BAB VIII AKAL BUD
PSL 49 – BBRP CATATAN TTG PENILAIAN
II. MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI PERKAWINAN A PERAN MORAL DLM PASTORAL PERKAWINAN
1. Tujuan
a. Moral perkawinan
Tujuannya tentulah agar nilai-nilai perkawinan (monogami, ikatan seumur hidup, sakramentalitas) tak hny terganggu, tpi berkembang. b. Pastoral perkawinan
1) Mandiri: Dr pasutri utk pasutri 2) Petugas pastoral: Membantu pasutri 2. Upaya
Hidup adl perjuangan. Hal ini jg berlaku utk hidup perkawinan, dg mendayagunakan sarana-sarana hasil penelitian ilmu-ilmu profan, & jg upaya-upaya yg disediakan Grj, baik umum maupun khusus. B. PERAN HUKUM DLM KASUS PERKAWINAN
Buku ini buku teologi moral, & bkn hukum. Tpi dlm pastoral bkn hny moral yg diberlakukan, tpi jg diperlukan hukum.
1. Moral & hukum
Ini mrpk masalah tersendiri, yg patut dsbt di sini krn psikologis & sosiologis peran hukum besar, apalagi jk hukum dipahami memuat nilai- nilai yg dianut masyarakat.
2. Pastoral
Krn norma-nrma hukum lebih tegas, seringkali umat & masyarakat berorientasi pd hukum yg jg berfungsi sbg pintu utk tataran moral. Bahayanya adl gagasan: apa yg tdk dilarang hukum, jg tdk dilarang moral. Jadi dr norma hukum disimpulkan norma moral.
PSL 52
PRINSIP & NORMA DI BIDANG SEXUAL
Pembahasan prinsip & norma penting krn jg mrpk modal & bekal utk menilai aneka soal yg skrg belum aktual atau menonjol, tpi di kemudian hari mungkin timbul & hrs kita hadapi
A. ARGUMENTASI MORAL PD UMUMNYA 1. Berdasarkan Kitab Suci
a. Ayat-ayat
Adanya ayat-ayat yg sesuai dpt memuaskan pembaca dewasa ini, tpi belum tentu itu hasil eksegese yg benar. Grj & teologi katolik tdk terlalu mendasarkan diri pd ayat-ayat.
b. Ajaran
Jg menurut OT 16 bkn ayat-ayat, tpi ajaran Kitab Suci yg hrs lebih meresapi teologi moral, apalagi sulit sekali membedakan apa yg
termasuk amanat Sabda Tuhan, apa yg termasuk budaya local zaman dulu. Hal ini sdh kita lihat dlm pembahasan tema ini menurut Kitab Suci. Grj Katolik tdk terpaku pd ayat-ayat, tpi lebih pd ajaran yg memang disimpulkan scr kontekstual dr ayat-ayat. 2. Berdasarkan tradisi
Sebaiknya diperhatikan bhw banyak gagasan teologis dlm tradisi, bahkan jg ungkapan publik magisterium, sdh kadaluwarsa, dewasa ini sdh dilupakan atau tak dikedepankan lagi, baik krn faktor perkembangan data & kesadaran, maupun krn dirasakan kurang tepat.
a. Magisterium
Kesulitan dg teks magisterium adl kurangnya akseptans (penerimaan), bahkan di kalangan katolik sendiri, shg Grj tdk lagi berfungsi sebagai instansi moral & berkembang katolisisme selektif (pilih-pilih).
b. Teologi
Tentu sj “dulu begitu” tak mempunyai daya argumen yg meyakinkan. “Tradisi” perlu ditafsirkan lebih tepat. Tradisi sejauh menyangkut magisterium: Allah tak akan membiarkan GrjNya jatuh dr kebenaran, maka timbul istilah “indefectibilitas”, & bahkan “infallibilitas” dlm arti bhw dlm hal-hal pokok Grj yg didampingi Roh Kudus tak akan menyimpang dr kebenaran yg perlu utk keselamatan.
Dg demikian bobot pernyataan magisterium lebih dp tradisi dlm arti “dulu pernah dikatakan”. Tradisi jg bisa menyangkut pendapat para teolog yg berbeda dg magisterium tak mendapat jaminan indefectibilitas itu, maka jg perlu dikaji menurut kaidah-kaidah ilmu.
3. Berdasarkan akal budi a. Argumentasi deontologis
Argumentasi sering berkisar pd kodrat tindakan, tpi hrs jg dijernihkan apa yg dimaksudkan dg kodrat, khususnya apa yg terhitung sbg unsurnya.
b. Argumentasi teleologis
Mungkin argumen berdasarkan akibat tindakan dpt lebih dipahami dp argumentasi lain.
Dlm argumentasi moral prinsip manfaat menduduki tempat penting & mudah dipahami, maka argumentasi teleologis yg mengacu kpd manfaat itu banyak dipakai. Justru di bidang moral sexual Grj Katolik sering memakai argumentasi deontologis yg tak hny
mengacu kpd manfaat, tpi jg kodrat tindakan, tak peduli apa pun akibatnya.
B. ARGUMENTASI MORAL TRADISIONAL
Sejauh menyangkut argumentasi deontologis tdk tampak jalan keluar, penggolongan ke dlm argumentasi deontologis dpt dipertanyakan:
1. Sumber penentuan
Dr mana dpt diketahui begitu pasti, apa kodrat aktualisasi sexualitas, sebelum ilmu pengetahuan ttg sexualitas (sexuologi) khususnya biologi, psikologi memberikan data, apalagi jk dinyatakan bhw itu satu-satunya makna, sedangkan perlu diperhitungkan polyvalence (banyak makna) sexualitas.
2. Soal komunikasi & sosialisasi hukum kodrati & hasil penalaran akal budi
a. Dr Kitab Suci tiada argumentasi yg meyakinkan ttg norma-norma aktualisasi sexual yg begitu rinci
Sekali lagi, istilah “porneia” atau “akathasia” yg sering diterjemahkan dg percabulan terlalu umum & kabur utk dipakai sbg argumen.
b. Dr tradisi argumentasi dpt dipertanyakan sehubungan aliran yg spiritualistis & antisexual.
Sebaiknya diindahkan keterbatasan tradisi utk dipakai sbg argumen dewasa ini di sini.
c. Dr akal sehat dirasa banyak org kurang meyakinkan
Mengacu kpd hukum kodrati yg pd dasarnya terbuka thd penalaran akal sehat (termasuk nilai-nilai inklusif) jg menimbulkan pertanyaan, mengapa sulit dimengerti, bahkan oleh kalangan katolik sendiri?
3. Persyaratan moral tradisional utk aktualisasi sexual a. Hny dlm perkawinan, jadi antara suami-istri
b. Sanggama scr natural c. Maka:
1) Aktualisasi sexual yg tdk memenuhi persyaratan itu tdk dibenarkan.
2) Bgi org-org ttt (homosexual, sebelum nikah, sdh janda atau duda) dituntut pantang total, meskipun libido ada.
Dg ini dimaksudkan sejumlah hal yg moral tradisional kurang diperhatikan, atau dianggap sdh tersirat dlm cintakasih serta hormat thd martabat manusia krn terlalu terpaku pd persyaratan moral tradisional itu.
1. Kesukarelaan atau kebebasan 2. Dg cita rasa tanggung jawab
3. Terbuka utk berbagai makna sexualitas 4. Tanda atau ungkapan kasih defnitif 5. Proses belajar bersama
6. Komunikasi
7. Manusiawi (mengatasi kategori biologis)
EKSKURS TTG. ’TEOLOGI TUBUH” MENURUT PAUS YOHANES PAULUS II
1. BBRP DATA A. APA ITU?
1. Pelajaran Paus Yohanes Paulus II dlm audiensi Rabu antara September
1979 & November 1984, meskipun dg banyak sela. 2. ”Theology of the Body”
Kemudian diterbitkan dg judul ”Theology of the Body. Human Love in the Divine Plan” & ”Man and Woman He created them: a Theology of the Body”.
B. LINGKUP TEMA
1. Cita-cita kristiani perkawinan 2. Zina 3. Kebangkitan tubuh 4. Selibat & keperawanan 5. Sakramen perkawinan 6. Kontrasepsi II. MAKNA
A. TUBUH
1. Menunjukkan rencana Tuhan
2. Lewat kacamata perkawinan kita menemukan makna hidup B. BBRP GAGASAN
1. Tubuh yg kelihatan menampakkan Tuhan 2. Mns tak dpt hidup tanpa kasih 3. Tubuh bkn hny tambahan 4. Makna mopsial tubuh 5. Bahasa sanggama 6. Kebebasan hati kita
C. NILAI-NILAI
1. Kebebasan 2. Kebenaran 3. Anugerah 4. Persekutuan 5. Martabat
PSL 53
MORALITAS & LEGALITAS DLM HAL KELUARGA I. MORALITAS & LEGALITAS
Betapa pun sexualitas, perkawinan & keluarga termasuk lingkungan privat, tak dpt disangkal adanya aspek publik yg jg hrs diatur.
Maka negara jg mengatur hal-hal spt sexualitas, perkawinan & keluarga, tpi hny sejauh menyangkut hidup bersama, di ruang publik.
A. LEGALITAS
1. Bonum commune sbg acuan
Negara yg diwakili Pemerintah bertindak berdasarkan hukum yg berlaku, demi bonum commune (kepentingan umum atau kesejahteraan bersama) Dg demikian hukum seharusnya mengacu kpd bonum commune.
2. Fungsi UU
Fungsi UU adl dasar yg dipakai negara/pemerintah utk menyelenggarakan bonum commune
a. Fungsional: UU sbg sarana yg membantu negara/pemerintah menyelenggarakan kepentingan umum
b. Ekspresif: UU jg mencerminkan nilai-nilai dasar masyarakat 3. Persyaratan UU
a. Tdk menjiplak begitu sj semua norma moral
b. Tpi jg terlalu memisahkan diri dr norma-norma moral
c. Tpi mencerminkan norma-norma moral sejauh dituntut bonum commune.
d. Dlm arti ttt sampai tingkat ttt mendukung moralitas, antara lain karena banyak org mengira bhw apa yg tdk dilarang oleh hukum, dibenarkan jg oleh moral.
B. MORALITAS
1. Aspirasi moral / agama
Jk UU tak boleh terlalu memisahkan diri dr moral, timbul pertanyaan:
a. Ciri khas
1) Pandangan hukum dikaitkan dg moral yg pd gilirannya dikaitkan dg agama yg mempunyai ciri khasnya
2) Ada kecenderungan utk memasukkan pandangan moral ke dlm hukum
b. Moral kalangan mana? 1) Moral yg dianut mayoritas?
2) Moral yg meliputi nilai-nilai dasar yg dianut semua kalangan? 3) Sampai mana memisahkan / tak memisahkan diri itu?
c. Aspirasi kalangan mana?
1) Apa pun yg disepakati, jg tergantung pemahaman kalangan ttt. 2) Memperhatikan aspirasi semua kalangan yg tak jarang berseberangan
kiranya mustahil.
d. Kesadaran masyarakat berapa lama?
1) Tak jarang anggota DPR cenderung memasukkan ke dlm hukum kesadaran masyarakat yg dipengaruhi aspirasi agama.
2) Berapa lama kesadaran masyarakat itu berlangsung? d. Keputusan mayoritas?
1) Keputusan mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran objektif
2) Mayoritas mrpk konstelasi politis yg serba kebetulan 3) Krn itu keputusan mayoritas mrpk dasar yg labil.
4) Jg mayoritas hny boleh bergerak dlm lingkup yg sdh dibatasi rambu-rambu, mis. UUD & Pancasila, yg tak dpt terus-menerus diubah.
5) Pembuatan Undang-undang bkn hny soal formalitas, apalagi yg memungkinkan diktatur mayoritas.
e. Kesepakatan ttg nilai-nilai dasar
1) Dlm demokrasi hrs dihindari diktatur mayoritas atau minoritas 2) Dlm demokrasi hrs dihindari kekhawatiran minoritas
3) Dlm demokrasi keputusan hrs diambil dg memperhatikan bbrp hal:
- Prosedur formal pengambilan keputusan
- Jaminan tetap berlakunya nilai-nilai dasar yg disepakati bersama
- Penegakan hukum konsisten
II. DASAR HUKUM UTK HIDUP BERSAMA