• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merekonstruksi ‘Bahasa Toleransi’ di Sekolah

Dalam dokumen Jurnal No28 Thn16 Juni2017 (Halaman 109-111)

terancam, para penonton di kubu seberang pun beramai- ramai menjadi ikut menekan secara anarkis agar ceritanya bisa berubah dan sang protagonis menjadi kalah. Alur cerita dan perwatakan sesempurna itu tak akan pernah ada yang bisa menandingi. Sebab, Tuhan sendirilah yang menjadi sutradara sekaligus penulis naskahnya.

Cerita itu telah memenga- ruhi semua lapis masyarakat. Kata-kata seperti ‘menista’, ‘kafir’, ‘surga’, ‘neraka’, ‘pribumi’, ‘non pribumi’, dan kata-kata rasial lainnya, menjadi ‘jargon’ harian yang kembali semarak. Semuanya menyatu dan mengaburkan diri dalam pemahaman subyektif yang beraneka ragam. Pemaknaan jargon tersebut tidak menemu-kan kepaduannya antara literal dan kontekstual sehingga terjadilah miskonsepsi yang berlebihan. Repotnya, miskonsepsi dan logika tak lurus itu telah menjalar ke dalam labirin otak generasi kehidupan yang paling rentan dan labil, generasi muda.

Pernah menjadi viral di media sosial tentang adanya hasil angket yang mengejut- kan. Hasil angket itu

memperlihatkan adanya pola pikir di kalangan para siswa untuk tidak memilih siswa non muslim sebagai ketua OSIS. Belum lagi dengan mulai adanya sebutan ‘kafir’ yang terucap dari mulut- mulut siswa SD kepada teman kelasnya yang beragama non muslim. Yang lebih parahnya lagi, yel ‘bunuh Ahok’ juga keluar dari mulut anak kecil yang tak tahu apa-apa. Benar sekali dengan apa yang

dikatakan Dorothy Law Nolte

bahwa “anak melakukan apa yang mereka lihat ; mengata- kan apa yang mereka dengar; dan mengikuti apa yang orang tua mereka katakan”. Jika melihat realita di atas, siapakah yang harus bertang- gung jawab akan hal tersebut? Atau, pertanyaannya kita ubah menjadi “Apa yang salah dari ini semua?” Melihat itu semua, sejauh mana peran sekolah saat ini untuk mengatasi masalah sikap intoleransi yang pelik tersebut? Untuk setiap perta- nyaan, pasti ada jawabannya.

S

Logika Berpikir yang Serba Terbalik

Kalau orang mengatakan bahwa dunia ini sudah terbalik, mungkin ada benarnya juga. Terbaliknya dunia tidak disebabkan oleh kekacauan fisis alam atau pengacauan bahasa manusia oleh Tuhan dalam peristiwa Menara Babel. Dunia yang asimetris juga tidak terbentuk oleh kemajuan ataupun bencana yang datang. Kemajuan dan bencana adalah dua entitas yang tak patut dijadikan kambing hitam karena keduanya berasal dari Tuhan. Juga dengan entitas perbedaan. Hal itu bukanlah sumber kekacauan dunia ini. Ketika orang menjadikan semua entitas yang tak terbantahkan itu sebagai sumber

kekacauannya, di sanalah masalah berakar dan

membuat dunia ini tidak lagi berjalan di relnya sehingga menjadi terbalik.

Penyebab utama terbaliknya dunia adalah terbaliknya logika berpikir manusia terhadap entitas kehidupan yang tak terbantahkan itu. Mari kita lihat contoh yang sederhana. Untuk membeli sepatu lari, terlebih dahulu orang harus memiliki keinginan untuk berlari secara rutin. Namun, yang terjadi sekarang, banyak orang membeli sepatu lari karena warna atau bentuknya yang menarik. Lalu, apakah setelahnya orang itu berlari secara rutin? Hal itu nanti

dululah. Yang terpenting adalah sepatunya dibeli terlebih dulu. Mari kita lihat contoh yang lebih serius lagi. Ketika sebuah agama dihina, banyak penganutnya menjadi marah karena penghinaan itu sama halnya dengan

menghina Tuhan. Kemarahan itu pun mengkristal ke dalam bentuk tindakan yang cenderung negatif. Para oknum tersebut berharap bahwa dengan tindakan emosional itu, Tuhan bisa menjadi agung kembali. Mari kita berpikir. Tindakan membela adalah tindakan yang diberikan kepada pihak yang lemah. Jika manusia membela Tuhan, berarti secara tidak langsung, manusia menilai Tuhan sebagai pihak yang lemah. Bukankah begitu?

Pendidikan dan Peralihan Realitas Sosial Budaya

Semakin banyaknya logika berpikir yang tidak lurus tersebut, menjadi sebuah masalah yang harus ditarik kembali ke akar solusinya, yaitu pendidikan. Manusia Indonesia masa kini adalah

produk pendidikan era sebelumnya. Sementara itu, proses pendidikan masa kini sedang mencetak manusia Indonesia masa depan. Kenyataan ini tak bisa membuat kita menutup mata untuk sejenak mengevaluasi dunia pendidikan Indonesia.

Drijarkara berpendapat, pendidikan merupakan proses perubahan ganda.

Pertama, perubahan itu terjadi dalam diri manusia pembelajar

itu sendiri. Kedua, proses perubahan itu berlangsung di dalam masyarakat dan budaya yang akan selalu berubah. Kenyataan ini menempatkan setiap orang untuk mau tak mau harus ikut berubah pula bersama dengan masyarakat di sekitarnya. Hanya saja, yang menjadi persoalannya adalah bahwa perubahan sosial budaya di dalam masyarakat itu sering berlangsung tidak serentak antara generasi muda dengan generasi tua. Generasi muda adalah generasi yang dekat dengan perubahan, sementara itu generasi tua cenderung memilih untuk hidup dalam kemapanan pengalaman dan kedudukan sosial yang lama.

Tarik menarik kedua realitas itu memunculkan miskonsepsi tentang bagaimana membudaya bersama. Membudaya semestinya diartikan sebagai proses pengangkatan nilai diri di atas kodrat alam dan pengangkatan dunia material di atas determinisme. Proses tersebut akan menghasilkan barang dan cara bertindak yang memanusiakan manusia. Kenyataannya, proses pembudayaan itu tidak berorientasi pada nilai

humanisme, namun ditujukan untuk mengangkat status kelompok demi mengalahkan manusia lain. Segala cara berpikir yang mengkristal pada tradisi / kebiasaan hidup masyarakat, pada kenyataannya tidak

mengangkat nilai manusia. Akan tetapi, cara berpikir malahan menjatuhkan nilai manusia itu karena lebih mengagung-agungkan ritus dan bukan pelaksana ritusnya.

Miskonsepsi itu terjadi ketika proses pendidikan memisahkan tiga entitas pemaknaan esensi kehidupan, yaitu tematisasi, teorisasi, dan universalisasi. Semestinya, ketiganya harus dijalankan secara beriringan. Dengan tematisasi, kenyataan hidup tidak hanya dijalankan, melainkan juga dijadikan

‘objek pemandangan’.

Dengan teorisasi, nilai dan pengertian akan objek

pemandangan itu akan dibuat lebih mendalam, sistematis dan dinamis. Akhirnya, melalui universalisasi, setiap manusia akan mengerti bahwa nilai-nilai yang telah dialami dan tersistem itu, juga berpengaruh dan berharga untuk orang lain. Di situlah, nilai itu menjadi ‘lepas’ dari isolemennya yang konkret serta menjadi berlaku bagi dan untuk banyak orang.

Pada kenyataannya, pendidikan mudah sekali dibelokkan untuk berhenti hanya pada tematisasi dan teorisasi semata. Hal itu diperparah dengan adanya kolektivisasi (penyeragaman) yang dibuat selama puluhan tahun dalam dunia

pendidikan Indonesia. Penyeragaman itu dibuat untuk alasan menghindari perpecahan. Universalisasi

tak berjalan karena dalam kolektivisasi, setiap orang diasumsikan sama dan tidak berbeda. Akibatnya, terjadi momen antithesis dalam proses mendidik di negeri ini. Nilai universal dibalikkan menjadi nilai kelompok. Kalau boleh meminjam istilah Drijarkara, pembudayaan yang harusnya terjadi, telah berbalik menjadi proses

pembuayaan. Generasi muda diajarkan untuk mengingkari kenyataan bahwa perbedaan itu adalah entitas yang tak terbantahkan. Kepentingan penguasa menghilangkan universalisasi ini untuk keseragaman yang dapat menghilangkan perselisihan. Namun, pada kenyataannya malah hal itu membuat sekat ketidakadilan antar kelompok yang dapat berkembang menjadi konflik horizontal. Itulah yang kini tengah terjadi di negeri ini.

Membahasakan

Dalam dokumen Jurnal No28 Thn16 Juni2017 (Halaman 109-111)