BAB II PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT
B. Tinjauan Historis Kampung Prawirataman
1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta
Latar belakang dan perjalanan sejarah keberadaan prajurit Kraton sudah
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, bahkan cikal bakalnya telah
ada sebelum berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu itu,
Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik dari Paku Buwana II menentang
perjanjian yang disepakati oleh kakaknya tersebut dengan VOC. Protes akan
ketidaksetujuan tersebut dilakukan dengan meninggalkan istana dan kemudian
melakukan pemberontakan.2
Pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyusun kekuatan prajurit
yang beranggotakan baik dari kalangan bangsawan (Tumenggung, Pangeran,
Bupati) ataupun rakyat biasa. Pasukan itu kemudian melakukan penyerangan ke
berbagai daerah. Serangan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi beserta
pasukannya itu membawa dampak pada bertambah besarnya jumlah kekuatan
prajuritnya.
2
Alamsyah, Kajian Arkeomusikologi Terhadap Alat Musik Prajurit
Kraton Yogyakarta, Skripsi: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. 2005. Pangeran Mangkubumi adalah putra dari Amangkurat IV (1719-1796) yaitu generasi keempat dari Sultan Agung raja pertama kerajaan Mataram Islam, dan dilahirkan oleh Mas Ayu Tedjowati yang merupakan permaisuri kedua. Khairuddin H, Filsafat Kota Yogyakarta
Yogyakarta: Penerbit Liberti. 1995. Hal.21. menambahkan bahwa Pangeran Mangkubumi terlahir dengan nama Raden Mas Sujono. Selain sebagai ahli strategi perang, ahli tirakat, juga merupakan arsitek yang handal. Karena jasa- jasanya dalam ikut serta di bidang pemerintahan, kemudian diberi gelar Kanjeng Pangeran Harya Mangkubumi.
Prajurit Pangeran Mangkubumi berjumlah 13.000 yang terdiri dari 2.000
pasukan kavaleri dan sisanya merupakan pasukan infantri. Jumlah tersebut
merupakan akumulasi dari gabungan antara prajurit Mangkubumi sendiri dan
prajurit dari Raden Mas Said. Desa Ayogya yang terletak di antara Kraton
Kotagede dan Plered dijadikan sebagai markas/basis dalam menyusun strategi
perang.3
Bertambahnya jumlah kekuatan pasukan Pangeran Mangkubumi serta
keberhasilannya menaklukkan berbagai daerah, menimbulkan kekhawatiran yang
besar di pihak VOC. Upaya perundingan pun dilakukan. Akhirnya kesepakatan
dicapai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari
1755 oleh Sunan Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan
dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah tentang Palihan Nagari atau
Pembagian Dua Kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Ngayogyakarta.
Setelah perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan
Kota Istana atau Kota Kraton. Pendirian pusat pemukiman dilakukan dengan
konsep “Babad Alas” atau membuka hutan dan kemudian menempatkan istana
sebagai pusat pemerintahan kerajaan.4 Kota Istana tersebut kemudian diberi nama
Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan ibukota Ngayogyakarta yang berarti baik dan
3
Ibid., hal 17. 4
rahayu. Dengan artian yang lebih dalam yaitu masyarakat yang tinggal di
Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus.5
Pangeran Mangkubumi kemudian bertahta sebagai raja yang pertama.
Gelar yang digunakan adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga, Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarta Hadiningrat,6atau kemudian lebih dikenal dengan Sri Sultan Hamengku Buwana
I. Gelar tersebut menunjukkan bahwa raja Kasultanan Yogyakarta secara simbolis
dan filosofis mencerminkan kerangka konseptual tentang raja, kerajaan, sifat
keilahian dalam pandangan Islam.7
Dalam hubungannya dengan masalah keprajuritan, Sri Sultan Hamengku
Buwana I ini tidak begitu saja membubarkan pasukan prajurit bersenjata yang
turut berjuang bersamanya. Akan tetapi, merupakan pilar penting berdirinya
5
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk Yogyakarta: Dari Hutan Beringan Ke
Ibukota Daerah Istimewa, Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional. 2002. Hal. 9. Pembahasan yang lain terdapat dalam Tim Penyusun, “Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Hal. 62. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa
Yogyakarta berarti (kota) Yogya yang “karta” atau kota Yogya yang makmur.
Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat maksudnya adalah kota yang makmur dan yang paling utama atau yang merupakan keindahan di bumi.
6
Tim Penulis, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya
Yang Terkandung di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Yogyakarta.2009. Hal. 6.
7
Kasultanan Ngayogyakarta yang menjadi perangkat strategis dan taktik
pertahanan kerajaan, serta representasi dari kekuatan politik seorang raja.
Selain sebagai pasukan pertahanan dan pengamanan Kraton, pasukan-
pasukan prajurit yang ada dibagi ke dalam kesatuan (bregada) yang memiliki
tugas dan fungsi masing-masing. Misalnya, terdapat pasukan khusus yang sangat
handal dalam berperang, kemudian selain mengamankan kerajaan, terdapat juga
pasukan prajurit yang bertanggung jawab sebagai pengawal raja pada saat
melakukan kegiatan dan tugas-tugas di luar istana, berburu, dan lain-lain.
Sebagai pasukan militer kerajaan, sarana dan prasarana prajurit serta
persenjataan yang dimiliki menjadi sangat penting. Persenjataan prajurit terdiri
atas beberapa jenis senjata api, serta senjata tradisional, seperti tombak, keris,
panah, pedang dan alat pelindung badan berupa tameng. Selain itu juga beberapa
alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya kegiatan
keprajuritan.8
Namun demikian, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II (1792–
1811), perubahan yang besar terjadi. Kekuatan asing yang menguasai wilayah
Nusantara bukan lagi kongsi dagang (VOC), akan tetapi berada langsung di
bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.9 Perubahan tersebut juga turut
memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan sejarah Kraton
Kasultanan Yogyakarta dan seluruh elemen yang terkandung di dalamnya.
8
Tim Penulis, op cit. hal. 8 - 9
9
Tim Penyusun, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan
Saat Pemerintah Kolonial Belanda menggantikan kedudukan VOC di
Yogyakarta, mereka juga terus berusaha menciptakan persekongkolan untuk
mendapatkan peluang serta melancarkan campur tangannya di dalam
pemerintahan kerajaan. Salah satunya, melalui campur tangan Daendels, Sultan
Hamengku Buwana II dipaksa untuk menyerahkan tahtanya kepada putra
mahkota. Putra mahkota kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana III (1810-
1811). Hamengku Buwana III juga dikenal sebagai Sultan Raja.10
Sultan Hamengku Buwana II sendiri masih diperbolehkan tinggal di dalam
Kraton meskipun tidak lagi memerintah. Dengan demikian ada dua raja di dalam
istana, yaitu Sultan Raja dan Sultan Sepuh. Selain itu, meskipun resminya sudah
mengundurkan diri, tetapi Sultan Sepuh masih memiliki banyak pengaruh.
Melalui pengaruhnya, Sultan Sepuh berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan
berkuasa.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah Inggris telah berhasil menguasai
pulau Jawa. Kebijakan Kraton yang menentang kekuasaan Inggris, membawa
akibat pada serangan pasukan Inggris ke dalam kerajaan. Pihak Kraton
mengalami kekalahan. Hamengku Buwana II diasingkan dan putra mahkota atau
Hamengku Buwana III kembali naik tahta (1812-1814). Selain itu, Inggris juga
menyita harta kekayaan Kraton.11
10
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994. Hal. 16.
11
Sutrisno Kutoyo, dkk Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1997. Hal 118-119. Raja
Tidak hanya itu, Inggris juga melakukan pengurangan jumlah prajurit
Kraton. Sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang ditandatangani Hamengku
Buwono III dengan Rafless, prajurit Kraton tidak boleh lagi berada dalam format
sebagai angkatan perang dan pasukan militer yang kuat sebagaimana sebelumnya.
Kualitas kesatuan prajurit Kraton itu diperlemah sehingga tidak mungkin lagi
menjadi kekuatan militer, dan selanjutnya fungsi prajurit hanya sebatas pengawal
Sultan dan penjaga Kraton. Tidak berhenti sampai di situ saja, para prajurit ini
juga mendapatkan pengawasan yang ketat dari pasukan Inggris.12
Ketentuan tersebut juga masih berlaku ketika Inggris menyerahkan
kembali kekuasaannya atas wilayah Nusantara ke tangan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda tahun 1816. Praktek sewa tanah yang mulai diberlakukan Inggris
pada masa pemerintahan Hamengku Buwana IV (1814-1822) masih tetap
dipertahankan. Akan tetapi, karena pihak swastalah yang lebih diuntungkan, maka
kemudian pada tahun 1823, larangan atas usaha tersebut mulai diberlakukan.
Surakarta yang juga dianggap bersalah mendapatkan hukuman yang sama dari pihak Inggris. Kedua kerajaan tersebut diharuskan menyerahkan tanah-tanah kerajaan yang kemudian disebut sebagai Karesidenan Kedu, dan sebagian dari Karesidenan Semarang, Rembang, dan Surabaya. Menurut ketentuan-ketentuan lain sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang tertanggal 1 Agustus 1812, raja Surakarta dan Yogyakarta berkewajiban mendirikan pos-pos polisi yang permanen dan mengadili kawula Gubernur yang berdasar hukum yang benar. Kedua orang raja itu harus mengakui kekuasaan tertinggi orang Eropa atas Pulau Jawa, menyerahkan hutan-hutan jati, menyerahkan sarang burung, menyerahkan pasar dan rumah-rumah cukai, menghilangkan semua hukuman siksaan dan menurut nasehat-nasehat. Perlu dicatat bahwa dalam hal penyerahan rumah-rumah cukai, raja mendapat ganti rugi berupa uang. Maka sejak itu kekuasaan tertinggi Eropa di atas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dikokohkan. Kalau dua kerajaan Jawa itu melanggar perjanjian yang ada, dapat ditindak dengan kekuatan senjata.
12
Kebijakan ini yang kemudian menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya
Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).
Meskipun kemenangan ada di pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
namun perang yang berlangsung selama 5 tahun tersebut membawa ketakutan
yang besar bagi pihak Belanda. Ketakutan akan munculnya pemberontakan
serupa, berakibat pada berkurangnya sebagian besar wilayah kekuasaan
Kasultanan.
Berbagai tekanan politik yang terjadi di dalam kerajaan tersebut, juga turut
memberi dampak dalam bidang keprajuritan. Berdasarkan kesepakatan dengan
pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, terjadi pengurangan prajurit secara
besar-besaran. Kesatuan prajurit Kraton yang awalnya berjumlah 26, dipangkas
dan hanya tersisa setengahnya saja. Pada setiap kesatuan diperkirakan terjadi
pelucutan kekuatan bersenjata sampai 75%, sehingga hanya menyisakan sekitar
1625-3250 dengan asumsi setiap kesatuan terdiri dari 125-250 orang.13
13
Alamsyah, op. cit., hal. 24. Kesatuan prajurit yang berjumlah 26 tersebut terdiri dari Kesatuan Prajurit Mantri Lebet, Mantri Panilih, Ketanggel, Sumatmaja, Blambangan, Bugis, Daeng, Demang, Jagakarya, Nyutra, Mandhung, Miji Pranakan, Anirmala, Suranggama, Kawandasa, dan Wirabraja. Kemudian prajurit di Kadipaten yang terdiri dari Prawiratama, Jayengastra, Langenastra, Pancasura dan Surakarsa. Selanjutnya adalah Prajurit Pangrembe yaitu, Suranata, Sesela, Juru Sabin, Ngasrama, dan Arahan. Kemudian berdasarkan kesepakatan demiliterasi dengan pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana V terjadi pengurangan pasukan prajurit sehingga hanya tersisa 13 kesatuan yang terdiri atas, Mantri Lebet/Mantri Jero, Ketanggel/Ketanggung, Nyutra, Miji Pranakan, Prawitratama, Patangpuluh, Jagakarya, Daeng, Wirabraja, Suranata, Bugis, Surakarsa, dan Arahan. Dalam buku Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di
Tidak hanya berkurang dalam hal jumlah, fungsi dan pemaknaan prajurit
Kraton pun ikut mengalami perubahan. Dalam fungsinya, prajurit Kraton bukan
lagi prajurit perang, tetapi lebih merupakan prajurit pasif (tidak berperang) yang
aktivitasnya hanya sebagai obyek simbol politis dalam beberapa upacara
seremonial, tugas pengawalan, dan penjagaan benteng Kraton.14 Hal ini terus
berlangsung sampai masa pemerintahan sultan selanjutnya.
Pada masa pemerintahan GRM Dorojatun yang bergelar Sultan Hamengku
Buwana IX (1940-1988), perubahan dalam bidang keprajuritan kembali terjadi.
Sebelum dilantik, GRM Dorojatun sudah dihadapkan pada tiga pokok masalah
yang menjadi kebuntuan dalam perundingan dengan Gubernur Jendral Belanda
yang saat itu dijabat oleh Dr. Lucian Adam. Ketiga pokok permasalahan tersebut
yaitu:
1. Jabatan Patih berdasarkan keinginan Belanda yaitu mengemban Dwi
Kesetiaan yang dalam tugasnya memiliki dua tanggung jawab yaitu,
kepada pihak Belanda dan Kesultanan Yogyakarta, yang digambarkan
dalam topi yang digunakan Patih. Dua lambang menjadi satu, yaitu
lambang Singa dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan lambang
Lar Praba (sayap bersinar) milik Kasultanan. Hal ini tidak disepakati
oleh GRM Dorojatun karena alasan politis bahwa akan sangat sulit
mendapatkan loyalitas dari dua majikan dalam satu jabatan.
Dalamnya, ditambahkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku
Buwana VII dan VIII, jumlah pasukan tinggal 12 bregada.
14
2. Dewan Penasihat menurut Belanda adalah sepenuhnya atas persetujuan
pihak Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Belanda dan tidak
lagi mempunyai kebebasan bicara, walaupun pada prakteknya Sultan
diberi kebebasan untuk mengajukkan separuh dari jumlah anggota
dewan dari pihak Kasultanan Yogyakarta. GRM Dorojatun tidak
menyetujui kesepakatan ini karena monopoli Belanda terhadap
keputusan Dewan Penasihat mengakibatkan kebuntuan aspirasi rakyat.
3. Prajurit Kraton menurut keinginan Belanda adalah legiun di bawah
komand KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Legere/Tentara
Kerajaan Hindia Belanda) yang tidak dapat diperintah oleh Kasultanan
Yogyakarta, akan tetapi di lain sisi Kasultanan Yogyakarta
bertanggung jawab atas perekrutan dan gaji prajurit kraton. Dalam hal
ini GRM Dorojatun menyetujui asalkan langsung berada di bawah
komandonya.
Perundingan tersebut berjalan sangat alot dan berlangsung sekitar 4 bulan.
Kesepakatan atas ketiga permasalahan tersebut akhirnya tercapai dengan
pertimbangan-pertimbangan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Untuk
permasalahan Patih disepakati sesuai dengan permintaan pihak Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dua permintaan lain yang berhubungan
Kesepakatan ini secara resmi dicapai pada tanggal 18 Maret 1940 bersamaan
dengan penobatan GRM Dorojatun sebagai Sultan ke IX.15
Dalam dua tahun masa kepemimpinanya, Jepang datang ke wilayah
Nusantara dan berhasil menaklukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Masa
pendudukan Jepang ini berlangsung sekitar 3 tahun (1942-1945). Namun
demikian dampak yang ditimbulkan sangat besar dan mencakup berbagai aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan
sebagainya.
Dampak yang timbul di wilayah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta
sendiri juga tidak sedikit. Berbagai macam perubahan, efisiensi, dan penghematan
dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bencana kekurangan pangan
yang timbul pada masa pendudukan Jepang itu. Berbagai macam kebiasaan dan
formalitas disederhanakan, salah satunya pelaksanaan upacara dan ritus yang
mahal dan rumit tanpa mengurangi makna kultural, keagamaan dan nilai
magisnya. Selain itu, fungsi patih juga dihapuskan dan prajurit Kraton dibubarkan
sesuai dengan perjanjian dengan pihak Jepang yang tidak memperbolehkan
adanya prajurit di dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta.16 Pembubaran ini juga
dilakukan Sultan Hamengku Buwana IX untuk menghindarkan keterlibatan para
prajurit dalam Perang Asia Timur Raya.
Masa vakum dalam bidang keprajuritan terus berlangsung hingga masa
kemerdekaan, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Namun kemudian pada tanggal
15
Alamsyah, op. cit, hal. 27-28
16
7 Oktober 1956, prajurit Kraton kembali dimunculkan atas prakarsa Camat
Mantrijero dan KRT. Brajanegara serta disetujui oleh Sultan Hamengku Buwana
IX. Satu bregada atau kompi prajurit Daeng turut dalam acara karnaval untuk
menyemarakkan HUT Kota Yogyakarta yang ke-200. Hal itu memicu munculnya
gagasan akan revitalisasi. Selanjutnya, atas prakarsa kerabat Sultan (warga RK
Ngasem) dan seorang putera Hamengku Buwana IX yaitu BRM Harjuno Dalpito
(sekarang Sri Sultan Hamengku Buwana X), RM. Mudjanat Tistomo, serta RM.
Tirun Marwito, revitalisasi prajurit kraton diadakan.
Pada awal revitalisasi, prajurit Kraton hanya terdiri dari Kesatuan
Wirabraja, Daeng, Nyutra, dan Ketanggung. Namun demikian revitalisasi terus
berlangsung hingga kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Jumlah
total anggota prajurit pada tahun 1994 sekitar 700-an orang dengan perincian
sebagai berikut: Prajurit Wirabraja 86 orang, Prajurit Daeng 85 orang, Prajurit
Patangpuluh 83 orang, Prajurit Jagakarya 85 orang, Prajurit Prawiratama 81
orang, Prajurit Nyutra 64 orang, Prajurit Ketanggung 83 orang, Prajurit gabungan
Mantrijero-Langenastra 83 orang, Prajurit Bugis 65 orang dan Prajurit Surakarsa
55 orang.17
Revitalisasi tersebut juga dilakukan untuk melengkapi fungsi berbagai
upacara adat dan seremonial serta atraksi budaya bagi kepentingan pariwisata
budaya. Prajurit Kraton dilibatkan dan berfungsi pada upacara Gerebeg Syawal
17
(Idul Fitri), Gerebeg Besar (Idul Adha), dan Gerebeg Mulud (Rabi'ulawal) serta
acara-acara budaya lainnya.18
Saat ini, bregada atau kesatuan prajurit yang masih ada berjumlah
sepuluh, antara lain prajurit Wirabraja, Jagakarya, Daeng, Patangputuh,
Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis dan Surakarsa. Kesatuan
prajurit tersebut berada di bawah Pengageng Tepas Keprajuritan.19Saat Upacara
Gerebeg atau acara adat dan seremonial Kraton yang lain sedang berlangsung, bregada-bregada Prajurit ini selalu tampil dengan urutan dan formasi tertentu
sesuai peran dan fungsi masing-masing. Sama halnya dengan kesatuan Prajurit
Prawiratama.