BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUN
D. Perkembangan Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman
Pasca kemerdekaan RI, pemerintah mencoba menumbuhkan semangat
nasionalisme dalam berbagai bidang. Salah satu kebijakan utama yang dibuat
pada saat itu dikenal dengan istilah “Indonesianisasi” yang tujuan pentingnya
adalah untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia, dari sistem ekonomi kolonial
ke sistem ekonomi nasional. Pelaksanaan perubahan sistem ekonomi tersebut
23
Ibid., hal. 40–42.
24
dilakukan dengan jalan membantu dan membina para pengusaha dalam negeri.
Salah satu yang termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap usaha batik
tradisional.
Dalam pelaksanaan “Indonesianisasi” terutama yang bertalian dengan
masalah batik, pada tahun 1951, pemerintah membuat kebijakan yang
membebaskan para pengusaha batik dari pajak penjualan dan melarang impor
tekstil yang bermotif batik serta kain batik imitasi.25 Satu tahun kemudian, atau
pada tahun 1952, pemerintah mulai mengontrol impor dan distribusi kain mori
yang pada saat itu masih didatangkan dari luar negeri. Tahun berikutnya, dibentuk
JPP atau Jajasan (Yayasan) Perbekalan Bahan-bahan Perindustrian yang
merupakan importir tunggal kain mori dengan harga murah dan
mendistribusikannya kepada para pengusaha batik melalui GKBI dan koperasi-
koperasi primer lokal di masing-masing daerah. Hak monopoli untuk mengimpor
25
Ibid. hal. 53 -54. Kain batik imitasi merupakan kain bermotif batik.
Siska Narulita dalam Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950 – 1980,
Skripsi: Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2004, menambahkan bahwa kain batik imitasi ini diproduksi oleh
perusahaan percetakan tekstil di Inggris dengan menggunakan zat pewarna sintetis. Tujuan pembuatan batik imitasi ini adalah untuk menyediakan dan menawarkan kain batik buatan pabrik dengan harga yang murah dan mutu yang rendah untuk pasaran Jawa. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan atas Jawa dari tangan Inggris, produksi batik imitasi ini pun diambil alih oleh perusahaan Belanda. Tidak lama kemudian beberapa perusahaan batik imitasi yang lain juga didirikan di berbagai kota di Belanda, yang selanjutnya menyebar dan diikuti oleh negara-negara Eropa yang lainnya, salah satunya Swiss. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian mengekspor hasil produksi mereka ke Jawa.
kain mori tersebut kemudian diserahkan kepada GKBI setelah JPP dibubarkan
pada tahun 1955.26
Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut berdampak pada
meningkatnya jumlah permintaan akan kain batik, yang artinya produksi kain
batik juga meningkat. Jumlah anggota koperasi batik di Jawa juga mengalami
peningkatan, termasuk jumlah anggota PPBI di Yogyakarta. Jumlah anggota PPBI
Yogyakarta pada tahun 1950 mencapai 522 pengusaha batik, dan dari jumlah
tersebut 46 orang diantaranya tinggal di daerah Prawirataman.27 Jumlah anggota
PPBI tersebut tersebar di seluruh wilayah Yogyakarta dan terus mengalami
peningkatan pada tahun-tahun berikutnya.
Mengingat jumlah anggota koperasi yang terus mengalami peningkatan,
maka kemudian dibentuk lima unit koperasi yang berada di bawah naungan GKBI
sebagai koperasi batik primer di wilayah kota Yogyakarta. Lima unit koperasi
batik tersebut dibentuk berdasarkan lima blok (blok I – V) yang telah ada dan
dibuat pada tahun sebelumnya.28
Tujuan dibentuknya koperasi-koperasi primer ini adalah untuk mendukung
kelancaran penyaluran bahan baku pembuatan batik, dan memberikan pelayanan
26
Ibid. hal. 53. 27
Ibid. hal. 60 28
Blok I - V yang ada pada saat itu dibentuk dan diatur berdasarkan letak wilayah atau daerah pengembang usaha batik, yang kemudian digabungkan ke dalam suatu blok tertentu. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mendekatkan hubungan koperasi PPBI dengan jumlah anggotanya yang sangat banyak dengan letaknya yang tersebar di berbagai wilayah kota Yogyakarta. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, didirikan sebuah koperasi yang menjadi koperasi primer di tiap-tiap blok yang ada.
yang lebih baik kepada seluruh anggotanya. Kelima koperasi primer tersebut
antara lain, Koperasi Batik Mataram, Koperasi Batik Senopati, Koperasi Batik
Baratha yang kemudian berganti nama menjadi Koperasi Batik PPBI, Koperasi
Batik Tamtama, dan Koperasi Batik Karang Tunggal.29
Koperasi Batik Tamtama yang menaungi para pengusaha batik daerah
Prawirataman dan sekitarnya didirikan pada tahun 1964. Saat itu jumlah
anggotanya tercatat 158 orang, dan 68 di antaranya merupakan pengusaha batik
yang berasal dari daerah Prawirataman.30
Dalam mengembangkan usaha batiknya, para pengusaha batik
Prawirataman juga membuat cap dagang batik yang menggambarkan ciri khas
perusahaannya. Cap dagang batik ini merupakan merek dagang atau tanda yang
dipakai dalam perdagangan batik. Di daerah Prawirataman sendiri paling tidak
29
Siska Narulita, op. cit. hal. 60 – 61. Blok I merupakan Koperasi Batik Mataram yang daerah kerjanya meliputi Wirabrajan, Nataprajan, Kauman, Gandamanan (Kecamatan Wirabrajan, Ngampilan, Kraton dan Gandamanan) dan berkantor di Jl. P. Tendean Yogyakarta. Sementara itu Blok II beralih menjadi Koperasi Batik Senopati yang wilayah kerjanya meliputi Panembahan, Siliran, Langenarjan, Suryoputran, Gamelan (Kecamatan Kraton dan Gandakusuman). Kemudian Blok III menjadi Koperasi Batik PPBI, yang semula berkantor di Jl. Bridgen Katamso 59 Yogyakarta, namun kemudian pindah ke Jl. Suryadiningratan 39 Yogyakarta. Wilayah kerjanya meliputi Tirtodipuran, Mangkuyudan, Jagakaryan, Suryadiningratan, Pugeran (Kecamatan Mantrijeron). Blok IV merupakan Koperasi Batik Tamtama, yang berkantor di Jl. Kolonel Sugiyono Yogyakarta, dan daerah kerjanya meliputi Prawirataman, Brantakusuman, Timuran, Pujakusuman (Kecamatan Mergangsan bagian utara). Blok yang terakhir, yaitu Blok V kemudian beralih menjadi Koperasi Batik Karang Tunggal yang daerah kerjanya meliputi Karangkajen, Karangkunti, Karanganyar (Kecamatan Mergangsan bagian selatan), dan berkantor di Jl. Karangkajen Yogyakarta.
30
terdapat 38 cap dagang batik yang dihasilkan dan dipasarkan tahun 1950-an.31
Adapun perincian dari 38 cap dagang batik tersebut dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 3. Nama Cap Dagang dan Alamat Produsen Batik Daerah Prawirataman Pada Tahun 1950-an
No Nama Cap Dagang Batik Alamat Produksi Batik
1 Cap Abimanyu Prawirataman 9A 2 Cap Anak Prawirataman 24B 3 Cap Baji Prawirataman 28, 68 4 Cap Baji Kembar Prawirataman 34 5 Cap Berlian Prawirataman 22 6 Cap Betet Prawirataman 31 7 Cap Bintang Prawirataman 30 8 Cap Bunga Anggrek Prawirataman 8, 9 9 Cap Bunga Mawar Prawirataman 74 10 Cap Dea Prawirataman 68 11 Cap Dewi Sinto Prawirataman 98 12 Cap Garuda Prawirataman 6-8 13 Cap Gunting Prawirataman 7 14 Cap Jatayu Prawirataman 26 15 Cap Jeep Prawirataman 5 16 Cap Kemonggo Prawirataman 24B 17 Cap Kidang Mas Prawirataman 55 18 Cap Kupu Prawirataman 26 19 Cap Menjangan Prawirataman 26 20 Cap Murni Prawirataman 44 21 Cap Mustika Prawirataman 633 22 Cap Narodo Prawirataman 9A 23 Cap Oenta Prawirataman 56 24 Cap Onta Mas Prawirataman 613 25 Cap Parikesit Prawirataman 24B 25 Cap Payung Prawirataman 6-8 27 Cap Permadi Prawirataman 29 28 Cap Prabu Romo Prawirataman 68
31
29 Cap Puntodewo Prawirataman 107 30 Cap Ringin Prawirataman 16 31 Cap Shinta Prawirataman 5 32 Cap Songsong Emas Prawirataman 68 33 Cap Sri Wisnoe Prawirataman 108 34 Cap Subali Prawirataman 98 35 Cap Tjiptoning Prawirataman 10B 36 Cap Traju Mas Prawirataman 22 37 Cap Tuti Prawirataman 4 38 Cap Werkudoro Prawirataman 34
Sumber: Chiyo Inui Kawamura,“Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950–1900-an”, Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. 2004. Hal. 64.
Masing-masing cap dagang batik yang tertera dalam tabel di atas mewakili
seorang pengusaha batik. Jumlah pengrajin batik dan buruh borongan yang
dipekerjakan oleh masing-masing pengusaha atau juragan batik bisa sangat
berbeda satu dengan yang lainnya. Jumlah tersebut tidak dapat dibayangkan hanya
dengan melihat jumlah cap dagang batik yang ada di daerah tersebut. Oleh
karenanya Chiyo Inui Kawamura menggambarkan strukturnya seperti sebuah
piramida. Dalam piramida tersebut para buruh dan pengrajin batik berada pada
tingkat yang bawah, juragan penerima borongan batik berada pada tingkat
menengah, dan kemudian sang pengusaha batik berada dipuncaknya.32
Berdasarkan jumlah anggota Koperasi Tamtama yang khususnya berasal
dari daerah Prawirataman, serta jumlah cap dagang batik sebagaimana diuraikan
dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa usaha batik di daerah Prawirataman pada
tahun 1950-an mengalami perkembangan yang cukup pesat. Usaha batik yang
dirintis sebagai kegiatan rumah tangga itu berkembang menjadi suatu industri
32
yang menguntungkan. Dalam situasi seperti itu lah daerah Prawirataman
kemudian berkembang kembali menjadi salah satu sentra usaha dan industri batik
di kota Yogyakarta.