• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003-Desember 2004di wilayah pesisir Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 2)

Lingkup Kegiatan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung penelitian ini adalah sebagai berikut :

(a) Melakukan pengumpulan data

(b) Mengumpulkan masukan dari beberapa pakar yang berkompeten serta

stakeholder lainnya yang terkait dengan penelitian yang dilakukan;

(c) Melakukan analisis data.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yang dilakukan dengan cara berikut:

Data primer

Data primer diperoleh dengan melakukan penelitian langsung melalui pengamatan pada stasiun-stasiun penelitian yang ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Geographic Positioning System). Pengambilan data primer dilakukan pada lokasi dekat daerah industri dan yang lainnya dilakukan pada lokasi yang letaknya jauh dari industri. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kegiatan industri dan pengembangannya terhadap kualitas perairan di lokasi-lokasi tersebut. Untuk mengetahui kualitas perairan pesisir dan laut Kota Batam, data primer yang diambil meliputi kualitas air pantai/laut dan ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang).

Data kualitas air pantai/laut

Data primer kualitas air pada perairan pesisir (pantai) Kota Batam diperoleh dengan melakukan pengambilan sampel kualitas air laut pada stasiun pengambilan yang lokasinya dekat dengan daerah industri serta stasiun yang jauh dari industri untuk mengetahui distribusi pencemaran air laut. Sampel kualitas air laut diambil sekali pada beberapa titik yang dianggap dapat mewakili dari lokasi masing-masing, yaitu di sekitar daerah industri dan jauh dari industri). Beberapa parameter kualitas air laut yang diamati merujuk pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN LH) Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a) dan KEPMEN LH Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (KLH, 2004b).

Data mangrove

Data primer mengenai kondisi mangrove diperoleh melalui pengukuran dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot) yang dilakukan dengan membuat petak contoh. Pada masing-masing lokasi dibuat beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m. Metode ini dipilih karena menurut KLH (2004c) dinyatakan sebagai salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang baik (akurat).

Data terumbu karang

Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi terumbu karang adalah metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect) sepanjang 100 meter. Pada setiap lokasi dilakukan pengukuran pada kedalaman perairan laut 3 meter dan 10 meter, dengan masing-masing lokasi dibagi menjadi 3 sub-stasiun (Ss1, Ss2 dan Ss3) yang panjangnya 30 meter dan diantara substasiun diberi selang sepanjang 5 meter. Pemasangan transek diletakkan sejajar garis pantai

dengan mengikuti kontur kedalaman. Transek garis diletakkan di atas koloni karang dan dicatat panjang jenis karang yang tepat di bawah roll meter

berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form).

Metode transek garis ini memiliki kelebihan antara lain: akurasi data dapat diperoleh dengan baik, kualitas data lebih baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas seperti persentase tutupan karang hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh serta dapat menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang.

Untuk data penunjang lainnya diperoleh baik melalui pertemuan- pertemuan, wawancara dengan pihak-pihak terkait maupun dengan melihat secara visual keadaan di lapangan yang dilakukan pada saat pengambilan data primer di lokasi penelitian.

Data sekunder

Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa literatur baik dari jurnal, hasil penelitian, hasil survey instansi pemerintah, swasta dan lain-lain. Data yang dikumpulkan meliputi data kualitas air laut, ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang), sumberdaya ikan, sosial-ekonomi masyarakat nelayan, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundang- undangan terkait.

Analisis Data

Analisis data diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi masing- masing data dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam terutama terkait dengan dampak yang ditimbulkan setelah dijadikannya Batam sebagai kawasan industri oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perlindungan terhadap kualitas atau mutu laut di wilayah Kota Batam. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut disebutkan bahwa

perlindungan terhadap mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut (Bapedal, 2001).

Analisis kondisi kualitas air laut

Analisis kondisi kualitas air laut dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder. Untuk mengetahui nilai dari masing-masing parameter kualitas air laut yang diamati, khususnya dari data primer yang diperoleh dari contoh (sample) kualitas air yang diambil dari perairan pantai/laut Kota Batam, terlebih dahulu dilakukan analisis di laboratorium Sucofindo Batam. Selanjutnya untuk mengetahui kondisi kualitas air di perairan tersebut digunakan analisis kualitas air/laut dengan metode STORET (Canter, 1977), dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (KLH, 2003).

Metode STORET (Canter, 1977) seperti dijelaskan penggunaannya dalam KEPMEN LH Nomor 115 Tahun 2003 digunakan untuk mengetahui kondisi kualitas air di suatu perairan berdasarkan indeks kualitas air yang diperoleh dari suatu seri data, yang berasal paling sedikit dari dua titik pengamatan atau lebih yang mewakili perairan, atau data dari dua kali pengamatan atau lebih pada titik yang sama di perairan. Berdasarkan data tersebut, untuk setiap parameter kualitas air ditentukan nilai minimum, maksimum dan reratanya. Dari setiap nilai yang diperoleh untuk setiap parameternya dibandingkan dengan baku mutu perairan, yang dalam hal ini digunakan acuan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KLH, 2004a). Selanjutnya diberikan skor (scoring), yaitu untuk masing- masing nilai maksimum, minimum dan rerata bila masih memenuhi baku mutu diberi skor nol, tetapi bila tidak memenuhi baku mutu diberi skor sesuai dengan Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan skor untuk tiap parameter kualitas air dengan metode STORET (Canter, 1977)

Skor untuk parameter (bila melebihi baku mutu) Jumlah

Pengamatan Nilai

Fisika Kimia Biologi

< 10 Maksimum Minimum Rerata -1 -1 -3 -2 -2 -6 -3 -3 -9 ≥ 10 Maksimum Minimum Rerata -2 -2 -6 -4 -4 -12 -6 -6 -18

Jumlah keseluruhan dari skor yang diperoleh (untuk seluruh parameter yang diamati) akan menunjukkan tingkat kualitas air, kemudian dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) diklasifikasikan tingkat kualitas air dalam empat kelas (Tabel 2).

Tabel 2 Klasifikasi tingkat kualitas air beserta kelasnya berdasarkan sistem nilai dari US-EPA.

Total skor Tingkat Kualitas Kelas Keterangan

0 Baik sekali A Memenuhi baku mutu

-1 sampai dengan -10 Baik B Tercemar ringan

-11 sampai dengan -30 Sedang C Tercemar sedang

< -30 Buruk D Tercemar berat

Sumber: KLH (2003)

Analisis kondisi ekosistem pesisir

Kondisi ekosistem pesisir dibedakan dalam 2 (dua) kategori berdasarkan status mutunya sebagai berikut:

♦ Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik.

♦ Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.

Untuk mengetahui kondisi ekosistem pesisir dilakukan analisis berdasarkan data primer dan data sekunder untuk mangrove dan terumbu karang, sedangkan untuk padang lamun hanya dilakukan berdasarkan data sekunder karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan langsung.

Mangrove

Status kondisi mangrove menggambarkan tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove, dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot), yang merupakan metode pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pada beberapa petak contoh berupa segi-empat yang masing-masing berukuran 10 m x 10 m.

Analisis data mangrove menggunakan metode yang dijelaskan dalam English et al (1994) dan untuk menentukan kondisi mangrove dilakukan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (KLH, 2004c). Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang.

Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup, dimana kriteria ini merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam kategori baik (sedang-sangat padat) dan rusak (jarang) seperti disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria baku kerusakan mangrove

Kriteria Penutupan (%)

Kerapatan (pohon/hektar)

Keterangan

Rusak Jarang < 50 < 1 000 Status mutunya berada

pada tingkatan rusak Baik Sedang ≥ 50 - < 75 ≥ 1 000 - < 1 500 Status mutunya pada

Sangat padat ≥ 75 ≥ 1 500 tingkatan baik

Untuk mengetahui tingkat keragaman jenis mangrove dilakukan berdasarkan English et al (1994) seperti dalam Tabel 4.

Tabel 4 Jenis data dan tingkat keragaman jenis mangrove

Jenis data Klasifikasi Tingkat keragaman

Jenis/spesies mangrove < 3 jenis 4 – 7 jenis > 8 jenis Kurang beragam Cukup beragam Sangat beragam Sumber: English et al (1994)

Untuk kepentingan deskripsi vegetasi, menurut Kusmana (1997) dijelaskan bahwa parameter kuantitatif vegetasi sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan, diantaranya adalah kerapatan

(density) dan frekuensi. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan

dalam suatu luasan tertentu. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat.

Kerapatan Jenis

Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan jenis (density) adalah jumlah suatu individu dalam suatu unit luasan area. Kerapatan jenis dapat ditulis dengan rumus : A ni Di= Keterangan

Di : Kerapatan (Density) jenis i ni : Jumlah individu jenis i A : Luas area total petak contoh

Kerapatan Relatif

Kusmana (1997) menyebutkan bahwa kerapatan relatif (relative density) adalah perbandingan antara jumlah kerapatan suatu individu dengan total kerapatan seluruh individu. Kerapatan relatif ditulis dengan rumus :

% 100 x D Di RDi

=

Keterangan RDi : Kerapatan Relatif (Relative Density) jenis i Di : Jumlah kerapatan jenis i

ΣD : Jumlah kerapatan untuk semua jenis Frekuensi

Frekuensi (frequency) adalah perbandingan antara jumlah sub-petak contoh dimana ditemukan suatu individu terhadap seluruh sub-petak contoh pada sutau lokasi tertentu. Frekuensi ditulis dengan rumus :

=

p pi Fi

Keterangan Fi : Frekuensi (Frequency)

pi : Jumlah sub-petak contoh dimana jenis i ditemukan.

Σp : Jumlah seluruh sub-petak contoh Frekuensi Relatif

Frekuensi relatif (relative frequency) adalah perbandingan antara frekuensi sutau jenis (Fi) dengan jumlah frekuensi untuk semua jenis (ΣF), yang ditulis dengan rumus : x100% F Fi RFi

=

Keterangan RFi : Frekuensi relatif (Relative Frequency) jenis i Fi : Jumlah frekuensi jenis i

Terumbu Karang

Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan menggunakan persamaan (UNEP,1993), yaitu :

ni = ×100%

L li

Keterangan ni : Persentase penutupan karang hidup life form ke-i li : panjang total life form karang ke-i

L : Panjang transek garis

Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria kerusakan terumbu karang dengan menggunakan persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup.

Untuk menentukan kondisi terumbu karang dilakukan dengan mengacu pada KEPMEN LH Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang (KLH, 2001).

Kriteria baku kerusakan terumbu karang merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang, dalam hal ini status kondisi terumbu karang diklasifikasikan dalam kategori baik dan rusak (Tabel 5).

Tabel 5 Kriteria baku kerusakan terumbu karang Parameter Kriteria baku kerusakan

terumbu karang (%)

Keterangan

Buruk 0 – 24.9

Rusak

Sedang 25 – 49.9

Status mutunya berada pada tingkatan rusak

Baik 50 – 74.9 Persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup Baik Baik sekali 75 - 100

Status mutunya pada tingkatan baik

Padang Lamun

Untuk mengetahui status padang lamun digunakan acuan berdasarkan KEPMEN LH Nomor: 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun (KLH, 2004d) (Tabel 6 dan 7).

Tabel 6 Kriteria baku kerusakan padang lamun

Tingkat kerusakan Luas area kerusakan (%)

Tinggi ≥ 50

Sedang 30 – 49.9

Rendah ≤ 29.9

Sumber: KLH (2004d)

Tabel 7 Status padang lamun

Kondisi Penutupan (%)

Baik Kaya/sehat ≥ 60

Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59.9

Rusak

miskin ≤ 29.9

Sumber: KLH (2004d)

Analisis untuk Menentukan Strategi Pengelolaan Lingkungan Pesisir

Analisis terhadap pengelolaan lingkungan pesisir Kota Batam dilakukan berdasarkan pada semua hasil analisis data yang ada dan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai sumber yang diperoleh selama penelitian serta dari berbagai litertur pendukung, termasuk didalamnya berupa hasil kajian/studi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak lain. Selanjutnya dari analisis tersebut ditentukan strategi-stretegi pengelolaan lingkungan pesisir yang dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan pengelolaan lingkungan pesisir dan laut di Kota Batam khususnya terkait dengan upaya mengurangi sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dan pengembangannya.

Untuk menyusun strategi-stretegi pengelolaan lingkungan pesisir digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT menjelaskan proses analisis kasus berikut perumusan strategi dan formulasi rekomendasi yang dipilih. Menurut Rangkuti (2004), analisis SWOT adalah identifikasi terhadap berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dipilih. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang

(Opportunities), tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan

(Weaknesses) dan ancaman (Threats). Analisis SWOT dilakukan dengan

membandingkan faktor-faktor strategis eksternal atau External Strategic Factors

Analysis Summary (EFAS), yang terdiri dari peluang dan ancaman dengan faktor-

faktor strategis internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS), yang berupa kekuatan dan kelemahan. Analisis ini juga dapat digunakan untuk menyusun strategi-strategi dalam jangka panjang sehingga arah dan tujuan dapat dicapai dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan.

Strategi-strategi pengelolaan yang dipilih sebagai rekomendasi dari penelitian ini ditentukan dengan menggunakan matrik TOWS atau SWOT. Menurut Rangkuti (2004), matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan yang ada (Tabel 8).

Tabel 8 Matrik analisis SWOT

IFAS EFAS Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses) Peluang (Opportunities) Strategi Kekuatan-Peluang (SO)

Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi Kelemahan- Peluang

(WO)

Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang

Ancaman

(Threats)

Strategi Kekuatan- Ancaman

(ST)

Menciptakan strategi dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi Kelemahan- Ancaman

(WT)

Menciptakan strategi dengan meminimalkan kelemahan untuk mengindari ancaman

Dokumen terkait