• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prespektif Hukum Positif

Dalam dokumen Oleh: NURDIANA RAMADHAN NIM: (Halaman 87-91)

C. Amar Putusan

1. Prespektif Hukum Positif

Dalam kasus tersebut, menurut penulis terdapat dua masalah, yaitu masalah ahli waris pengganti dan masalah munasakhah. Munasakhah adalah merupakan pengalihan bagian ahli waris kepada ahli warisnya yang lain dikarenakan sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, salah satu ahli waris tersebut meninggal dunia. Dalam kasus ini pewaris utama adalah Pewaris yang meninggal pada tahun 2015 dan Istri Pewaris yang meninggal pada tahun 2010. Pada saat Istri Pewaris meninggal, ahli waris yang masih hidup ada 5 orang saudara, suami dan anak angkat. Sedangkan pada saat Pewaris meninggal, ahli waris yang masih hidup ada 3 orang saudara dan anak angkat. Akan tetapi sebelum gugatan diputus oleh Majelis Hakim Sdri 3 P meninggal pada tahun 2006 dan Sdri 1 P meninggal pada tahun 2016, kemudian hak nya diberikan kepada ahli warisnya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) yang menyebutkan “ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”.

Di dalam putusan ini terdapat Anak angkat (Tergugat) yang diadopsi oleh Pewaris dan Istri Pewaris, akan tetapi sebelum kasus ini diputus oleh Majelis Hakim Anak angkat (Tergugat) meninggal dunia. Pada saat Anak angkat meninggal, ahli waris yang masih hidup ada suami, 3 orang anak dan Bapak Anak angkat.

Hakim dalam kasus ini mempertimbangkan pada Pasal 8 huruf (a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 49 dan penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 96,174, 176-177, 179, 182, 185 dan 209 Kompilasi Hukum Islam.

maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya. Hal ini menyebabkan keharusan hakim dalam berijtihad hukum, karena berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 16 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwasanya Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, atau memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,118 melainkan wajib untuk mengadilinnya maka seorang hakim dituntut untuk melakukan terobosan hukum atau ijtihad.

Dalam perkara ini hakim melakukan dua terobosan: Pertama, terobosan dari segi pelaksanaan hukum Kewarisan Nasional. Meskipun dalam kitab fikih sudah ada hukum kewarisan bertingkat yang disebut dengan kewarisan munasakhah, akan tetapi dalam hukum Kewarisan Nasional belum ada aturan tentang kewarisan bertingkat. Kedua, untuk menerapkan hukum kewarisan Anak angkat (wasiat wajibah) dalam perkara ini, hakim mengesampingkan akta autentik berupa akta kelahiran yang menunjukkan Tergugat sebagai anak kandung, akan tetapi berdasarkan bukti-bukti lain yang lebih kuat Tergugat adalah Anak angkat.119

Ijtihad merupakan suatu hal yang sangat urgen dilakukan dalam menangani suatu perkara ketika perkara tersebut membutuhkan kejelian seorang hakim untuk menetapkan hukum yang paling adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Dalam putusan ini hakim menjalankan ijtihad nya mengkaitkan antara kasus dengan Maqāṣid asy-Syarīʻah.

Penerapan teori Maqāṣid asy-Syarīʻah yang dimaksud disini adalah agar Maqāṣid asy-Syarīʻah dalam hukum kewarisan dapat terlaksana dengan baik, dan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak ada satupun pihak yang terabaikan haknya dari tirkah pewaris, baik harta bersama maupun hak waris, walau ia telah meninggal dunia sekalipun.120

118

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

119

Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28 Januari 2019.

120

Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28 Januari 2019.

72 Telah dijelaskan di bab sebelumnya, Menurut Wahbah al-Zuhaili, Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya.121

Konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut al-Syathibi, berorientasi pada terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan yang terdiri atas 3 bagian yaitu dharuriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Terdiri dari lima pokok yang harus dilindungi dan dipelihara. Kelima hal pokok itu ialah agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.122

Berkenaan dengan kasus yang penulis teliti yaitu sengketa penyelesaian harta waris, jika dilihat dari konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah, maka kasus ini berada dalam tingkat dharuriyyat, yaitu untuk menyelematkan harta (hifzu al-mal).

Menurut al-Syathibi, Untuk menyelamatkan harta yang didasarkan dari konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah, maka yang harus dilakukan seseorang ialah taat kepada ketetapan hukum Allah seperti: diharamkan untuk mencuri dan diberi hukuman kepada pelakunya, diharamkan untuk berbuat curang atau berkhianat, diharamkan berlebih-lebihan, diharamkan riba, diharamkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, sehingga dengan demikian harta akan terpelihara dan terselamatkan.123

Karena itulah dalam konteks pembagian harta waris harus sesuai dengan ketentuan waris Islam dan mengedepankan rasa keadilan sebagai rangka untuk melindungi dan menyelamatkan harta.

Selanjutnya, jika putusan tersebut dianalisa melalui metode penetapan hukum Maqāṣid asy-Syarīʻah, dapat penulis uraikan sebagai berikut:

a. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melihat nilai-nilai substansial dari contoh pemasalahan putusan ini, dengan dalil-dalil hukum yang telah diungkapkan dalam nash atau pertimbangan hukum yang lain. Dalam kasus

121

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 1017.

122

Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Jilid II, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2004), h. 7-8.

123

Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, 1997, Jilid 2, Vol. 3, (Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia), h. 238.

pendidikan, Tergugat merawat orang tua angkatnya dengan baik hingga orang tua angkat tersebut meninggal, maka dari contoh tersebut jika ditarik suatu ilat yang sama yaitu perlakuan Penggugat sama-sama baik terhadap orang tua angkat Tergugat sebagai saudaranya dan Penggugat sebagai ahli waris yang sah berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh saudaranya yang hanya memiliki anak angkat.

b. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melakukan pendekatan istinbath atau penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-quran dan Sunah, akan tetapi lebih menekankan pada aspek kemaslahatan. Dalam kasus ini misalnya: Peran Tergugat sangat baik dalam merawat orang tua angkatnya dari sakit hingga meninggal dunia.124 Maka dari contoh tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa peran dan kontribusi Tergugat menimbulkan kemaslahatan untuk orang tua angkatnya sehingga wajar apabila hakim membagi lebih banyak harta warisan tersebut kepada Tergugat, karena untuk melindungi hak-hak Tergugat dan menghindari kemudharatan lainnya dari pihak Penggugat.

Bila ditinjau secara komprehensif melalui konsep dan metode penetapan Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut peneliti Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB sudah memenuhi kemaslahatan sesuai dengan tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah. Karena tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah itu sendiri adalah mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan sebagaimana kaidah fikih:

ِحِلاَصَمْلا ِبْلَج ىَلَع ٌمَّدَقُم ِدِساَفَمْلا ُءْرَد “Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu sebelum upaya mendapatkan manfaat (mashlahat)”

Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada pilihan yaitu menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Karena menolak kemafsadatan sama

124

Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28 Januari 2019.

75 dengan meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan utama Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut ulama fikih ialah meraih kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.125

Dalam kaidah fikih yang lain dijelaskan mengenai larangan untuk bebuat sesuatu yang membahayakan yaitu:

َر اَر ِض َلََو َرَرَض َلَ “Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan.”

ُلاَزُيُرَرُّضلَا “Kemudaratan harus dihilangkan.”

Menurut penulis dalam putusan ini hakim telah memenuhi tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah, karena Hakim menyelesaikan 4 perkara yaitu perkara anak angkat, munasakhah, ahli waris pengganti dan kalalah dalam 1 putusan. Hal ini sesuai dengan asas peradilan yang mencakup peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam prinsip Maqāṣid asy-Syarīʻah, kemaslahatan harus diutamakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang, dalam perkara ini yaitu memelihara harta (hifz al-mal).

Dalam dokumen Oleh: NURDIANA RAMADHAN NIM: (Halaman 87-91)

Dokumen terkait