DI SUMATERA BARAT
HYBRID MODELS IN THE PRACTICE OF LOCAL DEMOCRACY THROUGH DECENTRALIZATION IN WEST SUMATRA
2. Mengembangkan Otonomi Negara Berdasarkan Model Hybrid Dalam
Bernagari
Pada dasarnya seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, otonomi negara dapat dikembangkan dari sistem sosiobudaya masyarakat lokal. Dalam kasus Sumatera Barat, pengembangan otonomi negara berbasiskan sistem sosiobudaya lokal dapat dilakukan dengan cara menguatkan peran pemerintah nagari. Selama ini, pemerintah kabupaten di Sumatera Barat sudah menguatkan kedudukan nagari sebagai basis pemerintahan terendah. Akan tetapi, keterlibatannya dalam melaksanakan fungsi pemerintahan di tingkat terendah masih sebatas “membantu” pemerintah kabupaten dalam melaksanakan kewenangannya.
Pemerintah nagari sesuai dengan hak asal usul yang dijamin oleh UU No.32/2004 belum sepenuhnya melaksanakan otonominya. Lebih jauh, pemerintah kabupaten hanya melimpahkan kewenangan yang dimilikinya kepada pemerintah nagari. Padahal hakikat bernagari adalah menggali kembali nilai lokal dan menjadi dasar dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Sebenarnya upaya menggali nilai lokal dan membawanya ke dalam penyelenggaraan pemerintahan modern terendah dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan pelaksanaannya dengan sistem sosiobudaya lokal. Inilah yang dikenal dengan model hybrid. Dengan cara menggabungkan ini dapat menumbuhkan sikap percaya masyarakat di nagari kepada pemerintah.
Jelas, mengembangkan model hybrid dalam penyelenggaraan pemerintahan di ting- kat terendah di Sumatera Barat membawa manfaat kepada pemerintah dan masyarakat lokal. Pertama, program pemerintah dapat dilaksanakan dengan baik karena mendapat dukungan masyarakat. Masyarakat di na- gari merasa bagian dari program yang dilak- sanakan pemerintah karena sesuai dengan realita nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan mereka. Kedua, masyarakat da- pat mengembangkan sistem sosiobudaya mereka dalam kehidupan modern, khusus- nya dalam penyelenggaraan fungsi pemer- intahan. Dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan terendah di nagari dapat me- nyesuaikan dengan realita kehidupan politik modern.
Lalu bagaimana mengembangkan model hybrid penyelenggaraan fungsi pemerintahan di nagari sebagai basis pemerintahan terendah di Sumatera Barat? Upaya menggabungkan model
penyelenggaraan pemerintahan terendah berdasarkan sistem tradisional atau sosiobudaya lokal dengan pemerintahan modern dapat dilakukan dengan memperhatikan fungsi yang dilaksanakan. Misalnya, dalam konteks penyelenggaraan fungsi pemerintahan berdasarkan sistem sosiobudaya di nagari; pada mulanya ia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan suku dan kaum yang berada di nagari (Musyair Zainuddin, 2010). Ini beralasan karena pemerintahan nagari adalah pemerintahan yang berdasarkan pada adat dan budaya masyarakat setempat—adat selingkar nagari. Tentu fungsi sosiobudaya yang dilaksanakan pemerintahan nagari tidak sama dengan yang lain dan ini bergantung pada dinamika masyarakat masing-masing nagari. Artinya, fungsi pemerintahan dapat berkurang dan bertambah sesuai dengan realita masyarakatnya.
Sebagai gambaran “republik mini” yang berada dalam NKRI, pemerintahan nagari ini pada dasarnya pemerintahan yang berpusat pada penghulu (Oki, 1977). Penghulu di nagari memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan bernagari. Seperti yang dijelaskan Idrus Hakimy (2001:56-58), penghulu dalam adat Minangkabau tidak hanya memimpin kaumnya di dunia dan akhirat, tapi juga melaksanakan peran kepemimpinan terse- but di lingkungannya. Dan yang lebih penting, penghulu adalah mereka yang menempati posisi tertinggi dalam adat alam Minangkabau. Oleh karena, nagari separuhnya adalah bentuk pemerintahan yang beradasrkan pada prinsip geneologi dan adat dan budaya Minangkabau, maka kedudukan penghulu di nagari sangat signifikan. Hal ini juga ditegaskan oleh
Musyair Zainuddin (2010:44),
Walinagari langsung menjadi Ketua Kerapatan Adat Nagari (Kerapatan Nagari adalah terdiri dari unsur-un- sur Ninik Mamak/Penghulu/Datuk yang memerankan lembaga Yudikatif dalam pemerintahan) ini akan meng- gambarkan bahwa Walinagari ada- lah ninik mamak/Penghulu/Datuk. Dengan demikian Walinagari mem- punyai kekuasaan yang besar yang menyatu antara pemerintahan secara umum (pemerintahan terendah) dan pemerintahan adat.
Namun, akibat perkembangan zaman, peran penghulu ini mulai berkurang. Malah secara formal pemerintah daerah “sengaja” mengurangi peran tersebut karena kedudukan penghulu dalam pemerintahan terendah harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan asas pemerintahan modern. Realita ini dapat dilihat dengan diterbitkannya Perda No.2/2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari. Kedudukan penghulu adat dalam institusi KAN hanya merefleksikan pengelolaan sako dan pusako. Sako terkait dengan pemberian gelar adat dan pengurusan darjah kebangsawanan menurut adat Minangkabau. Sementara, pusako terkait dengan aspek pengembangan ekonomi anak-kemenakan di nagari. Malangnya, pengaturan ini hanya dilihat secara literal dan bukan esensi. Inilah yang coba dikendalikan oleh pemerintah provinsi sebagai wakil pusat di daerah. Padahal, jika ditinjau secara esensi, aspek sako ini memiliki makna yang luas sesuai dengan pelaksanaan fungsi negara modern dalam kontek “republik mini.” Seperti yang
dijelaskan Almond & Powell (1978), sistem politik dalam hal ini negara memiliki empat fungsi yang harus dilaksanakan seperti fungsi ekstraksi, distribusi, regulasi dan simbolik.
Lebih jauh, aspek sako dalam nagari juga mengandung makna adanya pelaksanaan fungsi regulasi dalam sebuah negara modern. Faktanya, pemberian darjah kebangsawanan menurut adat Minangkabau tidak diberikan pada sembarang orang. Dalam aspek ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menerima gelar tersebut. Artinya, segala aturan adat yang ada di nagari berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap orang yang akan diberi gelar kebangsawanan tersebut. Dalam gelar tersebut melekat aturan yang dilaksanakan di nagari. Inilah esensi aspek sako yang pertama. Esensi kedua dari sako tersebut adalah penegakan fungsi simbolik dari nagari. Seperti yang dijelaskan, nagari adalah republik mini yang memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan memiliki batas wilayah yang jelas. Akibatnya, simbol-simbol nagari seperti gelar, kesukuan, nilai adat resam penduduk, marawa bendera Minangkabau yang terdiri dari warna merah, kuning dan hitam, artefak dan ornamen lainnya yang hidup dan berkembang di nagari. Karenanya fungsi simbolik sepenuhnya dijalankan oleh KAN karena aspek ini adalah simbol kedaulatan nagari terhadap nagari atau daerah lain.
Sementara, dari aspek pusako terdapat pula hakikat pelaksanaan fungsi negara modern yang hidup dalam keseharian masyarakatnya. Misalnya, esensi pusako atau harta pusaka adalah pelaksanaan fungsi ekstraksi yang dilakukan oleh penghulu adat. Ini sesuai dengan keadaan negara modern, yaitu ketika pemerintah atas nama negara menguasai sumber daya ekonomi negara
untuk kesejahteraan penduduknya. Begitu juga di nagari, terdapat fungsi ekstraksi yang dilakukan oleh penghulu adat yang bertanggung jawab mensejahterakan anak kemenakannya di nagari. Ini dilakukan dengan cara melaksanakan fungsi ekstraksi melalui penguasaan sumber daya alam nagari yang memiliki manfaat ekonomi bagi anak kemenakan di nagari (cf. Navis, 1984). Hakikat ini yang sekarang terlupakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Fungsi lain yang juga terkandung dalam aspek pusako ini adalah fungsi distribusi. Kekayaan penghulu suku tidak hanya dimanfaatkan dan dimiliki sendiri oleh penghulu suku tersebut. Namun, pemanfaatannya juga diberikan pada seluruh anak kemenakan (penduduk) yang ada di nagari. Singkatnya, fungsi distribusi ekonomi nagari dilakukan oleh penghulu suku yang ada di KAN untuk kepentingan semua penduduk nagari yang juga anak kemenakan mereka.
Jadi jelas adalah satu kekeliruan, jika KAN hanya dibatasi menyelenggarakan aspek sako dan pusako seperti yang ada dalam Perda No.2/2007 tentang pokok- pokok pemerintahan nagari. Idealnya, kedudukan KAN lebih dari itu dengan memahami hakikat dari kewenangan KAN sesuai dengan fungsi negara modern. Inilah yang diabaikan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten karena terlalu mendominasi dan memaksakan hukum positif dalam penyelenggaraan adat dan budaya dalam bernagari. Padahal penyelenggaraan pemerintahan modern terendah dapat dikombinasikan dengan sistem sosiobudaya yang berkembang dalam masyarakat. Lalu pertanyaannya, bagaimana memperkuat kedudukan sistem sosiobudya ini, tapi juga tidak mengabaikan kedudukan pemerintah
sebagai penyelenggara pemerintahan modern?
Pilihannya adalah bagaimana upaya menggabungkan prinsip penyelenggaraan negara modern di peringkat pemerintahan terendah sebagai wujudnya otonomi negara dalam kehidupan masyarakat. Namun, dari segi lain, negara juga perlu memperkuat kembali nilai adat dan budaya dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari sebagai bentuk otonomi daerah. Keduanya tidak boleh dipertentangkan, apalagi saling menegasikan seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru yang dapat menghancurkan sistem sosiobudaya masyarakat lokal (Kahin, 2005; Nordholt & Klinken, 2007). Untuk mengakomodasi hubungan tersebut, maka dibutuhkan model hybrid yang dapat diimplementasikan dalam praktik pemerin- tahan nagari sekarang. Lalu, seperti apa model hybrid dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari tersebut?
Pertama, penyelenggaraan pemerin- tahan nagari yang melaksanakan fungsi pemerintahan terendah di Sumatera Barat dapat dikombinasikan dengan penyelenggaraan sistem sosiobudaya yang berkembang di nagari. Dalam konteks ini, penghulu suku yang berhimpun dalam institusi KAN dapat dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Secara umum, paling tidak ada tiga fungsi penting yang perlu dapat perhatian dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan nagari tersebut. Fungsi pertama adalah terkait dengan pelayanan publik di nagari. Hakikat fungsi pelayanan publik ini adalah menjembatani kebutuhan masyarakat yang tidak mampu mengakses apa yang dibutuhkannya. Di sinilah tanggung jawab pemerintah nagari menyediakan pelayanan tersebut. Namun,
karena keterbatasan pemerintah dalam memberikan pelayanan, maka pemerintah juga harus melibatkan pihak lain. Di sinilah letak pentingnya institusi KAN yang dapat membantu pemerintah nagari dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik ini. Memang, perlu ada pengaturan lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan fungsi ini agar tidak terjadi tumpang tindih tugas pokok dan fungsi di antara kedua institusi ini. Mengapa perlu melibatkan KAN ini? Bagaimanapun yang dilayani oleh pemerintah nagari adalah keseluruhan penduduk nagari yang juga anak kemenakan dari penghulu suku dan kaum yang ada di nagari tersebut. Tentu tidak semua urusan pelayanan yang harus melibatkan penghulu adat karena layanan dasar di bidang pemerintahan yang ada di nagari cenderung bersifat teknis. Untuk itu, keterlibatan KAN disesuaikan dengan kesiapan institusi KAN tersebut dalam memberikan layanan masyarakat nagari, terutama yang dikaitkan dengan fungsi utamanya di bidang adat dan budaya.
Fungsi kedua berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan di nagari. Pemerintah nagari juga memiliki keterbatasan dari segi pembiayaan dan ketersediaan lahan. Namun, secara sosiobudaya, pusako nagari sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai modal dasar pelaksanaan fungsi pembangunan di nagari. Karenanya pemerintah nagari harus mencarikan formula yang sesuai keterlibatan penghulu KAN dalam pelaksanaan fungsi tersebut. Pemanfaatan pusako nagari ini sesuai dengan falsafah budaya Minangkabau yang menjamin kesejahteraan bagi semua anak kemenakan mereka. Melalui keterlibatan penghulu ini, dapat mengatasi masalah pembiayaan dalam melaksanakan pembangunan tersebut.
perubahan yang signifikan. Perubahan
individu yang mengarah pada konflik
KAN dapat mengidentifikasi kemampuan
juga, agar tidak terjadi konflik horizontal
arti harfiah. Bagaimanapun model Fungsi lain yang tidak kalah penting
adalah fungsi pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah nagari sebenarnya dapat melibatkan penghulu di nagari karena secara emosional kelompok penghulu ini lebih dekat dengan anak kemenakan mereka. Dengan pendekatan
sosiobudaya ini, maka fungsi pemberdayaan masyarakat ini dapat dioptimalkan. Dari fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan pemerintah nagari ini, maka dapat disederhanakan model hybrid dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di nagari ke dalam tabel 1.
Fungsi Pemerintahan Kapasitas Institusi Yang Terlibat Peran Yang Dilakukan
Bentuk Keterlibatan
Pemerintah Nagari KAN
Pelayanan publik Tugas pokok dan fungsi dalam memberikan pelayanan publik di nagari yang belum maksimal
Membantu pemerintah nagari dalam urusan layanan publik yang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki KAN
Pemerintah nagari melibatkan KAN pada urusan tertentu yang sesuai dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki KAN sesuai dengan fungsi kelembagaannya di bidang adat dan budaya
Keterlibatan dilakukan secara langsung melayani anak kemenakan yang juga penduduk nagari
Pembangunan Keterbatasan dari aspek
pembiayaan dan kesiapan tenaga yang ada di pemerintahan nagari
Kepemilikan pusako
yang ada di nagari dapat dimanfaatkan bersama- sama dengan pemerintah nagari. Bahkan dalam perencanaan pembangunan KAN dapat dilibatkan sebagai institusi yang membantu pemerintah nagari secara langsung
KAN memberi kebebasan pada pemerintah nagari memanfaatkan potensi pusako yang dimiliki. Namun, dari segi lain, KAN juga terlibat merencanakan dan mendistribusikan hasil dari pemanfaatan pusako nagari besama-sama dengan pemerintah nagari Keterlibatan langsung, terutama dalam aspek pelaksanaan fungsi ekstraksi dan distribusi dalam pemanfaatan pusako nagari Pemberdayaan masyarakat Kemampuan dan akses pemerintah nagari yang terbatas menghambat pencapaian pemberdayaan
masyarakat
Daya jangkau KAN melalui pendekatan geneologi dan adat dapat masuk hingga kelompok yang resisten terhadap program pemerintah nagari. Pemerintah nagari dapat menumpukan program pemberdayaan masyarakat ini kepada institusi KAN karena kapasitas yang dimilikinya. Sinergi yang dibutuhkan di antara keduanya adalah pada program KAN berperan langsung dalam pemberadayaan masyarakat sesuai dengan sistem sosiobudaya yang berkembang di nagari
Tabel 1: Model hybrid penyelenggaraan pemerintahan modern terendah di Sumatera Barat berdasarkan sistem sosiobudaya
Kedua, dalam aktivitas politik, terutama dalam pemilihan wali nagari terjadi perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah. Dalam PP No.72/2005 tentang pemerintahan desa yang ditindaklanjuti oleh Perda No.2 tahun 2007 tentang pokok- pokok pemerintahan nagari dijelaskan juga mengenai mekanisme pemilihan wali nagari yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Padahal, mekanisme ini bertentangan dengan adat dan budaya masyarakat di nagari yang cenderung lebih mengutamakan demokrasi deliberatif. Pemilihan wali nagari yang dikenal jauh sebelum pemerintah mengintervensi baik pada masa Awal Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi adalah melalui musyawarah dan mufakat yang mencerminkan adanya proses deliberasi yang melibatkan penghulu adat suku-suku yang ada di nagari. Namun, kuatnya intervensi politik rezim yang berkuasa telah mengubah tatanan nilai sosobudaya masyarakat Minangkabau. Salah satu implikasi negatif penerapan mekanisme pemilihan langsung ini adalah terjadinya persaingan politik individu yang mengarah pada konflik horizontal dalam masyarakat. Bahkan yang patut dikhawatirkan adalah semangat individualis menjadi dominan ketimbang semangat kebersamaan aspek penting yang menjadi dasar dalam memperkuat sistem kekerabatan (geneologi) di nagari.
Karenanya untuk mengantisipasi semakin tergerusnya nilai sosiobudaya Minangkabau ini, maka perlu penggabungan model pemilihan wali nagari yang juga melibatkan unsur KAN. Penggabungan ini dapat dilakukan, misalnya, setelah penjaringan yang dilakukan oleh panitia pemilihan atas
usulan kelompok masyarakat di nagari, maka KAN—sesuai dengan fungsinya— merembukkan hasil pilihan masyarakat nagari tersebut dengan mengundang bakal calon berdiskusi dan berbagi pendapat untuk mengetahui pengetahuan, rekam jejak dan aspek kepemimpinan mereka. KAN dapat mengidentifikasi kemampuan tersebut, terutama dari aspek kepemimpinan baik teknis pemerintahan maupun adat dan budaya di nagari tersebut. Begitu juga, agar tidak terjadi konflik horizontal antar pendukung calon wali nagari setelah pemilihan, KAN dapat juga bertindak sebagai inisiator perjanjian yang dibuat di antara calon wali nagari yang bertanding sehingga hasil pemilihan nantinya dapat diterima oleh semua pihak. Selanjutnya, KAN juga memutuskan bakal calon wali nagari yang dapat menjadi calon wali nagari dan selanjutnya diserahkan kepada panitia pemilihan di nagari untuk di pertandingkan dalam pemilihan wali nagari yang melibatkan masyarakat nagari secara langsung. Dengan cara ini, maka kedudukan KAN kembali kuat, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari dan tidak sekedar mengurusi masalah sako dan pusako dalam arti harfiah. Bagaimanapun model hybrid dalam penyelenggaraan pemerintahan terendah ini adalah tahapan awal yang dikemukakan untuk memperkuat otonomi negara dalam masyarakat. Ini bertujuan agar substansi nilai sosiobudaya masyarakat lokal tidak hilang ketika asas pemerintahan modern dilaksanakan. Dengan cara ini, maka konsolidasi demokrasi dilaksanakan dapat berjalan dengan baik hingga ke lapisan akar rumput.
Agencification and regulatory
Dario Castiglione, Jan W van Deth & Guglielmo Wolleb (Eds.).
Terj. A. Zaim Rofiqi. Jakarta:
Bandung: Widya Padjajaran
. Jakarta: Grafiti Pers.
Stokke & olle Tornquist (Eds.). PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan otonomi negara dapat dilaksanakan dengan baik, jika pemerin- tah juga memperkuat sistem sosiobudaya masyarakat lokal, terutama dalam melaksa- nakan fungsi pemerintahan di tingkat lokal. Melalui pengembangan sistem sosiobudaya lokal ini, sebenarnya pemerintah sekaligus dapat memperkuat legitimasi politiknya. Hal disebabkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerin- tah. Walaupun dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku, namun pemerintah tetap dapat melaksanakannya, namun tidak menghilangkan kultur masyarakat lokal dalam melaksanakan politik dan pemerin- tahan. Caranya adalah dengan mengkom- binasikan penyelenggaraan fungsi pemerin- tahan terendah dengan prinsip pemerintahan modern dengan sistem sosiobudaya lokal masyarakat. Apalagi di daerah Sumatera Barat yang mayoritas penduduknya adalah etnik Minangkabau yang dikenal dengan kepemimpinan penghulu adatnya.
Rekomendasi
Kombinasi yang dikenal dengan model hybrid dapat diselenggarakan dengan melibatkan pemerintah nagari dan KAN; dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi di tingkat terendah. Walaupun ini baru dalam tahapan awal, model hybrid dalam berdemokrasi ini menjadi poin permulaan untuk dikembangkan sesuai dengan semangat otonomi daerah di dalam kerangka otonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Andalas yang telah menyediakan dana penelitian melalui Skim Hibah Fundamental Tahun 2011 dan 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, (2011). Mengembali-kan kepercayaan publik melalui reformasi birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Almond, G. A. & Powell, G.B. (1978). Comparative politics: system, process and policy. Cetakan ke-2. Boston: Little Brown & Company.
Aspinall, E & Fealy, E. (Eds.). (2003). Introduction: decentralisation, democratisation and the rise of the local. Dlm. E. Aspinall & G. Fealy (Eds.). Local power and politics in Indonesia: decentralization & democratization, hal. 1-14. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Asrinaldi & Mohammad Agus Yusoff.
(2008). Peranan negara kuat dalam pelaksanaan demokrasi lokal di Indonesia: Kasus di Sumatera Barat. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik 12(2): 115-134.
Asrinaldi & Yoserizal. (2011). Praktik Pemerintahan Terendah Dalam Pembangunan dan Implikasinya Terhadap Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat. Jurnal Transformasi Pemerintahan, 3(2):85-103.
Christensen, T & Laegreid, P. (2006). Agencification and regulatory reform. Dlm. Tom Christensen T & Per Laegreid (Eds.) Autonomy and regulation: coping with agencies and in the modern state, hal.8- 49. Massachusetts: Edward Elgar Publishing.
Van Deth, J. W. (2008). Introduction: social capital and democratic politics. Dlm. Dario Castiglione, Jan W van Deth & Guglielmo Wolleb (Eds.). The handbook of social capital, hal. 199- 207. Oxford: Oxford University Press.
Fukuyama, F. (2005). Memperkuat negara, tata pemerintahan dan tata dunia abad 21. Terj. A. Zaim Rofiqi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hadiz, V.R. (2005). Reorganizing political power in Indonesia: a reconsideration of so-called ‘democratic transition’. Dlm. M. Erb, Priyambudi Sulistiyanto & C. Faucher (Eds.). Regionalism in post-Suharto Indonesia, hal. 36-53. London: RoutledgeCurzon.
Idrus Hakimy, (2001). Pokok-pokok penge- tahuan adat alam Minangkabau. Bandung: Rosda Karya.
Imran Manan, (1995). Birokrasi modern dan otoritas tradisional di Minangkabau (nagari dan desa di Minangkabau). Padang: Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau.
Kahin, A. (2005). Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik Indonesia 1926-1998. Terj. Azmi dan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Leo Agustino, (2011). Sisi gelap otonomi daerah: sisi gelap desentralisasi di
Indonesia berbanding era sentralisasi. Bandung: Widya Padjajaran
Mann, M. (1986). The autonomus power of the state: its origins, mechanisms and results. Dlm. J. A. Hall (Eds.). States in history, hlm. 109-136. New York: Basil Blackwell.
Mestika Zet, Edy Utama & Hasril Chaniago. (1998). Sumatera Barat di panggung sejarah 1945-1995. Jakarta: Sinar Harapan.
Musyair Zainuddin. (2010). Implementasi pemerintahan nagari berdasarkan hak asal-usul adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak.
Navis, A.A. (1984). Alam terkembang jadi guru: adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. Nordholt, H.S & Klinken, G.V. (2007).
Pendahuluan. Dlm. H. S. Nordholt & G. V Klinken (pnyt.). Politik lokal di Indonesia, hlm. 1-41. Terj. Bernard Hidayat. Jakarta: YOI & KITLV. Nordlinger, E. A. (1981). On the autonomy
of the democratic state. Cambridge: Harvard University Press.
Oki, A. (1977). Social change in the West Sumatran village: 1908-1945. Tesis Ph.D Australian National University. Rotberg, R.I. ( 2002). The new nature of
nation-state failure. The Washington Quarterly 25(3): 85-96.
Sidel, J. T. (2005). Bossism and democ- racy in the Phillippines, Thailand and Indonesia: toward and alternative framework for study of ‘local strong- men”. Dlm. John Harris, Kristian Stokke & olle Tornquist (Eds.). Policising democracy: the new local politics of democratization, hal.51-74. New York: Palgrave macmillan.
is to develop a functional food product because the product has efficacy for the prevention of aging and improve fitness. Tomato as a functional food because tomatoes contain large amounts of lycopene which acts as an anti- oxidant, which is influential in reducing the risk of various
pathogens, lowering cholesterol levels, anti- mutagenic, anti- carcinogenic, can improve the immune system, is able to prevent somatic mutations that lead to colon cancer. Functional food body, such as tomato paste, tomato powder and mix instant soursop and curd. These products easy processing, can be developed in the domestic industry and the hope application by the community to create a healthy society .
Keyword : food, product, food, processing, tomato, soursop, curd