• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Dan Waktu Pengendalian Gulma Pada Lahan Sawah Irigasi

Dalam dokumen 1. PENDAHULUAN. Tri Sudaryono (Halaman 73-80)

Metode Pengendalian Gulma

Lima metode pengendalian gulma yang dipraktekkan pada budidaya padi sawah, yaitu secara manual, kultur teknis, mekanis, biologis, dan khemis. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode yang secara umum telah dilakukan pada pertanaman padi sawah di Bengkulu adalah manual, kultur teknis, dan khemis, sedangkan metode pengendalian secara biologis dan mekanis masih jarang digunakan. Dari lima metode tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua teknik pengendalian gulma yaitu pengendalian gulma secara tidak langsung dan secara langsung. Metode kultur teknik merupakan tindakan pengendalian gulma secara tidak langsung, sedangkan empat metode lainnya merupakan tindakan pengendalian gulma secara langsung.

Kultur teknik

Pada budidaya padi, pengolahan tanah berperan penting dalam praktek pengendalian gulma secara tidak langsung. Pengolahan tanah yang sempurna merupakan salah satu kunci untuk menekan infestasi gulma yang efektif. Pengolahan tanah mulai dari meluku, rotari, meratakan tanah, dilakukan secara bertahap dan sangat bermanfaat untuk mematikan dan membusukkan gulma yang tumbuh. Kedalaman pembajakan mempengaruhi pertumbuhan gulma. Ada penurunan jumlah total gulma, baik gulma semusim maupun gulma menahun sebagai akibat kedalaman pembajakan yang ditingkatkan.

Benih kadang – kadang tercampur dengan biji atau bagian lain dari alat perkembangbiakan gulma. Penggunaan benih yang murni tanpa campuran biji-biji gulma sangat membantu mencegah infestasi gulma, terutama gulma baru yang terbawa oleh benih ke lokasi lain. Oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk menanam benih berlabel, karena benihnya murni dan tidak tercampuran dengan benih gulma.

Sistem pengairan sudah diakui sebagai suatu metode pengendalian gulma yang efektif untuk tanaan padi sawah. Populasi gulma menurun karena meningkatnya kedalaman air genangan, bahkan pada genangan 1 – 2 cm sudah mampu menurunkan jumlah gulma. Pertumbuhan gulma sangat tertekan pada saat lahan pertanaman digenangi hingga 15 cm. Penggenangan yang dangkal gulma berdaun lebar dan tekian lebih dominan daripada gulma rumputan. Dalam pendekatan PTT dianjurkan sistem irigasi intermitten, berselang-seling dari kondisi genangan yang dangkal hingga tanpa genangan. Hal ini akan memacu pertumbuhan gulma yang padat dengan keragaman jenis gulma yang tinggi. Untuk antisipasi dalam menurunkan pupulasi dan tingkat persaingan pada fase awal pertumbuhan, maka pengendalian gulma harus mendapatkan perhatian yang serius. Persaingan yang kuat pada fase awal merupakan waktu paling kritis bagi pertanaman padi. Persaingan yang kuat pada periode kritis dapat menurunkan hasil hingga 80%.

Varietas padi mempunyai peran dalam mengendalikan gulma secara tidak langsung. Varietas yang berdaun melengkung dan tinggi akan lebih kompetitif dibandingkan varietas yang berdaun tegak dan pendek. Varietas unggul baru (VUB) biasanya mempunyai susunan daun atau kanopi yang tegak unuk meningkatkan efisiensi dalam fotosintesis, sehingga varietas-varietas ini memerlukan waktu yang lebih panjang untuk memenangkan kompetisi. Tiap varietas mempunyai laju pertumbuhan dan perkembangan akar yang berbeda pada awal pertumbuhannya, sehingga menyebabkan tiap varietas mempunyai daya saing terhadap gulma juga berbeda. Varietas dengan laju pertumbuhan yang cepat pada awal fase pertumbuhan sangat diperlukan, guna meningkatkan daya saing pertanaman terhadap gulma.

Pada umumnya, produksi tiap satuan luas yang tinggi tercapai dengan populasi yang tinggi, karena tercapainya penggunaan cahaya secara maksimum pada awal pertumbuhan (Haryadi, 1983). Tanaman padi yang lebih rapat, lebih kompetitif melawan gulma, karena gulma yang berasosiasi dengan tanaman lebih sedikit. Hal ini beralasan karena kebanyakan gulma terdesak pertumbuhannya karena ternaungi (Moody dan De Datta, 1982). Populasi yang optimum dapat mengurangi ruang tumbuh gulma. Pada saat kanopi sudah menutup diharapkan pertumbuhan gulma juga tertekan.

Cara manual

Pengendalian dilakukan dengan tangan tanpa menggunakan alat bantu kerja. Biasanya rumput dicabut dengan tangan lalu dibenamkan dalam lumpur. Untuk jenis gulma yang tidak mati dengan pembenaman dikumpulkan dan dijemur di pematang sawah hingga kering baru dibenamkan. Cara ini masih banyak dilakukan oleh petani di Provinsi Bengkulu, khususnya yang kepemilikannya tidak luas. Cara ini terbukti efektif, karena dapat mengendalikan gulma yang berdekatan ataupun dalam rumpun tanaman padi. Kelemahan pengendalian gula dengan cara ini adalah memerlukan banyak tenaga kerja. Cara mekanis

Pengendalian dilakukan dengan alat bantu kerja yang berupa gasrok atau landak. Cara pengendalian ini cukup efektif dan cepat, tetapi tidak mampu mengendalikan gulma yang tumbuh berdekatan maupun di dalam rumpun tanaman padi. Hasil penelitian pada PTT menunjukkan bahwa penyiangan dengan cara ini cukup efektif dan bahkan mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman. Akar rambut yang tua dirusak oleh alat penyiang sehingga merangsang pertumbuhan akar rambut baru. Akar rambut baru tersebut dapat menyerap usur hara lebih efisien dari dalam tanah.

Cara biologis

Prinsip dari pengendalian dengan cara ini adalah menekan pertumbuhan gulma dengan menggunakan organisme, dan tidak menutup kemungkinan menggunakan mikroorganisme seperti jamur (fungi) dan bakteri (bacteria). Salah satu contohnya adalah dengan mengintegrasikan tanaman padi dengan itik/mentok. Gulma-gulma tertentu dapat dikendalikan dengan efektif karena dimakan oleh itik. Pengendalian dengan cara ini masih jarang dilakukan di Provinsi Bengkulu. Pengendalian dengan cara ini memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup agar efektif.

paling praktis, efektive, dan ekonomis dalam mengurangi masalah gulma, kehilangan hasil dan biaya produksi (Gill et al., 1984; Esterninos dan Moody, 1988). Keuntungan dari peggunaan herbisida diantaranya adalah sebagai berikut:

- Mengurangi tenaga kerja untuk menyiang.

- Efektif mengendalikan gulma-gulma yang tumbuh bersama dengan rumpun padi atau pada areal yang sulit untuk disiangi.

- Lebih cepat dan lebih murah dalam dibandingkan metode penendalian yang lain (Dekker, 1991).

Kondisi yang diinginkan dari penggunaan herbisida adalah untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimum dengan efek samping yang minimum terhadap petani, aplikator herbisida, konsumen dan lingkungan. Bagaimanapun, kondisi ini sangat sulit untuk dicapai secara penuh.

Penggunaan herbisida harus hati-hati karena dapat meracuni bahkan mematikan tanaman padi yang disemprot. Menurut Oudejan (1994) bebarapa kerugian serius dari penggunaan herbisida adalah sebagai berikut:

- Herbisida (pada penggunaan dalam waktu lama secara terus menerus) dapat menyebabkan munculnya gulma-gulma yang resisten/tahan pada herbisida tertentu.

- Beberapa herbisida mempunyai pengaruh negatif yang kuat pada aktivitas biologi dari organisme yang ada di dalam tanah.

- Beberapa herbisida sangat berbahaya bagi aplikator/petani.

- Pengaplikasian herbisida yang aman memerlukan tingkat pengetahuan yang cukup tinggi untuk memilih formulasi herbisida, dosis, waktu dan metode aplikasi yang tepat.

Jenis herbisida, waktu aplikasi, dan dosis dari tiap herbisida harus dipahami oleh petani secara benar. Petani sering salah pilih, salah waktu aplikasi, dan bahkan salah dalam menghitung takaran herbisida yang akan diaplikasikan untuk mengendalikan gulma pada pertanaman padi sawahnya. Kesalahan tersebut sering menimbulkan keracunan pada tanaman padi bila takaran herbisida melebihi dosis yang direkomendasikan oleh produsennya. Sebaliknya bila takarannya jauh dibawah dosis anjuran dari formulatornya menyebabkan pengendalian yang tidak efektif dan harus mengulangi penyemprotan sehingga terjadi pemborosan.

Berdasarkan daya kerjanya, herbisida digolongkan menjadi dua yaitu herbisida selektif dan herbisida non-selektif. Bahan aktif dari herbisida selektif diantaranya propanil, 2,4 D, MCPA, metsulfuron, dan atrazin. Bahan aktif dari

herbisida dikelompokkan dalam herbisida pra-tanam (pre-planting), pra-tumbuh (pre-emergence), awal pasca tumbuh (early post emergence) dan pasca tumbuh (post emergence).

Waktu Pengendalian

Prinsip dari pengendalian gulma adalah mengurangi tingkat kompetisi gulma, sehingga tanaman dapat memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan secara optimal. Pemanfaatan faktor-faktor pertumbuhan secara optimum sangat diperlukan agar pertanaman padi dapat menunjukkan potensi genetiknya.

Waktu yang tepat untuk mengendalikan gulma adalah pada saat awal pertumbuhan yaitu pada periode kritis persaingan gulma dan tanaman. Untuk tanaman padi sawah dengan sistem tanam pindah (transplanting) periode kritisnya adalah pada umur 0 – 30 hst.

Pengendalian gulma yang pertama hendaknya dilakukan pada umur 10 - 15 HST, sebelum pemberian pupuk dasar pada tanaman padi. Pada umur tersebut perkembangan dan pertumbuhan gulma masih rendah sehingga masih mudah dikendalikan baik secara manual, mekanis, maupun khemis. Kondisi ini akan memaksimumkan pertanaman padi, sekaligus meminimumkan gulma dalam bersaing untuk mendapatkan faktor-faktor pertumbuhan yang terbatas.

Pengendalian gulma yang ke dua dilakukan pada kisaran umur 21 – 28 HST, sebelum pemberian pupuk susulan pertama. Tujuan dari penyiangan yang kedua adalah untuk meminimumkan kompetisi antara tanaman padi dengan gulma. Jika tanaman bebas dari gangguan gulma, maka pupuk yang ditambahkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pembentukan anakan aktif dan akhirnya dapat meningkatkan jumlah anakan produktif.

Secara umum penyiangan cukup dilakukan dua kali untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimal. Gulma yang muncul setelah tanaman berumur > 30 HST mempunyai daya kompetisi yang lemah karena ruang pertumbuhan sudah dikuasai oleh pertanaman padi. Pengendalian gulma tambahan hanya dilakukan pada gulma-gulma tertentu seperti E. Cross-gali. Hal ini dilakukan agar spesies gulma tersebut tidak sempat membentuk biji yang dapat menginfestasi/mengganggu pertanaman padi pada musim berikutnya.

t

t Daftar Pustaka

Aldrich, R.J. 1984. Weed-crop Ecology: Principles in Weed Management. Massachusetts: Breton Publishers.

Auld, B.A. 1994. Economic criteria for implementation of weed management. In Weed Managemen for Developing Countries. FAO 120: 239-247.

Badan Litbang Pertanian. 2008 a. PTT Padi gogo. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2008 b. PTT Padi sawah tadah hujan. Jakarta: Badan Litbang

Pertanian.

Badan Litbang Pertanian. 2008c. PTT Padi sawah irigasi. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.

Cobb, A. 1992. Herbicides and Plant Physiology. London: Chapman & Hall.

Dekker, J. 1991. Introduction of tropical grassy weeds. In Tropical Grassy Weeds, ed. Baker F.W.G. and P.J Terry, pp. 1-4. UK: CAB International.

Gardner, F.P. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa State University Press.

Klingman, G.C. and Ashton, F.M. 1982. Weed Science: Principles and Practices. New York: John Wiley & Sons.

Kostermans, A.J.G.H., Wirjahardja, S., Dekker, R.J. 1987. The Weeds: Description, Ecology and Control. In Weeds of rice in Indonesia, ed. Soerjani M., Kostermans, dan G. Tjitrosoepomo, pp 24-564. Jakarta. Balai Pustaka.

Labrada, R. and Parker, C. 1994. Weed control in the context of integrated pest management. In Weed Management for Developing Countries. FAO 120: 3-8. Oudejans, J.H. 1994. Agro-pesticides: Properties and functions in integrated crop

protection. Bangkok: United Nation.

Pons, T.L., Eussen, J.H.H., Utomo, I.H. 1987. Ecology of weeds of rice. In Weeds of rice in Indonesia, ed. Soerjani M., Kostermans, dan G. Tjitrosoepomo, pp 12-23. Jakarta. Balai Pustaka.

Radosevich, S., Holt, J. and Ghersa, C. 1997. Weed ecology: Implication for management. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sahid, I., Hamzah, A., and Aris, P.M. 1992. Effect of paraquat and alachlor on soil microorganism in peat soil. Per anika 15: 121-125.

Soerjani, M. 1987. An introduction to weeds of rice in Indonesia. In Weeds of rice in Indonesia, ed. Soerjani M., Kostermans, dan G. Tjitrosoepomo, pp 1-4. Jakarta. Balai Pustaka.

Terry, P.J. 1991. Grassy weeds: A general overview. In Tropical Grassy Weeds, ed. Baker F.W.G. and P.J Terry, pp. 5-38. UK: CAB International.

Tjitrosoedirdjo, S., Utomo, I.H., and Wiroatmodjo, J. 1984. Weed management in plantation. Jakarta: PT. Gramedia.

8. HAMA DAN PENYAKIT UTAMA TANAMAN PADI

Miswarti

Pendahuluan

Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi. Penggunaan varietas unggul, pemupukan, pengairan dan perbaikan cara bercocok tanam belumlah cukup tanpa adanya pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Kehadiran hama penyakit tanaman, pada kenyataannya baru diketahui setelah terlihatnya gejala pada tanaman, yaitu berupa kerusakan-kerusakan yang diakibatkan dari serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Produksi padi nasional mengalami instabilitas akibat kekeringan dan serangan hama penyakit. Menurut Soetarto dkk, (2001) hama dan penyakit yang dominan dalam kurun waktu 10 tahun terahir adalah tikus dengan luas serangan 124.000 ha/tahun, penggerek batang 80.127 ha/tahun, wereng coklat 28.222 ha/tahun, penyakit tungro 12.078 ha/tahun dan blast 9.778 ha/tahun dengan kehilangan hasil mencapai 212.948 t/GKP/musim tanam.

Cara pengendalian yang tepat adalah menerapkan konsepsi pengendalian secara terpadu, yaitu cara pengendalian dengan menerapkan semua teknik yang cocok dan kompatibel untuk menekan dan mengatur populasi hama / infeksi penyakit dibawah ambang ekonomi. (Frisbie dan Adkinson cit Nagarajan, 1995). Salah satu syarat keberhasilan usaha pengendalian hama dan penyakit padi adalah identifikasi jasad pengganggu dan dibantu dengan pengenalan terhadap gejala serangannya.

Istilah-Istilah yang populer dalam OPT adalah sebagai berikut:

OPT : Organisme yang bersaing dengan tanaman untuk memperebutkan faktor pertumbuhan sehingga mengganggu peningkatan produksi baik kualitas maupun kuantitas. OPT berupa hama, penyakit, dan gulma.

Hama : Serangga atau hewan mamalia yang keberadaannya menimbulkan kerusakan pada tanaman budidaya atau produknya yang menimbulkan kerugian ekonomi. Contoh hewan mamalia (tikus) dan serangga (wereng).

Gulma : Rumput-rumputan yang merugikan, karena kompetisi terhadap faktor pertumbuhan (pupuk) dengan tanaman. Contoh. Rumput teki.

Ambang Ekonomi : Kerapatan populasi hama atau persentase kerusakan akibat hama yang membutuhkan tindakan pengendalian untuk mencegah meningkatnya populasi yang dapat mencapai tingkat luka ekonomi (kerugian).

Dalam dokumen 1. PENDAHULUAN. Tri Sudaryono (Halaman 73-80)

Dokumen terkait