• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Metode Penelitian .1 Persiapan

3.3.1.1 Persiapan Kandang dan Laboratorium

Persiapan kandang dimulai dengan pembersihan kotoran dan debu menggunakan pembersih lantai dan Bayclin® sebagai disinfektan, sedangkan seluruh peralatan seperti kotak dan botol dicuci dengan menggunakan air sabun dan Bayclin®. Botol-botol tersebut kemudian diisi dengan air minum yang diberikan kepada mencit. Kotak plastik juga diisi dengan kain perca agar dapat menyerap urin dan feses mencit di dalamnya dan agar mencit tidak kedinginan pada malam hari. Kandang dan kain perca yang digunakan dibersihkan setiap hari dengan menggunakan detergen dan disinfektan serta dikeringkan dengan cara dijemur.

Persiapan laboratorium untuk proses pembuatan sediaan histopatologi dan pengamatan yaitu dengan membersihkan dari kotoran dan debu. Kemudian alat yang digunakan untuk pengamatan juga dibersihkan agar mempermudah dalam penggunaan. Selain itu dilanjutkan dengan mendata bahan dan alat yang tersedia agar tidak terjadi kerusakan ataupun hilang dapat diketahui dengan cepat.

3.3.1.2 Persiapan Pakan dan Minum

Pakan yang diberikan berupa pelet komersial sebanyak ±5 gram/ekor/hari, jumlah ini sudah melebihi kebutuhan pakan seekor mencit setiap harinya. Penyimpanan pakan di tempat kering dengan membungkus dan membagi ke

dalam plastik transparan untuk memudahkan dalam pemberian pakan setiap harinya. Aqua® sebagai air minum diberikan secara ad libitum.

3.3.1.3 Adaptasi Mencit dan Pretreatment

Mencit yang digunakan dalam penelitian sebanyak 24 ekor yang terdiri dari 12 ekor mencit jantan dan 12 ekor mencit betina dengan rata-rata berumur 4 minggu dan mempunyai berat rata-rata ±18 gram. Mencit dimasukkan ke dalam kandang kotak plastik modifikasi dengan alas kain perca dan tutup kandang yang terbuat dari anyaman kawat dengan bingkainya terbuat dari kayu sehingga tidak melukai mencit (Gambar 6). Kandang diletakkan dalam ruangan dalam suhu ruangan yang memadai (27˚C) dengan dilengkapi ventilasi di kedua sisi kandang dan ditambah fan serta exhausefan untuk pertukaran udara. Mencit betina dan jantan diletakkan dalam kandang yang terpisah agar tidak terjadi perkawinan dan diberi label tiap kandangnya. Mencit diberi makan sebanyak 5 g/hari/mencit dan minum secara ad libitum. Adaptasi pada mencit dilakukan selama dua hari.

Gambar 7. Kandang Mencit

Setelah adaptasi selesai mencit diberi pretreatment dengan obat cacing albendazole dengan dosis 10 mg/kg BB. Setelah pemberian obat cacing, selama lima hari berturut-turut setelah itu mencit diberikan antibiotik Clavamox® 5 mg/kg BB. Terakhir, mencit diberikan antiprotozoa Flagyl® 10 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut. Semua obat tersebut diberikan secara peroral

menggunakan sonde lambung. Selama masa pemeliharaan dan perlakuan, mencit diberi pakan sebanyak 5 gram/ekor/hari dengan air minum yang ad libitum.

3.4 Penelitian

3.4.1 Perlakuan Pada Kelompok Penelitian

Perlakuan yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pemberian ekstrak minyak jintan hitam. Selama masa perlakuan, mencit dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kelompok jantan dan kelompok betina. Setiap kelompok baik jantan maupun betina dibagi lagi menjadi empat kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor mencit dan setiap kelompok diberikan perlakuan yang berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 7. Masa perlakuan ini berlangsung selama dua bulan yang dilakukan dengan cara pemberian peroral (cekok) Gambar 7.

Gambar 8 Pencekokan pada mencit dilakukan dengan cara menghandel mencit (A) kemudian mencit diposisikan agar mempermudahkan untuk dicekok (B) dan pencekokan menggunakan sonde lambung (C).

Penentuan dosis perlakuan yang diberikan pada mencit ditentukan dari pengkonfersian dosis anjuran penggunaan ekstrak minyak jintan hitam komersil untuk manusia ke mencit. Selama diberi perlakuan mencit diamati setiap harinya. Pengamatan harian dilakuan dengan tujuan mengamati total mencit yang hidup dan mencit yang mati. Setelah dua bulan berlangsungnya perlakuan, mencit dieuthanasi untuk diamati organ dalamnya terutama organ-organ yang berhubungan dengan sistem imun. Mencit dieuthanasi dengan cara dislokasio

atlanto occipitale menarik dari bagian leher ke kranial dan bagian bahu ke kaudal. Perlakuan dilaksanakan selama dua bulan dengan pertimbangan dari pemberian herbal yang tidak bisa menunjukan efek cepat seperti bahan kimia, namun diperlukan waktu agar efek pemberian ekstrak minyak jintan hitam terlihat.

Tabel 7 Kelompok Perlakuan pada Mencit Jantan dan Betina dalam Penelitian

Kelompok Perlakuan

Kontrol Cekok aqua sebanyak 0.1 ml/ekor/hari

Preventif Cekok habbatussauda sebanyak 0.1 ml/ekor/hari Kuratif Cekok habbatussauda sebanyak 0.2 ml/ekor/hari Habatussauda+Madu Cekok campuran habbatussauda+madu sebanyak 0.3

ml/ekor/hari

Ket: Perhitungan dosis penggunaan ekstrak minyak jintan hitam dan campuran dari ekstrak minyak jintan hitam dan madu dapat dilihat pada lampiran

Mencit yang telah dieuthanasi, dibuka bagian abdomennya dimulai dari hipogastrium hingga bagian symphysis pubis. Namun jika dalam waktu dua bulan masa perlakuan terdapat mencit yang mati maka mencit akan dinekropsi untuk didiagnosa penyebab kematian mencit tersebut.

3.4.2 Sampling Organ Limfoid Sekunder

Sistem imun organ yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah organ limfoid sekunder yang akan dijadikan preparat histopatologi yaitu limpa dan limfonodus. Organ-organ ini diambil setelah nekropsi dilakukan pada mencit. Organ-organ dalam mencit akan dijadikan preparat histopatologi untuk diambil data-datanya, yang akan menjadi bukti ilmiah tentang khasiat dari habatussauda. Organ seperti limpa dan limfonodus yang telah dipisahkan dengan organ lain kemudian disimpan di dalam sebuah wadah sampel yang berisi BNF 10%. Penyimpanan organ menggunakan BNF 10% ini dengan tujuan untuk mengawetkan organ sehingga organ tersebut masih dalam keadaan yang baik untuk dijadikan preparat. Setelah larutan berpenetrasi sempurna ke dalam organ, langkah selanjutnya adalah trimming (memilih bagian dari organ yang dijadikan preparat histopat). Proses trimming dilakukan dengan memotong tipis bagian yang

dipilih untuk pemeriksaan mikroskopis organ yang telah difiksasi, kemudian dipotong dengan ketebalan 0,5 cm.

3.4.3 Pembuatan Preparat Histopatologi

Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan tahap pemotongan organ yang telah difiksasi dengan ketebalan 0,5 cm dan kemudian ditempatkan pada tissue casset. Tissue casset diatur ke dalam tissue basket untuk proses dehidrasi dan direndam kembali di dalam larutan BNF 10% sampai diproses. Organ yang dijadikan preparat dipilih untuk digunakan dalam pengamatan, proses ini disebut proses trimming. Tahapan berikutnya dilakukan dehidrasi dengan cara merendam sediaan tersebut berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, alkohol absolut I, alkohol absolut II masing-masing selama 60 menit, kemudian clearing dalam larutan xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing selama 40 menit, serta proses embedding dalam parafin I, II, III, dan IV dalam automatic tissue processor masing-masing selama 30 menit.

Tahapan selanjutnya adalah proses embedding atau penanaman jaringan ke dalam blok parafin. Jaringan diletakkan di tengah cetakan blok parafin yang telah diisi sedikit parafin cair. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh, lalu dibiarkan sampai parafin mengeras dan blok disimpan di refrigerator sampai dipotong dengan mikrotom. Potongan organ awalnya dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair dengan memperhatikan posisi organ agar tetap berada di tengah blok parafin. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 5µm dengan menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan yang berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air hangat (45˚C) pada waterbath dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat. Selanjutnya sediaan dikeringkan di dalam inkubator suhu 60˚C selama satu malam.

Tahap pewarnaan dilakukan dengan cara sediaan dimasukkan ke dalam xylol untuk dideparafinisasi sebanyak dua kali. Selanjutnya sediaan dilanjutkan dengan proses rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%, yang masing-masing lamanya dua menit. Setelah itu, sediaan dicuci

dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah kering diwarnai dengan pewarnaan Mayer΄s Hematoksilin selama delapan menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2 menit. Selanjutnya, sediaan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum akhirnya dikeringkan.

Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama satu menit, xylol II selama dua menit. Sediaan ditetesi perekat permount, ditutup dengan cover glass, dan dibiarkan kering sesuai dengan metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat dan setelah perekat kering diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.

3.4.4 Pengamatan Preparat Histopatologi

Pengamatan histopatologi diawali dengan pemotretan menggunakan kamera fotografi mikro (digital eyepiece camera) untuk setiap preparat organ dari masing-masing perlakuan. Gambar yang diambil dari preparat yaitu dimulai dengan gambaran histopatologi preparat menggunakan mikroskop perbesaran 10x pada lensa okuler dan perbesaran 4x, 40x, dan 100x pada lensa objektif. Gambar yang telah diperoleh dilanjutkan dengan penghitung jumlah dan luas. Penghitungan jumlah dan luas ini dilakukan dengan menghitung banyaknya jumlah dan luasan menggunakan software Image J® Launcher pada folikel limfoid yang terdapat pada organ limpa dan limfonodus dari gambaran histopatologi organ pada mikroskop dengan perbesaran 40x.

Folikel limfoid yang terdapat pada organ limpa dan limfonodus dihitung secara keseluruhan jumlah dan luasnya dari masing-masing perlakuan yang telah dilakuan pada mencit jantan maupun mencit betina. Hasil perhitungan yang diperoleh dibedaakan antara kelompok perlakuan (kontrol, preventif, kuratif, dan campuran dengan madu) serta dibedakan juga anatara jenis kelamin mencit (jantan dan betina) kemudian dibandingkan.

3.4.5 Analisis Data

Data pengamatan yang diperoleh adalah data kuantitatif yang disajikan dalam bentuk rataan dan simpangan baku. Setiap data yang diperoleh dari masing-masing perlakuan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari kontrol yaitu mencit yang hanya dicekok dengan Aqua® sebanyak 0.1 ml/ekor/hari. Pembandingan yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis perubahan yang terjadi pada pulpa putih yang terdapat pada limpa dan folikel limfoid dari limfonodus mencit kelompok kontrol dengan kelompok lainya. Data kuantitatif yang diperoleh juga dibandingkan antara jantan dan betina untuk melihat keefektifan antara kedunya.

Data kuantitatif yang diperoleh diolah dengan analisa ANOVA dan uji lanjutan Duncan menggunakan program SPSS 16 dalam Microsoft Windows® sehingga dapat dilihat perbedaan nyata maupun tidaknya data yang diperoleh dari masing masing perlakuan.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peningkatan respon imun dapat terjadi karena adanya infeksi maupun setelah imunisasi atau adanya gangguan sirkulasi maupun tumor. Selain itu peningkatan respon imun juga dipengaruhi oleh imunomodulator. Salah satu herbal yang potensial sebagai imunomodulator adalah jintan hitam.

Pemberian jintan hitam secara teratur dengan dosis bertingkat (kontrol, dosis prevetif, dosis kuratif dan capuran jintan hitam dengan madu) menunjukkan gambaran histopatologi yang berbeda-beda. Data kuantitatif yang diperoleh dari perhitungan rataan jumlah dan luas folikel menunjukkan nilai rataan yang berbeda berdasarkan dosis pemberiannya. Selain gambaran histopatologi, hasil pengamatan pada slide organ limfoid sekunder tidak ditemukan adanya edema, kongesti, dan hemoragi. Hal ini disebabkan manfaat dari jintan hitam yang dapat memperlancar peredaran darah (El-Dakhakhny 2002). Peredaran darah yang lancar dapat menghindari terjadinya kongesti, edema, dan hemoragi pada organ limfoid sekunder.

4.1 Perubahan Gambaran Histopatologis Pada Limfonodus

Limfonodus (kelenjar getah bening) adalah satu-satunya jaringan limfoid, yang terdapat di antara aliran limfe menyaring limfe sebelum memasuki aliran darah. Organ ini paling teroganisasi dari seluruh organ limfatik, dan hanya satu-satunya yang memiliki pembuluh limfe eferen, dan sinus (Dellman 1989).

Hasil percobaan menunjukkan perubahan pada limfonodus setelah diberikan jintan hitam dengan dosis bertingkat pada mencit secara teratur selama dua bulan dapat dilihat dari gambaran histopatologi folikel limfoid yang berbeda pada setiap limfonodus (Gambar 9). Limfonodus mencit menunjukkan gambaran folikel limfoid baik dari jumlah maupun luasan yang berbeda antara perlakuan. Mencit yang diberikan jintan hitam dengan campuran madu menunjukkan luasan folikel limfoid yang lebih luas dibandingkan dengan kontrol, preventif maupun kuratif.

Gambar 9 Histopatologi limfonodus pada mencit yang diberi perlakuan kontrol (A), HS Preventif (B), HS Kuratif (C), HS Madu (D) Pewarnaan HE yang menunjukkan perbedaan luasan antara Folikel Limfoid (FL).

Hasil perhitungan rataan jumlah dan luas folikel limfoid merupakan data kuantitatif dalam bentuk hasil uji statistik yang disajikan pada Tabel 8, sedangkan perbandingan gambaran perbedaan rataan jumlah dan luas dari folikel limfoid antara mencit jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar10.

Tabel 8 Rataan Jumlah dan Luas Folikel Limfoid Mencit Jantan dan Betina

Organ yang diamati Parameter Folikel (Rata-rata) Perlakuan

Kontrol HS Preventif HS Kuratif HS Madu

Limfonodus Jantan Jumlah 6,5 ± 0,70a 6,67 ± 2,89a 4,0 ± 0,0a 4,33 ± 1,53a Luas (μm) 71,5 ± 1,48a 121,67 ± 1,25ab 201 ± 3,12 bc 306,67 ± 6,8c Limfonodus Betina Jumlah 5,5 ± 0,70a 6,67 ± 1,53a 6,0 ± 2,65a 6,0 ± 3,51a Luas (μm) 78,0 ± 1,13a 161 ± 6,83ab 251,33 ± 8,27bc 342,67 ± 1,02 c

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Hasil perhitungan rataan jumlah folikel limfoid setelah dilakukan uji statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) dari masing-masing perlakuan baik yang diberikan jintan hitam secara rutin (Hs preventif, Hs kuratif dan Hs madu) maupun yang tidak diberikan jintan hitam (kontrol). Namun, jika dilihat dari gambaran histogram perbedaan raatan jumlah folikel limfoid antara jantan dan betina pada Gambar 10 menunjukkan bahwa rataan jumlah folikel limfoid betina lebih banyak dibandingkan dengan rataan jumlah folikel limfoid jantan.

Gambar histogram rataan jumlah folikel limfoid betina menunjukkan jumlah terbanyak pada perlakaun Hs preventif. Rataan jumlah pada mencit yang diberikan perlakuan preventif maupun kuratif serta campuran jintan hitam dengan madu menunjukkan rataan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rataan jumlah folikel limfoid pada jantan menunjukkan penurunan pada dosis kuratif maupun pada pemberian campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu.

Gambar 10 Histogram perbandingan rataan jumlah folikel limfoid pada mencit jantan dan betina yang diberikan jintan hitam selama dua bulan

Perbandingan rataan jumlah folikel limfoid betina dan jantan pada mencit yang diberikan jintan hitam menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jantan kecuali pada dosis preventif. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya peningkatan luas folikel limfonodus, sehingga beberapa folikel

0 1 2 3 4 5 6 7 Kontrol HS Preventif HS Kuratif HS Madu R at aan Jum lah Perlakuan

Jumlah Folikel Limfoid

Jantan

bergabung menjadi satu. Menurut Searcy (1995), limfonodus berperan penting dalam pertahanan tubuh dan fungsi imun. Limfonodus bisa mengalami atrofi maupun hipertrofi, atau bisa juga menjadi tempat dari inflamasi lokal maupun umum. Penyakit inflamasi selalu berhubungan dengan perubahan pada aliran limfatik dan daerah disekitar limfonodus (Cheville 2006).

Hasil pengukuran luas folikel limfoid pada setiap perlakuan terlihat pada tabel rataan luas yang menunjukkan kelompok yang diberikan ekstrak minyak jintan hitam dosis kuratif, dan kombinasi dengan madu memiliki rataan luas folikel yang berbeda nyata (p<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian jintan hitam dengan dosis preventif tidak menunjukkan ukuran luas folikel yang berbeda nyata (p>0.05) dengan kontrol dan dosis kuratif. Hal ini kemungkinan karena mencit yang digunakan dalam penelitian ini bukan mencit jenis SPF (Specific Pathogen Free). Meskipun mencit yang digunakan sudah diberikan perlakuan khusus sehingga lebih baik dari mencit konvensional, namun masih adanya peluang ketidakseragaman kondisi imunitas antara mencit sebelum diberikan asupan ektrak minyak jintan hitam. Hasil perlakuan pada kelompok dosis kuratif dan madu menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji statistik jika dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 11 memperlihatkan gambaran perbandingan luas folikel limfoid pada pemberian jintan hitam dengan dosis kontrol, preventif, kuratif, dan kombinasi madu antara jantan dan betina. Rataan luas pada jantan maupun betina menunjukkan peningkatan rataan luas folikel pada pemberian jintan hitam dosis preventif, kuratif dan campuran madu jika dibandingkan dengan kontrol. Namun antara jantan dan betina, rataan luas folikel betina lebih luas dibandingkan dengan jantan baik pada dosis kontrol sampai pemberian campuran jintan hitam dengan madu. Pertambahan luas folikel dapat disebabkan oleh bertambahnya jumlah limfosit pada folikel akibat adanya proliferasi sel limfosit.

Gambar 11 Histogram perbandingan rataan luas folikel limfoid pada mencit jantan dan betina yang diberikan jintan hitam selama dua bulan

Sel-sel yang terdapat pada organ limfonodus yang telah diberi perlakuan ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13. Folikel limfoid menunjukkan dominasi dari sel-sel limfosit. Peningkatan ini tidak selalu menjadi prognosis yang baik. Namun, peningkatan limfosit pada folikel limfoid dari hewan yang sehat menunjukkan peningkatan kemapuan hewan dalam melawan penyakits (Chao et al. 2004).

Hasil pengamatan pada gambaran histopatologi sel-sel yang terdapat pada organ limfonodus mencit yang diberikan jintan hitam maupun campuran jintan hitam dan madu menunjukkan adanya proliferasi sel limfosit, folikel limfoid sebagian besar di dominasi oleh sel-sel limfosit (Gambar 13). Gambaran folikel limfoid menjadi lebih besar dibandingkan dengan normal akibatnya gambaran limfonodus terlihat lebih besar juga. Namun, folikel limfoid yang besar tidak hanya disebabkan oleh proliferasi sel limfosit. Hewan yang folikel limfoidnya lebih besar dibandingan dengan normal dapat dikarenakan hewan tersebut mengalami hiperplasia maupun tumor (Carlton dan McGavin 1998).

0 50 100 150 200 250 300 350 Kontrol HS Preventif HS Kuratif HS Madu Rat aan L u as Perlakuan

Luas Folikel Lifoid

Jantan

Gambar 12 Gambaran histopatologi sel-sel limfonodus perbesaran 400x pada perlakuan kontrol (A), preventif (B), kuratif (C), dan madu (D) menunjukkan adanya dominasi sel limfosit (L) pada organ limfonodus, namun beberapa slide organ menunjukkan adanya makrofag (M) dan megakariosit (MK).

Perbedaan yang diperoleh dari penelitian ini dengan perbesaran yang terjadp pada tumor yaitu adanya keseragaman sel limfosit pada folikel limfoid mencit perlakuan, sedangkan jika hewan mengalami hiperplasia maupun tumor terdapat infiltrasi dari sel neutrofil maupun eritrosit. Adanya perbesaran dari nukleus dengan nukleokromatin yang homogen serta bentuk nuklear yang ireguler juga merupakan gambaran histopatologi pada limfonodus yang mengalami tumor (Carlton dan McGavin 1998).

Menurut Fawcett (2002), limfosit merupakan agen utama bagi respon imun tubuh. Sistem imun menyediakan mekanisme untuk pengenalan mikroorganisme dan benda asing lain yang memasuki tubuh dan menetralkan dari kemungkinan pengaruh buruknya. Setiap substansi asing yang dapat menginduksi timbulnya respon imun disebut antigen. Dalam tubuh suatu individu dapat dijumpai dua tipe

dasar imunitas dapatan yang saling berhubungan. Salah satunya, tubuh mampu membentuk antibodi yang bersirkulasi, yaitu molekul globulin dalam darah yang mampu menyerang antigen spesifik.

Gambar 13 Gambaran histopatologi folikel limfoid perbesaran 1000x pada limfonodus yang telah diberikan perlakuan jintan hitam selama dua bulan menunjukkan adanya proliferasi sel limfosit (L) pada organ limfonodus. Pemberian jintan hitam berpengaruh pada jumlah dan luas dari folikel limfoid. Jintan hitam berfungsi sebagai imunomodulator yang di dalamnya sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan lemak. Lemak mempunyai fungsi selular dan komponen struktural pada membran sel yang berkaitan dengan karbohidrat dan protein demi menjalankan aliran air, ion, dan molekul lain keluar dan masuk ke dalam sel. Hal ini yang akan membantu tubuh dalam melakukan sistem pertahanan terhadap benda asing (Winarno 2008). Menurut Jones et al. (2006), stimulasi antigen dapat menyebabkan hiperplasia reaktif yang dicirikan dengan pembesaran limfoid. Umumnya, pada kondisi hiperplasia yang aktif akan terjadi peningkatan plasma sel, namun karena tidak ditemukan adanya plasma sel pada gambaran sel maka dapat dikatakan bahwa pemberian jintan hitam menyebabkan hiperplasia reaktif pada organ limfonodus.

Bahan aktif dari jintan hitam yang sangat berperan dalam mekanisme sistem imun adalah thymoquinone (Al Ali et al. 2008). Thymoquinone akan meningkatkan respon imun yang dimediasi sel T dan sel NK (natural killer cell) serta meningkatkan perbandingan antara sel T helper (Th) dengan sel T suppresor (Ts) (El Kadi dan Kandil 1987). Selain itu jintan hitam juga meningkatkan

pertumbuhan sel B melalui peningkatan IL-3 (interleukin-3), serta merangsang makrofag dengan peningkatn IL-1ß (Subijanto 2008).

Peningkatan sel B akibat pemberian jinten hitam akan terlihat melalui folikel limfoid yang di dalamnya kaya akan sel B. Menurut Fawcett (2002) folikel limfoid terlibat dalam perkembangan fungsional sel B. Semakin sedikit jumlah sel B menandakan semakin sedikit juga folikel dan Germinal center pada limfonodus berarti limfonodus mengalami deplesi (Kuby 1997). Semakin luas folikel dan Germinal center pada limfonodus menandakan adanya peningkatan jumlah sel B yang matang dan siap untuk melakukan respon imun terhadap benda asing. Tipe imunitas ini disebut imunitas humoral atau imunitas sel-B (karena limfosit membentuk antibodi). Tipe kedua dari imunitas dapat diperoleh melalui pembentukan limfosit teraktivasi dalam jumlah besar yang dirancang untuk menghancurkan antigen. Tipe imunitas ini disebut imunitas yang diperantarai sel atau imunitas sel-T (karena limfosit yang teraktivasi adalah limfosit T) (Guyton dan Hall 2005). Seperti yang terlihat pada Gambar 8 pemberian jintan hitam yang dicampur dengan madu menunjukkan folikel limfoid yang lebih luas dibandingkan dengan kontrol.

Secara mikroskopik limfonodus terbagi atas tiga bagian, yaitu korteks, parakorteks, dan medula. Korteks merupakan lapisan paling luar yang berisi sel limfosit B, sel dendrit folikular, dan makrofag yang tersusun dalam nodul yang disebut folikel limfoid. Folikel limfoid merupakan sebutan dari kumpulan sel-sel yang terdapat pada bagian kortek ini dan terkadang dilengkapi dengan germinal center. Folikel limfoid yang tidak dilengkapi dengan germinal center disebut

Dokumen terkait