• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perhutanan Sosial untuk Pelestarian

Dalam dokumen Bunga Rampai Kemakmuran Hijau (Halaman 139-144)

dan Kesejahteraan

Rakyat

Bunga Rampai K

emakmur

an Hijau

136

Ekspor produk kayu Indonesia tercatat pernah menjadi penyumbang devisa terbesar setelah migas pada kurun waktu 1980 – 1990. Namun, pengusahaan hutan skala besar ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Bahkan, desa-desa di dalam dan sekitar hutan lebih miskin dibandingkan dengan yang jauh dari hutan.

Survei rumah tangga di sekitar kawasan hutan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik tahun 2007 menyebutkan, persentase rumah tangga miskin di sekitar kawasan hutan mencapai 18,5 % dari jumlah rumah tangga yang ada, atau sejumlah 1.720.384,77 keluarga miskin (setara 6.881.539,06 jiwa). Angka ini lebih tinggi di-bandingkan dengan kemiskinan rata-rata nasional pada tahun tersebut sebesar 16,58 %.1

Sebagaimana diketahui, hutan merupakan tempat tinggal dan sumber penghidupan bagi lebih dari 32,5 juta jiwa penduduk Indonesia yang tinggal di 25,9% kawasan pedesaan.2 Bahkan, jika kita ban-dingkan data BPS tahun 2004 dan 2014, jumlah rumah tangga yang ada di kawasan hutan terus meningkat. Setidaknya ada penambahan 838,328

ribu rumah tangga yang hidup di sekitar kawasan hutan dalam kurun waktu tersebut.3 Hal ini menjadi tantangan besar. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penyediaan sumber penghidupan yang memadai akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan. Kemiskinan pada masyarakat di kawasan hutan yang diuraikan di atas merupakan masalah multi-dimensional yang secara umum berkaitan dengan pembangunan pedesaan dan secara khusus berkaitan dengan pengelolaan hutan.4 Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil hutan dengan sumber penghasilan utama berasal dari sektor pertanian, terutama dari budi daya tanaman pangan.

Dalam konteks tersebut, pemberian hak atau akses masyarakat terhadap lahan hutan sebetulnya merupakan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial (social

equity) sebagaimana diamanatkan

Pancasila dalam sila ke-5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Millennium Challenge Account–Indonesia melalui para penerima hibah Window 2

menunjukkan bahwa perhutanan sosial bisa menyelaraskan pelestarian lingkungan

dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan-keberhasilan kecil

mulai terlihat di sejumlah wilayah dampingan. Meski demikian masih terdapat

sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Pentingnya Perhutanan Sosial

____

1 Data SUSENAS bulan September 2013.

2 Analisis Rumah Tangga Sekitar Kawasan Hutan di Indonesia. Hasil Survei Kehutanan Tahun 2014, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2014), hlm. 10.

3 Publikasi Statistik Indonesia 2015, lihat: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1849 diakses 16 Oktober 2017.

4 Peluso (1992) dan Li (2002) dalam Gutomo Bayu Aji, Joko Suryanto, Rusida Yulianti, Amorisa Wirati, Ali Yansah Abdurrahim, Temi Indriati Miranda, “Strategi Pengurangan Kemiskinan di Desa-Desa Sekitar Hutan.” Laporan Penelitian (Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014), hlm.2.

P

erhutanan Sosial untuk P

eles tarian dan K esejaht er aan Rak ya t 137

Di sisi lain, pengelolaan hutan secara komersial telah terbukti memberi dampak negatif terhadap kelestarian alam. Angka kerusakan hutan di Indonesia dari periode keemasan pengusahaan tersebut, bahkan hingga sekarang, terus saja me- ningkat. Pengusahaan hutan, pembalakan liar, dan konversi hutan untuk pertambangan dan perkebunan menjadi penyebab utama deforestasi.

Kondisi tersebut berbeda dengan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan hutan model ini diyakini mampu memperkuat upaya konservasi serta memastikan wilayah yang penting bagi masyarakat, dan tidak berubah peruntukannya dalam bentuk pengelolaan lain, seperti untuk

tambang, hutan tanaman industri (HTI), atau perkebunan kelapa sawit.5

Selama ini masyarakat menggunakan kearifan lokal dalam mengatur, menjaga, dan mengelola hutan. Kearifan lokal ini merupakan bentuk kesadaran dan kesepakatan bersama antar warga yang secara kultural ditaati oleh anggota masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Pengetahuan dan kearifan lokal diwariskan secara turun-temurun, baik dalam tradisi dan praktik budaya, maupun dalam bentuk tulis. Kearifan lokal juga terus mengalami adaptasi, inovasi, dan dinamika selaras dengan peru-bahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta lingkungannya.6

____

5 Edi Purwanto, Tantangan Perhutanan Sosial dan Peran CSO, Prosiding Lokakarya “Strategi Penguatan Perhutanan Sosial dan Peran CSO” Hotel Sahira, Bogor, Indonesia, 22-23 Oktober 2015, (Yogyakarta: Debut Press, 2017), hlm. 17.

6 Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM, Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2016), hlm. 27.

Bunga Rampai K

emakmur

an Hijau

P

erhutanan Sosial untuk P

eles tarian dan K esejaht er aan Rak ya t 139 Pengelolaan hutan yang mengedepankan kearifan

lokal sampai saat ini masih bisa dilihat di berbagai tempat. Misalnya, di Sungai Utik, Kalimantan Barat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di sana telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dengan skema yang dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia.

Dalam bentuk yang lebih “modern,” pengelolaan kebun rakyat menjadi kebun campur dengan tegak-an domintegak-an kayu, ytegak-ang seringkali disebut dengtegak-an hutan rakyat, juga dapat kita temui di berbagai tempat di Indonesia. Di Jawa, lebih dari 5 juta hektar (ha) lahan milik masyarakat secara fisik telah dikelola dalam bentuk kebun campur. Lahan ini memiliki fungsi ekologis menyerupai hutan.7 Bentuk serupa juga banyak ditemui di luar Pulau Jawa, seperti di Lampung, Sulawesi Tenggara (Muna, Konawe Selatan), dan Sulawesi Selatan (Luwu Timur). Berbagai model pengelolaan hutan skala kecil oleh masyarakat tersebut telah mendapat pengakuan dengan berbagai skema sertifikasi yang ada dan secara ekonomi telah berkontribusi secara nyata bagi kemajuan masyarakat setempat. Bahkan, data perkembangan industri kehutanan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kontribusi kayu rakyat yang semakin besar. Dari data statistik Kehutanan tahun 2014, misalnya, produk barecore, yang sepenuhnya dihasilkan oleh kayu rakyat, produksinya sudah mencapai hampir satu juta meter kubik (970,451 m3).8 Belum lagi veneer dan kayu lapis, yang hampir sepertiganya diproduksi di Jawa, di mana lebih dari separuh bahan bakunya berasal dari kayu sengon dari hutan rakyat. Demikian juga

dengan furniture jati yang sebagian kayunya berasal dari tanaman masyarakat di daerah Gunungkidul, Wonogiri, dan sekitarnya.

Selaras dengan hal di atas, kesadaran masyarakat di kawasan hutan terhadap hak-haknya semakin meningkat. Apabila kondisi seperti ini diabaikan pemerintah, masyarakat justru bisa melakukan tindakan-tindakan illegal yang cenderung merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, kehadiran negara dalam menjamin, mengatur, dan mengarahkan masyarakat dalam pengelolaan hutan menjadi kebutuhan yang mendesak, sehingga kearifan lokal tetap terjaga dan hutan tetap lestari.9 “Berbagai data dan fakta tersebut

menguatkan gagasan tentang pentingnya menjaga relasi hutan dan masyarakat. Gagasan ini awalnya muncul pada tahun 1980-an setelah Kongres Kehutanan sedunia menyerukan forest for people (hutan untuk rakyat). Belakangan, pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama juga mulai diterapkan dalam sejumlah kebijakan Pemerintah Indonesia.”

Hal ini misalnya terdapat dalam Sistem Hutan Kerakyatan, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Hutan Kemasyarakatan, dan perhutanan sosial. Kabar terbaru, Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmen untuk mengimplementasikan perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha yang disebutkan dalam RPJMN 2015 – 2019 sebagai implementasi Nawacita.

____

7 Laporan Javlec, 2011.

8 Badan Pusat Statistik, Statistik Produk Kehutanan 2014.

9 Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan agar penguasaan negara atas hutan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, oleh sebab itu negara harus menjamin akses masyarakat terhadap sumber daya hutan dengan memperhatikan berbagai aspek sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 2 yang berbunyi “penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.”

Bunga Rampai K

emakmur

an Hijau

140

Periode 1980-an Hingga 2006

Dalam dokumen Bunga Rampai Kemakmuran Hijau (Halaman 139-144)