• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Metode Penelitian

8. Metode Analisis Data

Metode deskriptif merupakan metode yang dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganalisis data sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti.

b. Metode Analisis Kuantitatif

Peneliti menganalisis data dengan menggunakan metode regresi linier berganda dengan rumus :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e Keterangan :

Y = Komitmen Organisasi a = Konstanta

b1-5 = Koefisien Regresi

X1 = Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri X2 = Kepuasan terhadap imbalan

X3 = Kesempatan promosi

X4 = Kepuasan terhadap supervisi X5 = Kepuasan terhadap rekan kerja e = Standar error

Model regresi linear berganda dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi asumsi normalitas data dan terbebas dari asumsi-asumsi klasik satatistik. Adapun syarat asumsi klasik yang harus dipenuhi model regresi berganda sebelum data tersebut dianalisi adalah sebagai berikut :

a) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel independen dan variabel dependen atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model yang paling baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal.

b) Uji Heterokedastisitas

Salah satu asumsi penting model regresi linier klasik adalah homokedastisitas atau penyebaran (scedastictiy) sama (homo).

Maksudnya adalah setiap unsur distrubance ui, tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan, adalah suatu angka konstan yang sama dengan σ2. Uji ini digunakan untuk menguji apakah gangguan (disturbance) ui yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homokedastisitas atau sebaliknya.

Apabila gangguan (disturbance) yang muncul mempunyai varians yang tidal sama, maka dapat dikatakan terdapat heterokedastisitas.

c) Uji Multikolinearitas

Uji ini digunakan untuk menguji apakah dalam model sebuah regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Jika terdapat korelasi antar variabel independen maka dapat dikatakan terdapat masalah multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel independen. Uji multikolinearitas menggunakan kriteria Variance Inflation Factor (VIF) dengan ketentuan :

Bila VIF > 5 maka terdapat masalah multikolinearitas yang serius.

Bila VIF < 5 maka tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius.

d) Uji Autokorelasi

Uji ini digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dan

kesalahan pengganggu pada periode t – 1 (periode sebelumnya). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokoeralsi. Uji autokorelasi ini menggunakan Durbin-Watson (DW) test.

Untuk keperluan analisis dan pengujian hipotesis, data diolah secara statistik dengan menggunakan alat Bantu SPSS versi 12.0. Dalam penelitian ini data yang ada diuji dalam beberapa tahap antara lain :

1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji validitas dilakukan untuk mengukur data yang telah didapat merupakan data yang valid dengan alat ukur yang digunakan (kuesioner). Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah skor tiap butir (Sugiono, 2002 : 106). Masrun (dalam Sugiono) menyatakan item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasinya tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula.. Untuk uji validitas instrument ini maka yang dijadikan respondennya adalah 20 orang karyawan pada PT. Trakindo Utama Area Sumatera. Uji Reliabilitas digunakan untuk melihat apakah alat ukur yang digunakan (kuesioner) menunjukkan konsistensi di dalam mengukur gejala yang sama.

2. Uji F, yaitu untuk menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara serentak (simultan) terhadap variabel terikat.

H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = b5 = 0, artinya secara serentak (simultan) tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) yaitu berupa variabel kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan

terhadap imbalan, kesempatan promosi, kepuasan terhadap supervisi dan kepuasan terhadap rekan kerja terhadap komitmen organisasi sebagai variabel terikat (Y).

Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ b5 ≠ 0, artinya secara serentak (simultan) terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) yaitu berupa variabel kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kesempatan promosi, kepuasan terhadap supervisi dan kepuasan terhadap rekan kerja terhadap komitmen organisasi sebagai variabel terikat (Y).

3. Uji t, yaitu menemukan seberapa besar pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel terikat.

H0 : b1 = 0, artinya secara parsial tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) yaitu berupa variabel kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kesempatan promosi, kepuasan terhadap supervisi dan kepuasan terhadap rekan kerja terhadap komitmen organisasi sebagai variabel terikat (Y).

Ha : b1 ≠ 0, artinya secara parsial ada pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) yaitu berupa variabel kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kesempatan promosi, kepuasan terhadap supervisi dan kepuasan terhadap rekan kerja terhadap komitmen organisasi sebagai variabel terikat (Y).

Kriteria pengambilan keputusan :

H0 diterima jika thitung < ttabel pada α = 5%

Ha diterima jika thitung > ttabelpada α = 5%

4. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) pada intinya digunakan untuk mengukur seberapa besar kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat. Jika koefisien determinasi (R2) semakin besar nilainya atau mendekati satu, maka kontribusi variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) adalah besar terhadap variabel terikat (Y).

Hal ini berarti model yang digunakan semakin kuat untuk menerangkan pengaruh variabel bebas yang diteliti terhadap variabel terikat. Sebaliknya jika koefisien determinasi (R2) semakin mengecil nilainya atau mendekati nol maka dapat dikatakan bahwa pengaruh variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) terhadap variabel terikat (Y) semakin kecil. Hal ini berarti model yang digunakan tidak kuat untuk menerangkan pengaruh variabel bebas yang diteliti terhadap variabel terikat.

BAB II

URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu

Penelitian Hatmoko (2006) yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi dan Pembedaannya Terhadap Karakteristik Demograpik (Studi Kasus Di PDAM Kabupaten Karanganyar), menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi.

B. Pengertian dan Teori Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja

Pada pikiran yang paling mendasar, kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang (Malthis dan Jackson, 2001 : 98).

Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individuil.

Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan system nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya (As’ad, 1998 : 104).

Locke memberikan defenisi komprehensive dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah

hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006 : 243).

Malayu (2005 : 202), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepuasan yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperolah pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja yang baik. Kepuasan di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya.

Handoko (2001 : 193) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para keryawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.

Kepuasan kerja adalah tingkat perasaan seseorang akan kesukaan dan ketidaksukaannya dalam memandang pekerjaannya, artinya seorang karyawan akan menyukai atau tidak menyukai pekerjaannya dapat terlihat dari sikapnya terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.

2. Teori-Teori Kepuasan Kerja

Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad : 1998) teori-teori tentang kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim dikenal yaitu Discrepancy theory, Equity theory, dan Two Factor theory.

1) Discrepancy Theory (Teori Perbedaan)

Teori discrepancy menjelaskan bahwa keadilan ditentukan oleh keseimbangan antara apa yang dirasakan seseorang sebagai hal yang seharusnya ia terima dengan apa yang secara nyata ia terima (Gomes, 2003 : 182).

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Porter dalam As’ad (1998:105).

Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there “is now”).

Locke dalam Yuli (2005 : 191) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada Discrepancy antara should be expectation, need or values dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah dicapai atau diperoleh melalui pekerjaannya.

Apabila yang didapat ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positip. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaaan.

2) Equity Theory (Teori Keseimbangan atau Keadilan)

Teori keadilan adalah bahwa karyawan akan membandingkan usaha mereka dan imbalan mereka dengan usaha dan imbalan yang diterima rekannya dalam situasi kerja yang sama (Nasution, 2000 : 208).

Equity theory pertama kali dikembangkan oleh Adam (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zeleznik (1958) dikutip dari Locke (1969), dalam As’ad (1998 : 105). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperolah orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain.

Yulk dan Wexley dalam Yuli (2005 : 191) mengelompokkan tiga elemen dari teori ini yaitu elemen input, outcome, comparison person dan equity-in-equity. Yang dimaksud dengan dengan input adalah sebagai berikut : input is anything of value that an employee perceives that he contributes to his job (input adalah segala sesuatu yang sangat berharga yang dirasakan oleh karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan atau semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Sebagai contoh input adalah pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan, dan lain-lain).

Outcome is anything of value that the employee perceives he obtained from the job (semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan, status symbol, pengenalan kembali (recognition), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri. Sedangkan comparison person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya

sendiri di waktu lampau (the comparison person may be someone in the same organization, someone in a different organization, or even the person himself in a previous job). Equity-in-equity diartikan bahwa setiap karyawan akan membandingkan rasio outcomes dirinya sendiri dengan rasio input-outcomes orang lain (comparison person).

3) Two Factor Theory (Teori Dua Faktor)

Dua faktor tentang motivasi yang dikemukakan oleh Herzberg adalah faktor yang membuat orang merasa puas (satisfiers) dan faktor yang membuat orang tidak puas (dissatifiers) (Yuli, 2005 : 192).

Menurut Herzberg dalam As’ad (1998 : 108), satisfiers (motivator) ialah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari :

a. Prestasi (achievement) b. Pengakuan (recognition)

c. Pekerjaan itu sendiri (the work itself) d. Tanggung jawab (responsibility) e. Kemajuan (advancement)

Menurut Herzberg bahwa hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.

Dissatifiers (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari :

a. Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan (company policy and administration)

b. Mutu dari penyelia (supervision technical)

c. Upah (salary)

d. Hubungan antar personal (interpersonal relations) e. Kondisi kerja (working condition)

f. Keamanan kerja (job security) g. Status

Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja.

Untuk satisfiers ini kadang-kadang diberi nama lain sebagai intrinsic factor, job content, dan motivator. Sedangkan sebutan lain yang sering digunakan untuk dissatisfiers ialah extrinsic factor, job context dan hygiene factor.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Smith, Kendall dan Hulin (Munandar, 2004 : 74), menyatakan ada lima dimensi dari kepuasan kerja yaitu :

a. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, dimana hal itu terjadi bila pekerjaan tersebut memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai dengan minat serta kesempatan untuk bertanggung jawab.

b. Kepuasan terhadap imbalan, dimana sejumlah uang gaji yang diterima sesuai dengan beban kerjanya dan seimbang dengan karyawan lain pada organisasi tersebut.

c. Kesempatan promosi yaitu kesempatan untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi.

d. Kepuasan terhadap supervis, bergantung pada kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi.

e. Kepuasan terhadap rekan kerja yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial.

Luthans (2006, 243) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja yaitu :

a. Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja.

b. Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan.

c. Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.

Robbins (2001 : 149), menyatakan bahwa faktor-faktor yang lebih penting yang mendorong kepuasan kerja adalah :

a. Kerja yang secara mental menantang

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

b. Ganjaran yang pantas

Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka.

c. Kondisi kerja yang mendukung

Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar yang tidak berbahaya dan merepotkan.

d. Rekan sekerja yang mendukung

Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari pekerjaan mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja.

e. Kesesuaian antara kepribadian-pekerjaan

Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan. Pada hakikatnya logika adalah : orang-orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dn kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka; dengan demikian lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut; dn, karena sukses ini, mempunyai probabilitas yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari pekerjaan mereka.

Menurut hasil penelitian Glison, Durick, dan Rousseau yang diadopsi oleh Panggabean (2004 : 129), mengemukakan bahwa faktor-faktor penentu kepuasan yaitu :

a. Karakteristik pekerjaan

Karakteristik pekerjaan terdiri atas keanekaragaman keterampilan (skill variety), identitas tugas (task identity), keberartian tugas (task significance), otonomi (autonomy), dan umpan balik (feedback).

b. Karakteristik organisasi

Karakteristik organisasi mencakup skala usaha, kompleksitas, formalisasi, sentralisasi, jumlah anggota kelompok, anggaran anggota kelompok, lamanya beroperasi, usia kelompok kerja, dan kepemimpinan.

c. Karakteristik individu

Karakteristik individu terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, usi masa kerja, status perkawinan, dan jumlah tanggungan.

Yuli (2005 : 197), menyatakan ada enam faktor utama yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan yaitu :

a. Komponen upah atau gaji

Seseorang bekerja dalam organisasi mungkin mempunyai perbedaan keterampilan, pengalaman, pendidikan dan senioritas. Mereka mengharapkan imbalan keuangan diterima mencerminkan perbedaan tanggung jawab, pengalaman, kecakapan atupun senioritas. Sehingga apabila kebutuhan akan gaji atau upah dapat terpenuhi, maka karyawan akan memperoleh kepuasan dari apa yang mereka harapkan.

b. Pekerjaan

Ada dua aspek penting yang mempengaruhi kepuasan kerja yang berasal dari pekerjaan itu sendiri (Arnold dan Felman : 1986), yaitu variasi pekerjaan dan control atas metode dan langkah-langkah kerja. Secara umum, pekerjaan dengan jumlah variasi yang moderat akan menghasilkan kepuasan kerja yang relatif. Pekerjaan yang menyediakan kepada karyawan sejumlah otonomi akan memberikan kepuasan kerja yang tinggi.

c. Pengawasan

Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan, yaitu usaha mempengaruhi kegiatan pengikut melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu. Supervisor secara langsung mepengaruhi kepuasan kerja dan prestasi melalui kecermatannya dalam mendisiplinkan dan menerapkan peraturan-peraturan.

d. Promosi karir

Promosi berfungsi sebagai perangsang bagi mereka yang memiliki ambisi dan prestasi kerja yang tinggi. Dengan demikian, usaha-usaha menciptakan kepuasan atas komponen promosi dapat mendorong mereka untuk berprestasi lebih baik di masa-masa yang akan datang.

e. Kelompok kerja

Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para karyawan puas berada dalam kelompok tersebut. Kepuasan tersebut timbul terutama berkat kurangnya ketegangan, kecemasan dalam kelompok, dan karena mereka lebih mampu menyesuaikan diri dengan tekanan pengaruh dari pekerjaan.

f. Kondisi kerja

Karyawan menginginkan kondisi di sekitar pekerjaannya baik karena kondisi tersebut mengarah kepada kenikmatan atau kesenangan secara fisik.

D. Konsekuensi Kepuasan Kerja

Adapun konsekuensi kepuasan kerja yang diadopsi oleh Panggabean (2004:131) adalah sebagai berikut :

a. Perputaran karyawan (Mobley, 1982)

Seorang karyawan yang puas dengan perusahaan dimana ia bekerja mempunyai kemungkinan lebih besar untuk bertahan lebih lama pada perusahaan tersebut, sehingga tingkat keluar masuk karyawannya kecil.

b. Komitmen organisasi (Vandenberg dan Lance, 1992)

Dapat dikatakan sebagai suatu kondisi dimana seorang karyawan yang puas akan lebih memihak kepada suatu perusahaan dan berusaha untuk tetap memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan tersebut.

c. Absensi (Kreitner dan Kinicki, 1998)

Karyawan yang kurang puas terhadap pekerjaannya cenderung akan sering absen dengan alasan-alasan yang direncanakan atau dapat juga dengan cara datang terlambat.

d. Semangat kerja (Guba, 1958)

Karyawan yang puas terhadap pekerjaannya akan bersemangat dalam bekerja, sehingga dapat menghasilkan suatu pekerjaan yang lebih baik bagi perusahaan.

Menurut Robbins (2001 : 151) konsekuensi dari kepuasan kerja ada tiga yaitu :

a. Kepuasan dan produktivitas

Seorang pekerja yang bahagi adalah seorang pekerja yang produktif. Jika karyawan melakukan suatu pekerjaan yang baik, secara intrinsik karyawan merasa senang dengan hal itu. Lagi pula, dengan mengandaikan bahwa organisasi memberikan ganjaran untuk produktivitas, produktivitas yang lebih tinggi seharusnya meningkatkan pengakuan verbal, tingkat gaji, dan probabilitas untuk dipromosikan. Ganjaran-ganjaran ini, selanjutnya, menaikkan kepuasan karyawan pada pekerjaan.

b. Kepuasan dan kemangkiran

Seorang karyawan yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki tingkat absensi yang rendah, namun tidak menutupi kemungkinan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan dalam bekerja juga dapat memiliki absensi yang tinggi. Supaya tidak terjadi hal demikian, sebaiknya perusahaan memberikan kopensasi yang menarik seperti pemberian cuti masa kerja di luar hari besar / hari libur nasional.

c. Kepuasan dan tingkat keluar-masuknya karyawan

Salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mempertahankan karyawannya yang handal yaitu dengan memberikan kepuasan dalam bekerja kepada karyawan tersebut. Dengan demikian, karyawan yang mempunyai kepuasan kerja tinggi tidak akan keluar / meninggalkan perusahaan itu.

E. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi paling sering didefenisikan yaitu (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha

keras sesuai keinginan organisasi; (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006 : 249).

Griffin (2004 : 15), menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Karyawan-karyawan yang merasa lebih berkomitmen pada organisasi memiliki kebiasaan-kebiasaan yang bisa diandalkan, berencana untuk tinggal lebih lama di dalam organisasi, dan mencurahkan lebih banyak upaya dalam bekerja.

Malthis dan Jackson (2001 : 99), menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut.

Mowday, Porter & Steers dalam Munandar (2004 : 75), menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah sifat hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi.

2. Mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya.

3. Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama dengan organisasinya.

Griffin & Bateman dalam Munandar (2004) menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah :

1. Dambaan pribadi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.

2. Keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi.

3. Kemauan secara sadar untuk mencurahkan usaha demi kepentingan organisasi.

Robbins (2001 : 140), menyatakan komitmen pada organisasi didefenisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu.

Blau & Global dalam Muchlas (2005 : 161), mendefenisikan komitmen organisasi sebagai orientasi seseorang terhadap organisasi dalam arti kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan. Dalam hal ini, karyawan mengidentifikasikan secara khusus organisasi/perusahaan beserta tujuannya dan berharap dapat bertahan sebagai anggota dalam organisasi/perusahaan tersebut.

Komitmen organisasi mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan

Komitmen organisasi mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan

Dokumen terkait