• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODELOGI PENELITIAN

Dalam dokumen Mineralogi dan Sift sifat Kimia Tanah pa (Halaman 88-100)

DARAH SAPI BALI DENGAN BASIS DETEKSI GEN ENV-TM Tri Ananda Erwin Nugroho¹, Asmarani Kusumawati²

METODELOGI PENELITIAN

Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah sapi bali suspect penyakit jembrana dari daerah Barambai-Kalimantan Selatan. Darah sapi bali sehat yang berasal dari Nusa Penida-Bali dan darah sapi Peranakan Ongole (PO) yang digunakan sebagai kontrol negatif. Plasmid rekombinan pGEX-TM yang merupakan plasmid hasil isolasi yang

membawa sisipan gen env-tm, yang akan digunakan sebagai cetakan PCR dan LAMP serta sebagai kontrol positif. Primer yang digunakan untuk reaksi sintesis cDNA yaitu primer B3, reaksi PCR menggunakan primer F3 dan B3, sedangkan untuk reaksi RT-LAMP digunakan primer F3, B3, FIP dan BIP tanpa menggunakan primer Loop. Susunan nukleotida primer yang digunakan tersaji dalam tabel 1.

Tabel 1. Susunan nukleotida primer yang

digunakan dalam proses reverse transcription (RT), PCR dan LAMP (Kusumawati, 2003).

Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA diawali dengan mengambil sampel darah sebanyak 200 µl dan dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml dan diberikan PBS (Phosphate Buffer Saline) kemudian dihomogenasi menggunakan pipet mikro. Suspensi sampel diberi 50 µl proteinase K 20 mg/mL dan 200 µl binding buffer. Suspensi tersebut kemudian dicampur dan diinkubasikan pada suhu 72ºC selama 10 menit. Suspensi ditambahkan lagi dengan 100 µl

binding buffer dan dipindahkan ke dalam

collumn dengan menggunakan mikropipet dan ditutup, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Selesai sentrifugasi, collumn dikeluarkan dari mesin sentrifuse kemudian collection tube yang mengandung filtrat dibuang dan column

dimasukkan ke dalam collection tube baru dan ditambahkan 500 µl inhibitor removal buffer ke dalam tube tersebut. Tabung kemudian disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Setelah column

dikeluarkan dari mesin sentrifuse, collection tube yang mengandung filtrat dibuang dan

column dimasukkan ke dalam collection tube

81

penambahan 450 µl washing buffer. Tahap selanjutnya tabung disentrifuse dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Proses pencucian diulang kembali dan disentrifuse dengan kecepatan 13000 rpm selama 10 detik. Setelah column dikeluarkan dari mesin sentrifuse, buang kembali collection tube

yang mengandung filtrat dan column

dimasukkan ke dalam collection tube baru. Tahap terakhir, column dimasukkan ke dalam tabung microcentrifuge 1,5 ml dan kemudian ditambahkan 50 µl elutionbuffer (nuclease free, sterile, double distilled water). Tabung selanjutnya disentrifugasi kembali pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Setelah itu column dibuang, dan microcentrifuge yang mengandung RNA hasil ekstraksi disimpan pada freezer dengan suhu -80ºC.

RT-PCR

Deteksi virus jembrana dilakukan dalam dua tahap terpisah, dimana tahap pertama dilakukan sintesis cDNA melalui reverse transcription (RT) dari RNA hasil ekstraksi melalui proses transkripsi balik dan tahap kedua adalah amplifikasi cDNA melalui metode PCR.

Reverse Transcriptase

RNA hasil ekstraksi diamplifikasi menggunakan metode two-step RT-PCR. Sintesis cDNA menggunakan enzim avian myeloblastosis virus-reverse transcription

(AMV-RT) dari Promega dimana sampel RNA dan primer reverse B3 (Tabel 1) dipanaskan terlebih dahulu kemudian dicampur dengan komponen sintesis cDNA lainnya.

Sintesis cDNA dilakukan dalam tabung 0,2 ml dengan volume total reaksi 25 µl dengan formasi campuran yaitu 6,25 µl hasil ekstraksi RNA dan 7,5 µl primer B3 (5 µM) dipanaskan pada suhu 70º C selama 10 menit dengan

waterbath kemudian didinginkan dengan es selama 5 menit. Campuran ini selanjutnya ditambahkan dengan 2,5 ul dNTP mix (10 mM), 1,5 µl enzim AMV RT (5 u/µl), 5 µl AMV 5x

Reaction Buffer, 0,1 µl Protector RNAse Inhibitor (40 u/µl), dan 2,15 µl nuclease free water. Tabung yang berisi semua bahan sintesis cDNA kemudian diinkubasi dengan waterba th

pada suhu 37º C selama 60 menit dan

selanjutnya dipanaskan pada suhu 95º C selama 2 menit untuk menghentikan proses reaksi. Setelah proses tersebut, hasil sintesis cDNA sudah dapat diperoleh. Molekul cDNA hasil sintesis ini kemudian akan digunakan pada proses amplifikasi PCR guna memastikan RNA virus merupakan RNA virus jembrana dan akan digunakan pula pada proses amplifikasi LAMP guna konfirmasi virus tersebut.

Polymerase Chain Reaction

Hasil cDNA diamplifikasi menggunakan kit Dream Green PCR Mastermix dari Fermentas. Amplifikasi pada gen target env-tm

sepanjang 211 bp menggunakan primer

forward (F3) dan backward (B3) (Tabel 1). Sebagai pembanding kontrol positif digunakan cetakan berupa plasmid pGEX-TM rekombinan (Kusumawati dkk., 2003).

Hasil cDNA diamplifikasi dalam tabung 0,2 ml dengan volume total 25 µl yang berisi 12,5 µl DreamTaqTM Green PCR Master Mix

2X, 2 µl cetakan cDNA, 2,5 µl primer F3 dan B3 (5 µM) dan 5,5 µl nuclease free water.

Reaksi PCR dilakukan dengan program satu siklus denaturasi awal pada suhu 95° C selama 5 menit diikuti 30 siklus masing- masing dengan tahap denaturasi pada suhu 95° C selama 45 detik, penempelan primer pada suhu 58° C selama 30 detik, perpanjangan pada suhu 72° C selama 45 detik, dilanjutkan dengan satu siklus untuk perpanjangan akhir pada suhu 72° C selama 10 menit. Resep PCR diperoleh berdasarkan hasil optimasi yang telah dilakukan sebelumnya pada jaringan terinfeksi virus jembrana oleh Hendarta (2012). Amplikon dianalisis dengan elektroforesis gel agarose 1.8%.

RT-LAMP

Aplikasi RT-LAMP menggunakan metode

two step RT-LAMP. Metode two step RT- LAMP menggunakan cDNA dari sintesis yang telah dibuat sebelumnya. Primer yang digunakan meliputi primer dalam FIP, BIP dan primer luar F3, B3 (Tabel 1). Volume total reaksi yaitu 25 µL dengan kondisi reaksi mengacu dari hasil optimasi pada jaringan sapi Bali yang terinfeksi virus jembrana oleh Hendarta (2012) dengan cetakan cDNA

82

sebanyak 2 µL. Campuran reaksi RT-LAMP terdiri dari primer dalam masing-masing FIP dan BIP 1,8 µM, primer luar F3 dan B3 masing-masing 0,2 µM, 1,2 mM dNTP mix, 0,6 M betaine, 10 mM MgSO4, 8 unit enzim Bst

DNA polimerase dan 1x buffer reaksi, serta cetakan dengan volume akhir reaksi adalah 25 µL. Reaksi amplifikasi berjalan pada suhu 63° C selama 60 menit dan dihentikan dengan inkubasi pada suhu 63° C selama 4 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik diagnosa RT-LAMP ini diaplikasikan pada sampel darah sapi Bali yang diduga terinfeksi virus penyakit jembrana. Sampel darah yang dipakai dalam penelitian diperoleh dari beberapa peternak di Kecamatan Barambai, Kalimantan Selatan. Laporan dari BPPV Regional V Banjarbaru (Supriyadi dan Fuady, 2010), bahwa daerah tersebut, tepatnya pada kelompok ternak Harapan Makmur Desa Kolam Kiri, Kecamatan Barabai, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, dilaporkan terjadi kasus kematian sapi Bali berjumlah 17 ekor yang diduga akibat penyakit jembrana. Sampel darah diambil dari sapi Bali yang dipelihara di kandang, yang mempunyai riwayat dimana 1 tahun sebelumnya pernah terjadi kasus penyakit jembrana di kawasan tersebut yang menyebabkan kematian sapi Bali. Perbedaan penelitian ini dengan hasil penelitian Hendarta (2012) yaitu pada penelitian ini menggunakan sampel darah sapi yag masih hidup dan masih diduga (suspect) menderita penyakit jembrana, sedangkan pada penelitian Hendarta (2012,) menggunakan jaringan sapi bali yang sengaja di infeksi menggunakan virus jembrana.

Ekstraksi RNA

Hasil ekstraksi RNA diperoleh gambaran pita RNA pada kisaran 10 kbp (Gambar 1). Hasil pengecekan kualitas RNA dengan menggunakan gel elektroforesis 1% terlihat pita putih RNA pada ke lima lajur yang terletak pada 10 bp jika dibandingkan dengan marker. Isolasi RNA dari darah sapi bali suspect

penyakit jembrana menghasilkan konsentrasi RNA yang tipis setelah divisualisasikan pada gel agarose. Hal tersebut bisa berhubungan dengan sifat patologi klinis dari penyakit

jembrana itu sendiri. Wilcox dkk., (1992) mengatakan bahwa pada sapi Bali yang terinfeksi virus jembrana akan mengalami penurunan sel darah putih (leukopenia) akibat rusaknya leukosit darah oleh virus jembrana. Terjadinya leukopenia pada sapi penderita penyakit jembrana ada kaitannya dengan predileksi dari virus jembrana itu sendiri, yaitu berada pada sel-sel mononuklear seperti monosit dan limfosit (Dharma dkk., 1991; 1992; 1994). Kondisi seperti ini bisa diakibatkan juga oleh tahapan penyakit jembrana yang belum terlalu parah. Astawa

dkk., (2006) menyatakan bahwa pada sapi yang masih pada tahap awal terinfeksi virus jembrana maka jumlah virus pada darah sapi (viremia) belum terlalu tinggi. Hasil visualisasi gel elektroforesis menunjukkan gambaran RNA yang masih ada dan utuh untuk kemudian dipakai pada tahapan pengujian selanjutnya.

Gambar 1. Visualisasi ekstraksi RNA darah

sapi bali pada gel elektroforesis 1%. Darah sapi bali (1-5).

RT-PCR

Hasil ekstraksi RNA, kemudian diamplifikasi dengan metode two step RT-PCR. Amplifikasi two step RT-PCR dilakukan karena bertujuan untuk mendapatkan

complemen DNA (cDNA) yang digunakan

sebagai cetakan PCR maupun LAMP. Reaksi PCR menggunakan primer F3 dan B3, sedangkan amplikon dianalisis secara visual menggunakan gel elektroforesis 1,8% dengan pewarnaan etidium bromida.

Hasil amplifikasi memberikan gambaran pita yang spesifik berada di atas marker 200bp (Gambar 2). Hasil reaksi amplifikasi oleh primer F3 dan B3 menunjukkan munculnya pita DNA yang sesuai dengan pita kontrol positif dengan cetakan berupa plasmid

83

rekombinan pGEX-TM yang disisipi gen env- tm yaitu sepanjang 211 bp.

Hasil elektroforesis pada gambar 2 terlihat pita DNA sampel (1-5) yang lebih tipis jika dibandingkan dengan pita kontrol positif. Hal ini bisa diakibatkan oleh penggunaan metode two step RT-PCR. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vanema dkk., (2002) yaitu virus penyakit jembrana merupakan virus RNA

singlestranded yang sangat mudah mengalami degradasi jika digunakan sebagai cetakan RT- PCR.

Gambar 2. Elektroforesis two step RT PCR

darah sapi Bali pada gel elektroforesis 1,8% pada kecepatan 100 volt. Sampel darah sapi bali suspect virus jembrana (1-5). Darah sapi bali dari Nusa Penida Bali (K-). Marker 1000 bp (M).

Perbedaan antara two step RT-PCR dan

one step-RT PCR adalah terletak pada prosesnya. Two step-RT PCR dimulai pada tahap pertama dengan mengubah RNA menjadi cDNA terlebih dahulu dengan enzim reverse transcriptase. Tahap selanjutnya melakukan amplifikasi terhadap cDNA dengan PCR menggunakan enzim Taq DNA polymerase. Begitu sebaliknya dengan one step RT-PCR, kedua tahap pada two step RT-PCR dijalankan dalam satu tabung dan dalam satu proses reaksi. Penggunaan lebih dari satu tabung dan proses pipeting lebih banyak pada metode two step

RT-PCR dibandingkan dengan one step RT- PCR diduga menjadi faktor diperolehnya visualisai pita DNA yang tipis pada gel agarose.

Hasil diagnosa dengan menggunakan two step RT-PCR telah memberikan arti bahwa di dalam darah sapi Bali terperiksa telah di deteksi adanya gen env-tm dari virus jembrana yang menginfeksi. Indikasi tersebut dibuktikan dari munculnya pita DNA pada hasil

elektroforesis sampel 1-5 yang sesuai dengan pita kontrol positif berupa plasmid rekombinan pGEX-TM yang disisipi gen env-tm yaitu sepanjang 211 bp.

RT-LAMP

Hasil visualisasi RT-LAMP yang diperoleh melalui elektroforesis menunjukkan adanya amplifikasi yang berbeda dengan hasil amplifikasi pada RT-PCR dimana visualisasi pada RT-PCR menampilkan band tunggal ketika dielektroforesis pada gel agarose, sedangkan hasil elektroforesis pada RT-LAMP berbentuk struktur yang disebut ladder-like pattern (pola seperti tangga). Hasil visualisasi RT-LAMP tersaji pada gambar 3.

Gambar 3. Elektroforesis two step RT-LAMP

berupa ladder-like patern pada gel agarose 1,8% pada kecepatan 100 volt. Kontrol negatif darah sapi bali dari Nusa Penida (K-). Darah sapi bali suspect virus jembrana (2-6). Kontrol positif menggunakan plasmid pGEX-TM (K+). Darah sapi PO (8) dan darah sapi FH (9).

Kondisi optimasi RT-LAMP yang digunakan dalam uji aplikasi menunjukkan hasil yang sama optimumnya dengan hasil yang diperoleh dalam uji aplikasi RT-LAMP pada jaringan yang terinfeksi virus jembrana oleh Hendarta (2012). Pada percobaan kali ini, waktu reaksi amplifikasi yang diperlukan dalam reaksi amplifikasi RT-LAMP adalah 60 menit dengan kondisi termal yaitu pada suhu 63ºC. Pada penelitian ini ditiadakannya penggunaan primer loop mempengaruhi hasil reaksi dimana proses amplifikasi optimum muncul pada menit ke 60. Berbeda dengan hasil pengujian RT-LAMP pada jaringan terinfeksi virus jembrana dengan menggunakan primer loop oleh Hendarta (2012), dimana pada menit ke 45 telah

84

menunjukkan hasil reaksi amplifikasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nagamine

dkk., (2002) bahwa penggunaan primer loop

dimaksudkan hanya untuk mempercepat hasil proses reaksi amplifikasi penempelan terhadap daerah-daerah tambahan yang tidak terjangkau oleh primer dalam pada LAMP.

Pada gambar 3 dapat dilihat hasil amplifikasi RT-LAMP berupa ladder-like patern (pola tangga) pada gel agaros di beberapa lajur. Pada lajur 2-6 merupakan hasil amplifikasi dari sampel darah sapi Bali yang diduga terinfeksi virus jembrana yang berkesesuaian dengan kontrol positif berupa plasmid pGEX-TM yang juga menunjukkan adanya hasil amplifikasi pada lajur kontrol (K+). Hasil berbeda ditunjukkan pada sampel darah dari sapi PO dan FH yang diletakkan pada lajur kolom no 8 dan 9 yang tidak menunujkkan adanya amplifikasi berupa

ladder-like patern yang berkesesuaian dengan kontrol negatif (K-) berupa darah sapi bali sehat yang terletak pada lajur kontrol negatif (lajur 1) dari amplifikasi pada gel agarose.

Dengan demikian, dari hasil pengujian yang diperoleh dari gambaran amplifikasi pada gel agarose tersebut cukup memberikan arti bahwa aplikasi RT-LAMP untuk mendeteksi virus jembrana dalam darah sapi Bali dengan basis deteksi gen env tm dapat dilakukan.

Hasil deteksi virus jembrana menggunakan RT-LAMP ini dapat memberikan alternatif pilihan perihal deteksi molekuler berbasis gen, mengingat faktor kesederhanaan alat serta efisiensi waktu deteksi dibandingkan dengan RT-PCR. Keseluruhan proses reaksi RT-LAMP memerlukan waktu 60 menit dengan suhu konstan yaitu 63ºC. Alat pemanas suhu yang diperlukan dalam reaksi RT-LAMP dapat berupa pemanas air sederhana berupa waterbath. Berbeda jika dibandingkan dengan metode metode PCR yang memerlukan waktu dalam tiap siklus reaksinya yang memakan waktu lebih dari satu jam serta memerlukan peralatan khusus PCR dalam siklus reaksinya.

Penggunaan primer yang lebih dari satu pasang pada reaksi amplifikasi RT-LAMP pada saat diagnosa gen target yang akan di deteksi memerlukan pertimbangan tersendiri dalam menerapkan metode ini. Menurut Notomi dkk.,

(2000), reaksi RT-LAMP hanya mampu terjadi apabila menggunakan 2 pasang primer yaitu F3/B3 dan FIP/BIP. Berbeda dengan metode RT-PCR dimana penggunaan primer hanya memerlukan satu untai atau sepasang untaian rancangan gen yang akan dideteksi pada proses reaksi amplifikasinya.

KESIMPULAN

Reverse Trascription - Loop Mediated Isothermal Amplification (RT-LAMP) untuk deteksi virus jembrana pada darah sapi bali dengan menggunakan basis deteksi gen env tm

dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, NLP., Suendra IN., Hartaningsih ,N. 2003. Deteksi Protein Pada Limposit Sapi Bali Yang Diinfeksi Virus Jembrana. Buletin Veteriner, BPPV Denpasar, Vol 15 (63) : 49-52. Astawa, Nyoman mantik., Hartaningsih.,

Nining, Agustini., Luh Putu, Tenaya., Wayan Tenaya, Berata., Ketut, dan Widiyanti., Lup Putu Manik. 2006. Pelacakan Antigen Virus Penyakit Jembrana pada Limfosit darah Tepi Dengan Antibodi Monoklonal. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas udayana. Bali.

Batan, I. Wayan., Pemayun, T.O.G., Leestyawati, I Wayan., Sampurna, I Putu., Dharmawan, I. N. S., dan Suarsana, I.N. 2002. Sapi Bali dan Penyakitnya. Fakultas Kedokteran Hewan-Universitas Udayana. Bali. Burkala, E.J. Ellis, T.M., Voigt, V., and wilcox,

G.E. 1998. Serological Evidence of an Australian bovine Lentivirus. Vet. Microbiol. 68 : 171-177.

Chadwick BJ, Coelen RJ, Wilcox GE, Sammels LM and Kertayadnya.1995. Nucleotide Sequence Analysis of Jembrana Disease Virus a Bovine Lentivirus Associated With an Acute Disease

85

Syndrome. J. Gen Virol, 76 : 1637- 50.

Dharma, D.M.N., Budiantono, A., Campbell, R.S.F., Wilcox, G.E. (1991). Studies of experimental Jembrana disease in Bali cattle. III. Pathology. Journal Comparative Pathology, 105 : 397- 414.

Dharma, D.M.N. 1992. Studies on the Pathology of Jembrana Disease. Thesis. For Degree of Doctor of Phylosophy in the Graduate School of Tropical Veterinary Science and Agriculture. Queensland. James Cook University. Vet. Microbiol.80.

Dharma, D.M.N., Ladds, P.W., Wilcox, G.E., Campbell, R.S.F. (1994). Immunopathology of experimental Jembrana disease in Bali cattle.

Veterinary Immunology

Immunopathology.

Hartaningsih, N., Wilcox G. E., Kertayadnya G. and Astawa M. (1993). Antibody response to Jembrana disease virus in Bali cattle. Veterinary Microbiology, 39 : 15-23.

Hartaningsih, N., Cokorda, Kresna Ananda., Edith, Hendartie., Jimmy, Kalianda., Sulaksono, Hadi., dan Nancy, H. 2005. Investigasi wabah penyakit sapi Bali di Kabupaten Long Ikis Kalimantan Timur. Buletin Veteriner BPPV Regional VI Denpasar (inpress).

Hendarta, N. Y. 2012. Deteksi Virus Penyakit Jembrana Dengan Reverse Transcription Loop-Mediated Isothermal Amplification (RT- LAMP) Pada Target Gen env-tm. Program Studi Bioteknologi. Jurusan Antar Bidang. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kertayadnya, G., S. Soeharsono, N. Hartaningsih and G.E.Wilcox. 1997. Physicochemical characteristics of a virus associated wit h Jembrana disease Workshop on Jembrana Disease and the bovine lentivirus Denpasar Bali. ACIAR Proceeding. Kusumawati A, Hidayat B,Sardjono B and Sri

Widada. 2003. Isolation- Amplification on env-Tm sub-unit Genes of Jembrana Disease Virus by single step RT-PCR and its Cloning in pCR2.1-TOPO Plasmid. Buletin Peternakan, 27.

Nagamine K, Watanabe K, Ohtsuka K, Hase T, Notomi T. 2001. Loopmediated Isothermal Amplification Reaction Using A Nondenaturated Template.

ClinicalChemistry, 47 (9) : 174. Notomi T, Okayama H, Yonekawa T, Watanabe

K, Amino N, Hase T. 2000. Loop- mediated isothermal amplification of DNA. Nucleic Acids Res, 28 (12) : 63.

Supartika, I.K.E., Budiantono, A. dan Hartaningsih, N (2001). Aplikasi Teknik Immunositokimia Untuk Mendeteksi Antigen Jembrana Pada Sel Mononuklear Sapi Bali Yang Diinfeksi Penyakit Jembrana.

Buletin Veteriner, 13 (59) : 16 - 22. Supriyadi, A., Fuady, A. A. 2010. Penyidikan

Kasus Penyakit Jembrana di Peternakan Sapi Bali Harapan Makmur Kabupaten Barito Kuala- Kalimantan Selatan. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V Banjarbaru.

Tenaya, Masa, I.W., Kresna Ananda, C. Dan Hartaningsih, N. (2003). Deteksi Proviral DNA virus Jembrana pada limposit sapi Bali dengan uji polymerase chain reactions (PCR)

Buletin Veteriner, BPPV Denpasar, 15 (63) : 44-48.

86

Vennema, H., E. De Bruin and M. Koopmans. 2002. Rational Optimization of Generic Primers Used for Norwalk- like Virus Detection by Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction. J. Clin. Virol. 25(2): 233- 235.

Wilcox GE, Kertayadnya G, Hartaningsih N, Dharma DMN, Seharsono S, Robetson T, 1992. Evidence for Viral Etiology of Jembrana Disease in Bali Cattle. Vet. Micro, 33:367- 374.

87

PENDUGAAN CARBON POHON NANTU (

Palaqium obovatun

Engl)

DAN BERINGIN (

Ficus nervosa

Heyne) PADA HUTAN NANTU-BOLIYOHUTO

Marini Susanti Hamidun

Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo

marinish70@gmail.com

Abstrak

Hutan menyerap CO2dari udara melalui proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai biomassa hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi carbon tersimpan atas permukaan tana, yaitu batang pada pohon Nantu (Palaqium obovatum Engl) dan pohon beringin (Ficus nervosa Heyne) pada kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto. Perhitungan pendugaan carbon dilakukan menggunakan persamaan alometrik, yang dihitung berdasarkan diameter pohon 1,3 m di atas permukaan tanah atau banir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon nantu (Palaqium obovatum Engl) memiliki kemampuan menyimpan carbon sebanyak 76 ton/Ha, sedangkan pohon beringin(Ficus nervosa Heyne) mampu menyimpan carbon sebesar 119 ton/ha.

Kata kunci: pendugaan carbon, Palaqium obovatum EngL, Ficus nervosa Heyne, Hutan Nantu- Boliyohuto

1. PENDAHULUAN

Hutan mempunyai peranan sebagai penyerap karbon dan mulai menjadi sorotan dunia pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan peningkatan suhu udara yang mengakibatkan pemanasan global, dan perubahan iklim. Pemanasan global dan perubahan Iklim terjadi akibat adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang terjadi akibat aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara); pengelolaan hutan yang tidak tepat, seperti kebakaran hutan, illegal logging, alih fungsi hutan, serta kegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan.

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming).

GRK yang penting diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrousoksida

(N2O). Carbondioksida (CO2) memiliki kontribusi lebih dari 55% terhadap kandungan GRK, maka dari itu CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Dalam rangka pemanfaatan fungsi hutan sebagai penyerap carbon melalui sebuah kerangka carbon trade sangat diperlukan upaya mengkuantifikasi berapa besar karbon yang dapat diserap dan disimpan (C-stock) oleh hutan.

Hutan tropis merupakan penyerap carbon terbesar dan memainkan peranan yang penting dalam siklus carbon global, dan dapat menyimpan carbon sekurang-kurangnya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan tipe vegetasi lain, seperti padang rumput, tanaman semusin dan tundra (Holdgate, 1995 dalam Litbang Kehutanan, 2010)

Di permukaan bumi, karbon disimpan pada setiap organisme, misalnya pohon. CO2 pada tanaman terkumpul sebagai karbon pada jaringan tubuh tanaman. Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang tersimpan dalam vegetasi hutan karena 50% biomassa tersusun oleh karbon.

Kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 204 jenis, yang

88

terdiri dari tingkat pohon, tiang, dan pancang, yang membentuk tipe-tipe vegetasi. Vegetasi hutannya banyak didominasi oleh tegakan pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk mahkota yang sangat rapat. Terdapat berbagai pohon berukuran raksasa dan tersebar di berbagai tempat. Ukuran pohon terbesar yang dijumpai mempunyai diameter 400 cm. Umumnya pohon-pohon yang berukuran besar juga merupakan pohon yang mempunyai nilai INP tinggi, yang artinya jenis pohon yang dominan di kawasan tersebut. Sebaran vegetasi tumbuhan ini mendiami hampir seluruh tipe habitat kawasan hutan hujan tropis kawasan ini (Hamidun, 2012; Hamidun & Baderan, 2013).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi carbon tersimpan atas permukaan tanah pada pohon Nantu (Palaqium obovatum Engl) dan pohon beringin (Ficus nervosa Heyne) pada kawasan Hutan Nantu- Boliyohuto.

2. KAJIAN LITERATUR

Komunitas tumbuhan (pepohonan) dalam hutan sangat berperan dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Secara alami karbondioksida (CO2) di udara (atmosfer) dapat diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis. Carbondioksida yang telah diserap kemudian diubah menjadi bahan organik (pati) yang disimpan dalam batang, cabang, daun, akar, bunga dan buah. Semakin besar ukuran tumbuhan/ pohon, maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap gas karbon dioksida dari atmosfer. Sri Muliyani (2014) mencontohkan bahwa pohon yang memiliki

Dalam dokumen Mineralogi dan Sift sifat Kimia Tanah pa (Halaman 88-100)