• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Kitosan sebagai Pengawet Alami terhadap Mutu Daging Ayam Segar selama Penyimpanan Suhu Ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Kitosan sebagai Pengawet Alami terhadap Mutu Daging Ayam Segar selama Penyimpanan Suhu Ruang"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan di pasar internasional. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, selama periode 2003-2006, jumlah produksi udang mengalami peningkatan antara 9-15%. Produksi udang semester 1 tahun 2011 telah mencapai 42% dari target sebesar 400 ribu ton. Produksi udang diperkirakan hingga akhir tahun 2011, akan meningkat sebanyak 17% dibandingkan produksi udang pada tahun 2010 sebesar 352 ribu ton (Pramono 2011). Proses pengolahan udang untuk ekspor, 60-70% dari berat udang menjadi limbah (Prasetiyo 2003). Limbah berupa cangkang kepala dan kulit dapat berekonomis tinggi jika diubah menjadi kitin-kitosan. Sekitar 30-35% cangkang udang mengandung kitin (Suptijah 2004) dan dapat menghasilkan hingga 60-80% kitosan (No dan Meyer 1997).

Meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya suatu bahan pangan mendorong adanya upaya dalam menjaga kualitas bahan pangan itu sendiri. Salah satu upaya dalam menjaga kualitas suatu bahan pangan salah satunya yaitu pengawetan, dimana cara ini juga sudah banyak dilakukan oleh para pedagang besar atau kecil, ibu rumah tangga, maupun suatu industri pangan besar sekalipun. Pengawetan dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan atau dapat menghambat proses kerusakan pada bahan pangan itu sendiri, baik secara fisik, kimia, maupun mikrobiologis.

(2)

Kitosan merupakan turunan kitin yang terbentuk dari hasil ekstraksi rangka luar udang dan kepiting atau rajungan melalui proses deasetilasi atau penghilangan gugus asetil yang menyisakan gugus amina bebas. Penggunaan kitosan sebagai bahan pengawet yang efektif dan aman dalam mencegah kerusakan mutu, memperpanjang umur simpan, serta mempertahankan nilai gizi produk pangan sangatlah potensial (No et al. 2002) karena beberapa sifatnya yaitu mudah mengalami degradasi secara biologi, biokompatibel, tidak beracun, dan memiliki aktivitas antimikroba (Dutta et al. 2008).

Mengenai aplikasi terhadap produk pangan secara riil, efektivitas kitosan terhadap mikroorganisme pembusukan telah diuji dalam beberapa tahun terakhir ini (Fernandez-Saiz et al. 2010). Kitosan telah banyak dimanfaatkan secara komersial salah satunya dalam industri pangan, yaitu dimanfaatkan sebagai bahan pengawet dalam berbagai jenis makanan untuk mencegah proses pembusukan. Penelitian Darmadji dan Izumimoto (1996) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0,5% dan 1% menunjukkan hasil yang diinginkan pada kualitas daging sapi cincang segar dalam pemeliharaan warna merah dalam sampel daging selama penyimpanan; penelitian Sagoo et al. (2002) juga membuktikan bahwa efek dari penggunaan kitosan dapat memperpanjang umur simpan sosis mentah dari 7 sampai 15 hari pada suhu chilling; dan penelitian Kusumaningjati (2009), menunjukkan bahwa kitosan terbukti mampu memperpanjang masa simpan tahu hingga 6 hari serta mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri. Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh kitosan sebagai pengawet pada produk pangan maka perlu dilakukan penelitian terhadap produk pangan lain, salah satunya pada daging ayam.

(3)

1.2 Tujuan

(4)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Kitosan

Kitosan merupakan polisakarida polikationik alami yang terbentuk melalui proses deasetilasi dari kitin, yang merupakan polimer polisakarida terbesar kedua setelah selulosa (Chung et al. 2004) yang banyak terdapat pada eksoskeleton atau rangka luar dari krustasea, yaitu udang dan rajungan atau kepiting melalui proses deproteinasi dengan NaOH, demineralisasi dengan HCl, dan deasetilasi dengan NaOH 50% (Angka dan Suhartono 2000).

Proses deasetilasi adalah proses penghilangan gugus asetil (-COCH3)

dari kitin menjadi kitosan, dimana akan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif dan menghilangkan gugus asetil sehingga kitosan bersifat polikationik (Shahidi et al. 1999). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kitosan (Muzzarelli 1996)

2.2 Karakteristik Kitosan

Kitosan merupakan polimer panjang dengan nama kimia β (1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa (Shahidi et al. 1999) dan disusun oleh monomer-monomer glukosamin 2-amino-2-deoksi-D-glukosa (Goosen 1997). Kitosan mempunyai gugus amin yang bermuatan positif, sehingga menjadikan kitosan sebagai gula yang unik dibandingkan polisakarida lain yang umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif (Angka dan Suhartono 2000). Grup amin kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif suatu molekul seperti protein dan polimer (Goosen 1997).

(5)

mengikat air dan minyak dan dapat diaplikasikan sebagai pengawet, penstabil warna, flokulan, dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999; Tang et al. 2007).

Kitosan memiliki sifat yang tidak larut air tetapi larut dalam kebanyakan larutan asam misalnya asam asetat, asam format, dan asam laktat (Sanford 1989), dan mempunyai daya larut terbatas dalam asam fosfat serta tidak larut sama sekali dalam asam sulfat (Johnson dan Peniston 1975 dalam Astuti 2008). Kitosan juga tidak larut pada larutan basa, dan media campuran asam dan basa (Muzzarelli 1996). Pelarut kitosan yang umum digunakan dan dapat dengan mudah melarutkannya adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2 % (Knorr 1982). Karakter kitosan dapat dibedakan berdasarkan kualitas, sifat instrinsik (kejernihan/kemurnian), berat molekul, viskositas, dan derajat deasetilasi (Sanford 1989). Adapun karakteristik kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik kitosan

Karakteristik Mutu kitosan

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%) ≤ 10

Kadar abu (%) ≤ 2

Kadar nitrogen (%) ≤ 5

Warna larutan Jernih

Derajat deasetilasi (%) ≥ 70

Sumber: Suptijah et al. (1992)

(6)

2.3 Aplikasi Kitosan

Sudah banyak aplikasi kitosan yang sudah teruji dalam bidang pangan. Adapun beberapa aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Aplikasi kitosan dalam industri pangan

Aplikasi Contoh

Bahan aditif Pengikat flavor alami; pengontrol tekstur; emulsifier; pengental; stabilizer; penstabil warna; pengawet

Gizi Serat diet, penurun kolesterol, tembahan makanan ikan; mereduksi penyerapan lemak; anti radang lambung

Pengolahan limbah pangan

Flokulan, pemecah agar

Pemurnian air Pemisahan ion-ion logam, pestisida, penjernih Edible film Pengatur transfer uap, pereduksi tekanan parsial

oksigen, pengatur suhu, pencegah browning pada buah, pengatur tekanan osmosis membran

Sumber: Shahidi et al. (1999)

Kitosan telah banyak dalam berbagai keperluan industri, misalnya industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metarulgi sebagai absorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, bidang potografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi, dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein sel tunggal (Suptijah et al. 1992).

2.4 Kitosan sebagai Pengawet

Bahan pengawet umumnya mencegah pertumbuhan mikroba dengan mempengaruhi kondisi lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhannya seperti pH, ketersediaan mineral atau nutrisi lain, juga merusak membran sel, menghambat aktivitas enzimatik dan mekanisme genetiknya (Frazier dan Westhoff 1978). Aplikasi kitosan sebagai edible coating sudah banyak diaplikasikan pada produk pangan. Kitosan merupakan salah satu komponen utama edible coating yang berasal dari kelompok hidrokoloid berupa protein atau polisakarida (Julianti dan Nurminah 2006).

(7)

(Harris 1999), dimana memiliki fungsi sebagai penghambat uap air, lemak, dan gas, serta dapat meningkatkan tekstur produk pangan. Edible coating berfungsi juga sebagai pengikat warna, flavor, sumber gizi, dan bahan antioksidan dan antibakteri (Cassariego et al. 2007).

Kitosan sangat potensial untuk digunakan sebagai edible coating pada bahan pangan karena sifat antimikrobanya (Park et al. 2010) sehingga coating kitosan dapat meningkatkan umur simpan bahan pangan tersebut (Troger dan Niranjan 2010). Penggunaan kitosan sebagai komponen antimikroba terdiri dari dua bentuk, yaitu cair (liquid) dan padat (solid). Kitosan liquid lebih efektif dibandingkan dengan kitosan solid karena kitosan liquid lebih cepat dalam pencegahan terhadap bakteri (Jollès dan Muzzarelli 1999).

Beberapa penelitian yang menggunakan kitosan sebagai edible coating banyak diaplikasikan pada bahan pangan. Penelitian Rodriguez et al. (2003) menunjukkan bahwa edible coating kitosan dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri pembusuk. Penelitian Hadi (2008) menunjukkan bahwa aplikasi edible coating kitosan 1% yang dikombinasikan dengan ekstrak bawang putih dapat meningkatkan umur simpan selama 24 jam pada bakso dalam suhu ruang dibandingkan dengan bakso tanpa perlakuan penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih, dimana dengan adanya penambahan perlakuan edible coating dari kitosan, sifat organoleptik yang dihasilkan pada bakso memiliki hasil yang paling baik.

Penelitian Darmadji dan Izumimoto (1996) dan Park et al. (2010) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0,5% - 1% dan kitosan film, selain dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, juga dapat mengurangi oksidasi lemak, dan menghasilkan uji sensori yang lebih baik, salah satunya dalam mempertahankan warna merah dalam sampel daging selama penyimpanan. Penelitian El Ghaouth et al. (1994) serta Zhang dan Quantick (1998) menunjukkan bahwa kitosan film juga banyak digunakan untuk mengemas buah dan sayuran, misalnya apel, pir, stroberi, tomat, kelengkeng, mangga, pisang, jamur, lada, ketimun, wortel, dan alpukat.

Edible coating digunakan untuk mengontrol pertukaran gas (O2, CO2, dan

(8)

dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk pangan (Kittur et al. 1998). Edible coating berfungsi sebagai antimikroba pada bahan pangan karena kemampuannya dalam mengontrol perubahan mikrobiologi. Kelebihan antimikroba berupa coating yaitu dapat melindungi produk karena dapat langsung menghambat bahkan mematikan mikroba pada saat kontak langsung dengan produk (Wardhani 2008).

Kitosan memiliki kemampuan sebagai antimikroba. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian yang menggunakan kitosan sebagai bahan antimikroba pada bahan pangan. Coma et al (2002), menyebutkan bahwa edible film kitosan dapat menghambat pertumbuhan dua bakteri patogen pada makanan, diantaranya Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes. Penelitian Kusumaningjati (2009) juga menunjukkan bahwa sifat antibakteri kitosan dengan konsentrasi 0,05% terbukti mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri Bacillus cereus dan Staphylococcus thypirium dan memperpanjang masa simpan tahu hingga 6 hari dengan tetap mempertahankan penampakan, bau, dan konsistensi tahu.

Penelitian Gomez-Estaca (2010), menunjukkan bahwa gelatin-kitosan film yang digabungkan ekstrak cengkeh memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan 6 bakteri selektif (Pseudmonas uorescens, Shewanella putrefaciens, Photobacteriumphosphoreum, Listeria innocua, Escherichia coli, dan Lactobacillus acidophilus) pada pengawetan ikan suhu chilling. Pertumbuhan mikroorganisme berkurang secara drastis pada bakteri gram negatif, terutama enterobakteria, sedangkan bakteri asam laktat tetap konstan pada penyimpanan.

Aktivitas antimikroba kitosan memiliki tingkat efektifitas yang lebih tinggi pada suhu 37 ºC dibandingkan dengan suhu pendinginan. Hal ini terjadi karena jika suhu terus meningkat, maka viskositas akan menurun, sehingga akan mempengaruhi pembentukan matrik pada saat aktivitas antimikroba kitosan terbentuk. Aktivitas antimikroba akan meningkat jika pH menurun karena dalam sel bakteri terjadi tingkat stres yang tinggi jika pada kondisi asam (Tsai dan Tsu 1999).

(9)

dengan protein sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Kitosan berikatan pula dengan fosfolipid membran, terutama fosfatidil kolin sehingga menyebabkan permeabilitas inner membrane meningkat. Meningkatnya permeabilitas inner membrane memudahkan keluarnya cairan sel yang dapat disertai dengan komponen sel lain. Jika fenomena ini terjadi, maka dapat menyebabkan tidak terjadinya regenerasi sel, bahkan dapat menyebabkan kematian (Simpson et al. 1997).

Mekanisme antibakteri kitosan pertama kali didokumentasikan oleh Muzzarelli et al. (1990) yang menunjukkan perubahan dinding sel bakteri dan organel melalui mikrograf elektron. Hasil tersebut kemudian diperkuat oleh Helander et al. (2001) yang menunjukkan bahwa kitosan merusak perlindungan membran luar dari bakteri gram negatif. Mikroskop elektron memperlihatkan bahwa kitosan menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan sel dan menutupi membran luar bakteri dengan struktur vesikular. Kitosan berkaitan dengan membran luar dan menyebabkan kehilangan fungsi barrier dari membran sel bakteri.

2.5 Daging Ayam

Daging ayam merupakan merupakan salah satu bahan makanan yang cukup popular di masyarakat, yang biasa dijual di pasaran dalam bentuk karkas ayam utuh maupun potongan karkas. Karkas merupakan bagian tubuh ayam setelah dilakukan penyembelihan secara halal, pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, paru-paru, dan ginjal, serta dalam bentuk tanpa kepala, leher, dan kaki (BSN 2009). Adapun gambar karkas ayam utuh dapat dilihat pada Gambar 2.

(10)

Daging ayam adalah daging yang cukup ekonomis dengan kandungan gizi yang tinggi, rendah kalori dan serta mengandung asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh, dan asam amino esensial (Mountney 1983). Daging ayam juga merupakan sumber protein hewani yang baik dan mempunyai kelebihan-kelebihan antara lain: mengandung asam amino lebih komplit daripada daging sapi, termasuk daging putih dan disukai oleh banyak konsumen, harganya relatif murah dibandingkan dengan sapi sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat, dan lebih sedikit mengandung kolesterol (Palupi 1986). Adapun komposisi gizi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi gizi daging ayam Komponen Nutrisi Jumlah (%)

Protein daging ayam terdiri dari protein myofibril 50-55%, sarkoplasma 30-35% dan fraksi stroma 3-6% (Sams 2001). Karbohidrat dalam daging ayam terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen kurang dari 1% sedangkan asam laktat merupakan hasil utama dari proses glikolosis glikogen pada fase postmortem dan ketika ayam disembelih (Forrest et al. 1975)

Lemak yang terdapat dalam daging ayam pada umumnya terdiri atas trigliserida (lemak netral), fosfolipid (sebagian besar berupa lesitin), dan kolesterol (Murtidjo 2003). Lemak daging ayam rendah dan mengandung asam lemak tidak jenuh, sehingga dapat mengurangi resiko penyakit darah tinggi dan jantung (Kementerian Pertanian dan Kesehatan RI 2010). Sebagian besar asam lemak daging ayam merupakan asam lemak tidak jenuh ganda (asam oleat dan asam linoleat) (Murtidjo 2003).

(11)

pada daging ayam adalah niasin, thiamin, riboflavin, dan asam askorbat (Mountney 1982). Ciri-ciri daging ayam dalam keadaan yang baik dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Ciri-ciri daging ayam dalam keadaan baik

Parameter Ciri-ciri

Penampakan

Cerah, mengkilat, bersih, serabut otot berwarna putih agak pucat, tidak ada sisa-sisa darah,

Warna Putih kekuningan cerah, tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan, tidak terlalu merah, Bau Spesifik daging, tidak bau menyengat,

tidak bau amis, dan tidak bau busuk, Tekstur Kenyal, elastis, dan tidak lembek, Lendir permukaan Terasa lembab dan tidak kering.

Sumber: Kementerian Pertanian dan Kesehatan (2010)

Daging ayam mudah mengalami penurunan kualitas sebagai akibat dari adanya perlakuan yang kurang baik pada saat ayam masih hidup, pada saat penanganan atau pada saat penyimpanan yang kurang sempurna (Sams 2001). Kerusakan daging ayam dapat terjadi karena pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme dalam jumlah banyak, aksi enzim dalam daging tersebut, dan reaksi kimia dan perubahan sifat fisik dari daging selama penyimpanan (Frazier dan Westhoff 1978). Kualitas daging ayam meliputi kualitas fisik, kimia, biologi, dan diterima atau tidaknya oleh konsumen. Secara biologis kerusakan daging ayam lebih banyak diakibatkan oleh adanya pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan dan aktifitas mikroba dipengaruhi oleh faktor suhu penyimpanan, waktu, tersedianya oksigen dan kadar air daging (Hadiwiyoto 1992).

(12)

mikroorganisme pembusuk maupun patogen yang terkandung di dalamnya (Buckle et al. 1987).

Daging ayam merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri. Jika bakteri tersebut bersifat patogen maka bakteri akan menimbulkan berbagai penyakit, dan dapat menyebabkan daging cepat busuk. Dari penelitian, daging ayam yang diambil dari rumah pemotongan ayam pukul 6 pagi kemudian disimpan dalam ruangan biasa, pada pukul 10 siang sudah mengeluarkan bau busuk. Jumlah total bakteri pun telah melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) (Andriani 2006).

Berdasarkan Dinas Pertanian Bidang Peternakan Kota Surabaya, batas kesegaran untuk daging ayam yaitu 6 jam dari proses penyembelihan (Anggara 2011). Karkas ayam mula-mula mengandung jumlah bakteri antara 600-8.100 unit koloni/cm2 pada permukaan kulitnya. Setelah preparasi dan eviscerasi jumlahnya dapat meningkat sampai 11.000-93.000 unit koloni/cm2 (Hadiwiyoto 1992).

Peningkatan jumlah bakteri dikarenakan bakteri mampu menguraikan komponen kimia daging, yaitu protein, lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana yang digunakan untuk pertumbuhannya. Pada saat jumlah bakteri masih rendah, kerusakan belum menampakkan tanda-tandanya, tetapi apabila jumlah bakteri mencapai 107 atau 108 unit koloni/gram (Simonsen et al. 1988), maka daging ayam akan menunjukkan tanda-tanda berlendir dan ini merupakan tanda pertama dari kerusakan daging ayam. Jumlah awal bakteri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap masa simpan daging (Rahardjo dan Santosa 2005).

Daging sangat memenuhi persyaratan dalam perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak atau pembusuk. Hal ini dikarenakan daging mempunyai kadar air yang tinggi 68-75%, kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasi, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme sekitar 5,3-6,5 (Soeparno 1994).

(13)

pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan makanan. Daging dengan kadar air yang tinggi akan mudah mengalami kerusakan karena kadar air yang tinggi akan meningkatkan aktivitas mikroba dalam menguraikan protein dalam melepaskan air (Winarno 1997), sehingga daging yang berkualitas tinggi, kadar airnya harus dalam batas normal (Hidajati 2005).

Ayam dapat dengan cepat terkontaminasi oleh mikroba yang berasal dari lingkungan hidupnya. Mikroba dapat dengan cepat tumbuh pada bagian-bagian tubuh ayam sehingga pada saat disembelih, ayam telah membawa berbagai macam mikroba di tubuhnya. Mikroba-mikroba tersebut menyebar ke seluruh tubuh ayam, misalnya pada bulu-bulu, kulit, bahkan hingga usus. Hanya beberapa jenis mikroba saja yang dapat mempengaruhi kualitas daging ayam secara langsung (Brown 1982). Persyaratan maksimum mutu mikrobiologi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Syarat mutu mikrobiologis daging ayam

No. Jenis Satuan Persyaratan

1 Total Plate Count cfu/g Maksimum 1 x 106

2 Coliform cfu/g Maksimum 1 x 102

3 Staphylococcus aureus cfu/g Maksimum 1 x 102

4 Salmonela sp. per 25 g Negatif

5 Escherichia coli cfu/g Maksimum 1 x 101 6 Campylobacter sp. per 25 g Negatif

(14)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2011, bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, dan Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi steroform, plastik, baskom, botol aqua bekas, saringan, nampan kecil, talenan, pisau, pinset, gunting, alumunium foil, magnet stirrer, kertas label, kapas, kertas saring, plastik wrapping, form penilaian organoleptik, dan alat-alat analisis yang meliputi gelas piala, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, pipet, cawan porselen kecil, kompor listrik, desikator, oven, tanur pengabuan, alat homogenizer, pH-meter, cawan porselen, mortar, rak tabung reaksi, sudip, bunsen, pipet mikro, tip, vortex, inkubator, labu kjehdahl, alat destilasi, selongsong lemak, tabung soxhlet, dan labu lemak.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ayam segar yang dibeli dari Pasar Tradisional Gunung Batu-Bogor, serbuk kitosan, asam asetat 1,5%, aquades, larutan garam fisiologis, media Nutrient Agar, cairan spirtus, garam NaCl, K2SO4, HgO, H2SO4, tablet kjehdahl, NaOH 40 %, H3BO3,

cairan indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol dan metilen blue 0,2% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1), dan pelarut heksana.

3.3 Metode Penelitian

(15)

yang digunakan sebanyak ± 1,5 liter, dan setelah itu dilakukan tahap penyimpanan daging ayam dalam suhu ruang dalam keadaan terbuka dengan berbagai perlakuan lama penyimpanan (0 jam, 3 jam, 6 jam, dan 9 jam). Tahap pengujian yang dilakukan, diantaranya yaitu pengujian organoleptik, penentuan nilai total koloni bakteri yang tumbuh selama penyimpanan (Total Plate Count); pengukuran nilai derajat keasaman (pH), dan analisis proksimat daging, yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan kitosan yang paling optimal dalam memperpanjang daya awet daging ayam segar. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan diawali dengan pembelian 4 ekor daging ayam segar di Pasar Tradisional Gunung Batu, Bogor. Proses pembelian sampai ke dalam proses persiapan yang dilakukan di dalam Laboratorium dilakukan secara aseptik atau steril dan terkontrol, diantaranya dengan membungkus setiap potong daging ayam dalam plastik steril dan menyimpannya di dalam box steroform yang telah berisi es yang digunakan untuk mempertahankan suhu daging ayam. Daging ayam yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah ± 24 potong ayam untuk 4 perlakuan. Sebanyak 6 potong daging ayam digunakan untuk setiap perlakuan. Bahan-bahan dan alat-alat juga disiapkan menurut tahapan penelitian agar tidak tertukar selama jalannya penelitian.

3.3.2 Tahap perendaman

(16)

3.3.3 Tahap penyimpanan

Daging ayam yang sudah ditiriskan, kemudian disimpan dalam nampan-nampan kecil pada suhu ruang (25-30 ºC) selama 9 jam dalam keadaan terbuka. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan selang pengamatan untuk uji organoleptik, uji Total Plate Count (TPC), uji derajat keasaman (pH), dan analisis proksimat setiap 3 jam sekali sampai 9 jam lama penyimpanan.

3.3.4 Tahap pengujian

Tahap pengujian terhadap sampel dilakukan secara subyektif (sensori) dan obyektif (non sensori). Pengujian secara subyektif terhadap sampel dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik menggunakan scoresheet penilaian terhadap sampel daging ayam, sedangkan untuk pengujian obyektif menggunakan pengukuran nilai derajat keasaman (pH), penghitungan nilai koloni total bakteri atau Total Plate Count (TPC), dan analisis proksimat yang terdiri atas pengujian kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.

3.3.4.1 Uji organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan setiap selang waktu 3 jam oleh 6 orang panelis tetap. Jumlah panelis standar yang terlibat untuk satu kali pengujian adalah 6 orang (BSN 2006). Penilaian indrawi ini dilakukan terhadap beberapa parameter uji, yaitu parameter penampakan, warna, bau, lendir, dan tekstur. Potongan daging ayam yang diuji secara organoleptik diberi nilai berdasarkan penilaian penelis dan dituangkan dalam lembaran scoresheet (penilaian) dalam skala 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 4 (empat) sebagai nilai tertinggi. Adapun contoh form penilaian scoresheet beserta keterangannya dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3.4.2 Pengukuran Nilai pH (AOAC 1995)

(17)

ditunjukkan oleh pH meter merupakan nilai hasil pengukuran derajat keasaman (pH) sampel.

3.3.4.3 Perhitungan nilai Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari metode perhitungan TPC ini adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang terkandung dalam sampel dengan perlakukan pengenceran dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

Cawan petri, tabung reaksi, dan pipet sebelum digunakan disterilkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 180 ºC selama 2 jam. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, untuk menjaga agar media tidak membeku, suhu media dipertahankan pada suhu 45-55 ºC dalam penangas air. Pembuatan larutan garam fisiologis dilakukan dengan cara melarutkan 8,5 gram NaCl dalam 1 liter aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit.

Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 gram sampel yang sebelumnya dihaluskan terlebih dahulu, dalam larutan pengencer steril 90 ml sampai homogen sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran selanjutnya dilakukan dengan cara, sebanyak 1 ml larutan contoh homogen yang diambil dengan menggunakan pipet steril, dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril dan dihomogenisasikan kembali untuk memperoleh pengenceran 10-2. Begitupun seterusnya sampai pengenceran dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-5.

(18)

Koloni yang tumbuh setelah masa inkubasi, dihitung dan dinyatakan sebagai jumlah colony forming unit (cfu) per gram atau koloni per gram berdasarkan Standar Plate Count (SPC), dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni per cawan. Jumlah koloni dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

2) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

3) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer.

4) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua, maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

5) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.

(19)

3.3.4.4 Kadar air (AOAC 2005)

Kadar air sampel ditentukan pada berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap pada suhu 105 ºC, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 30 menit. Setelah didinginkan, cawan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam cawan, lalu dipanaskan di dalam oven pada suhu 105-110 ºC selama 3-4 jam dan kemudian cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang kembali. Penentuan kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

B : Berat sampel awal (gram)

B1 : Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (gram) B2 : Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (gram)

3.3.4.5 Kadar abu (AOAC 2005)

Cawan sebelum digunakan, dibersihkan terlebih dahulu, kemudian dikeringkan di dalam oven selama 15 menit pada suhu 105 ºC. Setelah dikeringkan, cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditempatkan dalam cawan dan kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60-105 ºC selama 6 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Tahap selanjutnya, cawan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 ºC, kemudian dibakar selama 6 jam. Setelah selesai pengabuan, cawan didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Penentuan kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

(20)

3.3.4.6 Kadar protein (AOAC 2005)

Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam labu kjehdahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml), serta beberapa

tablet kjehdahl. Sampel kemudian dididihkan sampai berwarna jernih selama kurang lebih 1-1,5 jam dan selanjutnya dibiarkan sampai dingin lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Setelah pemindahan ke dalam alat destilasi, labu kjeldahl dibilas dengan aquades (20 ml) sebanyak 5-6 kali, lalu hasil bilasan tersebut juga dimasukkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di dalamnya dan kemudian ke dalam tabung reaksi, ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol

dan metilen blue 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Lalu destilat

tersebut dititrasi menggunakan larutan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Penentuan kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.3.4.7 Kadar lemak (AOAC 2005)

(21)

kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan kemudian ditimbang. Penentuan kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.4 Analisis Data

Analisis data penelitian pada pengujian organoleptik menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Dunn untuk melihat pengaruh konsentrasi larutan kitosan yang digunakan terhadap parameter penampakan, warna, bau, lendir, dan tekstur. Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan konsentrasi kitosan yang paling baik digunakan untuk aplikasi kitosan terhadap mutu daging ayam. Analisis yang digunakan terhadap data hasil organoleptik yaitu menggunakan uji Kruskal-Wallis. Prosedur pengujian uji Kruskall-Wallis berdasarkan rumus:

Keterangan:

ni = banyaknya pengamatan n = banyaknya data

Ri = jumlah rata-rata tiap perlakuan ke-i

t = banyaknya pengamatan yang seri dalam ulangan

H’ = H terkoreksi FK = faktor koreksi

(22)

dilanjutkan dengan uji Dunn. Model pengujian untuk uji Dunn adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j k = jumlah perlakuan

n = jumlah data yang dibandingkan

α = 0,05

Rancangan percobaan pada penelitian digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan lama penyimpanan terhadap parameter objektif yaitu Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan dua perlakuan dan dua kali ulangan, untuk analisis nilai pH dan nilai TPC daging ayam. Model Rancangan Acak Lengkap Faktorial adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Yijk = hasil pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan

taraf ke-i dari faktor α dan taraf ke-j dari faktor β µ = nilai rata-rata

α i = pengaruh taraf ke-i dari faktor konsentrasi

β i = pengaruh taraf ke-j dari faktor lama penyimpanan

(αβ)ij = pengaruh taraf ke-i dari faktor konsentrasi dan taraf ke-j dari lama penyimpanan

εijk = pengaruh acak satuan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan

Rancangan percobaan pada penelitian selanjutnya yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan satu perlakuan, yaitu perlakuan konsentarasi larutan kitosan, yang digunakan untuk analisis proksimat daging ayam. Model Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut:

Keterangan:

yij = nilai pengamatan pada suatu perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = nilai rata-rata

τ = pengaruh perlakuan ke-i

(23)

Apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (tolak Ho), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey atau Beda Nyata Jujur (BNJ)

yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. Rumus pengujian dengan uji Tukey adalah sebagai berikut:

Keterangan:

q = nilai pada tabel q p = Perlakuan dbs = derajat bebas sisa

α = 0,05

(24)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kitosan merupakan salah satu senyawa antimikroba alami yang sudah banyak digunakan dalam aplikasi edible coating pada suatu pengawetan produk pangan. Salah satu aplikasinya yang digunakan pada penelitian untuk pengawetan daging ayam. Kitosan bisa digunakan sebagai bahan pengawet karena selain kitosan memiliki aktivitas antimikroba yang bisa menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Dutta et al. 2008) dan meningkatkan mutu serta memperpanjang masa simpan makanan, kitosan juga tidak beracun (Kong et al. 2010), sehingga aman digunakan dan diaplikasikan terhadap bahan pangan.

Kitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan komersial yang diperoleh dari PT. Vital House Indonesia. Adapun penampakan dan karakteristik kitosan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 6. Kitosan yang diperoleh kemudian dilarutkan dalam pelarut asam asetat 1,5% (v/v) untuk dibuat menjadi suatu larutan kitosan. Hal ini sesuai dengan penelitian Knorr (1982) dan Tang et al. (2007) yang menunjukkan bahwa pelarut kitosan yang umum dan dapat dengan lebih mudah melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2%.

Gambar 3 Kitosan

(25)

warna larutan kitosan yang jernih. Hal ini sesuai dengan karakteristik kitosan menurut Suptijah et al. (1992), bahwa mutu kitosan harus meliputi berbagai aspek, yaitu harus berbentuk serpihan atau bubuk dengan nilai kadar air berkisar antara ≤ 10%, kadar abu atau mineral umumnya ≤ 2%, kadar nitrogen sebesar ≤ 5%, derajat deasetilasi ≥ 70%, dan larutan kitosan berwarna jernih.

Tabel 6 Karakteristik mutu kitosan

Karakteristik Mutu Kitosan* Mutu Kitosan**

Bentuk partikel Serbuk Serpihan sampai bubuk

Kadar air 9% ≤ 10

Kadar abu 0,21% ≤ 2

Kadar nitrogen 1,33% ≤ 5

Warna larutan Jernih Jernih

Derajat deasetilasi (%) 88,66% ≥ 70

Sumber:

*Rahardiyani (2011) **Suptijah et al. (1992)

Perlakuan konsentrasi kitosan yang digunakan pada penelitian pengawetan terhadap daging ayam ini antara lain 0,5%; 1%; dan 1,5% dengan ditambahkan perlakuan kontrol. Perlakuan ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi larutan kitosan yang optimal dalam aplikasinya terhadap pengawetan daging ayam segar. Perlakuan kedua yaitu perlakuan lama penyimpanan, yang dilakukan untuk mengetahui proses penurunan mutu daging ayam selama penyimpanan, dan mengetahui masih layak atau tidaknya daging ayam untuk dikonsumsi setelah penyimpanan selama kurang lebih 9 jam.

Selama proses penyimpanan daging ayam yang digunakan dalam penelitian diberikan beberapa pengujian, baik pengujian secara subyektif (sensori) yaitu dengan uji organoleptik sampel, maupun obyektif (non sensori), yaitu pengukuran nilai derajat keasaman (pH), penghitungan nilai koloni total bakteri atau Total Plate Count (TPC), dan analisis proksimat, yaitu uji kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.

4.1 Uji Organoleptik

(26)

merupakan suatu metode pengujian yang dilakukan dengan panca indera dalam menilai kualitas dari suatu produk pangan. Penilaian secara indrawi ini memiliki peran penting dalam menilai kualitas produk pangan, salah satunya dapat melihat sampai sejauh mana produk masih layak dikonsumsi, dengan melihat dari perubahan fisik produk itu sendiri. Beberapa parameter yang digunakan dalam uji organoleptik ini antara lain, penampakan, warna, tekstur, bau, dan lendir. Contoh scoresheet penilaian organoleptik daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.1.1 Penampakan

Penampakan merupakan faktor terpenting yang berpengaruh karena faktor inilah yang pertama kali dilihat, dilanjutkan dengan warna, kemudian bau, rasa, dan tekstur (Muchtadi 2008). Hasil uji organoleptik daging ayam yang diujikan berkisar antara 1,42-3,92 dengan skala penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik penampakan pada daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Nilai organoleptik penampakan daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh bahwa dari dua perlakuan yang digunakan (perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan perlakuan lama penyimpanan), hanya perlakuan lama penyimpanan yang memberikan pengaruh

(27)

nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik penampakan daging ayam. Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa pada mutu organoleptik penampakan daging ayam berbeda nyata pada penyimpanan jam ke-0 dengan jam ke-6, dan jam ke-9, dan tidak berbeda nyata pada jam ke-0 dan jam ke-3. Semakin lama penyimpanan, maka akan semakin rendah mutu organoleptik penampakan daging ayam.

Daging ayam sebelum dilakukan proses penyimpanan masih memiliki penampakan yang masih cerah, mengkilat, dan kenyal, dan bersih (tidak ada darah dan tidak berlendir). Perubahan mulai terjadi pada saat penyimpanan jam ke-6, penampakan daging ayam semakin menurun, yaitu agak kusam, lengket, dan lembek. Penyimpanan jam ke-9, daging ayam sudah berlendir. Penurunan mutu penampakan terjadi karena ada keterkaitan dengan jumlah bakteri yang tumbuh dan berkembang pada bahan pangan. Frazier dan Westhoff (1978), menyatakan bahwa bakteri merupakan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan bahan pangan yang ditandai dengan tingginya aktifitas air pada bahan pangan tersebut.

Perlakuan konsentrasi larutan kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap mutu organoleptik penampakan daging ayam. Hal ini terlihat dari hasil uji Kruskal-Wallis yang menunjukkan bahwa selama penyimpanan, mutu organoleptik, baik pada daging ayam kontrol maupun daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan, tidak terjadi perbedaan yang nyata. Penurunan mutu organoleptik penampakan daging ayam relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan edible coating kitosan pada daging ayam, ternyata belum mampu menghambat perubahan mutu organoleptik penampakannya. Hal ini juga berarti bahwa mutu organoleptik penampakan daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan 0,5%, 1%, dan 1,5%, selama penyimpanan sama dengan daging ayam kontrol. Nilai rata-rata dan hasil uji statistika pengaruh larutan kitosan terhadap mutu organoleptik penampakan daging ayam dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 10.

4.1.2 Warna

(28)

tingkat nilai gizi maksimum yang diterima (Arpah 2001). Berdasarkan hasil uji organoleptik warna yang dilakukan panelis, daging ayam mempunyai kisaran nilai antara 1,25-3,92 dengan skala penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik warna pada daging ayam dengan dan tanpa perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Nilai organoleptik warna daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh bahwa perlakuan konsentrasi larutan kitosan hanya berpengaruh nyata (p≤0,05) pada penyimpanan jam ke-3. Hasil uji Dunn menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara daging ayam kontrol dengan daging ayam yang diberi edible coating kitosan 1%. Hal ini terlihat dari nilai organoleptik warna daging ayam yang diberi perlakuan edible coating kitosan 1% memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging ayam kontrol.

Perbedaan yang nyata antara daging ayam yang diberi perlakuan kitosan 1% dengan daging ayam kontrol menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan kitosan memberikan hasil organoleptik warna daging ayam yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Park et al. (2010) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0,5% - 1% dan kitosan film, selain dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, juga dapat mengurangi oksidasi lemak, dan menghasilkan uji sensori yang lebih baik, salah satunya dalam mempertahankan

(29)

warna merah dalam sampel daging selama penyimpanan. Menurut Kittur et al. (1998), kitosan sebagai edible coating dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk pangan.

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik warna daging ayam. Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata terhadap mutu organoleptik warna daging ayam, baik saat penyimpanan jam ke-0, jam ke-3, jam ke-6, dan jam ke-9. Warna daging ayam mengalami perubahan selama penyimpanan. Daging ayam yang terlalu lama disimpan akan semakin kusam. Hal ini sesuai dengan Baèza (2004), bahwa timbulnya perubahan warna daging ayam disebabkan adanya interaksi antara pigmen warna daging ayam dengan oksigen.

Daging ayam sebelum dilakukan penyimpanan masih memiliki warna putih kekuningan cerah, tidak pucat, dan tidak gelap/kusam. Setelah penyimpanan jam ke-3, warna daging ayam menjadi putih kekuningan agak kusam. Penyimpanan jam ke-6, daging ayam menjadi putih agak kusam dan pucat. Penyimpanan jam ke-9, warna daging ayam semakin kusam, tidak terlalu mengkilat, dan pucat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darmadji dan Izumimoto (1996) yang menunjukkan bahwa penurunan mutu warna daging sapi terjadi seiring dengan lama penyimpanan. Semakin lama penyimpanan, maka daya ikat air pada daging akan semakin menurun dan akan mengakibatkan terjadinya drip loss sehingga dapat menurunkan kecerahan warna pada daging sapi. Nilai rata-rata dan hasil uji statistika pengaruh larutan kitosan terhadap mutu organoleptik warna daging ayam dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 10.

4.1.3 Bau

(30)

penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik bau pada daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Nilai organoleptik bau daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh bahwa perlakuan konsentrasi larutan kitosan memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik bau daging ayam hanya pada saat penyimpanan jam ke-6 dan penyimpanan jam ke-9. Hasil uji lanjut Dunn terhadap mutu bau daging ayam, pada penyimpanan jam ke-3, mengalami perbedaan yang nyata antara bau daging ayam kontrol dengan daging ayam perlakuan edible coating kitosan 1%, sedangkan pada saat penyimpanan jam ke-6, terjadi perbedaan yang nyata antara bau daging ayam kontrol, baik dengan daging ayam perlakuan edible coating 0,5%, 1% dan 1,5%.

Perlakuan edible coating kitosan mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap mutu bau daging ayam. Hal ini sesuai dengan penelitian Suryaningsih (2011) yang menunjukkan bahwa pelapisan kitosan 2% dan 3% memberikan pengaruh yang lebih efektif dalam meningkatkan kesukaan panelis terhadap bau daging sapi. Hal ini dikarenakan kitosan sebagai edible coating memiliki kemampuan menghambat keluarnya senyawa volatil yang menyebabkan timbulnya bau yang tidak diinginkan pada daging.

(31)

Mutu organoleptik bau daging ayam pada penyimpanan jam ke-6, mengalami perbedaan yang nyata juga pada daging ayam perlakuan edible coating kitosan 0,5% dan 1,5%, dan tidak berbeda nyata antara daging ayam perlakuan edible coating 0,5% dan 1,5%. Hal ini dapat diketahui bahwa dengan adanya penambahan edible coating kitosan 0,5% sudah cukup mampu untuk menghambat timbulnya senyawa volatil penyebab bau yang tidak diinginkan pada daging ayam. Perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik bau daging ayam. Berdasarkan hasil uji lanjut Dunn, terjadi perbedaan yang nyata antara nilai mutu organoleptik bau daging ayam pada saat penyimpanan jam ke-0, jam ke-6, dan jam ke-9. Bau daging ayam sebelum dilakukan penyimpanan masih memiliki bau yang sangat segar. Setelah dilakukan penyimpanan, bau daging ayam akan semakin berubah. Seiring dengan lamanya penyimpanan yang dilakukan, bau daging ayam akan semakin menurun. Semakin lama daging ayam disimpan maka lambat laun bau yang dihasilkan akan mendekati netral, hingga mencapai bau yang sangat busuk.

Berdasarkan Mead (2004), bau daging ayam yang semakin menurun disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri pada daging yang menyebabkan terurainya protein menjadi senyawa-senyawa volatil yang menghasilkan bau busuk karena produksi sulfur, hidrogen sulfida (H2S), amoniak (NH3), metal

merkaptan, dimetil sulfida, dan dimetil disulfida. Tingginya jumlah bakteri juga mengakibatkan degradasi lemak yang dapat merusak mutu daging ayam, salah satunya bau daging ayam itu sendiri. Terjadinya degradasi lemak akibat pertumbuhan mikroba dapat membentuk bau yang tengik atau busuk (Baèza 2004). Bau busuk pada bahan pangan disebabkan oleh aktifitas golongan bakteri koliform dan beberapa spesies bakteri yang bersifat putrefactive (pembuat busuk), diantaranya Clostridium dan Pseudomonas (Frazier dan Westhoff 1978). Nilai rata-rata dan hasil uji statistika pengaruh larutan kitosan terhadap mutu organoleptik bau daging ayam dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 10.

4.1.4 Tekstur

(32)

Ketika tekstur dalam keadaan yang tidak baik, maka suatu makanan dapat ditolak atau tidak jadi dikonsumsi. Berdasarkan hasil uji organoleptik tekstur, daging ayam yang diujikan mempunyai kisaran nilai organoleptik tekstur antara 1,33-4,00 dengan skala penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik tekstur pada daging ayam dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Nilai organoleptik tekstur daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, dari dua perlakuan yang digunakan (perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan perlakuan lama penyimpanan), yang memberikan memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik tekstur daging ayam hanya perlakuan lama penyimpanan. Hasil uji lanjut Dunn, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata pada mutu organoleptik tekstur daging ayam antara penyimpanan jam ke-0 dengan tekstur daging ayam pada penyimpanan jam ke-6, maupun jam ke-9.

Semakin lama penyimpanan yang dilakukan akan menyebabkan kadar air pada bahan pangan juga semakin meningkat (Winarno 1997) sehingga menyebabkan tekstur bahan pangan semakin lembek. Tekstur daging ayam sebelum dilakukan proses penyimpanan masih dalam keadaan padat dan elastis jika ditekan jari. Seiring dengan lamanya penyimpanan, tekstur daging ayam

(33)

semakin menurun, yaitu menjadi semakin lunak dan tidak lagi elastis seperti awal penyimpanan.

Tingginya kadar air daging ayam dapat menyebabkan semakin tingginya pertumbuhan dan perkembangan bakteri, serta degradasi protein yang dapat mengakibatkan pelepasan air pada daging, meningkat (Winarno 1997), sehingga terjadi perubahan fisik berupa menurunnya tingkat konsistensi suatu bahan pangan, yang ditandai dengan semakin lunak dan berairnya bahan pangan tersebut (Peranginangin et al. 1999).

Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis, pemberian edible coating kitosan pada daging ayam ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap mutu organoleptik teksturnya. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun dengan adanya perlakuan larutan kitosan, penurunan mutu organoleptik tekstur belum mampu dihambat, sehingga dapat dikatakan bahwa mutu organoleptik tekstur pada daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan sama dengan daging ayam kontrol. Nilai rata-rata dan hasil uji statistika pengaruh larutan kitosan terhadap mutu organoleptik tekstur daging ayam dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 10.

4.1.5 Lendir

Lendir merupakan salah satu indikator terjadi kemunduran mutu suatu produk pangan karena disebabkan oleh adanya pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Arpah 2001). Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan panelis, daging ayam yang diujikan mempunyai kisaran nilai antara 1,25-4,00 dengan skala penilaian 1-4 (scoresheet Lampiran 2). Hasil uji organoleptik lendir pada daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 8.

(34)

ayam perlakuan edible coating 1% dan 1,5%. Pemberian perlakuan edible coating kitosan mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap penghambatan terbentuknya lendir pada daging ayam.

Gambar 8 Nilai organoleptik lendir daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap mutu organoleptik lendir daging ayam. Hasil uji lanjut Dunn, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara mutu organoleptik daging ayam saat penyimpanan jam ke-0 dengan jam ke-6, dan jam ke-9. Semakin lama penyimpanan mengakibatkan semakin menurunnya mutu daging ayam, salah satunya ditandai dengan adanya lendir pada daging ayam. Lendir yang dihasilkan pada daging ayam sebelum dilakukan proses penyimpanan masih sedikit, tipis, transparan, jernih, dan mengkilat. Setelah dilakukan penyimpanan selama 6 jam, mulai terjadi peningkatan dan penggumpalan lendir, dan lendir pada permukaan daging ayam berubah menjadi keruh dan berwarna kuning kecoklatan.

Terbentuknya lendir disebabkan oleh semakin tingginya jumlah bakteri yang tumbuh dan berkembang dalam daging ayam. Semakin tinggi jumlah bakteri yang tumbuh dan berkembang akan menghasilkan lendir semakin banyak (Raharjo dan Santosa 2005). Bakteri yang dapat menstimulasi pembentukan lendir (slime forming bacteria) adalah bakteri kontaminasi yang umumnya bersifat aerobik, antara lain Pseudomonas, Alcaligenes, Lactobacillus, Streptococcus, dan

(35)

koliform (Frazier dan Westhoff 1978). Nilai rata-rata dan hasil uji statistika pengaruh larutan kitosan terhadap mutu organoleptik lendir daging ayam dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 10.

4.2 Nilai Derajat Keasaman (pH)

Nilai derajat keasaman yang dinyatakan dengan nilai pH merupakan salah satu faktor penting yang menentukan ketahanan bahan pangan terhadap pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri (Lawrie 1995). Hasil analisis pH daging ayam perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 9.

Nilai pH daging ayam selama penelitian berkisar antara 5,77-5,93 (kontrol) 5,68-5,89 (konsentrasi 0,5%), 5,46-5,85 (konsentrasi 1%), dan 5,67-5,82 (konsentrasi 1,5%). Hasil uji statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan kitosan memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap nilai pH daging ayam. Perbedaan nyata terlihat pada daging ayam kontrol dengan daging ayam perlakuan edible coating kitosan 1%. Hal ini dapat dilihat pada nilai pH daging ayam perlakuan edible coating kitosan 1% memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai pH daging ayam kontrol. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rahardyani (2011) yang menunjukkan bahwa nilai pH daging sapi yang diberi perlakuan kitosan memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai pH daging sapi kontrol.

Gambar 9 Nilai pH daging ayam dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%). Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan

berbeda nyata (p≤0,05)

(36)

Kitosan memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan dan faktor-faktor pertumbuhan bakteri, salah satunya adalah pH daging (Frazier dan Westhoff 1978). Perlakuan larutan kitosan menghasilkan pH yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan kitosan memiliki muatan positif yang secara kimiawi sangat reaktif untuk mengikat ion hidroksil (OH-). Proses pengikatan ini akan menyebabkan jumlah OH- terdisosiasi menjadi lebih sedikit karena terikat oleh muatan positif kitosan sehingga menjadi tidak terdisosiasi (Fessenden dan Fessenden 1986). Bhumkar dan Pokharkar (2006) menguatkan bahwa pada lingkungan asam, kitosan akan bersifat polikationik yang akan mengikat banyak muatan negatif disekitarnya (termasuk ion hidrogen).

Perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap nilai pH daging ayam. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya penurunan nilai pH hingga penyimpanan jam ke-9. Perbedaan yang nyata terjadi saat penyimpanan jam ke-0 dengan jam ke-6 dan jam ke-9, juga antara saat penyimpanan jam ke-3 dengan jam ke-9. Saat penyimpanan jam ke-6 mulai terlihat adanya penurunan pH yang lebih tinggi pada setiap daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan dibandingkan jam ke-0 maupun jam ke-3. Namun, saat penyimpanan jam ke-9, pengaruh adanya edible coating kitosan semakin terlihat, karena pada daging ayam perlakuan edible coating kitosan 0,5%, 1%, dan 1,5%, penurunan pH masih tetap berlangsung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suptijah et al. (2008), yang menunjukkan bahwa selama 18 jam penyimpanan, nilai pH untuk fillet ikan patin dengan perlakuan larutan kitosan terus mengalami penurunan.

Penurunan nilai pH pada daging ayam yang diberi perlakuan kitosan terjadi karena edible coating kitosan mampu memberikan efek penghambatan yang besar terhadap pertumbuhan dan aktifitas bakteri (Dutta et al. 2008), sehingga penguraian protein yang dapat mengakibatkan peningkatan kandungan nitrogen non protein yang menyebabkan terjadinya akumulasi basa, ikut terhambat.

(37)

memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH daging ayam. Semakin tinggi penurunan pH daging ayam mengakibatkan aktifitas antimikroba pada kitosan semakin tinggi pula. Hal ini disebabkan gugus amino kitosan terionisasi pada pH dibawah 6 dan membawa muatan positif dan karena dalam sel bakteri terjadi tingkat stres yang tinggi jika pada kondisi yang semakin asam (Eldin et al. 2008).

Semakin rendahnya nilai pH pada suatu produk umumnya akan meningkatkan daya simpan produk, karena bakteri akan sulit hidup dalam pH rendah, kecuali bakteri yang tahan pada pH rendah (acidophilic) (Soeparno 2005). Nilai rata-rata dan hasil uji statistika terhadap nilai pH daging ayam dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 11.

4.3 Nilai Total Plate Count (TPC)

Daging ayam mudah mengalami penurunan kualitas, salah satunya, sebagai akibat dari pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme dalam jumlah banyak selama penyimpanan (Sams 2001). Daging ayam juga mempunyai kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 68-75%, kaya akan nutrisi dan mineral yang menyediakan sumber karbon dan energi untuk pertumbuhan mikroorganisme (Mead 2004). Pengukuran seberapa jauh tingkat kerusakan daging, dapat dilihat dari banyaknya bakteri yang tumbuh dan berkembang pada daging tersebut dengan menggunakan salah satu metode pengukuran, yaitu pengukuran nilai TPC. Nilai TPC dapat mempengaruhi perubahan fisik pada daging. Semakin banyak kandungan bakteri, maka semakin menurun kualitas dari daging tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah bakteri yang tumbuh pada daging ayam berkisar antara 4,97 (9,3×104 cfu/g) sampai 6,43 (2,7×106 cfu/g). Adapun hasil analisis TPC daging ayam dengan perlakuan konsentrasi larutan kitosan selama penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 10.

(38)

menunjukkan bahwa perlakuan edible coating kitosan dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging ayam.

Gambar 10 Nilai TPC daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan selama penyimpanan suhu ruang ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%). Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan

berbeda nyata (p≤0,05)

Menurut El Ghaouth et al. (1994), lapisan tipis kitosan yang berfungsi sebagai edible coating mampu menutupi seluruh permukaan produk sehingga dapat menghambat masuknya oksigen dan air melalui permukaan sehingga mengakibatkan mikroba menjadi sulit berkembang. Hal ini dibuktikan pada penelitian Tsai et al. (2002), yang menunjukkan bahwa kitosan memiliki sifat antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri, baik bakteri gram negatif (E.coli, P. aeruginosa, S. dysenteriae, V. cholerae, dan V. parahaemolyticus) maupun bakteri gram positif (B. cereus, L. monocytogenes, dan S. aureus) pada pengawetan ikan. Chaiyakosha et al. (2007) menyatakan bahwa penurunan jumlah sel bakteri dipengaruhi oleh perubahan permukaan sel dan hilangnya fungsi barrier dari bakteri itu sendiri.

Salah satu alasan kitosan memiliki sifat antimikroba adalah adanya muatan positif pada gugus amino yang dapat berinteraksi dengan muatan negatif yang terdapat pada sel membran mikroba (Leuba et al. 1986), yang mampu menyebabkan terjadinya kebocoran protein dan komponen intraselular pada mikroorganisme (Shahidi et al. 1999). Kitosan berinteraksi dengan bakteri, terutama pada permukaan luarnya. Polikationik kitosan, pada konsentrasi rendah

(39)

(0,2 mg/ml), mampu mengikat pada muatan negatif yang terdapat di permukaan bakteri tersebut hingga mengakibatkan aglutinasi atau pengentalan, sedangkan pada konsentrasi tinggi, sebagian besar muatan positif dapat menyebabkan terjadi suspensi(Dutta et al. 2009).

Hasil uji statistika menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan juga memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap nilai TPC daging ayam. Pengaruh tersebut dibuktikan dengan hasil uji lanjut Tukey yang menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata antara nilai TPC daging ayam pada penyimpanan jam ke-0 dengan jam ke-3, jam ke-6, dan jam ke-9, tetapi tidak terjadi perbedaan yang nyata pada penyimpanan jam ke-3 dan jam ke-6. Perubahan nilai TPC mulai terjadi pada saat penyimpanan jam ke-3 yaitu dengan adanya peningkatan jumlah bakteri pada daging ayam. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan edible coating kitosan belum mampu menghambat pertumbuhan bakteri secara efektif, walaupun ternyata pada saat penyimpanan jam ke-6, nilai TPC daging ayam yang diberi perlakuan larutan kitosan tidak berbeda nyata, yang berarti tidak terjadi pertumbuhan bakteri.

Hasil tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Hadi (2008) yang menunjukkan bahwa hingga penyimpanan 12 jam, bakso daging sapi yang diberi perlakuan edible coating kitosan 1% tidak mengalami pertumbuhan bakteri. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa nilai TPC yang meningkat pada saat penyimpanan jam ke-3 diduga terdapat kontaminan dari lingkungan dan kurang aseptis pada saat pengujian nilai TPC yang dilakukan.

Peningkatan jumlah bakteri pada daging ayam menunjukkan bahwa daging ayam mengalami penurunan mutu selama penyimpanan. Arpah (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik pertumbuhan mikroba antara lain pH,

a

w, kandungan nutrisi, struktur biologis, dan kandungan mikroba, sedangkan untuk faktor ekstrinsik antara lain temperatur penyimpanan, kelembaban relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan.

(40)

edible coating kitosan memberikan pengaruh yang baik pada saat penyimpanan jam ke-3 dan jam ke-6. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perubahan jumlah bakteri yang tumbuh pada saat penyimpanan tersebut. Ini mengindikasikan bahwa perlakuan edible coating kitosan memberikan pengaruh yang baik hanya mencapai 6 jam penyimpanan. Perlakuan edible coating kitosan 1,5% merupakan perlakuan yang paling baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut memiliki efek penghambatan yang paling tinggi terhadap pertumbuhan, perkembangan, maupun aktifitas bakteri yang ada pada daging ayam selama penyimpanan berlangsung.

Berdasarkan hasil uji statistika, perlakuan konsentrasi larutan kitosan dengan lama penyimpanan menunjukkan adanya interaksi (p≤0,05). Hal ini berarti terdapat keterkatian satu sama lain antara perlakuan konsentrasi larutan kitosan dan lama penyimpanan yang menentukan nilai TPC daging ayam. Penurunan konsentrasi kitosan yang diberikan dan peningkatan lama penyimpanan yang dilakukan menyebabkan peningkatan jumlah bakteri pada daging ayam. Nilai rata-rata dan hasil uji statistika terhadap nilai pH daging ayam dengan perlakuan larutan kitosan selama penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 12.

Aplikasi antimikroba kitosan telah banyak dilakukan. Penelitian Darmadji dan Izumimoto (1996) membuktikan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0,5%-1% dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada daging sapi selama penyimpanan. Penelitian Coma et al (2002), membuktikan bahwa edible film kitosan dapat menghambat pertumbuhan dua bakteri patogen pada makanan, diantaranya Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes. Penelitian Kusumaningjati (2009) juga menunjukkan bahwa sifat antibakteri kitosan dengan konsentrasi 0,05% terbukti mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri Bacillus cereus dan Staphylococcus thypirium dan memperpanjang masa simpan tahu hingga 6 hari dengan tetap mempertahankan penampakan, bau, dan konsistensi tahu.

(41)

putrefaciens, Photobacterium phosphoreum, Listeria innocua, Escherichia coli, dan Lactobacillus acidophilus) pada pengawetan ikan suhu chilling. Pertumbuhan mikroorganisme berkurang secara drastis pada bakteri gram negatif, terutama enterobakteria, sedangkan bakteri asam laktat tetap konstan pada penyimpanan.

Mekanisme penghambatan bakteri oleh kitosan berbeda antara bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh adanya perbedaan efek yang ditimbulkan oleh kitosan terhadap bakteri Staphylococcus aureus (Gram positif) dengan Escherichia coli (Gram negatif). Pada S. aureus, aktifitas peghambatan bakteri oleh kitosan meningkat seiring dengan meningkatnya berat molekul kitosan, sedangkan pada E.coli, aktifitas penghambatan bakteri oleh kitosan meningkat saat berat molekul kitosan semakin menurun. Artinya, pada S. aureus, kitosan pada saat berikatan dengan permukaan sel, akan membentuk membran polimer yang dapat menghambat nutrisi untuk masuk ke dalam sel, sedangkan pada E.coli, kitosan dengan berat molekul rendah akan memasuki sel dengan cara memisahkan antara dinding sel dengan membran sel hingga terjadi kebocoran sampai kematian sel (Dutta et al. 2009).

4.4 Analisis Proksimat Daging Ayam

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari daging ayam, baik pada penyimpanan jam ke-0 maupun jam ke-9. Analisis yang dilakukan meliputi uji kadar air, abu, lemak, dan protein.

4.4.1 Kadar air

(42)

Gambar 11 Nilai rata-rata kadar air daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang jam ke-0 ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Berdasarkan hasil uji ANOVA diketahui bahwa kadar air daging ayam saat penyimpanan jam ke-0, dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan konsentrasi larutan kitosan (p≤0,05). Setelah dilakukan uji lanjut Tukey, pada perlakuan konsentrasi larutan kitosan, diketahui terjadi perbedaan yang nyata antara daging ayam perlakuan edible coating kitosan 1% dan 1,5% dengan daging ayam kontrol. Adanya perlakuan larutan kitosan menyebabkan daging ayam yang diberi perlakuan edible coating kitosan 1% dan 1,5% memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan daging ayam kontrol.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian Suryaningsih (2011) yang menunjukkan bahwa kadar air pada daging sapi yang diberi perlakuan pelapisan kitosan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi tanpa perlakuan pelapisan kitosan. Konsentrasi kitosan yang semakin tinggi yang digunakan untuk pelapisan pada daging sapi menyebabkan semakin rendahnya kadar air daging sapi tersebut. Menurut Knorr (1982), kitosan memiliki gugus hidrofilik, yaitu pada gugus hidroksil primer dan sekunder pada C-3 dan C-6 yang menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi, sehingga kitosan memiliki kemampuan dalam mengikat air.

(43)

nyata (p>0,05) oleh perlakuan larutan kitosan. Hal ini dibuktikan dengan uji lanjut Tukey, yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara setiap perlakuan daging ayam. Hasil analisis kadar air daging ayam pada setelah dilakukan penyimpanan selama 9 jam dapat dilihat pada Gambar 12.

Kadar air yang terkandung dalam daging ayam semakin tinggi setelah dilakukan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan Mead (1984), yang menyatakan bahwa selama postmortem, daging ayam mengalami penyusutan dan air akan dikeluarkan. Kadar air berkaitan dengan daya mengikat air dari daging ayam itu sendiri. Makin tinggi kadar air suatu produk, maka akan semakin rendah daya mengikat air produk tersebut. Hamm (1962) menyatakan bahwa kemampuan daging ayam dalam mengikat air disebabkan oleh adanya protein otot, yaitu aktomiosin yang merupakan komponen utama miofibril.

Gambar 12 Nilai rata-rata kadar air daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan pada penyimpanan suhu ruang jam ke-9 ( = kontrol; = 0,5%; = 1%; = 1,5%).

Keterangan: Huruf-huruf pada diagram batang yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p≤0,05)

Gambar

Gambar 6 Nilai organoleptik bau daging ayam dengan perlakuan konsentrasi
Gambar 8 Nilai organoleptik lendir daging ayam dengan perlakuan konsentrasi
Gambar 10 Nilai TPC daging ayam dengan perlakuan konsentrasi kitosan selama
Gambar 11 Nilai rata-rata kadar air daging ayam dengan perlakuan konsentrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rerata kadar resistin dan TNF-α pada wanita hamil yang obesitas lebih tinggi dari pada yang memiliki berat badan normal pada Preeklamsi Berat Awitan Lambat. UCAPAN

4 - Mahlas yerlerinde Yunus Emre’nin hiç kullanmadığı “Âşık Yunus, Derviş Yunus, Yunus Dede, Kul Yunus’lara dikkat edilmek gereklidir.. 5- Yunus

Berdasarkan hasil dari uji morfologi yang dilanjutkan uji biokimia dan identifikasi maka didapatkan tiga genus bakteri yang toleran terhadap fungisida mankozeb

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendeskripsikan dalam penerapan pembelajaran literasi dengan Buku Bu Aini Bercerita dan pembelajaran kooperatif PTV dengan

RAHMAD IRFANDI, D0113080, Kinerja Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Sragen dalam Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Produk Unggulan, Skripsi, Program

Sebelum melaksanakan pembelajaran, mahasiswa harus menyusun Pencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) terlebih dahulu. Di dalam RPP , tertulis semua hal yang akan

Jika dilihat dari masing–masing indikator persepsi siswa tentang gaya mengajar guru, maka untuk indikator penggunaan variasi suara diperoleh skor 3,5 dengan

Setelah kegiatan pembangunan BSG dan Pembuatan Kompos maka dilakukan penyuluhan BSG sebagai capaian awal Zero Waste yaitu tahapan pemberian pemahaman,