• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penelitian

Dalam dokumen Oleh: NURDIANA RAMADHAN NIM: (Halaman 25-34)

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.12

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitan ini penulis menggunakan pendekatan analisis yuridis yaitu adalah kegiatan untuk mencari dan memecah komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta kemudian menghubungknnya dengan hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan permasalahannya. Kegiatan analisis yuridis adalah mengumpulkan hukum dan dasar lainnya yang relevan untuk kemudian mengambil kesimpulan sebagai jalan keluar atau jawaban atas permasalahan.13 2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan didukung oleh studi kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,

12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.2

13 Bahder Johan Nasution, Metode Peneliti Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008) h. 83-88.

serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.

3. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penelitian menyusun berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) ialah:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer dari penelitian ini adalah putusan dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat terkait kewarisan bertingkat.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder ini tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.14

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Teknik Wawancara (Interview) yaitu suatu metode pengumpulan data yang sering digunakan di dalam metode penelitian.15 Bagian dari survey ialah teknik wawancara dengan salah seorang Hakim yang menangani kasus kewarisan bertingkat.

14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986) h.11.

15 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 35.

10

b. Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.

5. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu metode yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum dan memiliki unsur kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus. Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan hukum kewarisan bertingkat dengan teori Maqāṣid asy-Syarīʻah.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, merupakan bab mengenai konsep kewarisan menurut fiqih dan KHI yang membahas pengertian waris, dasar hukum, rukun, syarat waris, jenis-jenis ahli waris dan bagiannya, sebab-sebab mewarisi dan halangan mewarisi, kewarisan didalam KHI, pengertian keawarisan bertingkat dan unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya kewarisan bertingkat.

Bab ketiga, yaitu tinjauan umum tentang Metode Istinbat Hukum yang berisi tentang pengertian, syarat-syarat, macam-macam, sumber hukum dalam istinbat dan hubungan antara Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan beberapa metode istinbat hukum Islam.

Bab keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini. Yakni studi putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB yang didalamnya berisi kronologi perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, analisis putusan, dan analisis hukum.

Bab kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini, yaitu bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

12 BAB II

KONSEP KEWARISAN MENURUT FIQIH DAN KHI A. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Mewarisi

1. Pengertian Waris

Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Fiqh Mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh. Sedangkan kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari (miiraats) yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta bagian masing masing16

Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata tunggal faridhah, yang bentuk dari huruf fa, ra dan dha.17 Kata (Fariidhah) berakar dari kata faradhah yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah.18 Akan tetapi keduanya (mawaris dan faraidh) dapat dibedakan karena kata mawaris sendiri dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari mirats yang semakna dengan mauruts (isim maf’ul) yaitu: “Harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para ahli warisnya”, sedangkan faraidh adalah bentuk

16

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 5-7. 17 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, cet 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.28.

18 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam Al-Quraniyah ( Qairo: Dar al-Fikr al-Ariby, 1986), h. 392.

jamak dari faraidhah, yang diambil (mustaq) dari lafadz fardhun, artinya adalah “Bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan ukuran dan ketentuannya. Dari penjelasan diatas dikatakan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta peninggalan simayit, dan dikatakan ilmu faraidh karena membahas tentang bagian-bagian tertentu yang sudah ditetapkan ukurannya bagi setiap ahli waris.19

Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraidh ini disebut dengan “Hukum Waris” (ERFRECHT) yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia.20

Ilmu mawarits adalah ilmu pokok yang berlandaskan ilmu fiqih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan perhitungan warisan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Tujuannya adalah agar setiap yang berhak menerima warisan dari tirkah mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.21

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 ayat (a) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Dari beberapa defenisi diatas, dapat dipahami bahwa Fiqih Mawaris, Ilmu Faraidh atau Hukum Waris adalah suatu ilmu yang

19

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Cet. 1, (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 1997), h. 9-10.

20 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), h. 50.

21 Abdul Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris, Penerjemah Ade Ichwan Ali, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009), h. 3.

14

membicarakan hal seputar pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris dan cara penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.

2. Dasar Hukum

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat didalam al-Quran dan sunnah Nabi. Ayat-ayat al-Quran dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut22:

a. Dalil-dalil dari al-Quran 1) Surah An-Nisa’ayat 7 َو َنوُب َرْقلأا َو ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اَّمِم ٌبي ِصَن ِلاَج ِِّرلِل لِل ِءاَسِِّن ِم ٌبي ِصَن ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اَّم ًضو ُرْفَم اًبي ِصَن َرُثَك ْوَأ ُهْنِم َّلَق اَّمِم َنوُب َرْقلأا َو ا ( :ءاسنلا ٧ )

Artinya:. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)

2) Kemudian terdapat juga di dalam surah An-Nisaa’ ayat 12

َّم ِم ُعُب ُّرلا ُمُكَلَف ٌدَل َو َّنُهَل َناَك ْنِإَف ٌدَل َو َّنُهَل ْنُكَي ْمَل ْنِإ ْمُكُجا َو ْزَأ َكَرَت اَم ُفْصِن ْمُكَل َو ْن ِم َنْك َرَت ا َف ٌدَل َو ْمُكَل ْنُكَي ْمَل ْنِإ ْمُتْكَرَت اَّمِم ُعُبُّرلا َّنُهَل َو ٍنْيَد ْوَأ اَهِب َني ِصوُي ٍةَّي ِص َو ِدْعَب ٌدَل َو ْمُكَل َناَك ْنِإ َأ ًةَللاَك ُث َروُي ٌلُجَر َناَك ْنِإ َو ٍنْيَد ْوَأ اَهِب َنوُصوُت ٍةَّي ِص َو ِدْعَب ْنِم ْمُتْكَرَت اَّمِم ُنُمُّثلا َّنُهَلَف ِو َذ ْنِم َرَثْكَأ اوُناَك ْنِإَف ُسُدُّسلا اَمُهْنِم ٍد ِحا َو ِِّلُكِلَف ٌتْخُأ ْوَأ ٌخَأ ُهَل َو ٌةَأ َرْما يِف ُءاَك َرُش ْمُهَف َكِل ٌميِلَح ٌميِلَع ُ َّاللَّ َو ِ َّاللَّ َنِم ًةَّي ِص َو ٍِّراَضُم َرْيَغ ٍنْيَد ْوَأ اَهِب ىَصوُي ٍةَّي ِص َو ِدْعَب ْنِم ِثُلُّثلا ( :ءاسنلا ١٢ )

Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.

jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisaa’: 12)

b. Dalil-dalil dari Sunnah

1) Hadis dari Imam Muslim

23 ٍرَكَذ ٍلُج َر ىَل ْوَ ِلَِف َيِقَب اَمَف اَهِلْهَأِب َضِئا َرَفْلا اوُق ِحْلَأ Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda:“Berikanlah harta warisan kepada yang berhak mendapatkannya, sedangkan sisanya untuk laki-laki yang paling dekat garis keturunanya”. (HR. Muslim)

23 Imam Muslim, Jam’u al-Jawami al-Hadis Wal Asanid, Juz II, ( Germany:Dar Miknas Shohih al-Islamiyah, 2000), h. 688.

16

2) Hadis dari Imam Abu Dawud

ُدْبَع اَنَثَّدَح َلَاَق ُعَبْشَ ْلأا َوُه َو ٍدَلْخَم ُثيِدَح اَذَه َو ٍدِلاَخ ُنْب ُدَلْخم َو ٍحِلاَص ُنْب ُدَمْحَأ اَنَثَّدَح ِقا َّزَّرلا َلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ُلوُسَر َلاَق َلاَق ٍساَّبَع ِنْبا ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍس ُواَط ِنْبا ْنَع ٌرَمْعَم اَنَثَّدَح َمَّلَس َو ِهْي 24 ٍرَكَذ ىَل ْوَ ِلَِف ُضِئاَرَفْلا ْتَك َرَت اَمَف ِ َّاللَّ ِباَتِك ىَلَع ِضِئا َرَفْلا ِلْهَأ َنْيَب َلاَمْلا ْمِسْقا

Artinya:Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, dan Makhlad bin Khalid, dan ini adalah hadits Makhlad dan tersebut lebih bagus (patut diterima). Mereka berdua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bagikan harta diantara para pemilik faraidh (bagian harta waris) berdasarkan kitab Allah. Maka bagian harta yang tersisa setelah pembagian tersebut, lebih utama diberikan kepada (ahli waris) laki-laki”. (HR. Abu Dawud)

3. Rukun dan Syarat

Adapun beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Adapun rukun pembagian warisan ada tiga, yaitu:25

a. Muwarrits ( ثروم), yaitu orang yang meninggal dunia, baik karena mati hakiki maupun hukmi (يمكح). Mati hukmi maksudnya, dia sudah dianggap mati atas putusan pengadilan, seperti karena telah lama menghilang atau sebab-sebab lainnya.

b. Warits )ثراو(, yaitu ahli waris yang akan menerima pembagian warisan seperti karena ada hubungan perkawinan dan hubungan darah (keturunan).

c. Mauruts )ثوروم(, yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh si mati yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat, kalau ada meninggalkan wasiat. Harta

24 Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Ainul Ma’bud

Syarah Sunan Abi Daud, Juz 5 (Kairo: Daarul Hadits, 2001), h. 306.

25 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001), h. 28-29.

warisan ada yang menyebut dengan : tirkah )ةكرت ( atau turats )ثارت(.

Sedangkan syarat-syarat pembagian warisan adalah:

a. Muwarrits, syaratnya benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melakukan pembuktian, bahwa seorang telah meninggal dunia. Secara yuridis (hukmi) yaitu kematian seseorang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Atau secara taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

b. Warits, syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwarrits, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara muwarrits dan warits tidak ada halangan untuk saling mewarisi.

c. Mauruts, yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.26

Dalam dokumen Oleh: NURDIANA RAMADHAN NIM: (Halaman 25-34)

Dokumen terkait