• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengelola Gagasan Siswa dalam Mata Pelajaran Sejarah untuk Mewujudkan Nilai Unggulan

Dalam dokumen Jurnal No28 Thn16 Juni2017 (Halaman 49-51)

Agus Kristiyono

E-mail: aguskristiyono@smak1.penaburcirebon.sch.id SMAK BPK PENABUR Cirebon

J

Abstrak

urusan IPS SMAK PENABUR Cirebon, selain menjalankan program pembelajaran sesuai tuntutan kurikulum, juga mengembangkan tiga kemampuan psikomotor siswa sebagai nilai unggulan, yakni berbicara, menulis dan penelitian, khususnya untuk mata pelajaran Sejarah. Tulisan ini membahas bagaimana ketiga kemampuan psikomotorik ini dikembangkan melalui beberapa metode pembelajaran yang bertujuan agar siswa mempunyai budaya mengelola gagasannya. Tulisan ini berkesimpulan budaya mengelola ide akan menjadikan siswa mandiri, kreatif dan percaya diri. Kemandirian siswa akan membentuk mentalitas anak bangsa, yang berimbas kemajuan bangsa.

Kata-kata kunci : mengelola gagasan, metode pembelajaran, siswa mandiri

Managing The Students’ Ideas in History Course to Create Primary Values Abstract

Social class of SMAK PENABUR Cirebon, beside running the instructional programs based on the curriculum, develops three psychomotoric skills of student as primary values covering speaking, writing, and researching, especially for history course. This article discusses how the skills are developed through several instructional methods to make the students accustomed to manage their ideas. The article concludes, the competence and the habit of managing ideas could encourage the students to be independent, creative, and confident. The students’ independence will lead them to have good mentality for the nation development.

Pendahuluan

Masyarakat modern, adalah masyarakat yang di dalamnya terdapat sejumlah orang bermentalitas maju. Pentingnya mentalitas manusia untuk maju saat ini, menjadi banyak kajian dari berbagai instansi dan lembaga masyarakat. Urgensinya perubahan mentalitas mendorong pemerintah mencanangkan revolusi mental (mentalitas) menjadi salah satu fokus pembangunan manusia. Terdapat berbagai alasan mengapa mentalitas manusia Indonesia itu penting dibangun.

Koentjaraningrat (1983 : 26) mengartikan mentalitas adalah keselurahan isi serta kemam- puan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya. Dalam pendangannya, ada beberapa mentalitas Bangsa Indonesia yang perlu dirubah antara lain : sifat meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Mentalitas yang menjadi kelemahan bangsa ini, terbentuk melalui proses panjang sebelum, saat, dan sesudah penjajahan di Indonesia. Bangsa Indonesia membutuhkan mentalitas lain, mentalitas pembangunan yang berorientasi ke depan, menilai tinggi mutu dan ketelitian, berhasrat mengeksplorasi lingkungan dan kekuatan alam, dan menilai tinggi usaha orang yang dapat mencapai hasil, sedapat mungkin atas usahanya sendiri. Dari pandangan ini, kemandirian dan optimalisasi potensi diri sendi- ri, menjadi kunci terbentuknya bangsa maju.

Pembentukan mentalitas pembangunan yang baik dapat dilakukan dengan banyak cara: (1) memberi contoh yang baik atau keteladanan, (2) memberi perangsang yang cocok, (3) persuasi dan penerangan, dan (4) menanamkan

mentalitas baru yang mempunyai achievement

orientation yang tinggi, rasa disiplin murni, berani bertanggung jawab sendiri dan peka terhadap mutu, lewat pendidikan. Dalam tulisannya, Koentjaraningrat masih menekan- kan pentingnya pendidikan dalam pembangun- an mentalitas. Pendidikan di sini, dilakukan

dalam tiga lingkungan yakni formal (sekolah), nonformal (masyarakat) dan informal (keluarga). Sekolah sebagai lingkungan pendidikan formal, menjadi salah satu garda terdepan terciptanya mentalitas manusia yang bermental mandiri dan percaya pada diri sendiri. Produk seperti ini hanya bisa didapatkan apabila siswa mempunyai pengalaman belajar dalam proses pembelajarannya baik di kelas ataupun di luar kelas.

Idealnya, proses pembelajaran di sekolah dapat memfasilitasi siswa untuk terbiasa mengelola ide, terutama menangkap dan menuangkan ide atau gagasan yang dipunyai- nya. Namun, saat ini kebiasaan sistem belajar mengajar adalah monolog dan pengajaran cenderung satu arah, dari guru ke siswa. Kebiasaan ini menjadikan siswa kadang merasa yakin, apapun yang diberikan oleh gurunya itu paling benar. Akibatnya, siswa tidak berpikir kritis terhadap hal-hal atau informasi yang diperolehnya. Daya kritis dan kreativitas terberangus oleh sistem pembelajaran yang minim kebebasan mengekspresikan diri. Ide atau gagasan yang dipunyai siswa, dibiarkan berlalu begitu saja. Untuk itu, perlu berbagai upaya dari semua unsur pendidikan, terutama guru, berjuang merubah sistem ini. Guru dapat mulai merubah sistem ini dengan merubah pola pembelajarannya, sehingga terbentuk model pembelajaran yang mendorong terbentuknya siswa mandiri dan percaya diri, terutama dalam hal menuangkan ide atau gagasan yang diperoleh dari diri maupun sekitarnya.

Masalahnya ialah bagaimana caranya membelajarkan siswa sehingga memiliki budaya mengelola ide atau gagasannya secara kreatif khususnya dalam mata pelajaran Sejarah? Siswa sering menganggap mata pelajaran ini kering dan membosankan sehingga kurang termotivasi untuk mempelajarinya. Tulisan ini membahas masalah ini ini melalui penelaahan sejumlah rujukan untuk memberikan saran untuk membantu guru menerapkan model pembelajaran yang dapat membantu siswa mengelola pikiran dan gagasannya secara kreatif

dan tujuan pembelajaran Sejarah pun tercapai dengan baik.

Pembahasan

Salah satu sistem pembelajaran yang tepat untuk menciptakan kemandirian siswa adalah pembelajaran dengan dialog, pembelajaran yang di dalamnya terjadi interaksi yang intensif antara guru dengan siswa, atau siswa dengan siswa lainnya. Pola ini tidak bersifat searah, tetapi lebih hubungan timbal balik dan terjadi aksi maupun reaksi. Pola ini menuntut anak lebih bersifat partisipasif, anak benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran. Dalam teori belajar, p e n e k a n a n

keaktifan siswa ini dikenal deng- an teori belajar konstruktivistik. M o h a m m a d Jauhar (2011 : 35) menuliskan teori konstruktivistik merupakan upa- ya belajar dengan diarahkan pada experiential lear- ning yaitu adap- tasi kemanusia-

an berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman, dan kemudian dikontempelasikan dan dijadikan ide pengembangan konsep baru. Konsep baru yang diperoleh anak adalah bentukan anak sendiri, berdasarkan pengalaman belajar yang diperoleh akibat interaksi dengan lingkungannya.

Budaya Mengelola Ide

Setiap manusia pasti mempunyai ide atau gagasan. Widyamartaya (1990 : 9) menyebutkan, gagasan adalah pesan dalam dunia batin seseorang yang hendak di sampaikan kepada orang lain. Gagasan bisa berupa pengetahuan, pengamatan, pendapat, perenungan, pendirian, keinginan, perasaan, emosi dan sebagainya. Setiap hari ada ribuan gagasan muncul di kepala tiap orang, namun sayangnya gagasan itu

dibiarkan melayang begitu saja. Orang tidak bisa menangkap gagasan yang bersliweran di kepala- nya. Padahal, apabila gagasan itu ditangkap, banyak kegunaan yang bisa diperoleh.

Ada banyak cara orang mengelola gagas- annya. Dilihat dari prosesnya, pengelolaan gagasan dilakukan dengan menangkap dan menuangkan gagasan dalam bentuk lisan dan tulisan. Dalam kajian ilmu bahasa, menuangkan gagasan secara lisan dikenal dengan istilah “berbicara”, sedangkan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan dikenal dengan istilah “menulis”.

Secara konseptual, proses pengelolaan gagasan seperti sebuah proses. Ada tiga tahapan yakni : input, proses, dan output. Input adalah segala hal yang bisa berbentuk pemikiran, gagas- an baru, dan gagasan yang masuk ke otak akibat interaksi panca indera dengan lingkung- an sekitarnya. Tahapan proses, terjadi tatkala informasi yang ada di otak dikom- binasikan dengan berbagai informasi baru yang baru masuk. Seperti bermain puzzle, informasi ini saling melengkapi sehingga membentu konsep informasi baru yang merupakan kombinasi informasi. Sedangkan tahapan output berupa bahasa yang telah terkonsepkan dijadikan bentuk nyata dalam tulisan ataupun bahasa lisan.

Penciptaan bahasa yang terkonsepkan ke bentuk real baik tulisan ataupun bahasa lisan, perlu dibudayakan. Pembudayaan gagasan menjadikan anak semakin kritis dan tanggap terhadap hal-hal terjadi pada diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Proses pembudayaan ini dilakukan dengan pembiasaan. Semakin biasa, seseorang dilatih keterampilan ini, maka semakin ahli. Seperti pepatah masyarakat “orang bisa, karena biasa” atau practice makes perfect.

Penciptaan bahasa yang

Dalam dokumen Jurnal No28 Thn16 Juni2017 (Halaman 49-51)