• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dalam memperbaiki adaptasi terhadap cekaman Al berdasarkan tanggap pertumbuhan dan hasil pada cabai. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB dari bulan bulan September 2006 sampai Maret 2007, dengan menggunakan polibag yang bermedia tanah Ultisol dari Gajrug Lebak, Banten. Sebanyak 4 genotipe cabai, yaitu PBC 619 dan Jatilaba (genotipe toleran) serta Cilibangi 3 dan Helm (genotipe peka) diperlakukan tanpa dan dengan inokulasi

Gigaspora margarita, kemudian ditanam pada kondisi tanpa cekaman Al (kejenuhan Al 0.77%) dan kondisi tercekam Al (kejenuhan Al 60.85%). Peubah yang diamati adalah derajat infeksi FMA, panjang akar, tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah panen, panjang buah, bobot per buah dan bobot buah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Gigaspora margarita

efektif mengurangi pengaruh buruk akibat cekaman Al melalui peningkatan tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah panen, panjang buah, bobot per buah dan bobot buah panen. Genotipe peka lebih diuntungkan dengan adanya inokulasi

Gigaspora margarita dibandingkan genotipe toleran. Genotipe peka dapat beradaptasi terhadap cekaman Al jika bersimbiosis dengan Gigaspora margarita. Pada kondisi tercekam Al, inokulasi Gigaspora margarita pada genotipe peka meningkatkan bobot buah panen sebesar 94.49% pada Cilibangi 3 dan 80.37% pada Helm.

Kata kunci : adaptasi, cekaman aluminium, fungi mikoriza arbuskula, cabai, Ultisol

Abstract

The aim of this research was to test the utilization arbuscular mycorrhizal fungus (AMF) to improve adaptation ability to aluminum (Al) stress based on growth and yield response in four genotypes of chili (Capsicum annum L.). The research was carried out in University Farm of IPB in Cikabayan from September 2006 to Maret 2007. The media was Ultisol from Gajrug (Lebak, Banten) in polybag. Four genotypes of chili, PBC 619 and Jatilaba (Al tolerant genotypes), and Cilibangi 3 and Helm (Al sensitive genotypes) were treated with and without inoculation of Gigaspora margarita, and planted further in media without Al stress (Al saturation 0.77%) and Al stress (Al saturation 60.85%). Variables observed were degree of AMF infection, root length, plant height, shoot dry weight, number of harvested fruits, fruit length, fruit weight and weight of harvested fruits. The results showed that inoculation of Gigaspora margarita

effectively decreased negative influence of Al stress by increasing plant height, shoot dry weight, number of harvested fruit, fruit length, weight per fruit and weight of harvested fruits. Inoculation of Gigaspora margarita to Al sensitive genotypes was more advantageous than to tolerant genotypes. The Al sensitive genotypes were adapted to Al stress if they were inoculated with Gigaspora

59

margarita. In Al stress condition, inoculation of Gigaspora margarita to Al sensitive genotypes increased weight of harvested fruits up to 94.49% in Cilibangi 3 and 80.37% in Helm.

Key words : adaptation, aluminum stress, arbuscular mycorrhizal fungus,

Capsicum annuum, Ultisol

Pendahuluan

Pemenuhan kebutuhan cabai dalam negeri tidak dapat sepenuhnya mengandalkan produksi dari Pulau Jawa karena lahan produktif banyak dikonversi untuk keperluan lainnya sehingga peningkatan produksi melalui perluasan areal menjadi terbatas. Lahan kering yang tersebar luas di luar Pulau Jawa mencapai 132.88 juta hektar cukup potensial dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanaman cabai. Namun, 33.58% dari luas lahan tersebut atau seluas 44.62 juta ha merupakan jenis tanah Ultisol yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Ultisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut (Marschner 1995). Pada tanah Ultisol dengan pH kurang dari 5.0, oksida-oksida aluminium akan memfiksasi ion-ion fosfat (P) sehingga menurunkan ketersediaan hara P (Ralalage et al. 1995; Baligar et al. 1997). Selain itu, kelarutan Al pada pH kurang dari 4.5 banyak didominasi bentuk Al 3+ yang dapat menghambat pertumbuhan akar sehingga menurunkan kemampuan akar dalam menyerap hara mineral dan air (Matsumoto et al. 1996; Samuel et al. 1997).

Tanaman yang tercekam Al akan mengalami kerusakan ujung akar sehingga pemanjangan akar terhambat, akar terlihat pendek dan gemuk (Bushamuka & Zobel 1998; Watanabe & Okada 2005). Kerusakan akar karena cekaman Al menyebabkan tanaman mengalami kekahatan hara dan cekaman kekeringan (Marchner 1995) sehingga pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah Ultisol. Pemanfaatan simbiosis dengan fungi mikorisa arbuskula (FMA) dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi masalah pada tanaman yang mengalami cekaman Al. Adanya hifa eksternal dari FMA yang tumbuh ekspansif sampai ke lapisan subsoil dapat membantu fungsi akar dalam penyerapan hara dan air (Cruz et al. 2004).

Kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dapat ditingkatkan dengan inokulasi FMA. Simbiosis FMA dan tanaman terbukti mampu meningkatkan serapan hara, terutama P (Widiastuti et al. 2003) dan ketahanan terhadap kekeringan (Hanum 2004) serta mereduksi akumulasi unsur Al yang menjadi masalah pada tanah Ultisol (Cumming & Ning 2003). Dengan adanya simbiosis FMA, tanaman diharapkan tumbuh lebih baik pada tanah Ultisol.

Percobaan ini bertujuan untuk menguji efektivitas inokulasi fungi mikoriza arbuskula dalam peningkatan pertumbuhan dan hasil serta kemampuan adaptasi genotipe cabai yang mengalami cekaman Al.

Bahan dan Metode Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan, University Farm, IPB, dan berlangsung pada bulan September 2006 sampai Maret 2007.

Bahan Percobaan

Bahan tanaman yang digunakan adalah PBC 619 dan Jatilaba sebagai genotipe toleran, serta Cilibangi 3 dan Helm sebagai genotipe peka berdasarkan hasil percobaan penapisan dan evaluasi sebelumnya. Jenis FMA yang digunakan adalah Gigaspora margarita yang mempunyai kemampuan koloni terbaik pada cabai merah hasil percobaan kompatibilitas, isolatnya berasal dari Laboratorium Silvikultur Seameo-Biotrop Bogor. Media tumbuh yang digunakan adalah tanah mineral masam jenis Ultisol ber-pH 4.2, Al-dd 30.08 me/ 100 g tanah dan kejenuhan Al 83.81% yang diambil dari Gajrug, Lebak, Banten. Bahan lain yang digunakan antara lain kapur CaCO3, pupuk urea, SP36, KCl, pestisida dan bahan

kimia untuk analisis jaringan tanaman.

Metode Percobaan

Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dengan 3 faktor perlakuan, dan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 ulangan. Faktor pertama adalah genotipe cabai, yaitu genotipe PBC 619 (toleran 1), genotipe Jatilaba (toleran 2), genotipe Cilibangi 3 (peka 1), dan genotipe Helm (peka 2). Faktor kedua adalah kondisi cekaman Al, yaitu kondisi tanpa cekaman Al (kejenuhan Al 0.77%) dan kondisi tercekam Al (kejenuhan Al 60.85%). Faktor

61

ketiga adalah inokulasi FMA, yaitu tanpa inokulasi FMA (-FMA), dan inokulasi

Gigaspora margarita (+FMA). Percobaan ini terdiri atas 4 x 2 x 2 x 3 = 48 satuan percobaan.

Model linier rancangan yang digunakan adalah :

Yijkl = µ + αi + βj + k + (αβ)ij + (α )ik + (β )jk + (αβ )ijk + εijkl

Dimana,

Yijkl = hasil pengamatan pada genotipe ke i, kondisi cekaman Al ke j,

inokulasi FMA ke k dan ulangan ke l

µ = nilai rataan umum

αi = pengaruh perlakuan genotipe ke i

βj = pengaruh perlakuan kondisi cekaman Al ke j k = pengaruh perlakuan inokulasi FMA ke k

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara genotipe ke i dan kondisi cekaman Al ke j

(α )ik = pengaruh interaksi antara genotipe ke i dan inokulasi FMA ke k

(β )jk = pengaruh interaksi antara kondisi cekaman Al ke j, dan inokulasi

FMA ke k

(αβ )ijk = pengaruh interaksi antara genotipe ke i, kondisi cekaman Al ke j, dan

inokulasi FMA ke k

εijkl = pengaruh galat percobaan pada genotipe ke i, kondisi cekaman Al ke j,

inokulasi FMA ke k dan ulangan ke l

i = 1,2,3,4

j = 1,2

k = 1,2

l = 1, 2, 3

Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan analisis ragam dan jika menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata, maka selanjutnya dilakukan uji beda nyata jujur (uji Tukey) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Percobaan

Persiapan media tumbuh. Tanah dari lapangan dibersihkan dari sisa- sisa tanaman dan kotoran, kemudian digemburkan dan dikeringanginkan selama satu minggu. Tanah yang telah kering diayak dengan ayakan yang berukuran 2 mm, kemudian ditimbang sebanyak 10 kg bobot kering udara dan dicampur secara merata dengan kapur untuk mendapatkan kondisi cekaman Al yang diinginkan. Dosis kapur yang diberikan adalah 18.33 g kapur CaCO3/kg tanah untuk kondisi

tanpa cekaman Al dan 4.58 g kapur CaCO3/kg tanah untuk kondisi tercekam Al.

Dosis tersebut mengacu pada hasil percobaan penapisan berdasarkan tanggap pertumbuhan akar pada berbagai indeks kejenuhan Al.

Yn

Derajat infeksi FMA (%) = X 100% ∑Xn

Pembibitan dan inokulasi FMA . Pembibitan dilakukan di tray persemaian yang mempunyai 72 lubang yang berisi media campuran tanah dan pupuk kascing (organik) dengan perbandingan 1:1. Inokulasi FMA diberikan sebanyak 10 g propagul/lubang tanam ke dalam media pembibitan secara berlapis, yaitu media-inokulan-media.

Penanaman dan pemeliharaan. Bibit yang telah berumur 4 minggu ditanam sebanyak 1 bibit per polibag. Pemeliharaan meliputi pemupukan, penyiraman, penyiangan, serta pengendalian hama dan penyakit. Pupuk diberikan dengan dosis 250 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha dan 200 kg K2O/ha atau setara dengan

2.72 g urea/polibag, 2.08 g SP36/polibag dan 1.67 g KCl/polibag. Aplikasi pupuk dilakukan sebanyak tiga kali dengan cara disebar dalam alur melingkar, pemupukan pertama dilakukan sehari sebelum bibit ditanam dengan nisbah N (1/3)+P(1)+K(1/3), sedangkan pemupukan kedua dilakukan 4 minggu setelah bibit ditanam dengan nisbah N (1/3)+P(0)+K(1/3), dan pemupukan ketiga dilakukan 8 minggu setelah bibit ditanam dengan nisbah N (1/3)+P(0)+K(1/3). Penyiraman dilakukan setiap hari jam 08.00 sesuai kapasitas lapangan. Kebutuhan air untuk mencapai kapasitas lapangan ditentukan dari kadar air tanah kapasitas lapangan (35.25%) - kadar air tanah kering udara (13.64%) x bobot tanah kering mutlak (8.80 kg) = 1901.7 ml atau disetarakan menjadi 1900 ml/polibag. Untuk melindungi cabai dari serangan hama dan penyakit dilakukan penyemprotan pestisida jika diperlukan. Insektisida yang digunakan berbahan aktif Deltamethrin dengan konsentrasi 50 mg/l air dan fungisida berbahan aktif Mankozeb dengan konsentrasi 1.6 g/l air (Haryantini & Santoso 2001).

Pengamatan

Peubah yang diamati adalah :

1. Derajat infeksi FMA (%). Pengamatan infeksi akar dilakukan di bawah mikroskop stereo terhadap preparat akar yang telah dipersiapkan menggunakan metode pewarnaan (Tabel Lampiran 4). Kuantifikasi derajat infeksi FMA menggunakan metode gridline (Kormanik & McGraw 1982) dan dihitung dengan rumus :

63

Dimana :

Yn =akar yang terinfeksi pada kisi ke-n Xn =akar yang diamati pada kisi ke-n n = banyaknya kisi-kisi

2. Panjang akar (cm). Pada saat panen terakhir tanaman dicabut secara perlahan dengan menyiram air terlebih dahulu agar mudah mencabutnya dan akar tidak putus. Akar dibersihkan dari tanah menggunakan air mengalir kemudian diukur dari pangkal hingga ujung akar.

3. Tinggi tanaman (cm). Pengukuran dilakukan dari permukaan tanah sampai pucuk dari cabang tertinggi pada saat tanaman berumur 12 minggu setelah bibit ditanam.

4. Bobot kering tajuk (g/tanaman). Pada saat panen berakhir tanaman dicabut, akarnya dibersihkan dari tanah dan dipotong pada pangkal batang. Bagian atas tanaman (tajuk) dikeringanginkan, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 70oC selama 2-4 hari. Pengukuran bobot kering tajuk dilakukan dengan timbangan analitik.

5. Jumlah buah panen per tanaman. Pemanenan dilakukan apabila 50% dari permukaan buah telah mengalami perubahan warna menjadi merah. Buah yang dipanen tidak terserang hama penyakit serta bentuk dan ukurannya normal.

6. Panjang buah (cm). Pengukuran dilakukan dari pangkal sampai ujung buah terhadap buah yang dipanen.

7. Bobot per buah (g). Dihitung dari bobot buah yang dipanen dibagi jumlah buah panen.

8. Bobot buah panen per tanaman (g/tanaman). Penimbangan dilakukan terhadap semua buah yang dipanen, kemudian dihitung secara kumulatif hingga panen terakhir.

Hasil dan Pembahasan Derajat Infeksi FMA

Kemampuan Gigaspora margarita menginfeksi akar terlihat berbeda antar genotipe cabai pada kondisi tercekam Al (Tabel 20). Pada kondisi tercekam Al, derajat infeksi FMA tertinggi terdapat pada genotipe toleran dan berbeda nyata

dengan genotipe peka. Sebaliknya, pada kondisi tanpa cekaman Al derajat infeksi FMA tidak berbeda di antara kedua genotipe cabai. Secara umum kemampuan

Gigaspora margarita menginfeksi akar pada percobaan ini termasuk kriteria tinggi, karena derajat infeksi terendah yang diperoleh sebesar 68.86 %. Kriteria derajat infeksi FMA yang tergolong tinggi jika persen akar terinfeksinya > 30% (O’Connor et al. 2001).

Tabel 20. Pengaruh cekaman Al terhadap derajat infeksi Gigaspora margarita

pada beberapa genotipe cabai

Derajat infeksi FMA pada kondisi :

Genotipe cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan derajat infeksi FMA (%) --- % --- PBC 619 88.52 a 80.36 b 9.22 Jatilaba 89.05 a 79.08 b 11.19 Cilibangi 3 89.72 a 68.86 c 23.24 Helm 88.74 a 69.00 c 22.25

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Adanya cekaman Al menurunkan derajat infeksi FMA pada akar kedua genotipe. Penurunan derajat infeksi FMA pada genotipe peka terlihat lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran. Pada genotipe peka penurunannya sebesar 23.24% pada Cilibangi 3 (turun dari 89.79% menjadi 68.86%) dan 22.25% pada Helm (turun dari 88.74% menjadi 69.00%). Sementara pada genotipe toleran penurunan derajat infeksi FMA hanya sebesar 9.22% pada PBC 619 (turun dari 88.52% menjadi 80.36%) dan 11.19% pada Jatilaba (turun dari 89.05% menjadi 79.08%). Penurunan derajat infeksi berkaitan dengan pertumbuhan tanaman inangnya. Pertumbuhan tanaman akan menurun jika terkena cekaman Al, sehingga pada akhirnya akan menurunkan asimilat sebagai sumber energi bagi FMA. Perkembangan FMA dan produksi spora membutuhkan energi yang diperoleh melalui penyerapan C organik dari tanaman inang (Smith & Read 1997).

Tanggap Beberapa Genotipe Cabai Terhadap Cekaman Al

Hasil analisis ragam memperlihatkan adanya interaksi antara genotipe cabai dan kondisi cekaman Al pada semua karakter yang diamati (Tabel Lampiran 3). Interaksi tersebut mengindikasikan bahwa tanggap genotipe cabai pada kondisi tanpa cekaman Al akan berbeda dengan kondisi tercekam Al pada

65

karakter panjang akar, tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah panen, panjang buah, bobot per buah dan bobot buah panen.

Panjang akar. Pada kondisi tanpa cekaman Al, panjang akar antar genotipe tidak berbeda nyata (Tabel 21). Perbedaan terlihat nyata pada kondisi tercekam Al, dimana pertumbuhan akar pada genotipe toleran (PBC 619 dan Jatilaba) lebih panjang dibandingkan genotipe peka (Cilibangi 3 dan Helm).

Tabel 21. Perbedaan panjang akar akibat cekaman Al pada beberapa genotipe cabai

Panjang akar pada kondisi : Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan panjang akar (%) --- cm --- PBC 619 31.6 a 24.4 ab 22.8 Jatilaba 29.6 a 22.7 b 23.3 Cilibangi 3 30.7 a 14.9 c 51.5 Helm 31.5 a 15.7 c 50.2

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Cekaman Al menurunkan panjang akar secara nyata, kecuali pada genotipe PBC 619. Penurunan panjang akar pada genotipe toleran lebih rendah dibandingkan genotipe peka. Pada genotipe toleran terjadi penurunan panjang akar sebesar 22.8% (dari 31.6 cm turun menjadi 24.4 cm) untuk PBC 619 dan 23.3% (dari 29.6 cm turun menjadi 22.7 cm) untuk Jatilaba. Pada genotipe peka terjadi penurunan panjang akar sebesar 51.5% (dari 30.7 cm turun menjadi 14.9 cm) untuk Cilibangi 3 dan 50.2% (dari 31.5 cm turun menjadi 15.7 cm) untuk Helm.

Perakaran tanaman merupakan target utama yang mengalami kerusakan bila tanaman keracunan Al. Oleh karena itu peubah panjang akar menjadi indikator penting untuk melihat kemampuan tanaman beradaptasi pada tanah ultisol yang mempunyai kandungan Al tinggi. Pada penelitian ini genotipe PBC 619 dan Jatilaba mengalami penurunan panjang akar yang lebih kecil dibandingkan genotipe Cilibangi 3 dan Helm. Penurunan panjang akar yang lebih kecil menunjukkan genotipe PBC 619 dan Jatilaba mempunyai daya adaptasi terhadap cekaman Al yang lebih baik dibandingkan genotipe Cilibangi 3 dan Helm. Hasil penelitian lain pada jagung (Pellet et al. 1995), gandum (Samuel et al. 1997), kedelai (Sopandie 1999) dan padi gogo (Sutaryo et al.

2005; Bakhtiar et al. 2007) memperlihatkan hal yang sama, dimana pada kondisi tercekam Al pertumbuhan perakaran tanaman toleran lebih panjang dibandingkan tanaman yang peka. Genotipe dengan sistem perakaran yang lebih panjang dan lebat pada kondisi tercekam Al, akan lebih mampu untuk beradaptasi pada tanah mineral masam (Matsumoto et al. 1996; Bushamuka & Zobel 1998).

Tinggi tanaman. Tinggi tanaman pada kondisi tanpa cekaman Al tidak berbeda nyata antar genotipe (Tabel 22). Perbedaan terlihat nyata pada kondisi tercekam Al, dimana pertumbuhan tanaman pada genotipe toleran (PBC 619 dan Jatilaba) lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan genotipe peka (Cilibangi 3 dan Helm).

Tabel 22. Perbedaan tinggi tanaman akibat cekaman Al pada beberapa genotipe cabai

Tinggi tanaman pada kondisi cekaman Al: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan tinggi tanaman (%) --- cm --- PBC 619 67.9 a 58.0 b 14.6 Jatilaba 69.7 a 58.2 b 16.5 Cilibangi 3 64.1 ab 38.7 c 39.6 Helm 61.9 ab 36.9 c 40.4

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Kondisi tercekam Al menyebabkan penurunan tinggi tanaman secara nyata pada semua genotipe. Penurunan pada genotipe peka terlihat lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran. Pada genotipe toleran penurunan tinggi tanaman hanya sebesar 14.6% (turun dari 67.9 cm menjadi 58.0 cm) untuk PBC 619 dan 16.5% (turun dari 69.7 cm menjadi 58.2 cm) untuk Jatilaba. Sementara pada genotipe peka penurunannya sebesar 39.6% (turun dari 64.1 cm menjadi 38.7 cm) untuk Cilibangi 3 dan 40.4% (turun dari 61.9 cm menjadi 36.9 cm) untuk Helm. Hal ini menunjukkan tanggap tinggi tanaman pada genotipe toleran lebih baik dibandingkan genotipe peka Al.

Bobot kering tajuk. Pada kondisi tanpa cekaman Al, bobot kering tajuk antar genotipe tidak berbeda nyata (Tabel 23). Perbedaan terlihat nyata pada kondisi tercekam Al, dimana bobot kering tajuk pada genotipe toleran (PBC 619 dan Jatilaba) lebih berat dibandingkan genotipe peka (Cilibangi 3 dan Helm).

67

Tabel 23. Perbedaan bobot kering tajuk akibat cekaman Al pada beberapa genotipe cabai

Bobot kering tajuk pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan bobot kering tajuk (%) --- g/tanaman --- PBC 619 60.67 a 51.99 b 14.30 Jatilaba 58.64 a 47.03 b 19.81 Cilibangi 3 57.82 a 32.46 c 43.87 Helm 57.39 a 34.02 c 40.72

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Penurunan bobot kering tajuk akibat cekaman Al pada genotipe peka terlihat lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran. Pada genotipe toleran terjadi penurunan bobot kering tajuk sebesar 14.30% (turun dari 60.67 g menjadi 51.99 g) untuk PBC 619 dan 19.81% (turun dari 58.64 g menjadi 47.03 g) untuk Jatilaba. Pada genotipe peka terjadi penurunan bobot kering tajuk sebesar 43.87% (turun dari 57.82 g menjadi 32.46 g) untuk Cilibangi 3 dan 40.72% (turun dari 57.39 g menjadi 34.02 g) untuk Helm. Tingkat penurunan yang berbeda tersebut menunjukkan adanya perbedaan tanggap terhadap cekaman Al pada keempat genotipe cabai. Tanggap genotipe PBC 619 dan Jatilaba terhadap cekaman Al lebih baik karena pada kondisi tercekam Al penurunan bobot kering tajuknya 2 sampai 3 kali lebih rendah dibandingkan genotipe Cilibangi 3 dan Helm.

Jumlah buah panen. Genotipe cabai yang tercekam Al akan mengalami penurunan jumlah buah panen. Pada kondisi tercekam Al, jumlah buah yang dihasilkan pada genotipe toleran lebih tinggi dan sangat nyata perbedaannya dengan genotipe peka (Tabel 24). Dengan demikian, penurunan jumlah buah panen akibat cekaman Al pada genotipe toleran menjadi lebih rendah dibandingkan genotipe peka. Tingkat penurunan yang rendah menunjukkan tanggapnya terhadap cekaman Al lebih baik. Pada genotipe toleran terjadi penurunan jumlah buah panen sebesar 17.5% (turun dari 51.5 menjadi 42.5 buah) untuk PBC 619 dan 21.7% (turun dari 50.7 menjadi 39.7 buah) untuk Jatilaba. Pada genotipe peka terjadi penurunan jumlah buah panen sebesar 50.4% (turun dari 45.0 menjadi 22.3 buah) untuk Cilibangi 3 dan 50.2% (turun dari 43.8 menjadi 21.8 buah) untuk Helm.

Tabel 24. Perbedaan jumlah buah panen akibat cekaman Al pada beberapa genotipe cabai

Jumlah buah panen pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan jumlah buah panen (%) PBC 619 51.5 a 42.5 c 17.5 Jatilaba 50.7 ab 39.7 c 21.7 Cilibangi 3 45.0 bc 22.3 d 50.4 Helm 43.8 c 21.8 d 50.2

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Panjang buah. Pada kondisi tanpa cekaman Al, panjang buah pada semua genotipe tidak berbeda nyata (Tabel 25). Perbedaan terlihat nyata pada kondisi tercekam Al, dimana genotipe toleran (PBC 619 dan Jatilaba) menghasilkan buah lebih panjang dibandingkan genotipe peka (Cilibangi 3 dan Helm).

Tabel 25. Perbedaan panjang buah akibat cekaman Al pada genotipe cabai Panjang buah pada kondisi:

Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan panjang buah (%) --- cm --- PBC 619 12.2 a 11.0 ab 9.8 Jatilaba 12.1 ab 10.5 b 13.2 Cilibangi 3 11.8 ab 8.0 c 32.2 Helm 12.1 ab 8.1 c 33.1

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Kondisi tercekam Al menyebabkan penurunan panjang buah, namun pada genotipe peka penurunan terlihat lebih nyata dibandingkan genotipe toleran. Pada genotipe toleran penurunan panjang buah hanya sebesar 9.8% (turun dari 12.2 cm menjadi 11.0 cm) pada PBC 619 dan 13.2% (turun dari 12.1 cm menjadi 10.5 cm) pada Jatilaba. Sementara pada genotipe peka terjadi penurunan panjang buah sebesar 32.2% (turun dari 11.8 cm menjadi 8.0 cm) pada Cilibangi 3 dan 33.1% (turun dari 12.1 cm menjadi 8.1 cm) pada Helm.

Bobot per buah. Tanggap genotipe terlihat berbeda pada kedua kondisi cekaman Al. Pada kondisi tanpa cekaman Al, bobot per buah yang dihasilkan keempat genotipe tidak berbeda nyata. Sementara itu perbedaan yang nyata terlihat pada kondisi tercekam Al, dimana genotipe PBC 619 dan Jatilaba

69

menghasilkan bobot per buah lebih tinggi dibandingkan genotipe Cilibangi 3 dan Helm (Tabel 26).

Tabel 26. Perbedaan bobot per buah akibat cekaman Al pada beberapa genotipe cabai

Bobot per buah pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan bobot per buah (%) --- g --- PBC 619 7.09 a 6.65 a 6.11 Jatilaba 7.04 a 6.66 a 5.35 Cilibangi 3 6.93 a 4.65 b 32.88 Helm 6.79 a 4.68 b 31.05

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Kondisi tercekam Al menyebabkan penurunan bobot per buah, namun pada genotipe toleran penurunannya terlihat tidak nyata terhadap kondisi tanpa cekaman Al, sedangkan pada genotipe peka terlihat nyata. Pada genotipe toleran penurunan bobot per buah hanya sebesar 6.11% (turun dari 7.09 g menjadi 6.65 g) pada PBC 619 dan 5.35% (turun dari 7.04 g menjadi 6.66 g) pada Jatilaba. Sementara itu pada genotipe peka terjadi penurunan bobot per buah sebesar 32.88% (turun dari 6.93 g menjadi 4.65 g) pada Cilibangi 3 dan 31.05% (turun dari 6.79 g menjadi 4.68 g) pada Helm.

Bobot buah panen. Perbedaan bobot buah panen terlihat nyata pada kondisi tercekam Al, dimana bobot buah panen pada genotipe toleran (PBC 619 dan Jatilaba) lebih tinggi dibandingkan genotipe peka (Cilibangi 3 dan Helm). Adanya cekaman Al dapat menurunkan bobot buah panen, namun tingkat penurunannya terlihat berbeda antar genotipe (Tabel 27).

Tabel 27. Perbedaan bobot buah panen akibat cekaman Al pada beberapa genotipe cabai

Bobot buah panen pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan bobot buah panen (%) --- g/tanaman --- PBC 619 315.76 a 282.19 a 10.63 Jatilaba 308.34 a 277.88 a 9.88 Cilibangi 3 290.53 a 190.59 b 34.40 Helm 284.30 a 183.85 b 35.33

Keterangan : Angka pada baris dan kolom yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf 5%

Penurunan bobot buah panen akibat cekaman Al pada genotipe toleran terlihat tidak nyata terhadap kondisi tanpa cekaman Al. Sementara itu pada genotipe peka yang tercekam Al, penurunan bobot buah panen terlihat nyata dan lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran. Pada genotipe toleran penurunan

Dokumen terkait