• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Metode Penelitian

Aplikasi pengawetan kitosan pada daging ayam segar dilakukan melalui empat tahap, yaitu tahap persiapan, tahap perendaman, penyimpanan, dan tahap pengujian. Tahap persiapan dilakukan dengan cara menyiapkan semua bahan- bahan dan alat-alat yang akan digunakan dalam tahap perendaman, penyimpanan dan tahap pengujian. Tahap perendaman dilakukan dengan cara merendam daging ayam segar dalam beberapa perlakuan konsentrasi larutan kitosan, yaitu konsentrasi 0% (kontrol), 0,5 %; 1 %; dan 1,5 %, dengan jumlah larutan kitosan

yang digunakan sebanyak ± 1,5 liter, dan setelah itu dilakukan tahap penyimpanan daging ayam dalam suhu ruang dalam keadaan terbuka dengan berbagai perlakuan lama penyimpanan (0 jam, 3 jam, 6 jam, dan 9 jam). Tahap pengujian yang dilakukan, diantaranya yaitu pengujian organoleptik, penentuan nilai total koloni bakteri yang tumbuh selama penyimpanan (Total Plate Count); pengukuran nilai derajat keasaman (pH), dan analisis proksimat daging, yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan kitosan yang paling optimal dalam memperpanjang daya awet daging ayam segar. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan diawali dengan pembelian 4 ekor daging ayam segar di Pasar Tradisional Gunung Batu, Bogor. Proses pembelian sampai ke dalam proses persiapan yang dilakukan di dalam Laboratorium dilakukan secara aseptik atau steril dan terkontrol, diantaranya dengan membungkus setiap potong daging ayam dalam plastik steril dan menyimpannya di dalam box steroform yang telah berisi es yang digunakan untuk mempertahankan suhu daging ayam. Daging ayam yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah ± 24 potong ayam untuk 4 perlakuan. Sebanyak 6 potong daging ayam digunakan untuk setiap perlakuan. Bahan-bahan dan alat-alat juga disiapkan menurut tahapan penelitian agar tidak tertukar selama jalannya penelitian.

3.3.2 Tahap perendaman

Daging ayam untuk setiap perlakuan, dalam tahap perendaman ini direndam selama 3 menit, kecuali untuk daging ayam tanpa perlakuan konsentrasi kitosan. Waktu perendaman 3 menit merupakan waktu yang optimal untuk perendaman karena tidak merusak tekstur, bau, dan penampakan, dengan nilai organoleptik masih di atas nilai yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (Kurnianingrum 2008). Setiap potongan daging ayam yang sudah direndam, ditiriskan dengan menggunakan wadah saringan, lalu setelah itu disimpan untuk tahapan selanjutnya.

3.3.3 Tahap penyimpanan

Daging ayam yang sudah ditiriskan, kemudian disimpan dalam nampan- nampan kecil pada suhu ruang (25-30 ºC) selama 9 jam dalam keadaan terbuka. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan selang pengamatan untuk uji organoleptik, uji Total Plate Count (TPC), uji derajat keasaman (pH), dan analisis proksimat setiap 3 jam sekali sampai 9 jam lama penyimpanan.

3.3.4 Tahap pengujian

Tahap pengujian terhadap sampel dilakukan secara subyektif (sensori) dan obyektif (non sensori). Pengujian secara subyektif terhadap sampel dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik menggunakan scoresheet penilaian terhadap sampel daging ayam, sedangkan untuk pengujian obyektif menggunakan pengukuran nilai derajat keasaman (pH), penghitungan nilai koloni total bakteri atau Total Plate Count (TPC), dan analisis proksimat yang terdiri atas pengujian kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.

3.3.4.1 Uji organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan setiap selang waktu 3 jam oleh 6 orang panelis tetap. Jumlah panelis standar yang terlibat untuk satu kali pengujian adalah 6 orang (BSN 2006). Penilaian indrawi ini dilakukan terhadap beberapa parameter uji, yaitu parameter penampakan, warna, bau, lendir, dan tekstur. Potongan daging ayam yang diuji secara organoleptik diberi nilai berdasarkan penilaian penelis dan dituangkan dalam lembaran scoresheet (penilaian) dalam skala 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 4 (empat) sebagai nilai tertinggi. Adapun contoh form penilaian scoresheet beserta keterangannya dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3.4.2 Pengukuran Nilai pH (AOAC 1995)

Sebanyak 10 gram sampel dihancurkan terlebih dahulu dengan menggunakan alat homogenizer dan selanjutnya dihomogenisasikan dengan 90 ml aquades. Larutan homogen tersebut diukur dengan pH meter yang sudah dikalibrasi dengan larutan buffer standar (pH 4 dan 7). Kestabilan nilai yang

ditunjukkan oleh pH meter merupakan nilai hasil pengukuran derajat keasaman (pH) sampel.

3.3.4.3 Perhitungan nilai Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari metode perhitungan TPC ini adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang terkandung dalam sampel dengan perlakukan pengenceran dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

Cawan petri, tabung reaksi, dan pipet sebelum digunakan disterilkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 180 ºC selama 2 jam. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, untuk menjaga agar media tidak membeku, suhu media dipertahankan pada suhu 45-55 ºC dalam penangas air. Pembuatan larutan garam fisiologis dilakukan dengan cara melarutkan 8,5 gram NaCl dalam 1 liter aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit.

Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 gram sampel yang sebelumnya dihaluskan terlebih dahulu, dalam larutan pengencer steril 90 ml sampai homogen sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran selanjutnya dilakukan dengan cara, sebanyak 1 ml larutan contoh homogen yang diambil dengan menggunakan pipet steril, dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril dan dihomogenisasikan kembali untuk memperoleh pengenceran 10-2. Begitupun seterusnya sampai pengenceran dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-5.

Sebanyak 1 ml dari dari setiap tabung reaksi pengenceran dipipet sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril dan kemudian dicampurkan dengan menggunakan media NA 10 ml, lalu disebar secara merata. Setiap perlakuan pemindahan ke dalam media NA ini dilakukan secara duplo atau dua kali ulangan. Setiap cawan digerak-gerakkan secara melingkar di atas meja sampai media NA merata. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35 ºC dengan posisi terbalik selama 48 jam.

Koloni yang tumbuh setelah masa inkubasi, dihitung dan dinyatakan sebagai jumlah colony forming unit (cfu) per gram atau koloni per gram berdasarkan Standar Plate Count (SPC), dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni per cawan. Jumlah koloni dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

2) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

3) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer.

4) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua, maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

5) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.

3.3.4.4 Kadar air (AOAC 2005)

Kadar air sampel ditentukan pada berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap pada suhu 105 ºC, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 30 menit. Setelah didinginkan, cawan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam cawan, lalu dipanaskan di dalam oven pada suhu 105-110 ºC selama 3-4 jam dan kemudian cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang kembali. Penentuan kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

B : Berat sampel awal (gram)

B1 : Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (gram) B2 : Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (gram)

3.3.4.5 Kadar abu (AOAC 2005)

Cawan sebelum digunakan, dibersihkan terlebih dahulu, kemudian dikeringkan di dalam oven selama 15 menit pada suhu 105 ºC. Setelah dikeringkan, cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditempatkan dalam cawan dan kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60-105 ºC selama 6 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Tahap selanjutnya, cawan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 ºC, kemudian dibakar selama 6 jam. Setelah selesai pengabuan, cawan didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Penentuan kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

A : berat abu (gram) B : berat sampel (gram)

3.3.4.6 Kadar protein (AOAC 2005)

Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam labu kjehdahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml), serta beberapa

tablet kjehdahl. Sampel kemudian dididihkan sampai berwarna jernih selama kurang lebih 1-1,5 jam dan selanjutnya dibiarkan sampai dingin lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Setelah pemindahan ke dalam alat destilasi, labu kjeldahl dibilas dengan aquades (20 ml) sebanyak 5-6 kali, lalu hasil bilasan tersebut juga dimasukkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di dalamnya dan kemudian ke dalam tabung reaksi, ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol

dan metilen blue 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Lalu destilat

tersebut dititrasi menggunakan larutan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Penentuan kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.3.4.7 Kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel daging ayam sebanyak 5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring, lalu diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu lemaknya diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun

kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan kemudian ditimbang. Penentuan kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.4 Analisis Data

Analisis data penelitian pada pengujian organoleptik menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Dunn untuk melihat pengaruh konsentrasi larutan kitosan yang digunakan terhadap parameter penampakan, warna, bau, lendir, dan tekstur. Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan konsentrasi kitosan yang paling baik digunakan untuk aplikasi kitosan terhadap mutu daging ayam. Analisis yang digunakan terhadap data hasil organoleptik yaitu menggunakan uji Kruskal-Wallis. Prosedur pengujian uji Kruskall-Wallis berdasarkan rumus:

Keterangan:

ni = banyaknya pengamatan n = banyaknya data

Ri = jumlah rata-rata tiap perlakuan ke-i

t = banyaknya pengamatan yang seri dalam ulangan

H’ = H terkoreksi FK = faktor koreksi

Apabila hasil uji Kruskal-Wallis menunjukan kesimpulan bahwa diantara perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka pengujian

dilanjutkan dengan uji Dunn. Model pengujian untuk uji Dunn adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j k = jumlah perlakuan

n = jumlah data yang dibandingkan

α = 0,05

Rancangan percobaan pada penelitian digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan lama penyimpanan terhadap parameter objektif yaitu Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan dua perlakuan dan dua kali ulangan, untuk analisis nilai pH dan nilai TPC daging ayam. Model Rancangan Acak Lengkap Faktorial adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Yijk = hasil pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan

taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari faktor β µ = nilai rata-rata

α i = pengaruh taraf ke-i dari faktor konsentrasi

β i = pengaruh taraf ke-j dari faktor lama penyimpanan

(αβ)ij = pengaruh taraf ke-i dari faktor konsentrasi dan taraf ke-j dari lama penyimpanan

εijk = pengaruh acak satuan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan

Rancangan percobaan pada penelitian selanjutnya yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan satu perlakuan, yaitu perlakuan konsentarasi larutan kitosan, yang digunakan untuk analisis proksimat daging ayam. Model Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut:

Keterangan:

yij = nilai pengamatan pada suatu perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = nilai rata-rata

τ = pengaruh perlakuan ke-i

Apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (tolak Ho), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey atau Beda Nyata Jujur (BNJ)

yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. Rumus pengujian dengan uji Tukey adalah sebagai berikut:

Keterangan:

q = nilai pada tabel q p = Perlakuan dbs = derajat bebas sisa

α = 0,05

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kitosan merupakan salah satu senyawa antimikroba alami yang sudah banyak digunakan dalam aplikasi edible coating pada suatu pengawetan produk pangan. Salah satu aplikasinya yang digunakan pada penelitian untuk pengawetan daging ayam. Kitosan bisa digunakan sebagai bahan pengawet karena selain kitosan memiliki aktivitas antimikroba yang bisa menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Dutta et al. 2008) dan meningkatkan mutu serta memperpanjang masa simpan makanan, kitosan juga tidak beracun (Kong et al. 2010), sehingga aman digunakan dan diaplikasikan terhadap bahan pangan.

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersial yang diperoleh dari PT. Vital House Indonesia. Adapun penampakan dan karakteristik kitosan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 6. Kitosan yang diperoleh kemudian dilarutkan dalam pelarut asam asetat 1,5% (v/v) untuk dibuat menjadi suatu larutan kitosan. Hal ini sesuai dengan penelitian Knorr (1982) dan Tang et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pelarut kitosan yang umum dan dapat dengan lebih mudah melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2%.

Gambar 3 Kitosan

Berdasarkan penelitian Rahardyani (2011), kitosan yang digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik kitosan menurut Suptijah et al. (1992). Kitosan yang digunakan berbentuk serbuk dengan nilai kadar air, sebesar 9%, kadar abu atau mineral sebesar 0,21%, kadar nitrogen sebesar 1,33%, dan nilai derajat deasetilasi sebesar 88,66% serta menghasilkan

warna larutan kitosan yang jernih. Hal ini sesuai dengan karakteristik kitosan menurut Suptijah et al. (1992), bahwa mutu kitosan harus meliputi berbagai aspek, yaitu harus berbentuk serpihan atau bubuk dengan nilai kadar air berkisar antara ≤ 10%, kadar abu atau mineral umumnya ≤ 2%, kadar nitrogen sebesar ≤ 5%, derajat deasetilasi ≥ 70%, dan larutan kitosan berwarna jernih.

Tabel 6 Karakteristik mutu kitosan

Karakteristik Mutu Kitosan* Mutu Kitosan**

Bentuk partikel Serbuk Serpihan sampai bubuk

Kadar air 9% ≤ 10

Kadar abu 0,21% ≤ 2

Kadar nitrogen 1,33% ≤ 5

Warna larutan Jernih Jernih

Derajat deasetilasi (%) 88,66% ≥ 70

Sumber:

*Rahardiyani (2011) **Suptijah et al. (1992)

Perlakuan konsentrasi kitosan yang digunakan pada penelitian pengawetan terhadap daging ayam ini antara lain 0,5%; 1%; dan 1,5% dengan ditambahkan perlakuan kontrol. Perlakuan ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi larutan kitosan yang optimal dalam aplikasinya terhadap pengawetan daging ayam segar. Perlakuan kedua yaitu perlakuan lama penyimpanan, yang dilakukan untuk mengetahui proses penurunan mutu daging ayam selama penyimpanan, dan mengetahui masih layak atau tidaknya daging ayam untuk dikonsumsi setelah penyimpanan selama kurang lebih 9 jam.

Selama proses penyimpanan daging ayam yang digunakan dalam penelitian diberikan beberapa pengujian, baik pengujian secara subyektif (sensori) yaitu dengan uji organoleptik sampel, maupun obyektif (non sensori), yaitu pengukuran nilai derajat keasaman (pH), penghitungan nilai koloni total bakteri atau Total Plate Count (TPC), dan analisis proksimat, yaitu uji kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.

4.1 Uji Organoleptik

Daging ayam, baik tanpa atau dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan, diuji secara organoleptik sebelum dan setiap selang tiga jam sekali selama kurang lebih 9 jam penyimpanan oleh enam orang panelis tetap. Uji organoleptik

merupakan suatu metode pengujian yang dilakukan dengan panca indera dalam menilai kualitas dari suatu produk pangan. Penilaian secara indrawi ini memiliki peran penting dalam menilai kualitas produk pangan, salah satunya dapat melihat sampai sejauh mana produk masih layak dikonsumsi, dengan melihat dari perubahan fisik produk itu sendiri. Beberapa parameter yang digunakan dalam uji organoleptik ini antara lain, penampakan, warna, tekstur, bau, dan lendir. Contoh scoresheet penilaian organoleptik daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.1.1 Penampakan

Penampakan merupakan faktor terpenting yang berpengaruh karena faktor inilah yang pertama kali dilihat, dilanjutkan dengan warna, kemudian bau, rasa, dan tekstur (Muchtadi 2008). Hasil uji organoleptik daging ayam yang diujikan berkisar antara 1,42-3,92 dengan skala penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik penampakan pada daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Nilai organoleptik penampakan daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh bahwa dari dua perlakuan yang digunakan (perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan perlakuan lama penyimpanan), hanya perlakuan lama penyimpanan yang memberikan pengaruh

nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik penampakan daging ayam. Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa pada mutu organoleptik penampakan daging ayam berbeda nyata pada penyimpanan jam ke-0 dengan jam ke-6, dan jam ke-9, dan tidak berbeda nyata pada jam ke-0 dan jam ke-3. Semakin lama penyimpanan, maka akan semakin rendah mutu organoleptik penampakan daging ayam.

Daging ayam sebelum dilakukan proses penyimpanan masih memiliki penampakan yang masih cerah, mengkilat, dan kenyal, dan bersih (tidak ada darah dan tidak berlendir). Perubahan mulai terjadi pada saat penyimpanan jam ke-6, penampakan daging ayam semakin menurun, yaitu agak kusam, lengket, dan lembek. Penyimpanan jam ke-9, daging ayam sudah berlendir. Penurunan mutu penampakan terjadi karena ada keterkaitan dengan jumlah bakteri yang tumbuh dan berkembang pada bahan pangan. Frazier dan Westhoff (1978), menyatakan bahwa bakteri merupakan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan bahan pangan yang ditandai dengan tingginya aktifitas air pada bahan pangan tersebut.

Perlakuan konsentrasi larutan kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mutu organoleptik penampakan daging ayam. Hal ini terlihat dari hasil uji Kruskal-Wallis yang menunjukkan bahwa selama penyimpanan, mutu organoleptik, baik pada daging ayam kontrol maupun daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan, tidak terjadi perbedaan yang nyata. Penurunan mutu organoleptik penampakan daging ayam relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan edible coating kitosan pada daging ayam, ternyata belum mampu menghambat perubahan mutu organoleptik penampakannya. Hal ini juga berarti bahwa mutu organoleptik penampakan daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan 0,5%, 1%, dan 1,5%, selama penyimpanan sama dengan daging ayam kontrol. Nilai rata-rata dan hasil uji statistika pengaruh larutan kitosan terhadap mutu organoleptik penampakan daging ayam dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 10.

4.1.2 Warna

Warna merupakan faktor penting dalam penerimaan dan penolakan produk pangan yang akan dikonsumsi dan dapat mempengaruhi kualitas sensori lainnya (Francis and Clydesdale 1975 dalam Fletcher 2006). Perubahan warna akan menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dijadikan indikator

tingkat nilai gizi maksimum yang diterima (Arpah 2001). Berdasarkan hasil uji organoleptik warna yang dilakukan panelis, daging ayam mempunyai kisaran nilai antara 1,25-3,92 dengan skala penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik warna pada daging ayam dengan dan tanpa perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Nilai organoleptik warna daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh bahwa perlakuan konsentrasi larutan kitosan hanya berpengaruh nyata (p≤0,05) pada penyimpanan jam ke-3. Hasil uji Dunn menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara daging ayam kontrol dengan daging ayam yang diberi edible coating kitosan 1%. Hal ini terlihat dari nilai organoleptik warna daging ayam yang diberi perlakuan edible coating kitosan 1% memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging ayam kontrol.

Perbedaan yang nyata antara daging ayam yang diberi perlakuan kitosan 1% dengan daging ayam kontrol menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan kitosan memberikan hasil organoleptik warna daging ayam yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Park et al. (2010) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0,5% - 1% dan kitosan film, selain dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, juga dapat mengurangi oksidasi lemak, dan menghasilkan uji sensori yang lebih baik, salah satunya dalam mempertahankan

warna merah dalam sampel daging selama penyimpanan. Menurut Kittur et al. (1998), kitosan sebagai edible coating dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk pangan.

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik warna daging ayam. Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata

Dokumen terkait