2.2. Tinjauan Khusus
2.2.4. Metodologi untuk Meningkatkan Jumlah Anak pada Program Pengembangan
Salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan pengelolaan produksi
adalah meningkatnya jumlah anak yang dilahirkan. Tetapi peningkatan ini juga harus didukung oleh interaksi berbagai faktor yang berpengaruh. Jainudeen dan
Hafez dalam Hafez (1987) mengemukakan suatu metode yang tersaji dalam Gambar 1 yang digunakan untuk meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan beserta hal-hal yang berpengaruh di dalamnya.
Sumber: Jainudeen dan Hafez dalam Hafez (1987)
Musim Pengembangbiakan ( Musim Kawin)
Musim kawin dapat didefinisikan sebagai suatu musim dalam satu tahun dimana suatu jenis hewan menampakan aktivitas perkawinan. Pada hewan betina dewasa ataupun yang baru pubertas akan memperlihatkan gejala berahi (Partodihardjo, 1995). Sapi berpola kawin tanpa musim. Penelitian menunjukan bahwa fertilitas tertinggi pada musim semi dan terendah pada musim dingin dan musim panas (Mc Donald, 1980). Sedangkan munurut Robert (1971) adanya kecenderungan yang kuat bahwa sapi melahirkan pada musim semi. Hal ini berkaitan erat dengan ketersediaan pakan yang ada.
Menurut Pastika dan Darmadja yang dikutip Hardjosubroto (1984), sapi Bali menunjukan gejala berahi secara musiman, yaitu 66 persen berahi diantara bulan Agustus dan Januari dan 70,9 persen dari kelahiran terjadi antara bulan Mei dan Oktober. Kirby (1989) menyatakan bahwa, sapi Bali menunjukan perkawinan antara bulan September sampai Desember dan kelahiran antar bulan Juni sampai September. Pola musiman ini mungkin dipengaruhi oleh faktor tersedianya pakan pada musim tertentu yang menjamin kelancaran proses reproduksi.
Dara siap Kawin Fertilitas Musim kawin
Manajemen
Kebuntingan
Days open
Jumlah anak lahir
Kesehatan kelompok Anak yang hidup
Gambar 1. Metodologi untuk Meningkatkan Jumlah Anak pada Program Pengembangan Sapi Potong
Sapi Ongole tidak menunjukan adanya berahi secara musiman. Namun demikian 40 persen lahir di musim hujan, dan 60 persen lahir di musim kering. Hal ini berkaitan dengan fluktuasi rumput dari musim ke musim yang kemungkinan mempengaruhi kesuburan sapi dan mungkin juga penggunaan sapi sebagai tenaga kerja dalam mengolah sawah (Hardjosubroto, 1994).
Kesuburan Pejantan dan Betina
Pada sapi potong dengan program perkawinan secara alam, peranan pejantan menjadi sangat besar artinya dalam menentukan berapa banyak telah terjadi kebuntingan dan kelahiran. Pejantan harus mampu menghasilkan mani (spermatozoa) dengan tingkat kesuburan yang tinggi yang didukung oleh nafsu untuk mengawini (libido) yang tinggi pula serta stamina dan fisik yang baik.
Diperkirakan 1 dari 5 pejantan (20 persen) menderita problem kesuburan. Problem yang terlihat antara lain keluarnya penis yang berlebihan, kelemahan atau gangguan pada alat gerak, kegagalan turunnya testis pada tempat yang normal, menurunya libido karena faktor pemeliharaan. Pemeriksaan pejantan untuk program perkawinan menurut Hunter (1982) diperlukan sedikitnya 3 syarat yaitu :
1. Penampilan fisik termasuk alat kelamin
Seekor pejantan yang baik secara fisik harus terlihat mampu bekerja, berjalan dengan baik, melihat, mencium, dan memiliki kemampuan untuk melayani setiap betina berahi.
2. Kualitas semen
Penilaian kualitas semen didasarkan atas pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis semen. Pemeriksaan makroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, bau dan pH. Sedangkan mikroskopis terdiri dari gerakan massa, motilitas, jarak antar kepala, konsentrasi dan abnormalitas sperma.
3. Nafsu mengawini betina (libido)
Dalam keadaan normal pejantan harus mampu melayani betina yang berahi antara 3-5 menit.
Gangguan reproduksi pada sapi betina dapat berupa penurunan tingkat kesuburan (infertil). Gangguan ini bersifat sementara dan dapat ditanggulangi. Manifestasi dari gangguan infertilitas menurut Arthur et al. (1989) antara lain
Calving Interval lebih dari 400 hari, days open lebih dari 120 hari dan S/C lebih dari 2. Gangguan lain berupa penghentian kemampuan reproduksi (steril). Pada keadaan ini sapi betina tidak lagi memperlihatkan proses reproduksi pada berbagai tahap. Penyebab dari sterilitas bisa karena infeksi oleh mikroorganisme spesifik dan aspesifik serta faktor non infeksi seperti genetik, manajemen, pakan, hormonal, kongenital (Partodihardjo, 1995).
Perkawinan pada dara
Pubertas adalah fase perkembangan tubuh dimana pada hewan jantan dan betina mulai terjadi proses dewasa kelamin yang ditandai oleh kemampuan menghasilkan benih untuk yang pertama kali (Partodihardjo, 1995). Pada hewan betina dimulai dengan saat pertama kali timbulnya tingkah laku berahi (estrus) diiringi perkembangan folikel dalam ovarium. Sedangkan pada hewan jantan pubertas ini ditandai dengan sifat-sifat kelamin sekunder, keinginan untuk kawin, kesanggupan untuk berkopulasi dan menghasilkan spermatozoa yang dapat membuahi (Toelihere,1979).
Kebanyakan hewan betina mencapai dewasa kelamin sebelum dewasa tubuh tercapai. Sapi potong yang dipelihara secara ekstensif kadang-kadang waktu memperlihatkan gejala berahi dikawini oleh pejantan dalam kelompok tersebut. Jadi sapi betina sebaiknya dikawinkan berdasarkan ukuran besar dan berat badan dan tidak berdasarkan umur. Sapi FH dan Sapi Bali sebaiknya dikawini pada berat masing-masing 300-200 kg. Berat ini tercapai pada umur yang berbeda tergantung pada tingkatan energi yang dikonsumsi. Sapi Bali yang dipelihara secara tradisional dengan memakan rumput lapangan mungkin tercapai berat 200 kg pada umur 3-4 tahun. Di daerah lain dengan rumput berlimpah dan kualitas makanan yang lebuh baik, berat tersebut mungkin tercapai pada umur 2-3 tahun (Toelihere, 1985).
Kebuntingan
Periode kebuntingan adalah jangka waktu sejak pembuahan atau konsepsi sampai partus atau kelahiran anak (Toelihere, 1985). Jika tidak diikuti oleh kelahiran normal, proses kebuntingan tersebut tidak berarti. Selama proses kebuntingan, beban induk menjadi bertambah, dimana uterus harus berkembang
untuk menunjang janin yang tumbuh. Otot-ototnya harus cukup kuat sehingga kelak dapat digunakan untuk merejan pada saat partus, dinding uterus dimodifikasi untuk dapat menampung janin, pembentukan plasenta dan sebagainya (Pane, 1996).
Lama kebuntingan ditentukan secara genetis, tetapi dapat dipengaruhi oleh faktor maternal, fetal, dan lingkungan. faktor maternal misalnya umur induk yang lebih muda memiliki masa kebuntingan yang lebih pendek dibandingkan sapi induk yang lebih tua. Kemudian jumlah fetus yang lebih banyak pada hewan monotokus mempunyai masa kebuntingan yang lebih singkat. Faktor lain adalah kelamin fetus yang dikandung. Anak kandung jantan lebih memperlama kebuntingan dibandingkan anak kandung betina. Masa kebuntingan juga bisa diperpanjang karena tingkat nutrisi yang rendah (Toelihere, 1985). Selama masa kebuntingan sapi betina perlu diperhatikan nutrisi dan kesehatannya. Jangan terlalu dipekerjakan berat pada yang telah biasa menggunakan sapi untuk mengolah lahan pertanian, untuk menghindari terjadinya keguguran akibat benturan atau hal lain (Sugeng, 1992).
Menurut Mc Donald (1980), masa kebuntingan pada sapi potong berkisar 279-283 hari. Seorang peternak harus mengetahui kapan ternaknya menjadi bunting karena memiliki arti ekonomi yang besar. Toelihere (1981) mengemukakan bahwa cara yang paling sesuai dan praktis untuk mendiagnosa kebuntingan pada sapi adalah dengan palpasi per rektal.
Anak yang hidup
Dua kejadian pada periode kelahiran yang sering menjadi permasalahan reproduksi adalah kelahiran abnormal atau kesulitan melahirkan (distokia) dan kelahiran pedet yang lemah atau mati (Hardjopranjoto,1991).
Ada dua penyebab yang menimbulkan kejadian distokia lebih sering ditemukan pada hewan yang dikandangkan terus menerus dan tidak diberi kesempatan untuk bergerak terutama pada waktu bunting. Kebebasan bergerak dari ternak ini akan mempertinggi tonus tubuh, kekuatan, daya tahan tubuh dan akan menghasilkan kontraksi perejanan yang lebih kuat, tidak mudah letih, partus akan berlangsung cepat. Sebab dasar distokia antara lain karena faktor herediter,
nutrisi dan manajemen, adanya penyakit menular, traumatik. Sedangkan sebab langsung berasal dari fetal atau maternal (Toelihere, 1985).
Kelahiran pedet yang lemah dan mati masih banyak dilaporkan oleh peternak (Hardjopranjoto,1991). Kematian pedet muda artinya pedet mati pada umur kurang dari satu minggu, menurut Hunter (1982) dapat disebabkan oleh kekurangan pakan pada waktu kebuntingan muda, gangguan plasenta, gangguan kelahiran, pedet mengalami aspeksia hipertemia, gangguan menyusui karena penolakan induk, berat badan yang rendah, anemia atau defisiensi mineral yang diderita pedet.
Kesehatan Kelompok
Faktor yang mempengaruhi produksi disamping penampakan genetik dan pakan adalah faktor lingkungan baik kondisi alam maupun penyakit. Penanganan masalah kesehatan ternak merupakan mata rantai kegiatan yang menjamin keberhasilan perkembangbiakan dan peningkatan produksi ternak. Penanganan secara maksimal memang belum memungkinkan dalam pola peternakan tradisional seperti Indonesia. Untuk menunjang program kesehatan dalam kelompok sapi selain diberikan pakan yang cukup baik kualitas maupun kuantitas, dilakukan pula berbagai tindak pencegahan seperti menjaga sanitasi lingkungan baik kandang, ternak, peralatan maupun pegawai, program vaksinasi dan pemberian obat-obatan dengan dosis pencegahan (Sugeng, 1992).
Pencatatan (Recording)
Salah satu kelemahan peternakan rakyat adalah pendataan. Peternak kurang menyadari arti pendataan. Padahal tanpa pendataan agak sulit untuk merencanakan perkembangan peternakan dan menghitung keuntungan berdasarkan analisa ekonomi. Menurut Rahardi et al. (1992), secara umum
recording biasanya menyangkut hal-hal berikut:
1. Asal –usul atau silsilah ternak termasuk bangsa ternak
2. Kapasitas produksi (umur, pertambahan berat badan, produksi daging dan sebagainya).
3. Kapasitas reproduksi (kesuburan ternak, jumlah anak yang lahir dan hidup normal, umur pertama kali kawin, siklus berahi, lama kebuntingan, keadaan waktu melahirkan, kemampuan untuk membesarkan anak dan sebagainya). 4. Tingkat kesehatan ternak
5. Catatan nutrisi