• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperkuat Otonomi Negara dan Mengembangkan Demokras

Dalam dokumen Jurnal Volume 1 No. 2 2013 (Halaman 51-55)

DI SUMATERA BARAT

HYBRID MODELS IN THE PRACTICE OF LOCAL DEMOCRACY THROUGH DECENTRALIZATION IN WEST SUMATRA

1. Memperkuat Otonomi Negara dan Mengembangkan Demokras

Berdasararkan Sistem Sosiobudaya Masyarakat Lokal

Dalam banyak hal, otonomi daerah yang dilaksanakan juga harus dikendalikan agar tujuan bernegara tidak dibelokkan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan terhadap itu. Kecenderungan ini banyak dijumpai di daerah. Kelompok elite lokal menjadi dominan dalam aktivitas politik dan pemerintahan karena mereka menguasai sumber daya lokal. Akibatnya demokrasi lokal tidak dapat berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Mereka menguasai institusi lokal yang menjadi wadah demokrasi berkembang. Penguasaan ini berdampak pada praktik demokrasi yang hanya berorientasi pada kepentingan orang kuat lokal (local strongmen). Mengapa ini terjadi?

Aspek budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat membenarkan tindakan elite lokal karena mereka menjadi bagian dari kelompok budaya tersebut. Realita ini juga dijumpai dalam masyarakat Sumatera Barat. Besarnya pengaruh adat dan budaya beserta legitimasi pemimpinnya dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi alasan bagi pemerintah daerah untuk mengembalikan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah berdasar- kan budaya masyarakat lokal ini. Kebijakan “kembali ke nagari” adalah realita kebudayaan masyarakat yang disandingkan dengan pelaksanaan pemerintahan terendah. Namun, bagaimana format penyelenggaraan bernagari ini justru tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Dalam banyak hal yang terjadi justru penyelenggaraan

pemerintahan terendah yang mereduksi hakikat kehidupan bernagari dalam masyarakat Sumatera Barat (Asrinaldi & Yoserizal, 2011). Keadaan ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah, terutama dalam menguatkan demokrasi lokal. Walaupun bagaimanapun, demokrasi lokal tepatnya dapat dilaksanakan karena menjadi bagian kebiasaan masyarakat lokal (Kahin, 2005).

Demokrasi lokal di Sumatera Barat dapat diidentifikasi dengan berperannya lembaga pemerintahan di nagari seperti Badan Musyawarah Nagari, badan yang menjadi kekuatan penyeimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari di bawah kendali wali nagari.

Begitu juga dalam menempatkan institusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang mengalami reduksi peran yang sistematis. Lembaga KAN pada masa sekarang menjadi lembaga yang mengurusi masalah adat istiadat. Artinya, peran lembaga adat hanya berkisar pada urusan pemberian gelar penghulu di nagari (sako) dan pengurusan harta warisan di nagari (pusako). Padahal pada masa lalu, KAN menempati posisi yang strategi, selain menjadi lembaga penasehat sengketa yang ada di nagari, juga menjadi lembaga tertinggi yang menentukan arah perjalanan nagari.1. Biasanya yang menjadi wali nagari adalah orang pilihan musyawarah para penghulu (artistokrat adat) dan biasanya wali nagari juga berasal dari kelompok penghulu adat ini. Artinya, wali nagari ini bukanlah sembarang orang, namun mereka yang dipilih memenuhi kriteria yang disepakti bersama. Jelas ini berbeda dengan keadaan sekarang. Wali nagari dipilih secara langsung dengan melibatkan seluruh masyarakat. Akan tetapi

persyaratannya yang tidaklah seketat yang dulu karena disesuaikan dengan dinamika demokrasi dalam masyarakat. Memang terlihat ada perubahan yang signifikan dari model bernagari yang mengkombinasikan nilai sosiobudaya masyarakatnya dengan kehidupan politik modern. Karenanya jabatan wali nagari tidak lagi di dominasi oleh kaum penghulu adat, tapi sudah terbuka dikompetisikan termasuk oleh masyarakat biasa. Inilah perubahan mendasar dalam penyelenggaraan nagari saat ini. Di satu sisi, perubahan ini membawa dampak yang berarti bagi perluasan partisipasi masyarakat. Namun, di sisi lain jabatan wali nagari mengalami degradasi yang tidak lagi dijabat oleh kelompok arirokrat, seperti penghulu yang ada di nagari.

Apa yang dilakukan pemerintah di tingkat lokal ini merupakan gambaran wujudnya otonomi negara dalam penye- lenggaraan demokrasi di tingkat lokal yang semakin berkembang. Tentu dengan perkembangan masyarakat ini, negara juga harus dapat mengembangkan potensi otonominya sehingga legitimasinya dapat diperkuat. Namun, idealnya potensi otonomi negara ini dapat dikembangkan dengan cara mensinergikannya dengan sistem sosiobudaya masyarakat di Sumatera Barat.

Pertama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi otonomi negara adalah dengan memperkuat kembali sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Jelas, sistem sosiobudaya ini adalah bagian dari sumber ideologi negara yang terus berkembang sehingga menuntut negara terus memperbaharui nilai dasarnya. Nilai dasar ideologi tersebut jelas hidup dan berkembang dalam masyarakat, termasuk di dalamnya sistem sosiobudaya etnis Minangkabau.

Mengembangkan potensi otonomi negara dari sistem sosiobudaya masyarakat lokal ini dapat dilakukan dengan cara menghidupkan kembali nilai demokrasi yang dipraktikkan oleh masyarakat. Misalnya, di Sumatera Barat nilai demokrasi yang masih hidup dalam praktik bernagari adalah tradisi musyawarah dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Ini dapat dilihat di nagari Sarilamak, Kabupaten Limapuluh Kota. Seperti yang dijelaskan oleh Zulfahmi angota Badan Musyawarah (Bamus) Nagari Sarilamak yang menjelaskan: “Pembuatan kebijakan di Nagari Sarilamak selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat yang melibatkan semua pihak dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Jadi proses pembuatan kebijakan tidak hanya melibatkan Wali Nagari dan perangkatnya saja.” Dukungan untuk melaksanakan musyawarah dan mufakat dalam penyelengaraan ini juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. “Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah daerah mendukung demokrasi lokal dapat diselenggarakan di setiap nagari”, kata Camat Harau Elvi Rahmi.

Selain pelaksanaan musyawarah dan mufakat, dukungan terhadap praktik demokrasi lokal di nagari juga dilakukan dengan cara mensinergikan kegiatan adat dengan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat terendah. Misalnya, sebelum melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat nagari, masyarakat nagari berdiskusi di tingkat jorong merencanakan usulan yang dibawa dalam forum Musrenbang tersebut. Bahkan pemerintah kabupaten menjadikan jorong sebagai basis utama pelayanan publik di nagari berdasarkan nilai adat dan budaya

setempat. Contohnya dapat dilihat dalam penguatan peran kelompok petani pemakai air di Jorong Aie Putih di nagari Sarilamak dalam mengelola irigasi di daerah mereka. “Masyarakat bersama-sama membuat kese- pakatan untuk mengelola saluran irigasi agar dapat dimanfaatkan secara maksimal.”

Dalam hal ini, pembangunan irigasi yang dibantu pemerintah daerah diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola sesuai dengan kebiasaan mereka yang diwariskan secara turun temurun. Jadi, rangsangan yang diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pembangunan di nagari ini menghidupkan kembali tradisi adat masyarakat lokal.

Secara tidak langsung hal ini dapat menguatkan legitimasi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya di daerah. Di lain pihak, sistem sosiobudaya yang berkembang dalam masyarakat menjadi pengikat individu- individu di nagari untuk saling bekerjasama dan saling menghargai sehingga integrasi sosial ini menjadi modal dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Inilah bagian penting dari proses pembentukan modal sosial seperti yang dijelaskan Deth (2008:200) “a relationship among individuals; that is, as a property of individuals, found in networks of individual citizens.” Aspek inilah yang menjadi asas dalam mewujudkan tujuan demokrasi melalui pelaksanaan otonomi daerah tersebut.

Jika modal sosial ini berkembang, maka secara tidak langsung legitimasi pemerintah semakin kuat. Jika legitimasi menguat, maka negara tidak perlu menggunakan kekuatan despotiknya dalam mewujudkan tujuan negara. Malah dalam keadaan ini, negara dapat mewujudkan tujuan tersebut hanya dengan menggunakan kekuasaan infrastrukturnya (cf. Mann,

1986). Kekuasaan infrastruktur negara ini terkait dengan cara negara masuk ke dalam aktivitas masyarakat melalui aturan dan kebijakan, program, dan sebagainya. Inilah yang berhasil dilakukan negara dalam kehidupan bernagari sehingga aktivitas demokrasi dapat dikendalikan.

Kedua, potensi otonomi negara dapat dikembangkan, jika pembuatan aturan yang dilakukan pemerintah menggunakan sebagian atau keseluruhan aturan sosial dalam masyarakat. Walaupun negara memiliki kekuasaan despotik-kekuasaan yang menjadi ciri negara yang otonom, namun dalam perkembangan demokrasi modern, penggunaan kekuasaan ini jarang digunakan. Justru penggunaan kekuasaan despotik ini dapat mengancam legitimasi pemerintah yang berkuasa. Menurut Mann (1986), kekuasaan despotik ini cenderung digunakan pada rezim yang diktator dan kekuasaan raja yang absolute pada masa abad pertengahan hingga abad ke-18. Tidak berarti dalam negara modern, kekuasaan despotik ini tidak ada sama sekali. Kekuasaan ini digunakan, jika keadaan memaksa dan mengancam kedaulatan negara karena kerusuhan sosial yan mengarah pada revolusi sosial.

Pembangunan demokrasi di tingkat lokal dapat diperkuat melalui pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten. Sesuai dengan tujuan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka di setiap daerah di Indonesia muncul kekhasan dalam melaksanakan otonomi tersebut. Kehidupan bernagari menjadi model praktik berdemokrasi yang berkembang dalam realita etnik Minangkabau. Jauh sebelum NKRI terben- tuk, praktik bernagari dalam aktivitas politik dan pemerintahan sudah dijalani oleh

masyarakat (Imran Manan, 1995). Justru sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru praktik bernagari ini mengalami perubahan sesuai dengan politik rezim yang berkuasa (Mestika Zet et al., 1998; Kahin, 2005).

Sejauh ini pemerintah belum sepenuhnya mengembangkan pengaturan pelaksanaan demokrasi berdasarkan nilai lokal. Bahkan dalam konteks bernagari yang dikenal dengan ciri demokrasi deliberatif telah bergeser menjadi demokrasi liberal. Seperti yang dijelaskan di atas, mekanisme musyawarah dan mufakat yang menjadi ciri dalam pembuatan keputusan di nagari, seringkali mencantumkan mekanisme voting yang bersifat individual, akibatnya orientasi pembuatan keputusan tidak lagi pada permufakatan, melainkan pemilihan. Ini terjadi karena pemaknaan demokrasi dalam peraturan yang dibuat pemerintah diartikan sebagai wujud mekanisme pemilihan langsung yang melibatkan individu-individu warga negara. Walaupun tidak salah, namun telah mengaburkan hakikat demokrasi lokal di Sumatera Barat.

Ketiga, otonomi negara dapat dikembangkan melalui penguatan ekonomi masyarakat berbasiskan nagari. Potensi otonomi negara dapat dikembangkan, jika kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam hal ini, kehidupan bernagari yang berdasarkan sosiobudaya masyarakat tidak hanya mencakup aspek politik dan pemerintahan saja melainkan juga aspek ekonomi. Nagari sebagai basis penyelenggaraan pemerintahan terendah juga memiliki fungsi ekonomi bagi masyarakatnya. Karenanya di nagari ditemukan adanya sumber-sumber ekonomi yang dikelola langsung oleh nagari. Misalnya, sumber pendapatan dari pasar nagari, tanah ulayat, hutan nagari,

signifikan. Hal ini juga ditegaskan oleh

Walinagari langsung menjadi Ketua

gambarkan bahwa Walinagari ada Dengan demikian Walinagari mem

KAN hanya merefleksikan pengelolaan dan sebagainya. Misalnya, di Nagari

Sarilamak, keberadaan pasar serikat nagari sangat membantu nagari meningkatkan pendapatan aslinya. Pasar serikat nagari ini melibatkan empat nagari lainnya yang saling bertetangga, yaitu Nagari Tarantang, Nagari Harau dan Nagari Solok Bio-Bio. Hasil dari pengelolaan pasar ini, yaitu sebanyak 70 persen menjadi sumber pendapatan asli nagari dan sisanya sebanyak 30 persen menjadi bagian pemerintah kabupaten.

Apalagi di nagari, persoalan ekonomi ini menjadi hambatan utama bagi mereka untuk berpartisipasi dalam politik. Orientasi masyarakat di nagari untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga adalah aspek utama ketimbang memenuhi kebutuhan mereka berpartisipasi. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi yang dilakukan negara, khususnya dalam skala mikro dapat membantu meningkatkan produktivitas masyarakat.

2. Mengembangkan Otonomi Negara

Dalam dokumen Jurnal Volume 1 No. 2 2013 (Halaman 51-55)