Potensi energi terbarukan sebenarnya telah lama disadari bisa menjawab persoalan yang ketergan-tungan Indonesia terhadap energi fosil, yaitu minyak bumi yang diperkirakan akan habis 13 tahun lagi dan gas akan habis 34 tahun lagi. Energi terbarukan juga bisa mengatasi ketergantungan terhadap batu bara yang sejauh ini masih menjadi favorit bahan pembangkit listrik negeri ini. Ironis- nya, data Bappenas menyebutkan, saat ini Indonesia menjadi pengekspor batu bara terbesar di dunia walaupun cadangannya hanya sekitar 2,5 cadangan dunia. Padahal di negeri ini ada 12.659 desa di wilayah terpencil yang pasokan listriknya belum memadai dan 2.519 desa lainnya yang masih meng-alami kegelapan.
Secara nasional, konsumsi listrik saat ini mencapai 914 KWh per kapita dan diproyeksiikan meningkat di tahun 2019 menjadi 1200 KWh. Penggunaan batu bara menjadi sumber utama pengadaan listrik di Indonesia. Kondisi ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia sendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 sesuai Paris Agreement tahun 2011, dengan cara mengedepankan pengembangan 25 energi terbarukan.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo,
menun-jukkan telah memberi perhatian serius untuk mengembangkan energi terbarukan, tidak lagi sebatas wacana. Meski tidak secara langsung disebutkan dalam Nawa Cita Joko Widodo-Jusuf Kalla, pengembangan energi terbarukan secara tidak langsung terdapat pada Poin ke-7 tentang mewujudkan kemandirian ekonomi dengan meng-gerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Untuk itu, mewujudkan kedaulatan energi menjadi salah satu targetnya.
“Pemerintah telah menargetkan bauran energi yang berasal dari energi terbaru-kan sebesar 23% dengan total daya 92,2 juta ton setara minyak bumi (million tonnes of oil equivalent/mtoe) pada tahun 2025 dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Atas dasar ini, Pemerintah sendiri
diharapkan bisa konsisten untuk terus memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan yang ekonomis.”
Langkah yang diambil oleh Pemerintah adalah menambah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Mikro Hidro menjadi 2,846 MW pada tahun 2025, kapasitas terpasang biomasa sebesar 180 MW pada tahun 2020, kapasitas terpasang tenaga angin (PLT Bayu) sebesar 0,97 GW pada tahun 2025, tenaga surya 0,87 GW pada tahun 2024, dan nuklir 4,2 GW pada tahun 2024. Total investasi yang diserap pengembangan energi terbarukan hingga tahun 2025 diproyeksikan sebesar 13,197 juta USD.
Demi menguatkan jalannya implementasi pe-ngembangan energi terbarukan ini, pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi. Setidaknya ada delapan regulasi yang telah dikeluarkan, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun
Bunga Rampai K
emakmur
an Hijau
100
2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Berikutnya desa seharusnya mendapatkan prioritas untuk pengembangan energi terbarukan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, No.2 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Dana desa untuk mengembangkan energi terbarukan menjadi prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kua- litas hidup manusia, serta penanggulangan kemis-kinan. Pemerintah juga membuat regulasi model badan usaha listrik desa yang menggunakan energi terbarukan berbasis komunitas melalui aturan BUMDes yang tertuang dalam Permendagri No. 39/2010 tentang BUMDes dan Permendesa No. 4/2015 tentang BUMDes.
Jelas aturan-aturan yang ada ini harusnya mem- berikan rasa optimis karena pemerintah menunjuk-kan upaya serius untuk membangun energi terbaru-kan. Pemerintah sendiri menyediakan Dana Alokasi
Kahusus (DAK) dalam mendukung kebijakan money follow program (perubahan dari money follow function). Melalui kebijakan ini, salah satu alokasi penggunaan DAK diarahkan untuk energi skala kecil. Rachmat Mardiana, Direktur Energi, Telekomuni-kasi dan Informatika, Kedeputian Sarana dan Prasaran Bappenas, dalam rapat koordinasi daerah yang digelar bersama Yayasan Bakti dan MCA– Indonesia, mengungkapkan sejumlah masalah ter-kait permasalahan energi di Indonesia. Beberapa target prioritas yang hendak dicapai di antaranya rasio elektrifikasi yang hingga saat ini baru mencapai 87,5%, padahal target 2019 sebesar 96,6%. Guna mencukupi kebutuhan listrik di Indonesia sepuluh tahun ke depan (2016-2025), dibutuhkan investasi senilai 153,749 juta dollar AS. Kebutuhan ini tentunya tidak dapat dipenuhi seluruhnya dari dana pemerintah, karena itu dibutuhkan perubahan paradigma, yaitu membagi peran antara pemerintah, sektor swasta, dan BUMN.
Mener
angi Desa-Desa T
erpencil di Indonesia dengan Ener
gi T
erbaruk
an
101
Dalam rangka mengurangi intensitas emisi karbon dan dengan mengurangi ketergantungan pemakaian lisrik dari bahan bakar fosil, Millenium Chalenges Account–Indonesia (MCA–Indonesia), melalui program Kemakmuran Hijau, memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia untuk memperluas pendayaan energi terbarukan.
“Pengembangan energi terbarukan
melalui program ini menggunakan konsep Energi Terbarukan Berbasis
Masyarakat-Off Grid System (tidak tersambung ke
jaringan listrik PLN). Jika umumnya cara
pandang membangun energi terbarukan hanya dilakukan oleh investor dan pemerintah saja, maka MCA–Indonesia menunjukkan kolaborasi yang cukup siginifikan dalam mendorong percepatan akses listrik dari energi terbarukan.”
Hal ini dilakukan dengan memperkuat kapasitas lembaga pengelola listrik desa melalui kerjasama masyarakat dan swasta dalam suatu badan usaha.
Melalui Program Kemakmuran Hijau, MCA– Indonesia bukan saja menyediakan hibah untuk pembangunan listrik ramah lingkungan di
desa-—Hibah MCA–Indonesia Untuk Energi Terbarukan
Berbicara tentang perubahan paradigma, menjadi lebih relevan, mengingat besarnya tantangan jika ingin beralih ke energi terbarukan dalam memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia. Tantangan itu di antaranya, biaya produksi energi terbarukan masih relatif tinggi dibandingkan dengan sumber energi konvensional. Insentif dan mekanisme pendanaan juga masih terbatas untuk investasi energi terbarukan. Belum lagi lokasi sumber daya energi terbarukan biasanya di daerah dengan akses yang sulit, kawasan konservasi, atau daerah dengan kebutuhan energi yang kecil. persoalan lainnya, kapasitas dan pengem-bangan energi terbarukan yang terbatas dan masih didominasi teknologi dari luar. Masalah lainnya adalah informasi potensi energi terbarukan yang mungkin siap diimplementasikan. Selain itu, proyek-proyek energi terbarukan kebanyakan project base, bukan sebagai suatu program yang berkelanjutan.
Perubahan paradigma yang disebut di atas menjadi penting diupayakan bahkan diinisiasikan
guna menjawab tantangan dalam mewujudkan energi terbarukan di di wilayah-wilayah Indonesia yang selama ini masih belum terakses listrik. MCA–Indonesia (Millenium Challenge Account– Indonesia) menurut Bappenas merupakan salah satu yang bisa berperan dalam mengubah para-digma tersebut. Misalnya, dengan memberikan kepastian peran swasta untuk menghadirkan energi terbarukan dan mempermudah perizinan, serta memberikan insentif yang menarik. Selain itu juga dengan membuka peluang pemanfaat Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), sesuai dengan Perpres 38/2015, juga menjadi salah satu yang bisa membuka perubahan paradigma. Ditambah mengadakan program dan menganggarkannya dalam APBN adalah upaya peru- bahan paradigma bahwa Indonesia memang mampu mengalihkan energi listriknya menjadi energi baru terbarukan.
Bunga Rampai K
emakmur
an Hijau
102
desa terpencil, namun juga mengurangi kemiskinan dengan menciptakan usaha-usaha produktif dengan menggunakan listrik. Selain itu dengan sistem pendampingan yang dilakukan oleh penerima hibah secara menerus, diharapkan nantinya dapat mendorong masyarakat desa lebih mandiri dalam mengelola pembangkit listrik tersebut.
Khusus untuk Jendela Hibah 3A, MCA–Indonesia mensyaratkan kontribusi pendanaan lain sekitar 4% (baik dari masyarakat desa tersebut atau pun dari pendanaan lainnya), selain 96% dana hibah yang diberikan. Bentuk pendanaan lain itu dapat berupa kombinasi antara finansial dan non-finansial. Sumber non-finansial itu misalnya penyediaan lahan, penebangan pohon, tenaga kerja, dan lain sebagainya. Dengan ini diharapkan rasa kepemilikan proyek bisa melekat dari awal proyek.
Terkait dengan cerita pembelajaran penerapan proyek MCA–Indonesia di Rantau Kermas, Kabu-paten Merangin, sebagai contoh dari mekanisme penyerahan Jendela Hibah 2, dan Jendela Hibah 3A untuk contoh pengembangan PLTS yang dikembangkan oleh PT Sky Energy di Kepulauan Karampuang, Mamuju, Sulawesi Barat. Sementara