KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI INDONESIA
(Analisis Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
NURDIANA RAMADHAN NIM:11150440000016
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2019M/1440H
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا Tidak Dilambangkan
ب B Be
ت T Te
ث Ts Te dan es
ج J Je
ح H H dengan garis bawah
خ Kh Ka dan Ha
د D De
ذ Dz De dan zet
ر R Er
vi
vi
س S Es
ش Sy Es dan Ye
ص S Es dengan garis bawah
ض D De dengan garis bawah
ط T Te dengan garis bawah
ظ Z Zet dengan garis bawah
ع ‘ Koma terbalik diatas hadap
kanan غ Gh Ge dan ha ف F Ef ق Q Ki ك K Ka ل L El م M Em ن N En و W We ه H Ha ء ‘ Apostrop ي Y Ya
vii b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ َ______ = a اَى = a>
_____ ِ______ = i يِى = i>
_____ ُ______ = u وُى = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
ي َأ __ = ai )لا( = al
و َأ __ = aw )شلا( = al-sh
)لاو( = wa al-
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
viii
viii
Kata Arab Alih Aksara
ةعيرش syarî ‘ah
ةيم لاسلإا ةعيرشلا al- syarî ‘ah al-islâmiyyah به اذملا ةنراقم Muqâranat al-madzâhib
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’an Alquran 2 Al-Hadits Hadis 3 Sunnah Sunah 4 Nash Nas 5 Tafsir Tafsir 6 Fiqh Fikih
ix
KATA PENGANTAR مي ِح َّرلا ِنمْح َّرلا ِالله ِمْسِب
Alhamdulillah puji syukur hanya bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan segala limpahan rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya di dunia ini, terkhusus kepada penulis. Dan dengan izin dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Kewarisan Bertingkat Sebagai Perkembangan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia (Analisis Putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB) Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah, SH.I., MH. Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Sri Hidayati, M.Ag. pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan serta saran-saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
x
x
4. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H.,M.A.,M.H. Dosen Penasehat Akademik yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan dan saran bagi penulis hingga terselesaikan skripsi ini. 5. Dosen penguji skripsi Dr. K.H.A Juaini Syukri, Lc. M.A sebagai
Dosen Penguji I dan Dr. H. Azizah, M.A sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan masukan serta arahan sehingga terselesaikannya skripsi ini sampai tahap akhir.
6. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang berharga kepada penulis beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayahanda & Ibunda tercinta (Ilmi Ahmad & Herlina Laini), yang telah begitu banyak mencurahkan perhatian, pengorbanan serta kasih sayangnya yang tiada bandingannya di dunia ini. Adik-adikku (Muhammad Nur Ramadhan dan Ahmad Mulki Ramadhan), mereka tempat bercanda, tempat berbagi di waktu luang maupun sempit dan mereka yang senantiasa mendoakan penulis.
8. Sahabat-sahabat: Ilham Ramdani Rahmat, Tiyas Puji Istanti, Defanti Putri Utami, Lutfi Zakaria Mubarok, Iqbal Farisi, Desi Purnama, Suci Nurindah, Ana Eka Fitriani, Hutri Rahayu, dan kakak panutan Nida Sriwidiyanti, Mella Rosdiana, Rifqi Akbari, Andy Asyraf, Satria Erlangga, Alim Amalkan, Syifa Rahmalia,
xi
Annisa Mutiara yang selalu memberikan semangat dan warna kepada penulis. Semoga Allah selalu meridhai persahabatan kita. Terima kasih untuk segala kenangan yang telah terukir, semoga persahabatan kita tak berhenti sampai disini.
9. Keluarga besar HMI Hukum Keluarga, Hukum Keluarga-A angkatan 2015, terkhusus keluarga ELKAMASY dan keluarga IKARUS UIN JAKARTA. Terimakasih untuk canda tawa cerita yang selalu hadir dan akan selalu ada ayunan rindu untuk kalian semua. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga sampai kapanpun. 10. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat dan para hakim beserta
pihak-pihak yang terkait, khususnya Bapak Drs. H. Abdul Hadi, M.H.I yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan dalam menyelesaikan skripsi.
11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2015 dan mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dan memberikan doa, semangat serta motivasi kepada penulis.
Semoga amal dan jasa mereka yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari seluruh pembaca guna upaya perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini.
xii
xii
Akhirul kalam, semoga dengan kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalam skripsi ini, kiranya memberikan manfaat kepada para pembacanya.
Ciputat, 16 Januari 2019
Nurdiana Ramadhan Penulis
xvi
xvi
DAFTAR LAMPIRAN 1. Surat Permohonan Pembimbing
2. Hasil Transkip Wawancara
3. Surat telah Melakukan Wawancara 4. Surat Balasan dari Pengadilan Agama
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan adalah cabang hukum yang penuh problem mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan, agama, tradisi dan budaya secara umum.1 Salah satu masalah kewarisan yang ada di Indonesia adalah
kewarisan bertingkat (Munasakhah). Munasakhah adalah meninggalnya ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiaannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal dunia, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena belum dibagikan), hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karena disini akan timbul masalah yang oleh kalangan ulama faraidh dikenal dengan sebutan Al-jamiah.2
Munasakhah mempunyai tiga macam keadaan, antara lain:
Pertama, ahli waris mayit kedua adalah para ahli waris yang sama (selain yang bersangkutan) dengan ahli waris dari mayit pertama sehingga tidak terjadi perubahan dalam pembagian. Misalnya, jika seseorang wafat meninggalkan lima orang anak laki-laki atau lima orang anak perempuan dan tidak ada ahli waris selain mereka. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka wafat meninggalkan keempat saudaranya. Jika hal itu terjadi, warisan dibagikan kepada empat orang itu sebagai pengganti lima orang.
Kedua, terjadi perubahan dalam pembagian antara para ahli waris yang masih hidup. Misalnya, jika seorang wafat meninggalkan seorang anak laki-laki dari istri pertama dan tiga anak perempuan dari istri kedua, tiba-tiba salah seorang anak perempuan wafat meninggalkan saudara-saudaranya (2 sauadara kandung perempuan dan 1 saudara seayah).
1 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media Grup, 2013), h.1.
2 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2012),
2
Ketiga, ahli waris mayit kedua adalah orang-orang yang berbeda dengan ahli waris mayit pertama. Misalnya, jika seorang istri (mayit pertama) pertama wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan dan ibu. Tiba-tiba suami (mayit kedua) wafat meninggalkan seorang istri kedua, ayah dan ibu. Setelah itu anak perempuan (mayit ketiga anak mayit pertama) juga wafat meninggalkan dua anak laki-laki, seorang anak perempuan dan nenek. Lalu nenek (“ibu” dari mayit pertama) ini wafat juga meninggalkan seorang suami dan dua saudara laki-laki.3
Kewarisan bertingkat (Munasakhah) terdiri dari beberapa unsur:4
1. harta pusaka simati belum dibagikan kepada ahli waris, menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
2. danya kematian dari seorang ahli waris.
3. adanya pemindahan bagian harta pusaka yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula belum menjadi ahli waris terhadap orang yang mati pertama.
4. Adanya pemindahan bagian ahli waris yang telah mati kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai (mewarisi).
Dari masalah kewarisan bertingkat (Munasakhah) banyak terjadi di Indonesia salah satunya terdapat sejumlah perkara yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Masalah kewarisan tersebut menjadi menarik lantaran Hakim perlu menyelesaikan pembagian warisan dalam dua atau kasus yang berbeda namun saling berkaitan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan munasakhah ini dengan teori maqāṣid asy-syarīʻah.
3 Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Ahkamul Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.
Penerjemah Tim Kuwais Media Kreasindo. Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai, 2007. H. 711-712.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul Kewarisan Bertingkat Sebagai Perkembangan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia (Analisis Pututusan No.1191/Pdt.G/PA.JB.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka dapat disebutkan identifikasi masalah di bawah ini yang akan di jelaskan lebih lanjut, yaitu:
a. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
b. Bagaimana penerapan teori maqāṣid asy-syarīʻah dalam pembagian kewarisan bertingkat?
c. Bagaimana hukum positif (Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam) memandang pembagian kewarisan bertingkat?
d. Apa faktor yang melatarbelakangi adanya kewarisan bertingkat? e. Apakah ada korelasi antara kewarisan bertingkat dengan faktor
pengetahuan masyarakat seputar waris?
f. Berapa banyak kasus kewarisan bertingkat di Pengadilan Agama Jakarta Barat sejak 2015-sekarang?
g. Apakah hakim telah memutuskan sesuai dengan aturan hukum yang ada?
h. Apakah ada terobosan hukum dalam putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
i. Apa dalil yang digunakan oleh hakim dalam putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
4
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan hukum kewarisan maka penulis memberikan batasan masalah agar dapat fokus dan tidak melebar dari inti penelitian ini. Adapun fokus penelitian yakni metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah, selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
b. Apa sebab pertimbangan hakim menyamakan anak angkat menjadi anak pewaris?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
b. Untuk mengetahui sebab pertimbangan hakim menyamakan anak angkat menjadi anak pewaris.
2. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Memberikan wawasan keilmuan di bidang hukum keluarga khususnya di bidang hukum kewarisan.
b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara mendalam tentang hukum kewarisan.
c. Menambah pengetahuan dalam keilmuan di bidang hukum kewarisan baik secara teoritis maupun praktis.
d. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan hukum kewarisan.
D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis diantaranya :
Ainun Barakah, dalam jurnal yang berjudul “Munasakhah; Metode Praktis dalam Pembagian Harta Waris”.5
Fatahullah, Sugiyarno dan Ita Surayya, dalam jurnal yang berjudul “Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada Putusan Nomor: 0311/PDT.G/2009/PA.SEL”.6
Perbedaannya dengan Skripsi penulis adalah pembagian waris bertingkat (munasakhah) yang di analisis dengan teori Maqāṣid asy-Syarīʻah.
E. Kerangka Teori
Maqāṣid asy-Syarīʻah merupakan kata majmuk (idlafî) yang terdiri dari dua kata yaitu Maqāṣid dan asy-syarīʻah. Secara etimologi, maqāṣid merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqṣhid. Yang terbentuk dari huruf qaf, shad dan dal, yang berarti kesengajaan atau tujuan.7 Sedangkan kata asy-syarīʻah secara etimologi berasal dari kata syara’a yasyra’u syar’an yang berarti membuat syarīʻat atau undang-undang, menerangkan serta menyatakan. Dikatakan syara’a lahum syar’an berarti ia telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.8
5
Ainun Barakah, Munasakhat; Metode Praktis dalam Pembagian Harta Waris, (Cendikia: Jurnal Studi Islam, Vol. 1 No. 2 Desember 2015).
6
Fatahullah dkk, Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada putusan
Nomor: 0311/PDT.G/2009/PA.SEL, (Jurnal IUS, Vol. IV No. 1 April 2018).
7 Muhammad Idris al-Marbawiy, Kamus Idris al-Marbawi; Arab-Melayu,
(Bandung: al-Ma’arif, Juz 1, tt.), h. 136.
8 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer,(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),
6
Ali Mutakin mengutip pengertian syari’ah secara terminologi dari buku Asaf A.A. Fyzee, Mahmud Syalthuth, Ali al-Sayis dan Satria Efendi sebagai berikut:
Menurut Asaf A.A. Fyzee menjelaskan bahwa syarīʻah adalah canon law of Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah yang berupa nash-nash. Sedangkan Satria Effendi menjelaskan bahwa syarīʻah adalah al-nushûsh al-muqaddasah yaitu nash yang suci yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits al-Mutawatirah, yang belum tercampuri oleh pemahaman manusia, sehingga cakupan syari’ah ini meliputi bidang i’tiqadiyyah, ‘amaliyah dan khuluqiyah.
Demikianlah makna syarīʻah, akan tetapi menurut ulama-ulama mutaakhirin telah terjadi penyempitan makna syarīʻah. Mahmud Syalthuth memberikan uraian tentang makna syari’ah, bahwa syarīʻah adalah hukum-hukum dan tata aturan yang di syarīʻatkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama antar manusia, alam dan seluruh kehidupan.
Sedangkan Ali al-Sayis menjelaskan bahwa syarīʻah adalah hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya agar mereka percaya dan mengamalkanya demi kepentingan mereka di dunia dan akhirat.9
Sementara apabila kita berbicara Maqāṣid asy-Syarīʻah sebagai salah satu disiplin ilmu tertentu yang independen, maka tidak akan kita jumpai definisi yang konkrit dan komprehensif yang diberikan oleh ulama-ulama klasik, sehingga akan kita dapati beragam versi definisi yang berbeda satu sama lain, meskipun kesemuanya berangkat dari titik tolak yang hampir sama. Oleh karena itulah, kebanyakan definisi Maqāṣid asy-Syarīʻah yang kita dapati sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh
9 Ali Mutakin, Teori Maqasid Al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, (Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 19 No. 3 Agustus 2017), h.550.
ulama-ulama kontemporer, seperti Tahir bin Asyûr yang membagi Maqāṣid asy-Syarīʻah menjadi dua bagian. Yaitu Maqāṣid asy-Syarīʻah al-‘ammah dan Maqāṣid asy-Syarīʻah al-khashah. Bagian pertama ia maksudkan sebagai hikmah, dan rahasia serta tujuan diturunkannya syarīʻah secara umum yang meliputi seluruh aspek syarīʻat dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu. Sementara bagian kedua ia maksudkan sebagai seperangkat metode tertentu yang dikehendaki oleh al-syari’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia dengan mengkhususkannya pada satu bidang dari bidang-bidang syarīʻat yang ada, seperti pada bidang ekonomi, hukum keluarga. Sedangkan menurut ‘Allal al-Fasi adalah metode untuk mengetahui tujuan pensyari’atan sebuah hukum untuk menjamin kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan yang mengandung kemaslahatan untuk manusia.
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqāṣid asy-Syarīʻah adalah nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syarīʻah, yang ditetapkan oleh al-Syari' (pembuat syarīʻat yaitu Allah dan Nabi Muhammad) dalam setiap ketentuan hukum.10 Sementara al-Syâthibi menyatakan bahwa beban-beban syarīʻah kembali pada penjagaan tujuan-tujuanya pada makhluk. Tujuan-tujuan ini tidak lepas dari tiga macam: dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Al-Syari’ memiliki tujuan yang terkandung dalam setiap penentuan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.11
Kesimpulan yang diambil peneliti adalah hukum kewarisan adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
10 Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikri, (Damaskus, 1986,
cet. Ke-II), h. 225.
8
Sedangkan munasakhah adalah sebagian ahli waris ada yang meninggal sebelum diadakan pembagian harta pusaka, maka bagian warisnya berpindah kepada ahli waris yang lain. Lalu yang dimaksud dengan Maqāṣid asy-syarīʻah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya.
F. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.12
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitan ini penulis menggunakan pendekatan analisis yuridis yaitu adalah kegiatan untuk mencari dan memecah komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta kemudian menghubungknnya dengan hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan permasalahannya. Kegiatan analisis yuridis adalah mengumpulkan hukum dan dasar lainnya yang relevan untuk kemudian mengambil kesimpulan sebagai jalan keluar atau jawaban atas permasalahan.13 2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan didukung oleh studi kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), h.2
13 Bahder Johan Nasution, Metode Peneliti Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar
serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
3. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penelitian menyusun berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) ialah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer dari penelitian ini adalah putusan dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat terkait kewarisan bertingkat.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder ini tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.14
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Teknik Wawancara (Interview) yaitu suatu metode pengumpulan data yang sering digunakan di dalam metode penelitian.15 Bagian dari survey ialah teknik wawancara dengan
salah seorang Hakim yang menangani kasus kewarisan bertingkat.
14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986) h.11.
15 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h.
10
b. Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu metode yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum dan memiliki unsur kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus. Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan hukum kewarisan bertingkat dengan teori Maqāṣid asy-Syarīʻah.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, merupakan bab mengenai konsep kewarisan menurut fiqih dan KHI yang membahas pengertian waris, dasar hukum, rukun, syarat waris, jenis-jenis ahli waris dan bagiannya, sebab-sebab mewarisi dan halangan mewarisi, kewarisan didalam KHI, pengertian keawarisan bertingkat dan unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya kewarisan bertingkat.
Bab ketiga, yaitu tinjauan umum tentang Metode Istinbat Hukum yang berisi tentang pengertian, syarat-syarat, macam-macam, sumber hukum dalam istinbat dan hubungan antara Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan beberapa metode istinbat hukum Islam.
Bab keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini. Yakni studi putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB yang didalamnya berisi kronologi perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, analisis putusan, dan analisis hukum.
Bab kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini, yaitu bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.
12 BAB II
KONSEP KEWARISAN MENURUT FIQIH DAN KHI A. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Mewarisi
1. Pengertian Waris
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Fiqh Mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh. Sedangkan kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari (miiraats) yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta bagian masing masing16
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata tunggal faridhah, yang bentuk dari huruf fa, ra dan dha.17 Kata (Fariidhah) berakar dari kata faradhah yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah.18 Akan tetapi keduanya (mawaris dan faraidh) dapat dibedakan karena kata mawaris sendiri dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari mirats yang semakna dengan mauruts (isim maf’ul) yaitu: “Harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para ahli warisnya”, sedangkan faraidh adalah bentuk
16
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 5-7. 17 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, cet 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), h.28.
18 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam Al-Quraniyah (
jamak dari faraidhah, yang diambil (mustaq) dari lafadz fardhun, artinya adalah “Bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan ukuran dan ketentuannya. Dari penjelasan diatas dikatakan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta peninggalan simayit, dan dikatakan ilmu faraidh karena membahas tentang bagian-bagian tertentu yang sudah ditetapkan ukurannya bagi setiap ahli waris.19
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraidh ini disebut dengan “Hukum Waris” (ERFRECHT) yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia.20
Ilmu mawarits adalah ilmu pokok yang berlandaskan ilmu fiqih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan perhitungan warisan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Tujuannya adalah agar setiap yang berhak menerima warisan dari tirkah mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.21
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 ayat (a) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari beberapa defenisi diatas, dapat dipahami bahwa Fiqih Mawaris, Ilmu Faraidh atau Hukum Waris adalah suatu ilmu yang
19
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Cet. 1, (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 1997), h. 9-10.
20 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), h. 50.
21 Abdul Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris,
Penerjemah Ade Ichwan Ali, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009), h. 3.
14
membicarakan hal seputar pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris dan cara penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.
2. Dasar Hukum
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat didalam al-Quran dan sunnah Nabi. Ayat-ayat al-Quran dan sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut22:
a. Dalil-dalil dari al-Quran 1) Surah An-Nisa’ayat 7 َو َنوُب َرْقلأا َو ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اَّمِم ٌبي ِصَن ِلاَج ِِّرلِل لِل ِءاَسِِّن ِم ٌبي ِصَن ِناَدِلا َوْلا َك َرَت اَّم ًضو ُرْفَم اًبي ِصَن َرُثَك ْوَأ ُهْنِم َّلَق اَّمِم َنوُب َرْقلأا َو ا ( :ءاسنلا ٧ )
Artinya:. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)
2) Kemudian terdapat juga di dalam surah An-Nisaa’ ayat 12
َّم ِم ُعُب ُّرلا ُمُكَلَف ٌدَل َو َّنُهَل َناَك ْنِإَف ٌدَل َو َّنُهَل ْنُكَي ْمَل ْنِإ ْمُكُجا َو ْزَأ َكَرَت اَم ُفْصِن ْمُكَل َو ْن ِم َنْك َرَت ا َف ٌدَل َو ْمُكَل ْنُكَي ْمَل ْنِإ ْمُتْكَرَت اَّمِم ُعُبُّرلا َّنُهَل َو ٍنْيَد ْوَأ اَهِب َني ِصوُي ٍةَّي ِص َو ِدْعَب ٌدَل َو ْمُكَل َناَك ْنِإ َأ ًةَللاَك ُث َروُي ٌلُجَر َناَك ْنِإ َو ٍنْيَد ْوَأ اَهِب َنوُصوُت ٍةَّي ِص َو ِدْعَب ْنِم ْمُتْكَرَت اَّمِم ُنُمُّثلا َّنُهَلَف ِو َذ ْنِم َرَثْكَأ اوُناَك ْنِإَف ُسُدُّسلا اَمُهْنِم ٍد ِحا َو ِِّلُكِلَف ٌتْخُأ ْوَأ ٌخَأ ُهَل َو ٌةَأ َرْما يِف ُءاَك َرُش ْمُهَف َكِل ٌميِلَح ٌميِلَع ُ َّاللَّ َو ِ َّاللَّ َنِم ًةَّي ِص َو ٍِّراَضُم َرْيَغ ٍنْيَد ْوَأ اَهِب ىَصوُي ٍةَّي ِص َو ِدْعَب ْنِم ِثُلُّثلا ( :ءاسنلا ١٢ )
Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisaa’: 12)
b. Dalil-dalil dari Sunnah
1) Hadis dari Imam Muslim
23 ٍرَكَذ ٍلُج َر ىَل ْوَ ِلَِف َيِقَب اَمَف اَهِلْهَأِب َضِئا َرَفْلا اوُق ِحْلَأ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda:“Berikanlah harta warisan kepada yang berhak mendapatkannya, sedangkan sisanya untuk laki-laki yang paling dekat garis keturunanya”. (HR. Muslim)
23 Imam Muslim, Jam’u al-Jawami al-Hadis Wal Asanid, Juz II, ( Germany:Dar
16
2) Hadis dari Imam Abu Dawud
ُدْبَع اَنَثَّدَح َلَاَق ُعَبْشَ ْلأا َوُه َو ٍدَلْخَم ُثيِدَح اَذَه َو ٍدِلاَخ ُنْب ُدَلْخم َو ٍحِلاَص ُنْب ُدَمْحَأ اَنَثَّدَح ِقا َّزَّرلا َلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ُلوُسَر َلاَق َلاَق ٍساَّبَع ِنْبا ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍس ُواَط ِنْبا ْنَع ٌرَمْعَم اَنَثَّدَح َمَّلَس َو ِهْي 24 ٍرَكَذ ىَل ْوَ ِلَِف ُضِئاَرَفْلا ْتَك َرَت اَمَف ِ َّاللَّ ِباَتِك ىَلَع ِضِئا َرَفْلا ِلْهَأ َنْيَب َلاَمْلا ْمِسْقا
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, dan Makhlad bin Khalid, dan ini adalah hadits Makhlad dan tersebut lebih bagus (patut diterima). Mereka berdua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bagikan harta diantara para pemilik faraidh (bagian harta waris) berdasarkan kitab Allah. Maka bagian harta yang tersisa setelah pembagian tersebut, lebih utama diberikan kepada (ahli waris) laki-laki”. (HR. Abu Dawud)
3. Rukun dan Syarat
Adapun beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Adapun rukun pembagian warisan ada tiga, yaitu:25
a. Muwarrits ( ثروم), yaitu orang yang meninggal dunia, baik karena mati hakiki maupun hukmi (يمكح). Mati hukmi maksudnya, dia sudah dianggap mati atas putusan pengadilan, seperti karena telah lama menghilang atau sebab-sebab lainnya.
b. Warits )ثراو(, yaitu ahli waris yang akan menerima pembagian warisan seperti karena ada hubungan perkawinan dan hubungan darah (keturunan).
c. Mauruts )ثوروم(, yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh si mati yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat, kalau ada meninggalkan wasiat. Harta
24 Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Ainul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud, Juz 5 (Kairo: Daarul Hadits, 2001), h. 306.
25 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001), h.
warisan ada yang menyebut dengan : tirkah )ةكرت ( atau turats )ثارت(.
Sedangkan syarat-syarat pembagian warisan adalah:
a. Muwarrits, syaratnya benar-benar telah meninggal dunia, apakah meninggal hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melakukan pembuktian, bahwa seorang telah meninggal dunia. Secara yuridis (hukmi) yaitu kematian seseorang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Atau secara taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b. Warits, syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwarrits, ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara muwarrits dan warits tidak ada halangan untuk saling mewarisi.
c. Mauruts, yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.26
B. Sebab-sebab Mewarisi
Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinya beralih kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam literatur hukum Islam atau fiqih, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah mati, yaitu hubungan kerabat, hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan sesama Islam.27
26 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 28-29.
27 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, (Jakarta: KENCANA,
18
1. Hubungan Kerabat
Salah satu sebab beralihnya harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturahmi atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mati
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti saudara, paman, bibi dan anak turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuan.28
2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan (persemendaan) dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli waris bagi suaminya yang meninggal.29 Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami istri didasarkan pada dua syarat berikut:
a. Perkawinan itu Sah Menurut Syariat Islam
Artinya, syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, atau antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta
28 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al- Ma’arif, 1975), h. 116.
lepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul (hubungan kelamin).
b. Perkawinan Masih Utuh
Artinya, suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal dunia.30 Termasuk dalam ketentuan ini, apabila salah satu pihak meninggal dunia, sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan perempuan masih dalam masa iddah. Seorang perempuan yang sedang menjalani iddah talak raj’i masih berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin (menurut jumhur ulama) karena halalnya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.31 3. Wala’
Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan ahli warisnya yang mewarisi dengan bagian ‘ashabah’ dengan sebab dirinya (ashobah bin nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik memerdekakan secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah.32
4. Hubungan Sesama Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisnya
30
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan , h. 191.
31 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.74.
32 Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris: Metode Praktis Menghitung Warisan Dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin,
20
diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
C. Halangan Mewarisi
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris.33 Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:
1. Perbudakan
Perbudakan adalah suatu sifat yang menjadikan seseorang dimiliki oleh yang lain, dia dapat dijual dan diberikan, diwarisi dan diatur, dan tidak dapat mengatur perkaranya dengan pengaturan yang bebas. Sebagian ulama memberikan defenisi bahwa perbudakan adalah kelemahan diri seseorang secara hukum disebabkan kekufuran. Perbudakan menghalangi warisan karena Allah telah menyandarkan warisan kepada orang yang berhak dengan memakai huruf “lam” yang menunjukkan makna pemilikan, maka harta warisan menjadi milik ahli waris sedangkan budak tidak memiliki.34
Baik keadaan budak itu qinna (budak murni) atau mudabbar (yaitu budak yang dimana tuannya telah menyatakan kepadanya: ”Kamu bebas merdeka sesudah kematianku”, atau mukatabah (yaitu budak yang diwajibkan oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta, kemudian dikatakan kepadanya, misalnya: “jika kamu memberikan kepadaku seratus juta, maka kamu bebas, merdeka”).
Atau budak yang untuk kemerdekaaanya dikaitkan dengan suatu sifat. Seperti tuannya mengatakan: “Jika istriku melahirkan anak laki-laki maka kamu bebas. Dan demikian juga akan segala macam
33 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 83.
budak tidak boleh mewarisi. Sebagaimana budak tidak boleh mewarisi, maka ia juga tidak boleh diwarisi, karena ia tidak mempunyai harta.35
2. Pembunuhan
Apabila penerima waris membunuh pemberi waris, maka ia tidak boleh mewarisi hartanya. Para ulama berbeda pendapat tentang warisan seorang pembunuh menjadi empat pendapat:
a. Sekelompok ulama berpendapat bahwa pembunuh tidak mendapatkan warisan sama sekali dari orang yang dibunuhnya. b. Sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa seorang
pembunuh mendapatkan warisan. Mereka merupakan sekelompok minoritas ulama.
c. Sekelompok ulama membedakan antara pembunuh bersalah dan pembunuh sengaja. Pada pembunuhan sengaja tidak mendapatkan warisan sedikitpun dan pada pembunuhan bersalah mendapatkan warisan kecuali yang berasal dari diyat. Ini adalah pendapat Imam Malik dan para pengikutnya.
d. Sekelompok ulama juga membedakan antara pembunuhan sengaja yang dilakukan karena perintah yang wajib atau bukan perintah yang wajib, seperti orang yang menegakkan hukuman had. Secara garis besar, perbedaan antara orang yang tertuduh dan orang yang tidak tertuduh.36
Dalam KHI Pasal 173 disebutkan bahwa seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
35 Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawaris fi al-Syari’ah al-Islamiyah fi Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Daarul Hadits), h. 42.
36 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz II (Semarang:
22
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.37
3. Berlainan Agama
Berlainan Agama adalah adanya perbedaan Agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar hukum berlainan Agama sebagai mawani’ ul irsi.
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non-Islam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran status orang non-Islam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 141:
ًلايِبَس َنيِنِم ْؤُمْلا ىَلَع َني ِرِفاَكْلِل ُ َّاللَّ َلَعْجَي ْنَل َو :ءاسناا( ١٤١ ) Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 141)
Apabila seorang ahli waris yang berbeda Agama beberapa saat sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal
37 Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007), H.
pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan non-Islam (kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan Agama.38
Andai kata syarat mendapatkan hak mewarisi baru dimulai pada saat pembagian harta peninggalan, tentu terdapat perbedaan hukum tentang mendahulukan dan mengakhirkan pembagian harta peninggalan, dan tentu hak yang demikian itu dapat disalah gunakan oleh ahli waris yang masuk Islam hanya untuk memperoleh harta peninggalan saja dan kemudian murtad kembali setelah tercapai maksudnya.39
4. Hijab (Penghalang Hak Waris)
Ditinjau dari segi bahasa, kata al-hajb larangan atau halangan. Dalam bahasa Arab, penjaga pintu disebut hajib karena ia melarang orang masuk keruang para pemimpin tanpa izin. Bentuk isim fa’ilnya adalah hajib dan bentuk isim maf’ulnya adalah mahjub. Dengan demikian, orang yang menghalangi orang lain memperoleh hak warisnya disebut al-hajib, sedangkan orang yang terhalangi untuk memperoleh hak warisnya disebut al-mahjub.40
Sedangkan menurut istilah, hajb adalah mencegah ahli waris dari hak warisnya, baik seluruhnya maupun sebagian karena adanya orang yang lebih berhak daripada dia untuk memperoleh warisan.41
a. Macam-macam al-hajb
Hilangnya hak mewarisi ini mungkin secara keseluruhan atau mungkin hanya hilang sebagian, yaitu bergeser dari bagian
38
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 98.
39 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.78.
40 Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur’an dan Sunnah , (Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005), Cet 1, h.106.
24
yang besar menjadi bagian yang kecil. Karena itu hijab ini dibedakan atas 2 macam, yaitu sebagai berikut:42
1) Hijab Hirman, yaitu terhalangnya seseorang untuk memperoleh seluruh bagian harta warisan, padahal seharusnya ia berhak mendapatkannya. Seperti terhalangnya kakek oleh ayah, saudara laki-laki sebapak oleh saudara laki-laki kandung, nenek oleh ibu dan sebagainya.
2) Hijab Nuqshan, yaitu berkurangnya bagian seorang ahli waris dari yang semestinya. Ia terima karena adanya orang lain. Dengan demikian, hijab nuqhsan tidak menghalangi sama sekali orang yang berhak mendapatkan warisan, namun mengurangi bagiannya sehingga ia tidak dapat memperoleh bagian yang maksimal (banyak). Seperti, terkuranginya bagian istri seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena adanya anak yang menjadi ahli waris.43
b. Para Ahli Waris yang tidak akan Mahjub
Diantara para ahli waris, terdapat orang-orang yang sama sekali tidak dapat terhalang (mahjub) oleh hijab al-hirman sehingga selamanya dapat memperoleh bagian warisan, berjumlah enam orang, yaitu:
1) Anak laki-laki kandung 2) Anak perempuan kandung 3) Ayah
4) Ibu 5) Suami 6) Istri
42 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.80.
Atau dengan istilah lain yang lebih simpel sebagaimana diungkapkan oleh para pakar ilmu faraidh; dua jenis anak, dua orang tua, dan suami istri, jika salah seorang diantara mereka menjadi ahli waris, maka dapat dipastikan memperoleh bagian karena mereka tidak dapat terhalang oleh hijab al-hirman.44
c. Para Ahli Waris yang Mahjub
Adapun para ahli waris laki-laki yang mahjub (terhalang) ialah: 1) Kakek yang shahih terhalang oleh ayah, dan kakek yang jauh
terhalang oleh kakek yang dekat dan seterusnya.
2) Saudara laki sekandung terhalang oleh ayah, anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunanya. 3) Saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli waris yang
menghalangi saudara laki-laki sekandung, dan oleh saudara perempuan sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair. Karena, dalam kondisi seperti itu ia mempunyai posisi sekuat saudara laki-laki sekandung, baik dalam memperoleh bagian warisan maupun dalam memahjubkan.
4) Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan terhalang oleh orangtua laki-laki pewaris dan oleh anak-anak pewaris baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya.
5) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki dari anak laki-laki yang dekat dan seterusnya.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) sekandung terhalang oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki, saudara laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli waris yang menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki
26
sekandung, dan juga oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
8) Paman sekandung terhalang oleh anak laki saudara laki seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi anak laki-laki saudara laki-laki-laki-laki seayah.
9) Paman seayah terhalang oleh paman sekandung dan oleh ahli waris yang menghalangi paman sekandung.
10) Anak laki-laki dari paman sekandung terhalang oleh paman seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi paman seayah. 11) Anak laki-laki paman seayah terhalang oleh anak laki-laki
paman sekandung, dan oleh orang-orang yang menghalangi anak laki-laki paman sekandung.
Dan para ahli waris perempuan yang mahjub ialah:
1) Nenek, baik ibunya maupun ibunya ayah terhalang oleh ibu dalam semua keadaan.
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun lebih, terhalang oleh anak laki-laki dan oleh dua orang atau lebih anak perempuan kecuali jika ia mempunyai saudara laki-laki mu’ashib (yang menjadikannya memperoleh bagian ashabah) sebagaimana akan dijelaskan nanti.
3) Saudara perempuan sekandung terhalang oleh ayah dan oleh anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki pewaris terus ke bawah.
4) Saudara perempuan seayah terhalang oleh saudara perempuan sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair, oleh ayah, anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan oleh dua orang saudara perempuan sekandung yang memperoleh bagian seperenam untuk menggenapkan bagian dua pertiga, kecuali jika saudara perempuan seayah tersebut mempunyai saudara laki-laki mu’ashib.
5) Saudara perempuan seibu terhalang oleh ayah atau kakek dan seterusnya keatas, dan juga oleh anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya kebawah.45
D. Jenis-jenis Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: Ashabul Furudh, Ashabah dan Dzawil Arham.46
1. Ashabul Furudh
Ashabul furudh ialah waris-waris yang mempunyai bagian yang telah ditentukan pada harta peninggalan dengan nash atau dengan ijma. Mereka semuanya ada dua belas orang: empat orang lelaki, delapan wanita. Ashabul furudh dari lelaki ialah: suami, ayah, kakek sejati dan saudara seibu. Ashabul furudh dari wanita, ialah: isteri, ibu, nenek sejati, anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan seibu.
a. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/2/ (nishf) harta:
1) Suami, apabila isteri meninggalkan anak, baik anak si suami itu sendiri ataupun anak dari suami lain.
2) Seseorang anak perempuan kandung, apabila tidak ada orang yang menjadi ashabahnya.
3) Cucu perempuan, jika si mayit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan sekandung, bila dia seorang diri, dengan syarat tidak ada orang yang menjadi ashabahnya dan tidak pula bersamanya anak perempuan kandung.
5) Saudara perempuan seayah, dengan syarat yang telah dikemukakan pada saudara-saudara perempuan sekadung dan
45 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 107-110.
28
dengan syarat tidak pula bersamanya saudara perempuan sekandung.
b. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/4 (rubu’) harta:
1) Suami, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Baik anak dari suami itu sendiri, atau pun anak dari suami yang lain. 2) Isteri, apabila suami tidak meninggalkan anak.
c. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/8 (tsumun) harta: 1) Isteri, jika suami wafat meninggalkan anak.
d. Ashabul Furudh yang berhak menerima 2/3 harta (tsulutsani) harta: 1) Dua anak perempuan kandung
2) Cucu-cucu perempuan dari anak lelaki 3) Saudara-saudara perempuan sekandung
4) Saudara-saudara perempuan seayah, dengan syarat-syarat yang telah diterangkan tentang berhaknya mereka menerima nishfu diwaktu bersendiri.
e. Ashabul Furudh yang menerima 1/3 (tsuluts) harta:
1) Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan beberapa saudara baik seibu bapak, atau sebapak atau seibu.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik lelaki maupun perempuan baik mereka semuanya lelaki, ataupun semuanya perempuan ataupun ada yang lelaki dan ada yang perempuan. Dua orang saudara dan seterusnya seibu mendapat 1/3 harta. f. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/6 (sudus) harta:
1) Ayah, ketika yang meninggal itu mempunyai anak.
2) Kakek sejati, diwaktu yang meninggal itu meninggalkan anak, tidak meninggalkan ayah.
3) Ibu, apabila yang meninggal itu meninggalkan anak, atau dua orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan saudara perempuan, baik seibu bapak atau sebapak atau seibu.
5) Cucu perempuan dari anak lelaki, seorang saja atau lebih bersama seorang anak perempuan kandung.
6) Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama seorang saudara perempuan sekandung.
7) Seorang anak seibu (saudara seibu), baik lelaki ataupun perempuan.47
Di dalam al-Quran dan Hadits Nabi disebutkan bagian-bagian tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu. Bagian tertentu itu dalam al-Quran yang disebut dengan furudh adalah dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, 1/4. 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Para ahli waris yang mendapat menurut angka-angka tersbut dinamai ahli waris ashabul furudh.48
2. Ashabah
kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela, penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima sisa atau tidak dapat sama sekali. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris.
Ahli waris ashabah kan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya berlaku:
a. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris untuk ahli waris ashabah;
47 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 74-77.
48 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004) Cet. 2,
30
b. Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabul furudh menerima sisa dari ashabul furudh tersebut.
c. Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah tidak mendapatkan apa-apa.49
Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, kakek.50 Dalam keadaan
tertentu anak perempuan juga mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama saudaranya laki-laki. Kelompok ashabah ini menerima pembagian harta waris setelah selesai pembagian untuk ashabul furudh.
Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut: a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki kandung f. Saudara laki-laki sebapak
g. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (Keponakan) h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan) i. Paman kandung
j. Paman sebapak
k. Anak laki-laki paman sekandung l. Anak laki-laki paman sebapak
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan sebagai berikut:
a. Ashabah Binnafsihi
49 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 64-65.
Ashabah Binafsihi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan simati, tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli waris yang langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain. Misalnya, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung. Mereka itu dengan sendirinya boleh menghabiskan harta, setelah harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.
b. Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)
Ashabah Bilghairi adalah orang perempuan yang menjadi ashabah beserta laki-laki yang sederajat dengannya (setiap perempuan yang memerlukan orang lain dalam hal ini laki-laki untuk menjadikan ashabah dan secara bersama-sama menerima ashabah). Kalau orang lain itu tidak ada, ini tidak menjadi ashabah, melainkan menjadi ashabul furudh biasa.
c. Ashabah Ma’al ghairi (karena orang lain).
Ashabah Ma’al ghairi adalah orang yang menjadi ashabah disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (Setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat menerima ashabah). Orang lain tersebut tidak ikut menajadi ashabah. Akan tetapi, kalau orang lain tersebut tidak ada maka ia menjadi ashabul furudh biasa.
Contohnya seperti berikut ini:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih atau bersama dengan cucu perempuan (seorang atau lebih).
32
2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama dengan cucu perempuan (seorang atau lebih). 51
3. Dzawil Arham
Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan ashabul furudh dan bukan pula ashabah.52 Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan b. Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan c. Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
d. Nenek dari pihak kakek (ibu kakek)
e. Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak maupun seibu)
f. Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu
g. Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung sebapak atau seibu)
h. Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari kakek
i. Paman yang seibu dengan dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek
j. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu k. Anak perempuan dari paman
l. Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu).53
Kemungkinan untuk mendapatkan dzawil arham disebagian ulama sudah tidak berlaku lagi ketika ada Rad. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan para fuqaha Amshar, demikian pula Zaid bin Tsabit r.a. dari kalangan sahabat, berpendapat bahwa orang-orang tersebut
51 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 65-66.
52 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, h. 446.
(dzawul arham) tidak mewarisi.54 Hal ini sudah diatur didalam KHI Pasal 192 yang menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli warisnya Dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisannya dibagi secara Aul menurut angka pembilang.”
Pasal 193 yang menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pemberian harta warisan diantara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara Rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang diantara mereka”.
E. Kewarisan dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 Pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Pada umumnya pasal-pasal KHI tentang kewarisan sudah sama dengan yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam atau yang disebut faraidh. Dalam beberapa pasal dalam penglihatan sepintas tidak sejalan dengan hukum faraidh. Namun setelah didalami dengan sedikit penyesuaian dapat dipahami bahwa pasal itu tidak menyalahi hukum faraidh.55
54 Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad
Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 381.
55 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 322.
34
1. Pengertian dan Istilah Dalam KHI
Pengertian dan beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum waris Islam yang terdapat dalam KHI Pasal 171 sebagai berikut:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewars menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.56
Dalam penelitian ini membahasan ketentuan seputar masalah-masalah dalam pembagian warisan terkhusus dalam masalah-masalah munasakhah yang belum diatur didalam KHI, baik mengenai pengertian atau pun tentang tatacara pembagiannya. Apabila ada perkara warisan Munasakhah yang masuk di Pengadilan Agama, maka hakim berijtihad atau melakukan suatu terobosan hukum untuk menyelesaikan perkara ini.
56 Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007),
H.56.
2. Beberapa Ketentuan Yang Berbeda Dengan Kewarisan Fiqih a. Ahli Waris Pengganti
Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 185 yang berbunyi:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
b. Anak Angkat (Wasiat Wajibah)
Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 209 yang berbunyi:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta warisan orang tua angkatnya.
F. Kewarisan Bertingkat (Munasakhah)
1. Pengertian Kewarisan Bertingkat (Munasakhah)
Menurut bahasa, munasakhah artinya naql (memindahkan) dan izalah (menghilangkan). Seperti kalimat, “Nasakhtu al-kitab”, maksudnya “Naqaltuhu ila nuskhah ukhra” (Aku memindahkan atau menyalin naskah atau tulisan dari buku itu.57 Seperti kalimat,
“Nasakhat asy-syamsu”, maksudnya, “Inna kunna nastansikhu ma kuntum ta’malun” (al-Jasiyah [45]: 29), maksudnya ‘nanqulu wa nusajjilu, artinya, “Kami pindahkan dan kami salin.
57 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-indonesia, (Surabaya: