• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI

E. Metode Bermain Peran (Role Play)

Menurut Yamin (2009), bermain peran (role play) adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik atau situasi. Siswa melakukan peran masing-masing sesuai dengan tokoh yang mereka peragakan dan berinteraksi dengan temannya. Metode ini dapat dipergunakan untuk mempraktikkan isi pelajaran yang baru, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi pemeran sehingga menemukan kemungkinan masalah yang akan dihadapi dalam pelaksanaan sesungguhnya. Metode ini menuntut guru untuk mencermati kekurangan dari peran yang diperagakan siswa.

Sementara itu, menurut Hamalik (2001) bermain peran (role play) adalah suatu jenis teknik simulasi yang umumnya digunakan untuk pendidikan sosial dan hubungan antar siswa. Teknik ini berkaitan dengan studi kasus yang melibatkan siswa dan tingkah lakunya serta interaksi antar individu secara dramatisasi. Para siswa berpartisipasi sebagai pemain dengan peran tertentu atau sebagai pengamat (observer) bergantung pada tujuan-tujuan dari penerapan teknik tersebut dan harus memiliki tujuan. Menurut Jill Hadfield (1986) dalam Muslich (2009) bermain peran (role play) adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan sekaligus melibatkan unsur senang. Dalam bermain peran (role play) siswa

diperlakukan sebagai subjek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa bersama teman-temannya pada situasi tertentu (Muslich, 2009).

Dalam bermain peran atau bermain peran (role play), ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan agar metode ini dapat berjalan sesuai rencana. Menurut Zaini dkk. (2008), bermain peran (role play) adalah suatu aktivitas pembelajaran terencana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang spesifik dan terdapat aspek-aspek di dalamnya. Tiga aspek dalam bermain peran (role play) yaitu mengambil peran (role-taking), membuat peran (role-making), dan tawar-menawar peran (role-negotiation).

Di dalam proses bermain peran (role play) ada beberapa hal yang perlu dilakukan peserta didik, diantaranya mengandaikan suatu peran khusus, apakah sebagai mereka sendiri atau sebagai orang lain, masuk dalam situasi yang bersifat simulasi atau skenario sesuai dengan topik yang sedang dipelajari, bertindak persis sebagaimana pandangan mereka terhadap orang yang diperankan dalam situasi-situasi tertentu tersebut dengan menyepakati untuk bertindak sebagai pemeran aslinya dan bertindak berdasarkan asumsi tersebut, serta menggunakan pengalaman-pengalaman peran yang sama pada masa lalu untuk mengisi gap yang hilang dalam suatu peran singkat yang ditentukan (Lowe, 1994 dalam Zaini, dkk., 2008).

Bermain peran (role play) juga memiliki tujuan. Tujuan bermain peran menurut Hamalik (2001) sesuai dengan jenis belajar adalah sebagai berikut:

1. belajar dengan berbuat dimana para siswa melakukan peran tertentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan interaktif dan reaktif siswa.

2. belajar melalui peniruan (imitasi) dimana para siswa menyamakan diri dengan pelaku sebenarnya.

3. belajar melalui balikan dimana para pengamat mengomentari (menganggapi) perilaku para pemain/pemegang peran yang telah ditampilkan agar perilaku keterampilan lebih mendasar.

4. belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan agar para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.

Ada 3 pola organisasi dalam bermain peran (role play) menurut Hamalik (2001), yaitu bermain peran tunggal dimana mayoritas siswa bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang dipertunjukkan (sosiodrama) yang bertujuan untuk membentuk sikap dan nilai, bermain peran jamak dimana para siswa dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan penentuannya disesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan dan tiap peserta memainkan peran tertentu dalam kelompoknya yang bertujuan untuk mengembangkan sikap, dan peranan ulangan (role repetition) dimana peran utama dalam suatu drama atau simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran dimana setiap siswa belajar melakukan, mengamati, dan membandingkan perilaku yang ditampilkan oleh pemeran sebelumnya, pendekatan ini untuk mengembangkan keterampilan interaktif.

Sedangkan Zaini, dkk. (2008) memiliki pendapat lain mengenai pengorganisasian bermain peran (role play), organisasi bermain peran (role play) terdiri dari tiga fase yang berbeda, yaitu:

1. Perencanaan dan persiapan

Perencanaan matang adalah kunci untuk sukses dalam bermain peran (role play). Hal-hal yang perlu diperhatikan guru sebelum memasuki kelas dan memulai bermain peran (role play) antara lain:

a. mengenal peserta didik

Semakin guru mengenal peserta didik, maka semakin besar peluang keberhasilan bermain peran (role play) Hal yang perlu dipertimbangkan adalah jumlah peserta didik disesuaikan dengan ruang yang tersedia dan jumlah peran yang ada, pengetahuan siswa mengenai materi yang atau skenario yang akan diperankan, siswa sudah memiliki pengalaman terdahulu mengenai bermain peran (role play) sehingga guru tahu mana siswa harus diberikan peran seperti apa, usia siswa karena akan berpengaruh pada pengalaman hidup siswa, latar belakang siswa, minat dan kemampuan siswa bersesuaian dengan mateeri yang akan diperankan, dan yang terakhir adalah kemampuan peserta didik untuk berkolaborasi dan bekerjasama dalam timnya.

b. menentukan tujuan pembelajaran

Sebelum memulai pembelajaran, sangat penting adanya tujuan pembelajaran agar memiliki fokus pembelajaran yang jelas dan peserta

didik mengetahui apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

c. waktu menggunakan bermain peran (role play)

d. pendekatan bermain peran (role play)

Ada tiga pendekatan yang umum dalam bermain peran (role play), yang pertama bermain peran (role play) sederhana. Bermain peran (role play) tipe ini hanya membutuhkan sedikit persiapan sehingga cocok dikolaborasikan dengan metode mengajar yang lain. Peserta didik akan memerankan secara spontan skenario yang telah diberikan sebelumnya secara berpasangan. Kedua, bermain peran sebagai latihan (role play exercies). Bermain peran (role play) tipe ini memerlukan keterampilan dan persiapan. Peserta didik harus berlatih terlebih dahulu dan membutuhkan banyak waktu. Ketiga, bermain peran (role play) yang diperpanjang (extended role play). Peserta membutuhkan briefing

skenario peran mereka sendiri. Waktu pelaksanaannya panjang berkisar satu jam sampai lebih dari 1 hari.

e. mengidentifikasi skenario

Pilihan skenario akan tergantung pada minat, fokus materi, serta pengalaman guru dan peserta didik. Konstruksi skenario harus diperhatikan dengan seksama untuk menghindari orang atau peristiwa yang stereotip (meniru).

f. menempatkan peran

Membuat daftar peran yang mungkin sangat berguna dalam mengidentifikasi interaksi yang memungkinkan, jalur komunikasi yang pokok, serta perspektif untuk melihat isu.

g. guru berpartisipasi sebagai pemeran atau pengamat h. mempertimbangkan hambatan yang bersifat fisik

Sebelum memulai bermain peran (role play) harus dipertimbangkan dulu berbagai keadaan yang berkenaan dengan sesuatu yang bersifat fisik. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah apakah ruangan cukup luas, apakah kursi dan mejanya bisa dipindah, apakah tidak akan membuat bising tetangga kelas dan seterusnya.

i. merencanakan waktu yang baik

Alokasi waktu yang dianjurkan bagi diskusi pendahuluan, pemeranan, dan refleksi adalah 1:2:3 atau sekitar 6 menit : 14 menit : 20 menit.

j. mengumpulkan sumber informasi yang relevan

Guru dan peserta didik mungkin perlu meneliti informasi-informasi yang dapat membawa mereka pada permasalahan yang dibahas serta memberi kontribusi pada skenario yang akan diperagakan. Di awal, guru dapat dengan singkat menggambarkan suatu situasi, atau meminta peserta didik untuk melihat/mengingat suatu program televisi, baik berupa iklan, dokumenter atau video dari suatu situasi yang khusus.

2. Interaksi

Langkah-langkah dalam mengimplementasikan rencana ke dalam aksi: a. membangun aturan dasar sejak awal pelaksanaan bermain peran (role

play);

b. menyampaikan tujuan pembelajaran dari bermain peran (role play) pada siswa agar siswa fokus pada pelaksanaan dan bisa mengevaluasi tingkat keberhasilan yang dicapai;

c. membuat langkah-langkah yang jelas agar siswa memahami apa yang akan mereka peragakan;

d. mengurangi ketakutan tampil di depan publik agar siswa tidak merasa cemas saat harus memperagakan perannya di depan teman-temannya; e. menggambarkan skenario atau situasi secara verbal, lisan ataupun tertulis

agar siswa memiliki gambaran akan perannya masing-masing;

f. mengalokasikan peran dimana guru memilih siapa yang jadi pemeran utama, bisa secara acak ataupun terencana;

g. memberi informasi yang cukup, misalnya informasi yang dibutuhkan oleh semua peserta, tambahan informasi bagi orang atau kelompok tertentu saja, informasi yang diberikan ketika bermain peran (role play)

berlangsung, dan informasi tentang macam hubungan diantara orang-orang yang terlibat;

h. menjelaskan peran guru dalam bermain peran (role play)

i. memulai bermain peran (role play) secara bertahap mulai dari “ice breaker” atau permainan (game), berdiskusi mengenai materi atau topik

tertentu lalu sebagian siswa berperan sebagai dirinya sendiri atau tokoh tertentu, kemudian siswa mengandaikan dirinya sebagai tokoh dalam topik atau materi tersebut;

j. menghentikan bermain peran (role play) dan memulai kembali jika diperlukan;

k. guru bertindak sebagai pengatur waktu agar siswa tahu kapan harus memulai dan mengakhiri perannya.

3. Refleksi dan evaluasi

Tahap terakhir ini sering dinamakan “debriefing” yaitu melakukan refleksi dan evaluasi. Guru biasanya memberi kesempatan untuk refleksi di tengah kegiatan atau diakhir kegiatan. Refleksi ini berkaitan dengan identifikasi, klarifikasi, dan analisis terhadap materi atau topik yang dibahas. Namun refleksi yang kompleks ini biasanya dilakukan diakhir kegiatan. Ada langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan evaluasi, dimulai dari membawa peserta didik keluar dari perannya, kemudian meminta masing-masing siswa mengekspresikan pengalaman belajarnya, memberikan ide-ide, memfasilitasi analisis dalam kelompok, melakukan evaluasi bersama-sama, dan menyusun agenda untuk rencana kedepan.

Penggunaan metode bermain peran (role play) juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, menurut Hamalik (2007), ada beberapa keuntungan penggunaan bermain peran (role play) di dalam kelas, yaitu pada waktu dilaksanakannya bermain peran, siswa dapat mengekspresikan perasaannya

tanpa merasa takut. Bermain peran memungkinkan para siswa mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dan dengan ide-ide orang lain. Identifikasi tersebut mungkin cara untuk mengubah perilaku dan sikap sebagaimana siswa menerima karakter orang lain.

Karo-karo (1984) juga mengungkapkan keunggulan metode bermain (role play method) yaitu suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Sebagai suatu metode mengajar, kelebihan lain metode ini adalah dapat melatih siswa menjadi kreatif, berpikir kritis dan cepat tanggap ketika memerankan diri dalam topik yang dipelajari, menumbuhkan bakat seni siswa, menumbuhkan kerjasama antar siswa dan melatih kecakapan berbahasa siswa baik secara aktif maupun pasif, dan sebagai alat peraga yang efektif terutama untuk menyajikan bahan ajar yang menyangkut hubungan sosial.

Zaini, dkk. (2008) berpendapat bermain peran (role play) perlu digunakan di kelas karena bermain peran (role play) dapat membuktikan diri sebagai suatu media pendidikan yang ampuh, di mana terdapat peran-peran yang dapat didefinisikan dengan jelas, yang memiliki interaksi yang mungkin dieksplorasi dalam keadaan yang bersifat simulasi (skenario). Guru melibatkan peserta didik dalam bermain peran (role play) karena beberapa alasan, untuk mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang diperoleh, untuk mendemonstrasikan integrasi pengetahuan praktis, membandingkan posisi-posisi yang diambil dalam pokok permasalahan, menerapkan pengetahuan pada pemecahan masalah, menjadikan masalah yang

abstrak menjadi konkrit, membuat spekulasi terhadap ketidak pastian yang meliputi pengetahuan, melibatkan peserta didik dalam pembelajaran yang langsung dan eksperensial serta mendorong peserta didik memanipulasi pengetahuan dalam cara yang dinamik, mendorong pembelajaran seumur hidup, mempelajari bidang tertentu dari kurikulum secara selektif, memfasilitasi perasaan peserta didik dengan sah, mengembangkan pemahaman yang empatik dan memberi feedback yang segera bagi guru dan siswa.

Keunggulan lain dari metode ini menurut Hasibuan dan Moedjiono (1996)adalah:

1. menyenangkan, sehingga siswa terlibat secara aktif; 2. melatih guru untuk mengembangkan aktivitas simulasi;

3. memungkinkan eksperimen berlangsung tanpa memerlukan lingkungan yang sebenarnya dan memvisualkan hal-hal yang abstrak;

4. komunikasi yang digunakan sederhana dan memungkinkan terjadinya interaksi antarsiswa;

5. menimbulkan respon yang positif dari siswa yang lamban, kurang cakap, dan kurang motivasi sehingga melatih berpikir kritis karena siswa terlibat dalam analisa proses, kemajuan bermain peran.

Sedangkan kelemahan metode ini adalah efektivitas dan validitasnya masih diragukan, dan menuntut imajinasi dari guru dan siswa dalam proses pelaksanaannya sehingga mungkin terjadi perbedaan pemikiran guru dan siswa.

Dokumen terkait