premium produk kualitas) menjadi prioritas serta hidup individualis. Orang tua baik ayah dan ibu sibuk bekerja di luar rumah sehingga kurang banyak memperhatikan perkembangan anaknya. Anak dimanjakan dengan kehidupan konsumeris dan kurang memperhatikan kehidupan mental (moral, sifat dan karakter) anak.

Anak yang berusia 8-23 tahun (generasi Z) sudah melek teknologi semuanya sudah serba

komputerisasi. Generasi Z adalah keturunan dari generasi Y, gaya hidupnya sudah berubah sesuai kemajuan teknologi seperti ingin serba cepat (instant), dalam pekerjaan dituntut produk bukan proses, tingkat stres makin tinggi, rerata tingkat pendidikan S2 dan S3 sehingga orang tua sibuk berkarir di luar rumah, perkembangan anak sudah dialihkan pada sekolah dan pengasuh di rumah. Tidak ada kata tabu bagi generasi ini semuanya serba transparan sehingga sistim nilai adat istiadat termasuk norma-norma nilai sudah luntur. Gaya hidup yang paling parah adalah cepat mengambil keputusan tanpa dipikir matang dan tidak mau bertanggungjawab dan ambil resiko. Boleh dikatakan tidak arif bijaksana lagi. Tuntutan orang tua pada anaknya makin tinggi seperti juara kelas agar ada pengakuan di mata relasi orang tua. Sekolah sebagai produsen mencetak anak agar kognitifnya menonjol guna memenuhi kebutuhan konsumen. Perkembang-an teknologi membuat gap antara guru dan siswa di kelas. Siswa keranjingan menggunakan komputer sementara guru dan sekolah belum siap untuk menggunakannya sebagai media pembelajaran di kelas dan dampaknya siswa bosan dan frustasi. Sementara tuntutan orang tua, guru dan sekolah menginginkan anaknya lulus dengan nilai terbaik. Hal ini membuat anak menjadi stres dan menghalalkan segala cara.

Generasi yang lahir di tahun 2009 hingga sekarang (generasi alpha) merupakan garis keturunan dari generasi Y sekitar awal tahun 80-an sudah hidup di era modern dan canggih. Hal ini terlihat dari data APJII bahwa ada peningkatan jumlah pengguna internet. Tahun 2013 sebanyak 10% penduduk Indonesia menggunakan internet. Tahun 2014 bertambah menjadi 23% sekitar 88 juta penduduk sudah melek internet. Tahun 2015 sebanyak 50% dan tahun 2016 naik menjadi 52% pengguna internet. Oleh karena generasi alpha hidup dalam serba kenyamanan seperti kemudahan untuk mendapat akses informasi, open minded, serba transparan, sangat individualis dan serba

instant.Hal ini terlihat dari siswa berusia 10 sampai 24 tahun sudah menggunakan jaringan internet sebanyak 18,4% dari 256.204.986 penduduk Indonesia di tahun 2016. Usia 25-34 tahun 24,4% , usia 35-44 tahun seba-nyak 38,7

juta penduduk (29,2% dari total penduduk). Usia 45-54 tahun berjumlah 18% dan usia di atas 55 tahun sekitar 10%. Paling banyak pengguna internet pada usia 35-44 tahun terma-suk generasi Y berketurunan generasi alpha.

Dampak dari keterbukaan tanpa batas informasi lambat laun mempengaruhi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap. Generasi alpha dikhawatirkan tidak mengenal jatidirinya lagi dalam hidupnya. Dampaknya mudah terbawa arus, mudah meniru apa yang menjadi trend dan mudah melupakannya ketika

ada trendbaru muncul lagi, mudah putus asa,

galau, mengambil keputusan tanpa kata hati, lari dari tanggungjawab dan lebih menekankan produk akhir daripada proses dan cenderung pesimitis. Dengan kemudahan akses informasi membuat malas bekerja dan analisa berpikir. Orang tua sibuk berkarir di luar rumah sehingga semua kebutuhan anak diserahkan pada sekolah dan pengasuh. Tak jarang anak dijadwalkan banyak kursus setelah pulang sekolah dengan tujuan mendapat banyak pengalaman dan mengisi waktu luang yang dianggap positif oleh orang tua. Penggunaan

komputer pintar (smart phone) menjadi

kesenangan tersendiri bagi anak dalam mengisi waktu luang di rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Banyak informasi tanpa filter masuk pikiran anak dan dengan mudah ditiru tanpa memahaminya. Kurangnya edukasi tentang smart phone seperti memilah mana berita yang perlu dikritisi dengan berita yang sifatnya hoax, sangat mempengaruhi mental dan fisik anak. Anak saat di sekolah dituntut untuk mengerjakan PR dan ulangan bahkan anak tidak pernah mencatat karena sudah ada buku LKS atau bahan ajar yang langsung dijawab. Anak tidak fokus pada pelajaran di sekolah karena lebih tertarik pada akses informasi dari smart phone daripada guru mengajar di kelas.

Sisi positif perkembangan Teknologi Informasi seperti diagnosa pengobatan dengan alat yang canggih, sistim pembayaran,produksi barang dengan alat canggih, transportasi, tak terkecuali di dunia pendidikan kecanggihan informasi teknologi dimanfaatkan seperti ujian nasional yang berbasis komputer. Data menunjukkan tahun ajaran 2014/2015 sudah 555 sekolah yang menerapkan ujian nasional

berbasis komputer, tahun ajaran 2015/2016 ada 4.382 sekolah dan tahun ajaran 2016/2017 ada 5.865 sekolah. Selain itu penggunaan teknologi informasi sebagai sarana alat dan media pembelajaran di kelas sudah mulai diterapkan pada sekolah yang walau jumlahnya masih sedikit.

Anak usia di bawah 6 tahun merupakan fondasi memperkenalkan konsep diri dan pembiasaan. Usia 7-12 tahun membangun konsep diri agar terbentuk karakter yang baik dan pola pikir yang sistematis. Pendidikan PAUD dan SD di Indonesia dalam menghadapi teknologi informasi dan mengantisasipasi dampaknya merivisi Kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013 kemudian direvisi lagi menjadi kurikulum 2016.Permendikbud No 146 tahun 2014 kerangka dasar dan struktur kurikulum PAUD yang isinya bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi anak untuk mengembangkan kemampuan berupa sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Permendikbud No 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah intinya bahwa proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik diharapkan dapat menjadikan siswa berpikir kreatif dan kritis serta memiliki mental ilmuwan seperti bertanggungjawab akan keputusan yang diambil, tidak cepat putus asa, mandiri, jujur dan dapat mengendalikan diri. Melalui proses pembelajaran yang berasaskan berpikir saintifik diharapkan dapat menghasilkan output manusia yang seutuhnya.

Manusia yang memiliki kearifan dalam memecahkan permasalahannya dalam kehidup- an yang kompleks dan dinamis, akan berhasil dalam kehidupannya. Manusia akan terus belajar dari pengalamannya, menyeimbangkan otak kiri (berpikir rasional) dan kanan (sistim nilai)saat mengambil keputusan dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Sanusi (2016: 174) manusia yang memiliki kearifan akan memandang segala sesuatu apa adanya, cermat bertindak efektif, bertindak untuk kebaikan bersama, memahami situasi kemanusiaan, mampu menguasai yang berkaitan dengan

ketenangan jiwa serta dapat mengantisipasi perubahan yang akan terjadi pada masa mendatang.

Dari hasil penelitian Berkowitz & Hoppe (2009:18) bahwa anak yang memiliki pengenda- lian emosional yang baik akan memiliki intelektual inggi dan kinerja keterampilan yang baik. Langkah awal adalah membangun karakter anak memiliki harga diri yang tinggi, kepercayaan pada diri sendiri serta dapat menghargai dirinya sendiri akan berdampak pada kemampuan berpikir logis dan sistematis yang akan nampak pada perilaku sehari-hari. Penelitian dari Andersen dan Hayati (2014: 7) melalui berpikir saintifik yang bertahap sesuai perkembangan anak dan usianya maka anak akan terbiasa untuk menggunakan pola pikir rasional dan berpikir kreatif dalam memecahkan masalahnya sehingga siswa akan terbiasa mencari solusi yang terbaik untuk dirinya dengan alasan yang jelas dan dapat dipertang- gungjawabkan hal ini akan berdampak positif terhadap perkembangan karakter siswa.

Pembentukan jati diri manusia dimulai dari tahapan pembentukan konsep diri yang akan menjadi gaya hidup lalu perilaku dalam tindakan sehari-hari yang selanjutnya menjadi karakter dan kepribadiannya. Proses panjang ini dimulai dari masa bayi hingga masa dewasa muda usia 24 tahun. Masa usia PAUD dan SD (5 sampai 12 tahun) ada dalam pembentukan karakter dan berpikir rasional. Penulis tertarik untuk membahas proses pembelajaran jenjang PAUD dan SD menggunakan azas berpikir saintifik yang berkarakter. Diharapkan kelak pada usia dewasa dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kearifan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan sesuai tuntutan masya- rakat era digital.

Tulisan ini membahas apa, mengapa, dan bagaimana berpikir saintifik berkarakter yang cocok diterapkan di PAUD dan SD. Dengan demikian, masalah difokuskan pada (a) hakikat berpikir saintifik yang berkarakter, (b) alasan berpikir saintifik berkarakter yang cocok diterapkan di PAUD dan SD, dan (c) cara menerapkan berpikir saintifik yang berkarakter di PAUD dan SD.

Pembahasan

Hakikat Berpikir Saintifik yang Berkarakter

Cepatnya perubahan teknologi informasi secara tidak langsung menjadikan kondisi masyarakat lebih kompleks baik dari cara berpikir, sosial, emosional, nilai moral, dan keterampilan hidup. Dunia pendidikan perlu mengantisipasi perubahan tersebut melalui proses pembelajaran di kelas karena selama ini masih menekankan aspek berpikir (kognitif) otak sebelah kiri. Kurang memperhatikan otak sebelah kanan seperti nilai moral, rasa, estetika, sosial, emosional. Padahal untuk membentuk jatidiri yang arif bijaksana perlu keseimbangan otakkiri dan kanan. Dalam kurikulum 2013 dikatakan bahwa pendekatan saintifik diterapkan dalam proses pembelajaran guna menghasilkan lulusan yang seimbang antara otak kiri dan kanan artinya lulusan tersebut memiliki karakter sehingga membangun cara berpikir yang kreatif dan kritis (High Order Thinking). Pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinam- bungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, and acting.Mata pelajaran seperti IPS, IPA, Matematika, PPKn, bahasa Indonesia dikatakan menyangkut 3 aspek berpikir (kognitif), emosional, moral dan estetika (afektif) dan tindakan perilaku (psikomotor) sebagai produk, proses dan aplikasi dalam dunia pendidikan. Biasanya bobot terbesar diberikan pada aspek kognitif yakni penalaran. Termasuk dalam bernalar adalah berpikir logis, berpikir rasional, berpikir kritis, berpikir kreatif, saat mengambil keputusan. Bahkan ada pula yang membedakan- nya menjadi berpikir dasar dan berpikir kompleks (Presseissen dalam Costa, 1985: 66). Berpikir logis dan berpikir rasional termasuk berpikir dasar, sedangkan berpikir kritis, berpikir kreatif, mengambil keputusan dan pemecahan masalah termasuk berpikir kompleks. Ditambah- kan pula bahwa berpikir kompleks terjadi setelah melalui berpikir dasar. Oleh karena itu mengembangkan lulusan PAUD dan SD berpikir saintifik yang berkarakter harus dimulai dari berpikir tingkat dasar. Melalui kebiasaan berpikir yang berkarakter diharapkan kelak, remaja dapat mengembangkan berpikir kompleks dan memiliki kepribadian yang

inovatif, jujur, hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggungjawab, peduli lingkungan dan sadar kebesaran ciptaan Tuhan.

Menurut Novak (1979:145) 10 kegiatan untuk mengembangkan berpikir dasar yaitu: menghafal, membayangkan, mengklasifikasikan, menggenerasikan, membandingkan, meng- evaluasi, menganalisis, mensintesis, mendeduk- si, menyimpulkan. Dasar pendidikan karakter menurut yang tersirat dalam Permendikbud No 25 tahun 2015 ada 5 pilar nilai karakter utama yaitu: religius, nasionalis, mandiri, dan gotong royong, integritas. Dalam setiap nilai karakter utama dijabarkan menjadi sub nilai karakter. Seperti cinta damai, toleransi, persahabatan, percaya diri, cinta lingkungan, rela berkorban, taat hukum, disiplin, unggul dan prestasi, tangguh, daya juang, kreatif, berani, professional, belajar sepanjang hayat, gotong royong, solider, empati, tolong menolong, anti kekerasan, tanggung jawab, setia, teladan, anti korupsi, komitmen moral. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013 (K-13) menuntut siswa mengembangkan kemampuan melalui penggunaan metode ilmiah, kegiatan praktikum, pendekatan keterampilan proses, pelaksanaan eksperimen, inkuiri, dan pendekat- an yang lainnya, termasuk pendekatan konsep. Hal itu menunjukkan bahwa proses pembelajar- an hendaknya melibatkan pengguna-an tangan dan alat atau manipulatif. Pende-katan konsep yang ditekankan terus menerus tidak dimaksud- kan memberikan konsep dalam bentuk yang sudah jadi. Dengan rumusan kon-sep berupa

working definition yang memberikan batas kedalaman dan keluasan, dimaksudkan agar pembelajaran di kelas tidak diberikan dalam bentuk definisi. Tidak terjadi proses berpikir apabila siswa belajar dengan mendapat langsung definisi dan menghafal secara mati.

Dalam Permendikbud No 22 tahun 2016 yang mengisyaratkan perlunya proses pembel- ajaran yang dipandu dengan kaidah pendekatan saintifik/ilmiah. Ada 5 komponen pendekatan saintifik anataralain: (1).Mengamati, siswa diberikan permasalahan yang nantinya harus diamati oleh siswa. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara membaca, mendengar, menyimak,

atau melihat (tanpa atau dengan alat) media pembelajaran, misalnya dengan guru memper- siapkan media gambar yang berhubung-an dengan materi pembelajaran. (2). Menanya, siswa diberikan kesempatan yang seluas- luasnya untuk mengajukan pertanyaan setelah kegiatan mengamati. Guru dapat memberikan pertanyaan untuk memotivasi siswa agar mereka dapat mengajukan pertanyaan. (3). Mencoba/ Mengum-pulkan informasi, kegiatan mencoba identik dengan melakukan eksperimen. Dalam pembelajaran misalnya IPS kegiatan mencoba diganti dengan siswa mengumpulkan data dari berbagai sumber contohnya dalam penelitian ini guru membagikan teks yang sesuai dengan pembelajaran kemudian siswa diminta untuk mencari hal penting dalam teks tersebut dan meminta untuk mencatatnya dalam buku tulis mereka. Selain itu juga dapat dilakukan dengan wawancara dengan narasumber, survei penda- pat, pengamatan tingkah laku dan lain sebagainya. (4. Menalar, siswa diminta untuk menganalisis )data yang telah mereka dapat dari hasil kegiatan sebelumnya sehingga nantinya mereka dapat menemukan hubungan antar variabel atau dapat membuat kesimpulan dengan tepat. (5. Komunikasi, siswa diberikan kesempatan u)ntuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka dapatkan dari proses pembelajaran. Hasil kegiatan tersebut dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan. Dalam kegiatan komunikasi, siswa harus mampu untuk menulis dan berbicara secara komunikatif serta efektif. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik dijadikan sebagai jembatan untuk perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan siswa. Berpikir induktif lebih ditekankan daripada berpikir deduktif artinya menarik kesimpulan dengan bukti-bukti spesifik dari objek yang diamati, empiris dan terukur. Siswa dilatih untuk berpikir melalui serangkaian kegiatan mengumpulkan data melalui 5 komponen yaitu mengamati lalu mengolah data/informasi kemudian menganali- sis dan menguji hipotesis untuk diambil kesimpulan. Diharapkan siswa dapat terbiasa untuk berpikir logis, sistematis, dan runut. Tidak sembrono dalam memecahkan masalah.

Alasan Berpikir Saintifik yang Berkarakter Cocok Diterapkan di Pendidikan Dasar

Kemampuan berpikir saintifik perlu diimbangi dengan kemampuan mengelola mental diri untuk terbentuknya manusia yang yang memili- ki kearifan dan kepribadian. Ada keterkaitan sangat erat antara berpikir dan emosi.Ketika siswa menemui masalah (fenomena, ketidak sesuaian, tugas atau pertanyaan) maka dalam proses mendapatkan solusi akan mencari jawaban dengan berbagai macam bukti. Hal ini diperlukan wawasan, kreatifitas, kenalaran,dan ketekunan untuk dapat memecahkan permasalahan yang ditemuinya. Perilaku cerdas bagaimana cara bertindak dan menggunakan pengetahuan yang dimiliki disebut habits of mind

(kebiasaan berpikir). Habits of mind dikembang- kan melalui kerja Costa dan Kallick pada tahun 1985 dan selanjutnya dikembangkan oleh Marzano pada tahun 1993 diungkapkan bahwa tugas utama siswa adalah mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuannya dari pengalaman sebelumnya (informasi lama) dan informasi baru dari hasil perluasan wawas- annya untuk digunakan dalam kehidupannya. Oleh karena itu siswa perlu dilatih agar terbiasa dengan habits of mind di kelas melalui materi yang disampaikan termasuk mata pelajaran IPA. Hasil penelitian Marzano tahun 1993 menyebutkan setiap orang (seniman, saintis, guru, tukang bengkel, pedagang kaki lima, dst)

Dalam dokumen Jurnal No28 Thn16 Juni2017 (Halaman 91-109)