• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan produktivitas cabai pada tanah Ultisol melalui pendekatan pengelolaan tanaman dapat dilakukan dengan penggunaan genotipe toleran Al. Pada penelitian ini telah diseleksi 20 genotipe cabai untuk mengidentifikasi genotipe toleran Al. Seleksi genotipe cabai untuk toleransi Al dilakukan dengan metode penapisan dan evaluasi menggunakan media tanah ultisol. Penggunaan media tanah Ultisol pada penelitian ini untuk memberikan tekanan cekaman Al yang mendekati kondisi tanah Ultisol di lapangan. Selain itu, media ini lebih mudah dan murah sehingga dapat dilakukan di daerah penyebaran tanah Ultisol.

Perlakuan cekaman Al menyebabkan pertumbuhan akar tertekan yang ditunjukkan oleh penurunan panjang akar dan bobot kering akar (Tabel 5). Penapisan terhadap 20 genotipe cabai yang didasarkan pada nilai panjang akar relatif (relative root length = RRL) diperoleh sebanyak 5 genotipe toleran, 3 genotipe moderat dan 12 genotipe peka Al (Tabel 6). Pada kondisi tercekam Al, penurunan panjang akar kelima genotipe toleran tidak nyata dibandingkan kondisi tanpa cekaman Al. Sebaliknya, pada 15 genotipe lainnya penurunan panjang akarnya nyata dibandingkan kondisi tanpa cekaman Al. Tanggap panjang akar merupakan indikator penting untuk adaptasi tanaman terhadap cekaman Al (Kochian et al. 2004; Watanabe & Okada 2005).

Genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura yang memiliki panjang akar relatif tertinggi serta genotipe Cilibangi 3, PBC 549, Tit Bulat dan Helm yang memiliki panjang akar relatif terendah kemudian dievaluasi untuk melihat konsistensi toleransinya pada karakter komponen pertumbuhan dan hasil. Tanggap genotipe cabai terhadap cekaman Al terlihat beragam pada karakter bobot kering tajuk, jumlah buah total, jumlah buah panen dan bobot buah panen, sehingga karakter tersebut dapat digunakan sebagai pembeda genotipe toleran dan peka Al (Tabel 15). Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa interaksi antara genotipe cabai dan cekaman Al terlihat nyata pada karakter tersebut (Tabel Lampiran 2). Sementara itu, karakter tinggi tanaman, bobot per buah dan panjang buah tidak dianjurkan sebagai karakter seleksi karena tidak terdapat perbedaan tanggap genotipe cabai terhadap cekaman Al.

Pada kondisi tercekam Al, genotipe PBC 619, Cilibangi 5, Jatilaba dan Jayapura mengalami penurunan bobot kering tajuk, jumlah buah total dan jumlah buah panen kurang dari 50%, sedangkan pada genotipe PBC 549, Cilibangi 3, Tit Bulat dan Helm mengalami penurunan lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe PBC 619, Cilibangi 5, Jatilaba dan Jayapura memiliki kemampuan adaptasi terhadap cekaman Al yang lebih baik dibandingkan genotipe PBC 549, Cilibangi 3, Tit Bulat dan Helm. Kemampuan adaptasi yang baik tersebut juga ditunjukkan oleh penurunan hasil yang lebih rendah dibandingkan PBC 549, Cilibangi 3, Tit Bulat dan Helm. Bobot buah panen dari genotipe PBC 619, Cilibangi 5, Jatilaba dan Jayapura tidak mengalami penurunan yang nyata akibat tercekam Al, yaitu kurang dari 20%, sebaliknya pada genotipe PBC 549, Cilibangi 3, Tit Bulat dan Helm mengalami penurunan yang nyata lebih dari 50% (lihat Tabel 14). Penurunan pertumbuhan dan hasil yang tinggi berkaitan dengan ketersediaan hara yang tidak optimum untuk pertumbuhan tanaman akibat terhambatnya pertumbuhan akar sehingga penyerapan hara dan air menjadi rendah (Zheng et al. 2005; Spehar & Sauza 2006). Pada kondisi tercekam Al, panjang akar genotipe PBC 549, Cilibangi 3, Tit Bulat dan Helm lebih pendek dibandingkan genotipe PBC 619, Cilibangi 5, Jatilaba dan Jayapura (Tabel 6).

Secara umum hasil evaluasi berdasarkan karakter bobot kering tajuk, jumlah buah total, jumlah buah panen dan bobot buah panen menunjukkan adanya konsistensi dengan hasil penapisan berdasarkan karakter panjang akar. Korelasi yang positif dan nyata antara karakter panjang akar dan bobot buah panen (Gambar 6) dapat memperkuat adanya konsistensi hasil seleksi pada metode penapisan dan evaluasi. Adanya konsistensi hasil penapisan dan evaluasi, serta korelasi tersebut mengindikasikan bahwa metode penapisan berdasarkan karakter panjang akar sama efektifnya dengan evaluasi berdasarkan karakter bobot buah panen. Dengan demikian, untuk menghemat waktu dan tenaga maka seleksi toleransi Al pada cabai dapat dilakukan dengan metode penapisan berdasarkan karakter panjang akar relatif pada fase vegetatif.

Pengaruh buruk cekaman Al yang diperlihatkan pada hasil penapisan dan evaluasi menyebabkan penurunan panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, jumlah buah total, jumlah buah panen dan bobot buah panen. Pengaruh

95 buruk dari cekaman Al tersebut lebih terlihat nyata pada genotipe peka karena dapat mengakibat penurunan pertumbuhan dan hasil lebih dari 50%. Genotipe dengan pertumbuhan akar yang terhambat dapat ditingkatkan daya adaptasinya melalui simbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Fungsi akar dalam penyerapan hara dan air dapat dibantu oleh hifa eksternal dari FMA yang dapat tumbuh secara ekspansif sampai ke lapisan subsoil (Cumming & Ning. 2003; Rohyadi et al. 2004; Saini et al. 2004).

Kompatibilitas jenis FMA dengan cabai didasarkan pada kemampuan menginfeksi akar dan peningkatan bobot kering akar serta tajuk tanaman cabai akibat inokulasi FMA. Secara umum, diantara jenis FMA yang diuji, Gigaspora margarita memberikan manfaat tertinggi pada genotipe toleran maupun peka. Peningkatan bobot kering akar dan tajuk pada kedua genotipe cabai yang diinokulasi Gigaspora margarita cenderung lebih tinggi dibandingkan Glomus manihotis, Glomus etunicatum dan Acaulospora sp. Derajat infeksi jenis Gigaspora margarita juga cenderung lebih tinggi dibandingkan ketiga jenis FMA tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Gigaspora margarita mempunyai kompatilitas yang tinggi dengan cabai. Kompatibilitas FMA sangat tergantung pada jenis FMA, genotipe tanaman, dan kondisi tanah serta interaksi ketiganya (Brundrett et al. 1996). Adanya infeksi yang tinggi mengindikasikan adanya keterlibatan eksudat flavonoid dan ketersediaan fotosintat yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan propagul Gigaspora margarita. Propagul FMA mampu menginfeksi akar tanaman inang karena adanya sinyal berupa eksudat flavonoid dari akar (Gianinazzi-Pearson et al., 1989; Smith dan Read 1997). Energi untuk perkembangan propagul berasal dari C-organik yang diperoleh secara langsung dari tanaman inang (Mc Gee et al., 1999).

Inokulasi Gigaspora margarita dapat meningkatkan kemampuan adaptasi cabai terhadap cekaman Al, terutama pada genotipe peka Al. Peningkatan daya adaptasi ditunjukkan melalui peningkatan bobot buah panen dengan adanya inokulasi Gigaspora margarita, bahkan pada genotipe peka bobot buah panen yang dihasilkan tidak berbeda dengan kontrol maupun genotipe toleran (Tabel 30). Adanya peningkatan tersebut menunjukkan bahwa inokulasi Gigaspora margarita efektif mengurangi kehilangan hasil akibat pengaruh buruk cekaman Al .

Efektivitas FMA tersebut terlihat lebih tinggi pada genotipe peka dibandingkan genotipe toleran. Pada kondisi tercekam Al, inokulasi Gigaspora margarita pada genotipe peka dapat meningkatkan bobot buah panen sebesar 94.49% pada Cilibangi 3 dan 80.37% pada Helm. Sebaliknya pada genotipe toleran, peningkatan bobot buah panen hanya sebesar 5.78% pada genotipe PBC 619 dan 6.30 % pada Jatilaba. Berkaitan dengan efektivitas FMA tersebut, maka budidaya cabai pada tanah Ultisol dapat menggunakan genotipe lain yang peka, namun perlu aplikasi FMA yang kompatibel dan efektif, seperti jenis Gigaspora margarita.

Tanggap genotipe toleran terhadap inokulasi Gigaspora margarita pada peningkatan bobot buah panen terlihat tidak nyata, padahal pada peningkatan jumlah buah panen terlihat nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah buah panen tidak selalu meningkatkan bobot buah panen. Perbedaan tanggap pada kedua karakter tersebut disebabkan karena peningkatan jumlah buah panen pada genotipe toleran tidak disertai dengan peningkatan bobot per buah yang tinggi sehingga peningkatan bobot buahnya menjadi rendah. Sementara itu, peningkatan jumlah buah pada genotipe peka disertai dengan peningkatan bobot per buah yang tinggi sehingga peningkatan bobot buah panennya menjadi tinggi (Gambar 8).

Aplikasi FMA dalam budidaya cabai pada tanah Ultisol juga memberikan keuntungan secara ekonomi karena dapat menghemat biaya produksi dibandingkan penggunaan kapur. Berdasarkan data penelitian ini, untuk populasi 20 000 tanaman per hektar (jarak tanam 75 x 50 cm) dengan dosis 10 g inokulum per tanaman dibutuhkan inokulum FMA sebanyak 200 kg. Harga per kg inokulum FMA sebesar Rp 40 000, maka biaya yang dibutuhkan untuk membeli inokulum FMA per hektarnya sebesar Rp 8 000 000. Sementara untuk menurunkan kelarutan Al dari 30.08 menjadi 0.24 me/100 g atau kejenuhan Al 0.77% serta menaikkan pH tanah dari 4.2 menjadi 5.4 dibutuhkan kapur sebanyak 36 ton per hektar. Harga per kg kapur CaCO3 sebesar Rp 800, maka biaya yang

dibutuhkan untuk membeli kapur CaCO3 per hektarnya sebesar Rp 28 800 000. Dari perhitungan tersebut, aplikasi FMA dapat menghemat biaya produksi sebesar Rp 28 800 000 – Rp 8 000 000 = Rp 20 800 000.

97 Inokulum FMA dapat diperbanyak di lokasi penanaman cabai sehingga biaya pembelian inokulum sebagai starter dapat ditekan. Pada penelitian ini, perbanyakan inokulum Gigaspora margarita menggunakan media zeolit mampu menghasilkan propagul sebanyak 223.3 unit per gram media. Perbanyakan inokulum di daerah yang jauh dari produsen zeolit dapat menggunakan campuran tanah dan pasir (Anas & Tampubolon 2004).

Kemampuan adaptasi cabai terhadap cekaman Al berkaitan dengan perubahan fisiologi yang terjadi dalam jaringan tanaman. Adanya cekaman Al menyebabkan peningkatan kandungan asam-asam organik dalam akar maupun tajuk (Tabel 32). Pada cabai, peningkatan kandungan asam-asam organik terlihat nyata pada asam malat dan sitrat baik dalam jaringan akar maupun tajuk, sedangkan pada kandungan asam oksalat peningkatannya terlihat tidak nyata. Pada kondisi tercekam Al, kandungan asam malat pada genotipe toleran meningkat sebesar 183.09% pada akar dan 81.64% pada tajuk, sedangkan pada genotipe peka peningkatannya hanya sebesar 91.94% pada akar dan 33.57% pada tajuk. Tanggap yang sama juga diperlihatkan pada perubahan kandungan asam sitrat, dimana pada genotipe toleran meningkat sebesar 112.87% pada akar dan 62.77% pada tajuk, sedangkan pada genotipe peka peningkatannya hanya sebesar 67.34% pada akar dan 24.62% pada tajuk. Pada kondisi tercekam Al, asam-asam organik lebih banyak diakumulasi di akar dibandingkan di tajuk (Gambar 9). Adanya akumulasi asam-asam organik di akar disebabkan karena akar merupakan target utama keracunan Al, sehingga terjadi translokasi asam-asam organik dari tajuk ke akar (Matsumoto et al. 2003; Enggarini & Marwani 2006). Hal yang sama juga terjadi pada beberapa tanaman, yaitu tomat (Enggarini & Marwani 2006), kedelai (Kasim et al. 2001) dan jagung (Suhayda & Haug 1986).

Peningkatan kandungan asam organik terutama asam malat dan sitrat pada genotipe toleran menunjukkan adanya peranan asam organik tersebut dalam mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al. Pada kondisi tercekam Al, genotipe toleran mampu mensintesis asam organik lebih banyak dibandingkan genotipe peka. Namun demikian, kandungan Al dalam tajuk maupun akar pada genotipe ini lebih rendah dibandingkan genotipe peka (Tabel 34). Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi genotipe toleran dilakukan melalui mekanisme eksternal, karena

peningkatan sintesis asam organik pada genotipe ini tidak diikuti dengan peningkatan serapan Al sebagaimana lazimnya pada mekanisme internal. Lebih tingginya kandungan asam organik pada akar mengindikasikan adanya eksudasi asam organik untuk mengkelat Al di rizosfir sehingga Al yang diserap genotipe toleran lebih sedikit dibandingkan genotipe peka. Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan peranan eksudasi asam organik tersebut.

Kemampuan adaptasi genotipe peka dapat diperbaiki melalui pemanfaatan simbiosis dengan FMA. Inokulasi Gigaspora margarita pada genotipe peka mampu meningkatkan kandungan N dan P dalam akar maupun tajuk lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran (Tabel 35). Peningkatan kemampuan adaptasi genotipe peka dilakukan oleh FMA melalui peningkatan pertumbuhan akar yang ditunjukkan oleh peningkatan panjang akar dan bobot kering akar yang tinggi pada genotipe ini (Gambar 9 dan Tabel 19). Pada kondisi tercekam Al, peningkatan panjang akar dan bobot kering akar sangat diperlukan untuk meningkatkan serapan hara. Selain itu, peningkatan kadar hara oleh FMA juga berkaitan dengan adanya ekspansi hifa eksternal (Cruz et al. 2004) dan kemampuan FMA menginduksi aktifitas fosfatase asam yang berperan dalam pelarutan P sehingga menjadi tersedia bagi tanaman (Joner & Johansen 2000).

Keefektifan Gigaspora margarita perlu dikaji lebih lanjut pada kondisi lapangan karena sering juga terjadi cekaman kekeringan pada saat musim kemarau. Kondisi lingkungan dengan cekaman yang beragam maupun jenis tanaman yang berbeda dapat mempengaruhi keefektifan jenis FMA. Pada kondisi tercekam kekeringan, FMA jenis Glomus etunicatum yang lebih efektif meningkatkan kemampuan adaptasi kedelai dibandingkan Gigaspora margarita (Hapsoh et al. 2005).

Dokumen terkait