• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

2. Menguji jenis tumbuhan obat yang paling berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

Hipotesis Penelitian

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki beranekaragam tumbuhan yang berpotensi untuk tumbuhan obat.

Manfaat Penelitian

1. Mengungkapkan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional dalam rangka melestarikan warisan nilai-nilai budaya leluhur.

2. Menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini

TINJAUAN PUSTAKA

Keanekaragaman Tumbuhan Obat

Bumi Indonesia kaya akan sumberdaya alam hayati, termasuk bahan obat-obatan alami yang dapat dipergunakan untuk pengobatan secara tradisional. Terutama di daerah pedesaan yang memiliki fasilitas pengobatan modern sangat terbatas, sehingga upaya pemeliharaan kesehatan melalui pengobatan tradisional memegang peranan penting dan bahkan merupakan porsi dominan (Simbala,1997).

Menurut Zuhud dan Siswoyo (2001), di hutan tropika Indonesia terdapat sekitar 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan berbunga, jauh melebihi jumlahnya di daerah-daerah di Amerika Selatan dan Afrika Barat. Selanjutnya dikemukakan bahwa, jumlah jenis tumbuhan di setiap formasi hutan sangat bervariasi. Misalnya pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae di Kalimantan dijumpai 239 jenis pohon per 1,5 hektar dengan diameter > 10 cm dan 28 jenis pohon per hektar pada hutan kerangas yang tumbuh pada tanah pasir putih atau tanah podsol . Jumlah ini belum termasuk bentuk kehidupan lainnya, seperti herba, semak, liana, paku-pakuan, epifit, cendawan dan jasad renik lainnya. Keaadaan tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu gudang keanekaragaman hayati penting di dunia. Keanekaragaman tumbuhan obat yang terhimpun dalam berbagai formasi hutan Indonesia merupakan aset nasional yang tak terhingga nilainya bagi kesejahteraan umat manusia.

Sampai saat ini, tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah tumbuhan yang telah dimanfaatkan sebagai obat di Indonesia. Berdasarkan catatan WHO, lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh seluruh penduduk dunia. Burkill 1965, diacu dalam Zuhud et al. 2001, mencatat bahwa tidak kurang dari 1650 jenis tumbuhan di Semenanjung Malaya yang dinyatakan mempunyai khasiat sebagai obat. Seandainya 11 % total keanekaragaman di dunia terdapat di Indonesia, maka paling sedikit terdapat 2200 jenis tumbuhan obat terdapat di Indonesia. Menurut catatan Kooders (1911) diacu dalam Zuhud (1994), hutan di Indonesia memiliki jumlah jenis tumbuhan obat tidak kurang dari 9606 jenis. Sedangkan menurut PT. Eisai Indonesia telah menghimpun data berupa indeks tumbuh-tumbuhan obat Indonesia sebanyak 3689 jenis. Namun

demikian dalam studi itu hanya dikemukakan 1260 jenis tumbuhan obat yang secara pasti diketahui berasal dari hutan tropika Indonesia.

Berdasarkan hasil kajian yang pernah dilakukan sampai tahun 2000 ditemukan tidak kurang dari 1.845 jenis tumbuhan obat yang sudah diidentifikasi (Zuhud, et al 2001; Anonim 2002). Kekayaan jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan tropis Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan yang telah berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi oleh Program Penelitian Tumbuhan Obat Hutan Indonesia FAHUTAN IPB tidak kurang dari 1800 jenis tumbuhan obat, di antaranya lebih dari 250 jenis saat ini dieksploitasi dari hutan untuk bahan baku industri obat tradisional di Indonesia. Diperkirakan pula tidak kurang dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat.

Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone telah dilakukan sejak tahun 1992. Hasil inventarisasi Pangemanan-D (1992), di Kabupaten Bolaang Mongondow terdapat 169 jenis tumbuhan obat, 20 % di antaranya berasal dari kawasan TNBNW . Selanjutnya Zuhud (1994) mencatatat bahwa terdapat 99 jenis tumbuhan obat yang dimafaatkan sebagai obat, tapi hanya 11 jenis yang berasal dari hutan TNBNW. Setahun kemudian Nasution (1995) berhasil menginventarisasi 51 jenis tumbuhan obat di kawasan Kotamobagu yang terletak di sebelah Timur kawasan TNBNW. Pada tahun 2004 Simbala dan kawan-kawan mencatat 65 jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat Suku Bogani Kabupaten Bolaang Mongondow. Dari hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa kajian aspek ekologi maupun etnobotani di kawasan TNBNW masih sangat terbatas bahkan belum ada yang mengungkapkan kajian dari dua sudut pandang kajian ekologi dan etnobotani secara bersamaan.

Setiap kawasan alam sesungguhnya telah menyediakan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dalam menyediakan materi biologi untuk bermacam ragam manfaat, antara lain keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati berbagai macam penyakit, keanekaragaman bahan pangan, dan lain-lain (Simbala, 1998). Menurut Achmad (2003), berbagai bahan obat yang berasal dari tumbuhan hutan tropis, terutama yang berhasiat untuk pengobatan penyakit degeneratif seperti rematik. jantung/ hipertensi dan antifertilitas yang bermanfaat

telah ditemukan dan diuji bioaktifitasnya. Bahan kimia yang bersumber dari tumbuhan yang telah digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan reserpin dari Rauwolfia serpentina Benth, dan deserpidin dari R. tetraphylla L. (Apocynaceae); untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti kuabain dari Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretic dan vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. termasuk suku Sterculiaceae. Sedangkan bahan kimia asal tumbuhan yang dapat dipakai sebagai antifertilitas telah banyak dikaji di antaranya Levo gossypol sebagai agen antifertilitas pada pria berasal dari Gossypium jenis (Malvaceae). Ekstrak etanol dari Artemisia absinthium, dan Schubertia multiflora sebagai antifertilitas, dan

Ruta graveolus dapat menyebabkan keguguran (Rao, 1988); dan sebaliknya

Phenylethanoid glycosides dari herba Cistanchis dipakai untuk pergobatan bagi impotensi dan fungsi vital ginjal (Tu, et al, 1997).

Senyawa kristalin yang diketahui sebagai daucosterol, cumanbrin-A, acacetin, glyceryl-1- monobehenate dan asam palmitik (chrysanthemol) yang diisolasi dari bunga-bunga Chrysanthemum indicum, chrysanthemol anti inflamasi pada tikus (Yu, et al, 1987); dan thalicsiline dari Thalictrum sessile (Wu

et al, 1988).

Pemanfaatan Tumbuhan Obat dan Pelestariannya

Tumbuhan obat menurut Zuhud (1994) adalah seluruh jenis tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokkan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu jenis tumbuhan yang diketahui mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. (2) tumbuhan obat modern , yaitu jenis tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan (3) tumbuhan obat potensial, yaitu jenis tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah-medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional masih ditelusuri. Tumbuhan Obat adalah tumbuhan yang berkhasiat obat yaitu menghilangkan rasa sakit, meningkatkan daya tahan tubuh, membunuh bibit penyakit dan memperbaiki organ yang rusak serta menghambat pertumbuhan tidak norma seperti tumor dan kanker (Anonim, 2003) .

Tumbuhan obat dapat berupa tumbuhan liar seperti semak, belukar dan tumbuhan, hutan, tanaman perkebunan, tanaman hias maupun tanaman hortikultura tetapi sebagaian besar merupakan tumbuhan liar di hutan primer maupun sekuder (Simbala, 2000),.

Penggunaan tumbuhan obat sudah dilakukan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun sehingga tumbuhan obat dikenal sebagai obat nenek moyang. Berdasarkan kenyataan ini maka penggunaan tumbuhan obat sudah merupakan bagian dari tradisi masyarakat tradisional kita (Simbala, 1999). Catatan sejarah menunjukkan bahwa di wilayah nusantara dari abad ke 5 sampai dengan abad ke 19, tanaman obat merupakan sarana paling utama bagi masyarakat tradisional kita untuk pengobatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan (Ahmad ZA, et al. 2002).

Menurut Winarto (2002), Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram mencapai puncak kejayaannya dan menyisakan banyak peninggalan yang dikagumi dunia, yaitu produk masyarakat tradisional yang mengandalkan pemeliharaan kesehatan dari tumbuhan obat. Tetapi dengan masuknya pengobatan modern di Indonesia, yang ditandai dengan didirikannya Sekolah Dokter Jawa (Stovia) di Jakarta tahun 1904, maka secara bertahap dan sistematis penggunaan tumbuhan obat ditinggalkan. Sejalan dengan masuknya modernisasi maka pola hidup tradisional tererosi.

Selanjutnya dikemukakan bahwa masuknya pengobatan modern membuat masyarakat beralih dari memanfaatkan tumbuhan obat menjadi menggantungkan diri pada obat kimia modern. Penggunaan tumbuhan obat dianggap kuno, terbelakang dan berbahaya. Tumbuhan yang telah digunakan secara turun temurun itupun ditinggalkan, bahkan tumbuhan obat yang telah didomestikasi diterlantarkan. Akibatnya masyarakat umumnya tidak mengenal tumbuhan obat dan penggunaannya karena umumnya pengetahuan tentang tumbuhan obat hanya diketahui oleh masyarakat yang telah lanjut usia dan umumnya tidak diturunkan ke generasi muda.

Berbeda dengan negara Indonesia, hal serupa tidak terjadi di Negara- negara tetangga seperti RRC, Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea dan Negara timur lainnya. Di negara-negara tersebut pengobatan modern diterima dan dikembangkan sedangkan pengobatan tradisional dipelihara dan dikembangkan sangat efektif. Obat tradisional diresepkan oleh dokter dan digunakan di banyak

rumah sakit, sehingga pasien dapat memilih untuk menggunakan obat kimia atau obat tradisional tumbuhan obat atau gabungan keduanya (Anonim ,2003)

Menurut Pramono (2002), dekade terakhir abad ke 20 terdapat kecenderungan global kembali ke alam. Hal ini berarti kembali ke obat radisional. Kecenderungan ini sangat kuat di negara-negara maju dan hal ini berpengaruh besar di negara-negara berkembang. Saat ini obat herbal telah digunakan di Klinik Pengobatan Tradisional RS Dr. Sutomo Surabaya dan beberapa Puskesmas di Jombang dan Jember. Beberapa rumah sakit di Jakarta juga sudah menyediakan obat herbal.

Kecenderungan di seluruh dunia untuk kembali ke alam, termasuk di bidang obat-obatan. Menurut Winarto (2002), terdapat beberapa alasan mengapa kecenderungan kembali ke obat radisional tanaman obat yaitu: adanya kelebihan pemakaian Obat Tradisional dan kelemahan obat modern/kimia. Kelebihan obat tradisional (1) penggunaan bahan alam kurang drastis aktivitasnya bila dibandingkan dengan zat murni yang diisolasi dari bahan alam yang bersangkutan. Sebagai contoh pemakaian tanin untuk diare, akan lebih drastis dari pemakaian bahan alam yang mengandung tanin dari jambu biji (Psidii folium), kulit batang jambolang (Syzygii cartex) dan lain sebagainya. Bahan obat tersebut akan melepaskan tanin ke dalam saluran pencernaan secara berangsur- angsur pula. (2) bahan obat alam mempunyai khasiat lebih lengkap apabila dibandingkan dengan zat aktif tunggal yang dapat diisolasi dari bahan alam obat tersebut, misalnya kulit batang kina akan lebih lengkap apabila dibandingkan dengan alkaloid kinina saja. Hal ini disebabkan adanya zat aktif lainnya di dalam kulit batang kina yaitu kinidia, sinkodina, sinkonidina dan sebagainya, yang masing-masing mempunyai efek farmakologi sendiri-sendiri. Khasiat bahan alam tersebut merupakan resultan (gabungan) khasiat dari zat-zat yang dikandungnya. (3) bahan obat alam memberi efek samping yang sangat kecil atau dapat dikatakan tanpa efek samping bila dibandingkan dengan zat aktif tunggal yang didapat dari hasil isolasi dan dimurnikan dari bahan alam yang bersangkutan. Hal ini disebabkan adanya faktor yang ada dalam bahan itu yang dapat menetralisir efek samping yang ditimbulkan zat aktif yang dikandung dalam bahan tersebut. Kelemahan obat tradisional yaitu bentuk sediaannya yang tidak praktis, karena belum dalam bentuk tabelt atau kapsul yang siap diminum.

Adapun kelemahan obat modern/obat kimia yaitu (1) efek samping langsung atau terakumulasi, ini terjadi karena obat modern terdiri dari bahan

kimia yang murni, baik tunggal maupun campuran. Bahan kimia bersifat tidak organis dan murni sehingga bersifat tajam dan reaktif (mudah bereaksi) sedangkan tubuh bersifat organis dan kompleks sehingga dengan demikian bahan kimia bukan merupakan bahan yang benar-benar cocok untuk tubuh; bahan kimia bukan makanan dan minuman. Konsumsi bahan kimia untuk tubuh terpaksa dilakukan dengan berbagai batasan dan dengan pemahaman masih dapat diterima atau ditoleransi oleh tubuh. Penggunaan bahan kimia sebagai obat sekarang ini diakui memberi efek samping langsung atau terakumulasi. (2) sering kurang efektif untuk penyakit tertentu, banyak penyakit yang belum ditemukan obatnya, sehingga obat yang digunakan lebih banyak bersifat simptomatis dan digunakan terus menerus sesuai gejalanya. Beberapa penyakit bahkan belum diketahui penyebabnya. Sering pasien harus berulangkali berobat tapi tidak mengalami kemajuan bahkan memburuk keadaannya. (3) harganya mahal karena adanya faktor impor, hampir seluruh obat kimia dan bahan baku obat kimia yang kita gunakan merupakan barang impor. Hal ini terjadi karena untuk meproduksi obat dibutuhkan teknologi canggih, biaya dan waktu pengujian yang cukup lama. Hal lain yang cukup signifikan yang berpengaruh pada impor yaitu bahwa produksi obat membutuhkan kepercayaan dan sampai saat ini kepercayaan itu sudah dikuasai oleh negara-negara tertentu yang dikenal sebagai produsen obat.

Sejak zaman dahulu rakyat Indonesia telah mengenal berbagai jenis tumbuhan obat dan memanfaatkannya untuk menjaga kesehatan dan pengobatan penyakit. Pemanfaatan obat tersebut diperoleh berdasarkan pengetahuan secara empirik dan kemudian dipraktekkan secara turun temurun serta menjadi tradisi yang khas di setiap daerah dan suku di Indonesia. Ratusan etnis atau suku bangsa yang terdapat di Indonesia masih hidup secara tradisional. Kehidupan mereka sangat erat dengan alam, khususnya pemanfaatan tumbuhan obat dari ekosistem hutan alam. Kekhasan ini selain disebabkan oleh kondisi geografis daerah terutama vegetasi dari masing-masing wilayah, juga disebabkan oleh perbedaan budayanya (Simbala, 1998).

Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkap sistem pengetahuan masyarakat adalah pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan kearifan, kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan (Purwanto, 2003). Menurut Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem pengetahuan yang ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom). Ilmu

pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan pada pengalaman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang sebagai konfirmasi, sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai petunjuk untuk memperoleh pengalaman pribadi.

Pengertian tentang kepercayaan memegang peranan penting dalam melakukan pendekatan secara integratif dalam mempelajari pola pikir (corpus). Kepercayaan suatu masyarakat mencapai bentuk yang paling sistematis terdapat pada sebuah mitos. Hal yang sama terjadi pada pengertian pengetahuan, seperti konsep pemikiran teori ekologis mengenai proses produksi berkelanjutan yang hanya dapat dicapai apabila keseimbangan ekosistem terpelihara dengan baik. Oleh karena itu untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus dilakukan pengabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat (Purwanto, 2003).

Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang harus diperhatikan dalam mempelajari korpus. Sistem ini mempunyai kontribusi penting untuk memahami dimensi korpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog harus mampu menggali informasi sistem pengetahuan lokal terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto, 2003).

Menurut Zuhud (1994), pengobatan tradisional adalah salah satu upaya pelayanan kesehatan yang dapat membantu meringankan beban pemerintah. Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam upaya mencapai kemampuan hidup yang sehat bagi setiap penduduk, pemerintah menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan peran aktif masyarakat. Masyarakat diharapkan mampu menolong diri dan keluarganya dengan pengobatan tradisional melalui pemanfaatan berbagai tumbuhan obat sebelum mendapatkan pelayanan dari puskesmas atau rumah sakit. Pengobatan tradisional secara langsung atau tidak langsung mempunyai ikatan dengan upaya pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam hayati, khususnya tumbuhan obat. Kaitan tersebut dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam pengobatan tradisional, serta aturan adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati, yang dapat dijumpai pada masyarakat asli seperti di Kepulauan Tanimbar Key, Maluku .

Susi dan Rodani (1995) menyatakan bahwa tradisi pengobatan suatu masyarakat tidak terlepas dari kaitan budaya setempat. Pemanfaatan sumberdaya tumbuhan obat yang ditemukan, banyak berasal dari tumbuhan hutan atau daerah sekitarnya yang masih tumbuh liar. Selanjutnya Nur dan

Iskandar (1995) mengatakan bahwa tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional merupakan tumbuhan yang dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Potensi ini merupakan aset nasional yang bernilai sangat strategis dan sangat tinggi untuk mengembangkan manfaat baru dari berbagai hasil tumbuhan untuk kepentingan manusia di dunia obat-obatan.

Endang (2002), mengemukakan bahwa 74 % dari 121 bahan senyawa aktif yang telah mnejadi obat-obat modern yang penting di USA seperti digitoxin, reserpin, tubocurarine dan ephedrin berasal dari pengetahuan obat tradisional dari kawasan hutan tropika. Tetapi ironisnya sampai saat ini tidak satupun masyarakat tradisional di kawasan hutan tropika memperoleh imbalan dari hasil pengembangan dan komersialisasi pengetahuan obat tradisional mereka.

Selanjutnya menurut Zuhud (1994) masyarakat tradisional dan modern hingga saat ini masih banyak yang menggunakan obat tradisional yang bersumber dari alam dan sebagaian dari tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan obat potensial. Namun lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun berdasarkan penggunaannya diketahui bahwa potensi jenis tumbuhan obat sangat tinggi, namun setiap lokasi penyebaran belum diketahui status populasinya di alam.

Disisi lain laju kerusakan hutan (deforestasi) yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dikhawatirkan akan mdengancam kelestarian jenis-jenis tumbuhan obat di dalamnya. Ancaman punahnya pengetahuan obat tradisional masyarakat, karena banyak yang tidak diturunkan lagi kepada generasi penerus dan belum sempat didata (Zuhud et al., 2002).

Pengetahuan, seni, dan keterampilan tentang cara-cara pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan obat tradisional bervariasi antara suku . Biasanya tidak semua penduduk dapat memahami cara pengelolaan dan pemanfaatannya tetapi hanya oleh segelintir masyarakat yang bisa dikenal sebagai dukun kampung. Dukun tidak sembarangan mengajarkan atau menurunkan pengetahuan, seni dan ketrampilannya kepada orang lain kecuali kepada keluarga. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini generasi muda sekarang mulai meninggalkan seni dan pengetahuan penggunaan pengobatan tradisional ini karena mereka menganggap sudah kuno. Akibatnya sulit mendapatkan pewaris dukun (pengobat tradisional) yang professional. Hal ini akan sangat memprihatinkan sebab kalau tidak segera dicatat dan

didokumentasikan, seni dan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan hutan untuk memelihara kesehatan akan lenyap (Simbala, 1998).

Menurut Zuhud et al., (2002), pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia merupakan suatu kegiatan terpadu, melibatkan banyak institusi, berbagai disiplin ilmu dan mempunyai 3 tujuan yang saling terkait yaitu: (1) pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable utilization) keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia; (2) melestarikan potensi keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia; (3) mempelajari keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia.

Konservasi sangat penting untuk bioprospeksi di samping pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan serta berbagai keuntungan diperoleh digunakan untuk konservasi dan pembangunan yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru untuk peningkatan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan keuntungan bagi masyarakat (Kehati, 2001).

Keanekaragaman tumbuhan selain mempunyai fungsi ekonomi bagi kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem. Dalam pengawetan suatu jenis, ekosistem berperan dalam sistem hidrologi. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan lebih ditekankan terhadap jenis asli dibandingkan introduksi, karena jenis asli merupakan kunci kontribusi terhadap fungsi ekosistem (Krebs, 2001).

Keanekaragaman kultural masyarakat merupakan bagian dari eksistensi keanekaragaman hayati yang bersifat saling menopang yang dimanifestasikan dalam bahasa, kepercayaan , struktur sosial, seleksi tanaman, manajemen lahan serta sejumlah simbol kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu keanekaragaman kultural tersebut merupakan satu komponen utama dalam kajian strategi konservasi keanekaragaman hayati (Zuhud et al., 2002).

Menurut Tjakrarini (2002) keberhasilan pembangunan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terukur dari keberhasilan pencapaian tiga sasaran konservasi yaitu : (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis di sekitarnya yang menjamin kelangsungan kehidupan mahluk yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2). Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumberdaya genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga

mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang mengunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.