• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian yang bertujuan untuk mengkonfirmasi konsistensi antara hasil penapisan panjang akar dan evaluasi tanggap pertumbuhan dan hasil cabai terhadap cekaman Al telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB dari bulan Februari 2006 sampai Agustus 2006. Penanaman dilakukan di polibag yang bermedia tanah Ultisol dari Gajrug, Lebak, Banten. Sebanyak 8 genotipe cabai hasil penapisan uji hayati akar, terdiri atas 4 genotipe toleran dan 4 genotipe peka, diuji pada dua kondisi cekaman Al yaitu kondisi tanpa cekaman Al (kejenuhan Al 0.77%) dan tercekam Al (kejenuhan Al 60.85%). Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah total, jumlah buah panen, panjang buah, bobot per buah dan bobot buah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tanggap terhadap cekaman Al diantara genotipe yang dievaluasi. Genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura terpilih sebagai genotipe toleran Al, sedangkan genotipe Cilibangi 3, Helm, Tit Bulat dan PBC 549 terpilih sebagai genotipe peka Al. Hasil evaluasi karakter agronomi untuk sifat toleran dan peka terhadap cekaman Al terlihat konsisten dengan hasil uji hayati akar. Berdasarkan konsistensi tersebut, maka metode uji hayati akar dapat digunakan dalam seleksi genotipe cabai untuk toleransi terhadap cekaman Al.

Kata kunci : evaluasi, cekaman aluminium, cabai, Ultisol

Abstract

The aim of this research were to confirm the consistency of the results from previous root bioassay and to evaluate growth and yield of chili in response to aluminum (Al) stress. The research was conducted in University Farm of IPB, Cikabayan, Bogor, from February to August 2006. The media was Ultisol from Gajrug (Lebak, Banten) in polybag. Eight genotypes of chili from previous study (4 tolerant and 4 sensitive) were tested on two different conditions, in media without Al-stress condition (Al saturation 0.77%) and Al-stress (Al saturation 60.85%). Characters observed were plant height, shoot dry weight, total number of the fruit, number of harvested fruit, fruit length, weight of each fruit, and weight of harvested fruits. The results showed that there were different responses to Al-stress among genotypes. The genotypes PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 and Jayapura were consistent as tolerant genotypes, while Cilibangi 3, Helm, Tit Bulat and PBC 549 were sensitive. Based on this result, the root bioassay method is recommended to be used to select chili genotypes for Al-stress tolerance.

Pendahuluan

Adanya cekaman Al pada tanah-tanah Ultisol dapat menjadi kendala dalam pengembangan tanaman cabai di tanah tersebut. Pada tanah Ultisol dengan kondisi pH tanah kurang dari 5, kelarutan Al akan didominasi oleh Al3+ dan bersifat racun bagi tanaman (Marschner 1995; Ma et al. 2001). Perakaran tanaman merupakan target utama kerusakan oleh Al sehingga tanaman yang keracunan Al pertumbuhan akarnya terhambat. Terhambatnya pertumbuhan akar akibat keracunan Al disebabkan oleh kerusakan pada sel tudung akar akibat akumulasi Al yang tinggi pada inti sel (Matsumoto et al. 1996; Sopandie et al. 2003). Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi pengaruh buruk Al menjadi penting dilakukan untuk mengurangi kendala pada tanah Ultisol, salah satunya dengan penggunaan genotipe toleran.

Toleransi tanaman terhadap Al merupakan faktor yang penting untuk adaptasi pada tanah Ultisol. Tanaman yang toleran terhadap cekaman Al memiliki kemampuan menekan pengaruh buruk Al dengan cara mengurangi serapan ion Al3+ oleh akar dan menetralkan pengaruh racun Al dalam jaringan, sehingga pertumbuhan akar tidak terganggu (Watanabe & Osaki 2002; Sopandie

et al. 2003). Pertumbuhan akar yang panjang memiliki bidang jelajah per satuan volume tanah yang lebih besar jika dibandingkan dengan akar yang pendek sehingga kemampuan pengambilan hara dan air lebih besar. Pertumbuhan akar yang demikian merupakan ciri tanaman yang mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap cekaman Al pada tanah Ultisol (Matsumoto et al. 1996; Bushamuka & Zobel 1998).

Penapisan berdasarkan panjang akar relatif pada fase vegetatif terhadap 20 genotipe cabai merah telah dilakukan pada percobaan sebelumnya dan diperoleh 5 genotipe yang berpotensi toleran terhadap Al, yaitu PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5, Jayapura, dan Marathon. Hasil penapisan tersebut masih memerlukan pengujian lanjut berdasarkan tanggap pertumbuhan dan hasil, karena hasil penapisan dapat saja berubah tergantung pada lamanya terkena cekaman Al. Pada tanaman

Phaseolus vulgaris, genotipe toleran akan menjadi peka setelah diberi Al selama 8 jam (Cuming et al. 1992). Berdasarkan hal tersebut, maka hasil penapisan

35

berdasarkan panjang akar relatif perlu dievaluasi melalui pengujian sampai periode panen.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari konsistensi tanggap genotipe cabai terhadap cekaman Al antara hasil penapisan berdasarkan panjang akar relatif dan hasil evaluasi berdasarkan tanggap pertumbuhan dan hasil. Dari hasil penelitian ini akan diperoleh genotipe cabai yang mempunyai kemampuan adaptasi tinggi dan konsisten terhadap cekaman Al pada tanah Ultisol.

Bahan dan Metode Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan, University Farm, IPB, berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 2006.

Bahan Penelitian

Genotipe yang digunakan adalah 8 genotipe cabai (4 toleran dan 4 peka Al) dari hasil penapisan melalui uji hayati akar. Nama genotipe terdapat pada Tabel 7. Media tanah Ultisol diambil dari Gajrug, Kabupaten Lebak, Banten yang mempunyai pH 4.2 dengan kandungan Al-dd 30.08 me/100 g tanah dan kejenuhan Al 83.81%. Bahan lain yang digunakan antara lain kapur CaCO3,

pupuk urea, SP36, dan KCl.

Tabel 7. Nama genotipe cabai hasil penapisan berdasarkan panjang akar pada fase vegetatif yang dievaluasi untuk toleransi terhadap cekaman Al

Genotipe cabai Kriteria hasil penapisan

PBC 619 Toleran Cilibangi 5 Toleran Jatilaba Toleran Jayapura Toleran PBC 549 Peka Cilibangi 3 Peka

Tit Bulat Peka

Helm Peka

Metode Penelitian

Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dengan 2 faktor perlakuan, dan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 4 ulangan. Faktor pertama adalah 8 genotipe cabai (hasil penapisan sebelumnya), yaitu: PBC 619, Cilibangi 5, Jatilaba, Jayapura, PBC 549, Cilibangi 3, Tit Bulat dan Helm.

Faktor kedua adalah kondisi cekaman pada tanah ultisol, yaitu: kondisi tanpa cekaman Al (kejenuhan Al 0.77%) dan kondisi tercekam Al (kejenuhan Al 60.85%) . Percobaan ini terdiri dari 8 x 2 x 4 = 64 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 4 polibag.

Model linier rancangan yang digunakan adalah : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Dimana,

Yijk = hasil pengamatan dari perlakuan genotipe cabai ke i dan kondisi

cekaman ke j pada ulangan ke k

µ = nilai rataan umum

αi = pengaruh perlakuan genotipe cabai ke i

βj = pengaruh perlakuan kondisi cekaman ke j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara genotipe ke i dan kondisi cekaman ke j

εijk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan genotipe cabai ke i dan

kondisi cekaman ke j pada ulanganke k i = 1, 2, ..., 8

j = 1, 2

k = 1, 2, 3, 4

Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan analisis ragam dan jika menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata, selanjutnya dilakukan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Penentuan kriteria toleransi genotipe cabai didasarkan pada nilai penurunan tanggap genotipe tersebut terhadap cekaman Al. Pengelompokan toleransi terhadap cekaman Al mengacu pada kriteria yang telah dimodifikasi dari Matsumoto et al. (1996), yaitu :

Toleran : jika nilai penurunan < 50% dan tanggap tanaman pada kondisi tercekam Al tidak berbeda nyata dengan kondisi tanpa cekaman Al. Moderat : jika nilai penurunan < 50% tetapi tanggap tanaman pada kondisi

tercekam Al berbeda nyata dengan kondisi tanpa cekaman Al. Peka : jika nilai penurunan ≥ 50% dan tanggap tanaman pada kondisi

tercekam Al berbeda nyata dengan kondisi tanpa cekaman Al.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan media. Tanah dari lapangan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan kotoran kemudian digemburkan dan dikering-anginkan selama satu minggu. Tanah yang telah kering diayak dengan ayakan yang berukuran 2 mm, kemudian ditimbang sebanyak 10 kg bobot kering udara dan dicampur secara merata dengan

37

kapur untuk mendapatkan kondisi cekaman Al yang diinginkan. Dosis kapur yang diberikan adalah 18.33 g kapur CaCO3/kg tanah untuk kondisi tanpa

cekaman Al dan 4.58 g kapur CaCO3/kg tanah untuk kondisi tercekam Al. Dosis

tersebut mengacu pada hasil percobaan penapisan berdasarkan tanggap pertumbuhan akar pada berbagai indeks kejenuhan Al.

Pembibitan dan penanaman. Pembibitan dilakukan di tray persemaian yang mempunyai 72 lubang yang berisi media campuran tanah dan pupuk kascing (organik) dengan perbandingan 1:1. Bibit yang telah berumur 4 minggu setelah semai, kemudian dipindahkan ke dalam polibag sebanyak 1 bibit per polibag.

Pemeliharan. Pemeliharaan meliputi pemupukan, penyiraman, penyiangan, serta pengendalian hama dan penyakit. Pemupukan diberikan dengan dosis 250 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha dan 200 kg K2O/ha atau setara dengan 2.72 g

urea/polibag, 2.08 g SP36/polibag dan 1.67 g KCl/polibag. Aplikasi pupuk dilakukan sebanyak tiga kali dengan cara disebar dalam alur melingkar, pemupukan pertama dilakukan sehari sebelum bibit ditanam dengan nisbah N (1/3)+P(1)+K(1/3), sedangkan pemupukan kedua dilakukan 4 minggu setelah bibit ditanam dengan nisbah N (1/3)+P(0)+K(1/3), dan pemupukan ketiga dilakukan 8 minggu setelah bibit ditanam dengan nisbah N (1/3)+P(0)+K(1/3). Penyiraman dilakukan setiap hari jam 08.00 sesuai kapasitas lapangan. Kebutuhan air untuk mencapai kapasitas lapangan ditentukan dari kadar air tanah kapasitas lapangan (35.25%) - kadar air tanah kering udara (13.64%) x bobot tanah kering mutlak (8.80 kg) = 1901.7 ml atau disetarakan menjadi 1900 ml/polibag. Untuk melindungi tanaman cabai dari serangan hama dan penyakit dilakukan penyemprotan pestisida jika diperlukan. Insektisida yang digunakan berbahan aktif Deltamethrin dengan konsentrasi 50 mg/l air dan fungisida berbahan aktif Mankozeb dengan konsentrasi 1.6 g/l air (Haryantini & Santoso 2001).

Pengamatan

Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah total per tanaman, jumlah buah panen per tanaman, panjang buah, lingkar buah, bobot buah panen per tanaman, dan bobot per buah.

1. Tinggi tanaman (cm). Pengukuran dilakukan dari permukaan tanah sampai pucuk dari cabang tertinggi pada saat tanaman berumur 12 minggu setelah bibit ditanam.

2. Bobot kering tajuk (g). Pemotongan tajuk dilakukan pada pangkal batang saat panen terakhir. Bagian tajuk dikeringanginkan, kemudian dimasukkan dalam oven pada suhu 70oC selama 2-4 hari.

3. Jumlah buah total per tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap semua buah yang terbentuk dan telah mencapai panjang lebih dari 2 cm.

4. Jumlah buah panen per tanaman. Pemanenan dilakukan apabila 50% dari permukaan buah telah mengalami perubahan warna menjadi merah. Buah yang dipanen tidak terserang hama penyakit serta bentuk dan ukurannya normal.

5. Panjang buah (cm). Pengukuran dilakukan dari pangkal sampai ujung buah terhadap buah yang dipanen.

6. Bobot per buah (g). Dihitung dari bobot buah yang dipanen dibagi jumlah buah panen.

7. Bobot buah panen per tanaman (g). Penimbangan dilakukan terhadap semua buah yang dipanen, kemudian dihitung secara kumulatif hingga panen terakhir.

Hasil dan Pembahasan Komponen Pertumbuhan

Tinggi tanaman. Perlakuan genotipe dan kondisi cekaman tanah Ultisol memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman, tetapi tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut (Tabel Lampiran 2). Genotipe Jayapura, Jatilaba, PBC 619 dan Tit bulat tumbuh lebih tinggi dibandingkan genotipe Helm (Tabel 8). Adanya cekaman Al menyebabkan tanaman cabai tumbuh lebih pendek dibandingkan tanpa cekaman Al. Hal ini karena pada kondisi tercekam Al akar tumbuh lebih pendek dan bobot kering akar lebih ringan (lihat Tabel 5 pada percobaan sebelumnya), akibatnya serapan hara menjadi berkurang sehingga tanaman tumbuh lebih pendek.

39

Tabel 8. Tanggap tinggi tanaman terhadap cekaman Al pada cabai yang ditanam di tanah Ultisol

Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

Genotipe cabai : PBC 619 63.0 a Cilibangi 5 60.6 ab Jatilaba 65.6 a Jayapura 66.0 a PBC 549 59.5 ab Cilibangi 3 59.3 ab Tit Bulat 62.9 a Helm 54.5 b Kondisi cekaman : Tanpa cekaman Al 66.7 x Tercekam Al 56.1 y

Keterangan : Angka pada perlakuan genotipe yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Angka pada perlakuan kondisi cekaman yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji F pada taraf 5%.

Bobot kering tajuk. Hasil sidik ragam memperlihatkan terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan genotipe cabai dan kondisi cekaman pada bobot kering tajuk (Tabel Lampiran 2). Pada kondisi tanpa cekaman Al, bobot kering tajuk genotipe Jatilaba lebih tinggi dibandingkan Cilibangi 5, Jayapura, Cilibangi 3 dan Helm, tetapi tidak berbeda dengan genotipe PBC 619, PBC 549 dan Tit Bulat (Tabel 9). Sementara pada kondisi tercekam Al, genotipe Jatilaba dan PBC 619 menghasilkan bobot kering tajuk lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya.

Tabel 9. Tanggap bobot kering tajuk terhadap cekaman Al pada cabai yang ditanam di tanah Ultisol

Bobot kering tajuk pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan bobot kering tajuk (%) --- g/tanaman --- PBC 619 42.83 abc 37.98 cd 11.31 Cilibangi 5 36.77 cd 30.12 e 18.10 Jatilaba 45.62 a 40.62 a-d 10.96 Jayapura 37.83 cd 21.18 f 44.03 PBC 549 41.63 abc 20.76 fg 50.14 Cilibangi 3 38.28 bcd 17.83 fg 53.42 Tit Bulat 44.23 ab 21.74 f 50.86 Helm 34.91 de 16.94 g 51.48

Keterangan : Angka pada kolom maupun baris yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Tingkat penurunan bobot kering tajuk akibat cekaman Al terlihat bervariasi antar genotipe cabai. Genotipe Jatilaba, PBC 619, Cilibangi 5 dan Jayapura memperlihatkan penurunan bobot kering tajuk kurang dari 50%, sedangkan genotipe Cilibangi 3, Helm, Tit Bulat dan PBC 549 memperlihatkan penurunan bobot kering tajuk lebih dari 50% . Tingkat penurunan bobot kering tajuk yang bervariasi antar genotipe menunjukkan perbedaan kemampuan adaptasi dari masing-masing genotipe terhadap cekaman Al.

Genotipe Jatilaba dan PBC 619 memperlihatkan kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan genotipe lainnya, yaitu ditunjukkan dengan bobot kering tajuknya tidak mengalami penurunan yang nyata akibat cekaman Al. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan akar genotipe PBC 619 dan Jatilaba yang lebih panjang dibandingkan genotipe lainnya, sehingga kemampuan penyerapan hara dan air lebih baik. Sebaliknya, pada genotipe yang terhambat pertumbuhan akarnya akibat cekaman Al akan mengalami kekurangan karbohidrat karena penyerapan dan transpor hara maupun air dari akar ke tajuk tanaman lebih sedikit, dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan tajuk (Ma et al. 2001). Penurunan bobot kering tajuk dapat juga disebabkan karena sebagian besar karbohidrat terutama gula ditranslokasi ke bagian akar, untuk lebih meningkatkan pertumbuhan akar (Matsumoto et al. 2003).

Komponen Hasil

Jumlah buah total. Perlakuan genotipe, cekaman Al dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah buah total (Tabel Lampiran 2). Genotipe PBC 619 dan Jatilaba menghasilkan jumlah buah total lebih banyak dibandingkan Cilibangi 5, Cilibangi 3 dan Helm baik pada kondisi tercekam Al maupun tanpa cekaman Al (Tabel 10).

Pada semua genotipe yang dievaluasi terlihat bahwa cekaman Al menurunkan jumlah buah total dengan nilai penurunan yang berbeda antar genotipe. Genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura mengalami penurunan jumlah buah total kurang dari 25%, sedangkan pada genotipe Cilibangi 3, Helm, Tit Bulat dan PBC 549 mengalami penurunan jumlah buah total lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa tanggap genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura tidak dipengaruhi cekaman Al, karena jumlah buah total

41

yang dihasilkan terlihat tidak berbeda nyata antara kondisi tercekam Al dengan kondisi tanpa cekaman Al.

Tabel 10. Tanggap jumlah buah total terhadap cekaman Al pada cabai yang ditanam di tanah Ultisol

Jumlah buah total pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan jumlah buah total (%)

PBC 619 55.1 ab 46.7 b-e 15.2

Cilibangi 5 41.6 def 32.1 fgh 22.8

Jatilaba 54.1 abc 45.3 b-e 16.3

Jayapura 48.6 b-e 36.5 efg 24.9

PBC 549 51.9 a-d 25.5 ghi 50.9

Cilibangi 3 42.7 def 20.3 hi 52.5

Tit Bulat 62.7 a 30.8 f-i 50.9

Helm 38.9 ef 18.8 i 51.7

Keterangan : Angka pada kolom maupun baris yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Jumlah buah panen. Hasil sidik ragam memperlihatkan terdapat interaksi yang nyata antara genotipe cabai merah dan perlakuan cekaman Al pada jumlah buah panen (Tabel Lampiran 2). Genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura memberikan penurunan jumlah buah panen yang lebih rendah terhadap cekaman Al dibandingkan genotipe lainnya. Jumlah buah yang dipanen pada keempat genotipe tersebut terlihat tidak berbeda nyata antara kondisi tercekam Al dengan kondisi normal (Tabel 11).

Tabel 11. Tanggap jumlah buah panen terhadap cekaman Al pada cabai yang ditanam di tanah Ultisol

Jumlah buah panen pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan jumlah buah panen (%)

PBC 619 50.8 ab 45.2 bcd 11.0

Cilibangi 5 36.9 cde 30.0 efg 18.7

Jatilaba 48.6 abc 44.5 bcd 8.4

Jayapura 42.3 b-e 34.1 def 19.4

PBC 549 46.6 a-d 22.7 fg 51.3

Cilibangi 3 38.5 b-e 17.6 g 54.3

Tit Bulat 58.2 a 29.7 efg 49.0

Helm 34.9 def 16.8 g 51.9

Keterangan : Angka pada kolom maupun baris yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Cekaman Al menyebabkan penurunan jumlah buah panen yang bervariasi antar genotipe cabai. Genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura mengalami penurunan jumlah buah panen kurang dari 50%, sedangkan pada genotipe Cilibangi 3, Helm, Tit Bulat dan PBC 549 mengalami penurunan jumlah buah panen lebih dari 50%. Pada kondisi tercekam Al, jumlah buah panen dari genotipe PBC 619 dan Jatilaba lebih banyak dibandingkan genotipe lainnya.

Panjang buah. Genotipe cabai dan kondisi cekaman tanah Ultisol memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang buah, tetapi tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut (Tabel Lampiran 2). Genotipe Jayapura, Jatilaba, Helm, dan PBC 619 menghasilkan buah lebih panjang dibandingkan genotipe lainnya (Tabel 12). Tanaman cabai yang ditanam pada kondisi tercekam Al menghasilkan buah lebih pendek dibandingkan tanpa cekaman Al. Adanya cekaman Al menyebabkan penurunan panjang buah sebesar 26.0%.

Tabel 12. Tanggap panjang buah terhadap cekaman Al pada cabai yang ditanam di tanah Ultisol

Perlakuan Panjang buah (cm)

Genotipe cabai : PBC 619 10.2 a Cilibangi 5 9.0 b Jatilaba 10.8 a Jayapura 11.2 a PBC 549 5.6 c Cilibangi 3 8.3 b Tit Bulat 4.5 d Helm 10.6 a Kondisi cekaman : Tanpa cekaman Al 10.0 x Tercekam Al 7.4 y

Keterangan : Angka pada perlakuan genotipe yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Angka pada perlakuan kondisi cekaman yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji F pada taraf 5%.

Bobot per buah. Perlakuan kondisi cekaman Al terhadap 8 genotipe cabai memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap bobot per buah, tetapi tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut (Tabel Lampiran 2). Bobot per buah pada genotipe Jatilaba dan Helm lebih berat dibandingkan

43

genotipe lainnya (Tabel 13). Hal ini berkaitan dengan ukuran dan diameter individu buah pada kedua genotipe tersebut yang relatif lebih panjang dan besar (Tabel 12; Tabel Lampiran 1). Genotipe Jayapura dan PBC 619 mempunyai ukuran panjang buah yang tidak berbeda dengan genotipe Jatilaba dan Helm, tetapi karena diameter buahnya lebih kecil sehingga bobot per buahnya juga menjadi lebih ringan dibandingkan genotipe Jatilaba dan Helm.

Bobot per buah yang dihasilkan pada kondisi tercekam Al lebih ringan dibandingkan tanpa cekaman Al. Adanya cekaman Al mengakibatkan panjang buah menjadi lebih pendek sehingga mengurangi bobot per buah.

Tabel 13. Tanggap bobot per buah terhadap perlakuan genotipe cabai dan kondisi cekaman pada tanah ultisol

Perlakuan Bobot per buah (g)

Genotipe cabai : PBC 619 6.76 bc Cilibangi 5 6.99 b Jatilaba 7.45 a Jayapura 5.81 d PBC 549 3.74 e Cilibangi 3 6.48 c Tit Bulat 3.37 f Helm 7.36 a Kondisi cekaman : Tanpa cekaman Al 6.09 x Tercekam Al 5.89 y

Keterangan : Angka pada perlakuan genotipe yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Angka pada perlakuan kondisi cekaman yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji F pada taraf 5%.

Pada pengamatan komponen hasil terlihat bahwa genotipe Jatilaba, PBC 619, Cilibangi 5 dan Jayapura memperlihatkan tanggap terhadap cekaman Al yang lebih baik dibandingkan genotipe lainnya. Tanggap yang lebih baik pada keempat genotipe tersebut terlihat dari jumlah buah total dan jumlah buah panen yang dihasilkan tidak mengalami penurunan yang nyata akibat adanya cekaman Al. Penurunan jumlah buah total dan jumlah buah panen akibat cekaman Al pada keempat genotipe tersebut kurang dari 50%. Menurut Matsumoto et al. (1996), tanaman dikatakan toleran terhadap cekaman Al jika nilai penurunan karakter

yang diamati < 50% dan tanggap tanaman pada kondisi tercekam Al tidak berbeda nyata dengan kondisi normal.

Hasil Tanaman

Bobot buah panen. Perlakuan genotipe, cekaman Al dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap bobot buah panen. (Tabel Lampiran 2). Adanya cekaman Al menurunkan bobot buah panen dengan nilai penurunan yang bervariasi antar genotipe, yaitu berkisar antara 9.43 sampai 53.61% (Tabel 14). Penurunan bobot buah panen pada Genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura kurang dari 50%, sedangkan pada genotipe Cilibangi 3, Helm, Tit Bulat dan PBC 549 lebih dari 50%. Tanggap genotipe PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura terhadap cekaman Al lebih baik dibandingkan genotipe lainnya, karena bobot buah panen yang dihasilkan pada kondisi tercekam Al tidak berbeda nyata dengan kondisi tanpa cekaman Al.

Tabel 14. Tanggap bobot buah panen terhadap cekaman Al pada cabai yang ditanam di tanah Ultisol

Bobot buah panen pada kondisi: Genotipe

cabai Tanpa cekaman Al Tercekam Al

Penurunan bobot buah panen (%) --- g/tanaman ---

PBC 619 333.36 ab 301.92 bc 9.43

Cilibangi 5 257.24 cde 209.28 efg 18.64

Jatilaba 356.15 a 316.25 ab 11.20 Jayapura 247.24 def 198.23 fg 19.82 PBC 549 174.88 gh 87.18 i 50.15 Cilibangi 3 252.40 cde 117.10 i 53.61 Tit Bulat 199.38 fg 98.90 i 50.40 Helm 284.46 bcd 134.64 hi 52.67

Keterangan : Angka pada kolom maupun baris yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkan kriteria produktivitas dan tingkat penurunan bobot buah panen pada kondisi tercekam Al, maka genotipe Jatilaba dan PBC 619 mempunyai daya adaptasi terbaik diantara genotipe lainnya. Pada kondisi tercekam Al, genotipe Jatilaba dan PBC 619 mampu menghasilkan bobot buah panen terbanyak, masing-masing sebanyak 316.25 dan 301.92 g/tanaman, dengan tingkat penurunan hasil terendah, masing-masing sebesar 11.20 dan 9.43% (Tabel

Dokumen terkait