• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meraih Pasar Hasil Hutan Masyarakat, Upaya Nyata

Dalam dokumen Bunga Rampai Kemakmuran Hijau (Halaman 163-166)

Peningkatan Ekonomi Rakyat

Hasil hutan yang telah diolah menjadi sebuah produk, tentunya memerlukan akses pasar untuk menyerap produk tersebut. Berdasarkan pengalaman penerima hibah MCA–Indonesia di lapangan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meraih akses pasar tersebut. Langkah pertama adalah promosi, berikutnya kerjasama dengan BUMDesa dan pebisnis/swasta. Langkah terakhir adalah mempertahankan kualitas produk dan kepastian keberlanjutan serta kuantitas produksi.

Kegiatan promosi diharapkan bisa mengenalkan produk ke masyarakat luas. Dalam melakukan promosi dapat melalui berbagai media yang ada, bisa media cetak maupun elektronik. Namun demikian, pada era digital seperti saat ini promosi produk lebih banyak melalui jejaring internet, baik media sosial ataupun media website. Berdasarkan hasil

Bunga Rampai K

emakmur

an Hijau

160

survei dari Polling Indonesia dan APJII (2016), jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 mencapai 132,7 juta orang atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Data tersebut menunjukkan bahwa promosi melalui internet menjadi salah satu pilihan yang efektif untuk mengenalkan atau menjual produk ke masyarakat luas.

“Dinamika baru ini mendorong Konsor- sium LATIN untukmempromosikan produk Jahena (minuman jahe) hasil olahan Koperasi Wanakita di kerinci melalui internet (online).26 Promosi yang dilakukan di antaranya melalui berbagai website. Selain itu, pemasaran juga dilakukan melalui berbagai aplikasi pemasaran online dan melalui media sosial.”

Dalam kegiatan pemasarannya tersebut, Koperasi Wanakita tidak bekerja sendirian. Koperasi ini telah mengembangkan kerjasama dengan BUM (Badan Usaha Milik) Desa Pancaran Aro yang di-tandai dengan penandatanganan MoU yang telah disepakati bersama. Dalam MoU tersebut, disepakati bahwa BUMDesa Pancara Aro akan menyertakan modalnya kepada Koperasi Wanakita sebesar 12 Juta rupiah. Selanjutnya, BUMDesa Pancaran Aro akan fokus pada kegiatan pemasaran, sedangkan Koperasi Wanakita akan berkonsentrasi untuk memproduksi Jahena. Dengan kerjasama dan pengembangan metode pamasaran yang dilakukan, jangkauan pasar produk ini kini sudah mencapai tingkatan nasional dan internasional. Pada tingkat nasional, produk Jahena di pasarkan ke Bandung, Jakarta, Lombok, dan Sumatera Barat. Sedangkan pada tingkat

inter-nasional, produk jahena sudah diekspor ke Maroko dan Malaysia.27

Seperti yang terjadi di Jambi, kerjasama dengan BUMDesa juga dilakukan oleh kelompok dampingan penerima hibah MCA–Indonesia di Lombok. Dalam rangka melakukan perluasan pemasaran dan penambahan modal, Kelompok Wanita Tani (KWT) dan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Benang Setukel di Desa Aik Berik yang difasilitasi WWF Nusa Tenggara menjalin kerjasama dengan BUMDesa Grand Rinjani. Dalam kerja sama ini, BUMDesa Grand Rinjani menyertakan modal sebe-sar Rp 30.000.000 untuk pengembangan produk pada dua kelompok tersebut. Produk yang dihasilkan diantaranya Keripik Talas, Keripik Pisang, Stik Pakis, Kopi, Keripik Begagang dan masih banyak yang lainya. BUMDesa Grand Rinjani yang saat ini sedang mengembangkan ekowisata di Desa Aik Berik, nan-tinya juga akan memasarkan produk-produk olahan masyarakat tersebut pada lokasi ekowisata. Selain bekerjasama dengan BUMDesa, untuk meraih akses pasar lebih luas, makanan olahan masyarakat terse- but juga dipasarkan di sejumlah gerai oleh-oleh di Lombok, khususnya yang berada di lokasi wisata.28

Hingga saat ini, skala pengembangan pasar produk hasil hutan bukan kayu di dalam portofolio perhutanan sosial MCA–Indonesia belum terlalu besar. Sebagian besar penerima hibah dan masya-rakat dampingannya masih berada pada tahap awal dalam pengembangan pasar produk hasil hutan tersebut. Dari pembelajaran yang ada di proyek ini, ada beberapa kendala yang dihadapi untuk masuk dan bersaing di pasar, antara lain kualitas produk dan kontinuitas produk. Seperti yang terlihat di Kerinci, kualitas produk kopi masyarakat masih belum dapat diandalkan untuk memasuki pasar kopi premium. Sementara itu, jika akan mengakses pasar melalui ____

26 Wawancara dengan Fauzie, Fasilitator Lapangan LSM Walestra, pada 6 November 2017.

27 Wawancara dengan Erizal (Kepala Desa Koto Tuo), pada 6 November 2017.

P

erhutanan Sosial untuk P

eles tarian dan K esejaht er aan Rak ya t 161

kemitraan dengan perusahaan besar, tantangannya adalah kontinuitas produksi. Meskipun demikian, setidaknya apa yang dilakukan oleh para penerima hibah MCA–Indonesia di berbagai daerah di Indonesia telah menjadi penanda berjalannya putaran roda ekonomi perhutanan sosial.

Berbagai model pemasaran alternatif telah dimanfaatkan, seperti pemasaran daring. Demikian pula kerja sama dengan BUMDesa juga sudah mulai berkembang. Ini artinya bahwa pegembangan perhutanan sosial memang tidak bisa dilakukan hanya sektoral saja. Perhutanan sosial harus diintegrasikan dengan pembangunan desa secara utuh, dan kelembagaan perhutanan sosial juga harus dikawinkan dengan kelembagaan desa, ter-masuk BUMDesa. Melalui kerja bersama secara multisektoral ini diharapkan kemanfaatan ekonomi dari perhutanan sosial akan menjadi semakin nyata, dan pada akhirnya peningkatan kesejahteraan

masyarakat desa hutan akan terwujud. Satu strategi pengembangan pasar yang belum banyak dikembangkan adalah bermitra dengan off taker besar. Salah satu yang tercatat sudah merintis upaya itu adalah SCF, yang telah mencoba menjajaki kerja sama pemasaran veener yang akan diproduksinya dengan CV. Abiyoso, salah satu produsen kayu olahan dari sengon yang berlokasi di Boyolali Jawa Tengah. Model-model ini seharusnya lebih banyak dikembangkan, karena pasar yang lebih besar dan nyata adalah pasar yang saat ini dikuasai oleh pelaku besar. Dengan demikian, tidak ada salahnya kalau kelompok-kelompok perhutanan sosial juga terhubung dengan pasar ini, karena kemitraan dengan pelaku pasar besar akan dapat menjadi salah satu pilihan keberlanjutan bagi program-program pembangunan seperti MCA–Indonesia.

Bunga Rampai K

emakmur

an Hijau

162

Pelajaran yang didapatkan oleh MCA–Indonesia melalui para penerima hibah Window 2 menunjukkan bahwa perhutanan sosial mulai berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan-keberhasilan kecil mulai terlihat di sejumlah wilayah dampingan. Meskipun demikian masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pekerjaan rumah itu mulai dari teknis pengalokasian kawasan melalui peta Penetapan Areal Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPS) hingga memastikan dukungan dari semua stakeholder pemerintah di sektor kehutanan. Secara khusus, implementasi program Kemakmuran Hijau Window 2 CBNRM ini telah mengidentifikasi beberapa pembelajaran untuk pelaksanaan perhu-tanan sosial, yaitu:

Memastikan Legalitas

Dalam dokumen Bunga Rampai Kemakmuran Hijau (Halaman 163-166)