• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

2. Menganalisis Unsur Alur Novel

Utami

Siswa menganalisis unsur alur sesuai dengan rancangan kegiatan

pembelajaran yang sudah disiapkan. Alur akan merangsang munculnya

pertanyaan di pikiran pembaca, “Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Bagaimana ending cerita itu?”

Siswa menganalisis unsur alur dan pengaluran novel Pengakuan Eks

Parasit Lajang karya Ayu Utami menggunakan penahapan alur yang

dikemukakan oleh Sudjiman (1992: 30–36) yang meliputi bagian awal, tengah, dan akhir. Bagian awal meliputi paparan, rangsangan, gawatan.

Bagian tengah meliputi tikaian, rumitan, klimaks. Bagian akhir meliputi

leraian dan selesaian. Untuk mempermudah, peneliti menganalisis alur dalam

beberapa bagian, sesuai dengan jumlah bagian dalam novel Pengakuan Eks

Parasit Lajang karya Ayu Utami.

a. Bab Satu

Alur yang menonjol dalam bab satu novel Pengakuan Eks Parasit

Lajang adalah paparan, rangsangan dan gawatan (tahap awal), tikaian,

1) Paparan

Siswa mulai menentukan paparan yang terdapat pada novel

Pengakuan Eks Parasit Lajang.

Paparan biasanya merupakan fungsi awal suatu cerita. Tentu saja

bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan

sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisahan selanjutnya

(Sudjiman, 1991: 32).

Cerita bermula dari tokoh A yang sedang bercermin. Ia menyadari

perubahan pada bentuk tubuhnya dari masa kanak-kanak menjadi wanita

dewasa. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(1) Bayangkanlah aku. A namaku, gadis duapuluh tahun. Aku memandang ke dalam cermin. Sesungguhnya aku terlambat tumbuh menjadi wanita. Terlalu lama aku menjadi anak-anak (Utami, 2013: 7).

Kemudian A mulai menyukai bagian-bagian tubuhnya. Ia sadar

betul setiap orang tidak sempurna secara fisik. Kekurangan yang

dimilikinya tidak lantas membuat dirinya minder. A menutupi

kekurangannya dengan berdandan, sedangkan kelebihan yang Ia miliki

mampu menarik perhatian lawan jenisnya. Hal tersebut dibuktikan dalam

kutipan berikut.

(2) Baru sekarang kubiarkan rambutku berbentuk, sedikit melebihi bahu. Aku mulai memperhatikan kelebihan dan kekurangan wajahku. Aku mulai menggambar garis mata dan alisku. Aku mulai menatapi tubuhku dalam takjub. Baru sekarang aku menyukai lekuk pinggangku, atau menyenangi buahdadaku−sambil berharap bahwa keduanya masih bisa

tumbuh lebih besar. (Itu, kau tahu, tak mungkin. Kecuali jika seluruh bagian lain ikut bertambah besar juga.) (Utami, 2013: 7)

(3) Sudah lama aku tahu dalam teori bahwa lelaki menyenangi tubuh demikian. Sebentuk tubuh dengan lekuk, seperti gitar. Ceruk kecil yang lembab di pusatnya, serta sepasang kesuburan yang akan menyihir mereka dalam pengalaman indah menghisap di masa kanak. Aku tahu. Tapi, pengetahuan bahwa aku kini memiliki tubuh itu menciptakan rasa ganjil. Ya, kini; sebelumnya tidak demikian. Tubuh yang baru ada padamu kini akan membangkitkan hasrat lelaki. Mengetahui itu sungguh aneh. Sekaligus menyenangkan. Semakin kau memikirkannya, semakin kau tak faham (Utami, 2013: 8).

Kutipan selanjutnya menceritakan tentang pengarang yang

menggambarkan bagaimana manusia jatuh dalam dosa. Pengandaian itu

gambaran dari niatan A untuk melepas keperawanannya.

(4) Setelah kau mencicipi buah dari Pohon Pengetahuan, kau memang harus pergi dari taman surgawi itu. Sekalipun tidak ada malikat yang mengusirmu, selain dirimu sendiri. Persisnya demikian: Setelah kau mengalami rasa pengetahuan... ya, rasa yang menakjubkan itu, rasa yang sekaligus membuatmu makhluk fana... taman itu akan lenyap dengan sendirinya bagimu, seperti istana pasir yang perlahan ditiup angin (Utami, 2013: 10).

Pengarang tidak lupa menyisipkan butir-butir yang memancing

pembacanya untuk mengikuti kisah selanjutnya. Hal ini terdapat pada

kutipan berikut.

(5) Begitulah, sekali lagi, aku telah memutuskan untuk menutup masa perawanku. Tapi siapa lelaki itu? (Utami, 2013: 11).

(6) Aku melangkah keluar taman surgawi. Kututupkan daun-daun gerbangnya yang sunyi. Lalu, ketika aku telah berada di luar, aku berpikir-pikir. Sesungguhnya aku tidak punya gambaran yang nyata tentang lelaki yang kuinginkan. Aku tidak punya kriteria. Aku tidak punya kesadaran apapun mengenai lelaki ideal (Utami, 2013: 11).

Kutipan diatas membuat kita bertanya-tanya, siapa laki-laki yang

dipilih oleh A.

2) Rangsangan

Kegiatan selanjutnya adalah siswa menemukan rangasangan dalam

novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami.

Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru

yang berlaku sebagai katalisator. Rangsangan dapat pula ditimbulkan

oleh hal lain, misalnya oleh datangnya berita yang merusak keadaan yang

semula terasa laras. Tak ada patokan tentang panjang paparan, kapan

disusul oleh rangsangan, dan berapa lama sesudah itu sampai gawatan

(Sudjiman 1992: 32).

Rangsangan yang terdapat pada novel Pengakuan Eks Parasit

Lajang karya Ayu Utami adalah ketika A memulai aktivitas pertamanya

menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. A anak Fakultas Sastra. Hal

ini terdapat pada kutipan berikut.

(7) Namanya Nik. Ia adalah manusia pertama yang aku kenal di Taman Firdaus buatan. Kampus Universitas Indonesia, Depok. Itu adalah tahun ketika kampus UI mulai dipindahkan dari bangunan perkotaan Jakarta yang berpencaran ke sebuah taman berhektar-hektar di pinggir kota. Ketika itu Depok masih sepi dan tenang. Jalan baru menuju ke sana masih putih dan berkapur, seolah-olah untuk mencapai Firdaus itu kau harus melalui gurun gamping berdebu. Di tengah taman ada bukan pohon pengetahuan melainkan danau. Kampus-kampus di sebelah utara memiliki jalan setapak menuju danau itu. Di antaranya adalah Fakultas Sastra dan Fakultas Teknik, dua kampus yang penting dalam hidupku (Utami, 2013: 12).

Kutipan di bawah ini menceritakan tentang bagaimana A tertarik

dengan Nik. A memuji ketampanan yang dimiliki oleh Nik. Hal ini dapat

ditunjukkan dalam kutipan berikut.

(8) Nik memiliki senyum yang sangat bagus. Bibirnya segar kemerahanan. Bulu-bulu kumisnya masih begitu halus dan perawan, tetapi alisnya tegas. Giginya berbaris rapi alami, kecil baik, pada rahangnya yang kekar. Kelak aku tahu gigi seri bawahnya bukan empat melinkan lima. Ia tampan. Kelak aku tahu bahwa Ia pun mengenang aku sebagai gadis cantik dalam gaun biru dengan bibir merah segar (Utami, 2013: 13).

Kutipan di bawah ini menceritakan kekecewaan yang dirasakan A.

Nik pergi meninggalkannya begitu saja karena melihat perbedaan

keyakinan di antara mereka. Disaat A mulai melupakan Nik, muncullah

Mat. Mat tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan. Sejak pertemuan

pertama kali, Mat selalu menemani A.

(9) Bangku di sebelahku tidak lama kosong. Pada hari yang sama, seseorang telah mengisinya. Namanya Mat. Bukan Matius, melainkan matahari. Bukan nama baptis; Mat datang dari keluarga Islam juga. Tapi dia jauh lebih rileks. Ia tak peduli kalung salib. Ia adalah ketua grup penataran kami. Ia sedikit lebih tinggi dari Nik dan agak gemuk. Pipinya menunjukkan bekas jerawat, ia punya tawa yang lepas, ia jauh lebih terbuka dan terang-terangan. Sejak hari itu Mat nyaris selalu mengiringi aku, juga di saat-saat istirahat (Utami, 2013: 14).

Setelah bertemu dengan Mat, A sudah merasa siap untuk melepas

keperawanannya. A sempat berpikir bahwa dia akan melakukan

persetubuhan yang pertama kali dengan Mat.

(10) Maka tibalah masa itu. Umurku memasuki tahun keduapuluh. Aku telah siap untuk menutup masa perawanku. Aku telah berani untuk mengalami persetubuhan yang sesungguhnya. Aku pikir pada akhirnya aku akan melakukannya dengan

Mat. Aku sayang dan senang padanya. Tapi... (Utami, 2013: 18)

3) Gawatan

Siswa diminta menemukan gawatan dalam novel Pengakuan Eks

Parasit Lajang karya Ayu Utami.

Tidak ada patokan tentang panjang paparan, kapan disusul oleh

manusia pribadi yang biasanya menjadi protagonis dalam cerita

(Sudjiman, 1991: 34–35) .

A memiliki dua pacar. Dia selalu dihantui perasaan

ketidakpantasan mencintai dua pria sekaligus. Nik tahu bahwa ia

mempunyai saingan, tetapi Mat tidak tahu bahwa dia mempunyai musuh.

A harus memilih salah satu agar tidak ada hati yang tersakiti. A juga

tidak mau dihantui rasa bersalah.

(11) Tapi pertanyaan tentang ketidakadilan hidup yang menghantui itu juga terlalu jauh untuk dijawab, sementara persoalanku sekarang begitu nyata dan mendesak: aku punya pacar dua dan aku harus memutuskan salah satu. Siapa yang harus kupilih? Jawabannya sebetulnya sudah jelas. Tapi, kenapa aku memilih dia? Bagaimana mempertanggungjawabkan pilihan itu? Pertanyaan ini sulit, sebab memaksa aku membuat perhitungan yang menyedihkan tentang manusia. Dalam hati kecilku aku tahu bahwa manusia tidak pantas diterapkan dalam skala nilai. Manusia tidak akan bahagia dibegitukan. Skala penilaian akan menghasilkan manusia super dan manusia pecundang. Dan itu sangat menyedihkan (Utami, 2013: 21).

A memiliki sahabat, namanya Tri. A menceritakan apapun

termasuk tetang kedua pacarnya, Nik dan Mat. Tri sangat memahami

(12) Aku punya sahabat. Tri namanya, temanku sejak umur dua belas tahun. Kami pernah jatuh cinta pada lelaki yang sama di SMP. Tak satu pun diantara kami berdua mendapatkan lelaki itu. Selepas SMP pemuda itu menghamili anak orang. Aku dan Tri diam-diam merasa lega bahwa kami yang tomboy ini tidak menarik hatinya sehingga tak menjadi hamil. Peristiwa itu menambah erat hubunganku dengan Tri. Lebih-lebih lagi, aku juga pernah cinta monyet dengan anak yang dulunya adalah pacar Tri di SD. Berbagi ketertarikan yang sama, aku percaya bahwa Tri memahami kecenderungan-kecenderunganku, yang paling konyol sekalipun. Hanya padanya aku berani cerita tentang si pecinta alam celana rombeng yang bagaimanapun sempat membangkitkan gairahku (Utami, 2013: 24).

A memutuskan hubungannya dengan Mat. A memberikan alasan

yang rasional tetapi Mat tidak menerimanya. Kemudian Mat bercerita

kepada Tri, sahabat A. Tri mendengarkan secara langsung keluh kesah A

dan sekarang dia mendengarkan lagi keluh kesah Mat. Sampai akhirnya

Mat menerima dengan lapang dada bahwa A sudah memiliki Nik. Hal ini

ditunjukkan dalam kutipan berikut.

(13) Di tengah kegalauannya, Mat pun mengadu pada sahabatku, Tri. Tri mendengarkan entah dengan perasaan apa. Mat curhat sampai akhirnya ia menemukan bahwa aku memang sudah punya pacar baru, Nik, yang sedang menikmati kemenangan yang apa-boleh-buat. Tapi Nik tidak tahu−tak seorangpun tahu−bahwa bertahun-tahun kemudian akan tiba gilirannya curhat pada Tri dengan air mata bercucuran. Dan Tri... dengan demikian sesungguhnya ia kecipratan sebagai ampas yang aku tak mampu bersihkan dari perbuatan-perbuatanku (Utami, 2013: 28).

4) Tikaian

Siswa menemukan tikaian yang terdapat pada bab satu novel

Tikaian ialah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua

kekuatan yang bertentangan; satu di antaranya diwakili oleh

manusia/pribadi yang biasanya menjadi protagonis di dalam cerita.

Tikaian merupakan pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam

dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, atau pun pertentangan antara

dua unsur di dalam diri satu tokoh itu (Sudjiman, 1991: 34–35).

Pertikaian terjadi ketika Nik berbicara dengan A tentang

kesediannya untuk mengatakan bahwa A memilih dirinya kepada Mat.

Nik begitu mencintai dirinya. Nik tak mau berbagi dengan yang lain. Hal

ini ditunjukkan dalam kutipan berikut.

(14) Nik belum pernah disentuh perempuan. Dengan pengalaman barunya, tentu ia segera ingin memiliki aku seorang diri. Ia tak mau lagi berbagi dengan Mat. Dengan baik-baik ia bilang padaku, apakah aku membutuhkan dia untuk mengatakan ini pada Mat. Apakah aku memerlukan dia untuk menghadapi Mat dan memberitahu bahwa aku telah memilih dia (Utami, 2013: 25).

A memberanikan diri untuk bicara dengan Mat. Hubungan mereka

tidak bisa dilanjutkan. Mat terkejut dan bertanya-tanya alasan A

memutuskannya. Padahal Mat merasa bahwa hubungannya selama ini

baik-baik saja. A beralasan bahwa Mat tidak bisa diandalkan. Hal

tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.

(15) Kujawab Nik, “Biar aku yang bicara dengan Mat.”

Akhirnya aku bicara dengan Mat, dengan alasan yang tak bisa kulupakan seumur hidupku. Kubilang padanya aku mau hubungan ini berakhir. Tentu ia terkejut dan bertanya kenapa. Sebab ia sangat senang dengan hubungan ini dan tidak merasa ada persoalan sama sekali. Bahkan ibu dan kakak-kakaknya senang juga padaku. Itulah. Kubilang ada masalah.

Ternyata ada masalah. Sebab ia malas. Prestasi akademiknya kurang. Indeks prestasinya di bawah angkaku. Kredit yang ia ambil per semester kurang dari yang kuambil. Bahkan aku sampai harus ikut membuatkan tugas kuliahnya. Lalu aku mengatakan hal yang aku malu bahwa aku sampai hati mengatakannya: Lelaki tidak boleh begitu. Lelaki kan akan jadi kepala keluarga. Dia akan jadi pemimpin. Dia harus lebih dari perempuan (Utami, 2013: 26).

Mat menyayangkan alasan A memutuskan hubungan dengannya.

Dia tidak terima. Sebelum mereka resmi menjadi kekasih, tidak ada

perjanjian khusus yang mereka buat. Tidak ada larangan harus begini

begitu. Semua berjalan begitu saja. A yakin bahwa alasan yang

dikatakannya sudah tepat. Alasan yang menurutnya tidak menyakiti hati

Mat dengan sudah adanya orang lain dihatinya. Hal ini dibuktikan dalam

kutipan berikut.

(16) Mat memandangi aku dengan tidak percaya. Aku tak bisa melupakan matanya. Soal indeks prestasi itu kan tidak ada dalam perjanjian di awal hubungan? Dulu tidak jadi masalah, kok sekarang tiba-tiba jadi masalah? Ia tidak mengatakannya, tetapi aku merasa matanya berkata begitu (Utami, 2013: 27).

(17) Tapi aku merasa harus memberi alasan yang rasional untuk mengakhiri hubungan. Atau tampak rasional. Masa aku memutuskan Mat dengan bilang karena sekarang ada Nik? Dan aku memang tidak mau mengaku bahwa sudah ada Nik. Yang kulakukan sesungguhnya membikin rasionalisasi untuk bisa memuluskan jalan bagi Nik. Ya, aku mencari-cari pembenaran yang tampak masuk akal untuk melancarkan kehendak dan nafsuku sendiri, meskipun pada saat itu aku belum mau mengakuinya. Aku membikin alasan agar ia gugur dan Nik menempati tempat yang syarat-syaratnya memang kusiapkan untuk dia (Utami, 2013: 27).

5) Rumitan

Siswa diminta menemukan rumitan yang terdapat pada bab satu

Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita

disebut rumitan (Sudjiman, 1992: 35).

Di dalam cerita rekaan rumitan sangat penting. Tanpa rumitan yang

memadai tikaian akan lamban. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk

menerima seluruh dampak dari klimaks (Sudjiman, 1992: 35).

Setelah memutuskan hubungannya dengan Mat, A

menimbang-nimbang kembali keputusannya untuk menyerahkan keperawanannya

dengan Nik. A melihat gambaran tiap-tiap keluarga yang taat memeluk

agamanya. Tidak ada yang membenarkan melakukan hubungan seksual

di luar pernikahan. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

(18) Sementara ini, kini Nik adalah pacarku ketika usiaku duapuluh tahun dan aku merasa matang untuk menutup masa perawanku. Aku mau melakukannya dengan Nik, meskipun aku belum yakin betul dengan keputusanku. Sebab, sesungguhnya kami berdua datang dari keluarga yang taat agama. Melepaskan keperawanan sebelum pernikahan tidak pernah merupakan ajaran dalam keluarga kami (Utami, 2013: 30).

Semasa kecil keduanya adalah anak yang religius. A selalu rajin

pergi ke gereja dan membaca Alkitab. Nik tidak pernah lupa menjalankan

salat lima waktu dan membaca Qur’an. Hal ini dibuktikan dalam kutipan

berikut.

(19) Nik maupun aku adalah adalah anak yang religius di masa bocah. Kami masing-masing punya ketertarikan pada agama lebih dibanding saudara-saudara kandung kami. Aku suka membaca Alkitab sejak kecil. Nik pernah menjuarai lomba

Musabaqah Tilawatil Qur’an. Katanya orang mengagumi

suara sengaunya yang bagus untuk melantunkan kitab suci. Pada suatu periode di masa remaja, aku ke gereja hampir setiap pagi. Nik tidak pernah melalaikan salat lima waktu.

Aku pernah ingin menjadi biarawati. Nik masih bercita-cita punya rumah di sebelah mesjid dan ia sangat rindu untuk membisikkan adzan di telinga bayinya begitu lahir (Utami, 2013: 30).

Usia keduapuluh membuat A semakin ingin mencoba hal baru

yang ia temukan dalam tubuhnya sebagai perempuan. A bertanya

kesediaan Nik melakukan hubungan seksual dengannya. Tidak ada

perasaan takut akan dosa ketika menanyakannya. Seperti kutipan berikut.

(20) Dan usiaku duapuluh. Usia tatkala manusia baru saja memiliki tubuh mudanya dan penuh dorongan untuk mencoba tubuh yang baru itu. Aku bertanya, tidak dengan genit, kepada Nik: apakah ia mau melakukan itu sebelum menikah. Aku memang betul-betul ingin tahu pendapatnya secara umum, bukan mau mengajaknya sekarang. Untuk urusan itu tak perlu ajak-mengajak. Sebaliknya malah, jika kita tidak menahan diri hal itu pasti akan terjadi dengan sendirinya. Lagipula aku punya banyak waktu lain untuk genit. Dan tanpa genit pun aku tahu tubuh baruku ini menarik (Utami, 2013: 31).

Namun A mendapati jawaban Nik menolak ajakannya. Nik tidak

akan melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan Nik sadar betul

bahwa itu dosa. A dapat membaca keraguan yang ada pada diri Nik, Nik

berkata tidak tetapi tubuhnya menginginkannya. Hal ini dibuktikan dalam

kutipan berikut.

(21) Nik menjawab dengan yakin: “Tidak akan.” Ia bilang dengan mantap, ia tidak akan bersetubuh sebelum menikah meskipun ia sangat suka perempuannya. Ia tidak mau berzinah. Itu dosa.

Tapi beberapa saat kemudian aku melihat wajahnya menampakkan keraguan.

Aku telah mulai tahu. Anak muda yang datang dari keluarga kelas menengah dengan nilai-nilai konservatif punya per tarungan batin yang kurang lebih sama. Nilai-nilai mereka melarang, tetapi tubuh mereka menginginkan (Utami, 2013: 31–32).

Kutipan di bawah ini mengungkapkan bahwa perempuan yang

terhormat adalah mereka yang mampu menjaga keutuhan selaput daranya

sampai pernikahan nanti. A melihat bahwa hal tersebut tidak adil.

Laki-laki hanya mau menerima perempuan yang masih perawan, kalaupun

tidak hanya ada belas kasihan yang dapat menyelamatkan perempuan

yang sudah tidak perawan. Kecuali laki-laki itu benar-benar menyukai

pasangannya, menerima pasangannya apa adanya.

(22) Pada masa itu perempuan masih hidup dengan ditakut takuti. Perempuan harus menjaga selaput daranya sampai malam pertama pernikahan. Seorang gadis yang tidak perawan layaklah dicampakkan oleh suaminya. Di televisi kulihat berita tentang penyanyi gendut FH yang menceraikan istrinya dengan alasan sudah tidak perawan lagi. Beberapa tahun

kemudian pernah ku lihat da’i ganteng Aa G. Kiai muda ini

sedang sangat tenar. Ia selalu memakai sorban dan jubah, tetapi bibirnya selalu sedikit terbuka menggemaskan. Kulihat di televisi ia berkhotbah di hadapan para remaja putri. Ia berkata, selaput dara ibarat segel dari Allah (Utami, 2013: 33).

(23) Ibuku pernah berkata bahwa perempuan itu seperti porselin. Jika sudah pecah, jadi tidak berharga. Ia bilang begitu bukan dengan nada menggurui, tapi lebih dengan nada muram dan tak berdaya.

Aku bilang padanya, “Tapi itu kan tidak adil, Ibu?”

Ibu tidak bisa menjawab (Utami, 2013: 34).

Hal tersebut yang membuat A mantap untuk melepas

keperawanannya pada usia dupuluh tahun. A berpikir bahwa tidak ada

jawaban letak keadilan dalam memuliakan dan menuntut keperawanan.

Agama pun tidak mempermasalahkan hal itu. Agama hanya melarang

persetubuhan di luar pernikahan. Jika dilakukan, manusia melakukan

(24) Kembali pada Agama. Agama hanya melarang persetubuhan di luar pernikahan. Apa yang salah dengan hal itu? Bukankah itu berlaku untuk pria maupun wanita? Dan bukankah baik bahwa seks berada dalam hubungan yang bertanggungjawab dan terbatas?(Utami, 2013: 36).

(25) Jadi, kalau aku sudah tidak beragama lagi, kenapa pula aku harus percaya pada konsep perzinahan? Aku percaya bahwa seks itu harus bertanggungjawab, pada diri sendiri maupun pasangan. Jika ada dosa, itu bukan terhadap Tuhan, melainkan terhadap orang lain. Kita berdosa pada orang lain jika mengkhianati, menyakiti, atau mempermainkan mereka. Tapi, diam-diam aku masih percaya bahwa aborsi adalah dosa. Dosa pada orang lain, yaitu individu yang sudah terlanjur dibentuk dalam kandungan oleh perbuatan main-mainmu. Aku masih diam-diam percaya bahwa ada yang disebut dosa... (Utami, 2013: 36).

6) Klimaks

Siswa diminta untuk menemukan klimaks yang terdapat pada novel

Pengakuan Eks Parasit Lajang karya Ayu Utami.

Klimaks terjadi apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya

(Sudjiman, 1992: 35).

Akhirnya, A memutuskan untuk melepas keperawanannya dengan

Nik. A melalukannya dengan sadar dan ia sudah membangun tata

moralnya sendiri. Berbeda dengan Nik, ia menggunakan sistem yang

menguntungkan laki-laki. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

(26) Kini kami berhadap-hadapan. Aku dengan sistemku sendiri. Dia dengan sistem yang dicangkokkan dari luar. Tentu saja dia yang terguncang.

Peristiwa itu terjadi.

Persetubuhan yang pertama. Peristiwa itu selesai.

Kutipan di bawah ini menceritakan tentang A yang sudah tidak

perawan. Melakukan hubungan seks di luar nikah seperti narkoba. Sejak

pertama kali melakukan persetubuhan dengan Nik, A melakukannya lagi.

Nik takut apa yang sudah ia lakukan dengan A disebut zinah. Maka dari

itu, Nik ingin segera menikahi A. Tidak mudah bagi mereka untuk

menikah karena Nik dan A berbeda keyakinan. Nik meminta A untuk

pindah agama.

(27) Aku bukan lagi seorang perawan. Ini tahap baru dalam hidupku.

Kami sedang berbaring-baring di ranjang seusai bercinta, ketika Nik tiba-tiba berkata, “Sayang, kamu harus pindah agama. Soalnya, aku harus mengawini kamu.”

“Kenapa?” aku bertanya.

Ia menjawab bersetubuh tanpa menikah adalah zinah.

“Iya. Terus?” sahutku.

“Zinah itu hukumnya berat sekali. Sekali zinah empatpuluh

Dokumen terkait