• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Ternak Brahman Cross Regional Sumatera

Regional Sumatera mendapatkan distribusi sapi Brahman Cross bunting sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Pada tahun 2006, dibagikan ternak sapi betina bunting sebanyak 432 ekor kepada masyarakat di pulau Sumatera, tahun 2007 sebanyak 1.564 ekor, dan pada tahun 2008 sebanyak 632 ekor. Pulau Sumatera secara total mendapatkan 2.628 ekor.

Pada tahun 2006 sapi Brahman Cross dibagikan kepada 6 kabupaten di 4 propinsi, yaitu Kabupaten Pesisir Selatan di Sumatera Barat, Kuantan Singingi di Riau, Musi Banyuasin dan BPTU Sembawa di Sumatera Selatan, serta Kabupaten Lampung Selatan dan Tulang Bawang di propinsi Lampung. Hasil pelaporan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2006 (Data 2008) Regional Sumatera

PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2006 (Data 2008) Regional Sumatera

No Prop JIA KA Tot TR KT PT BK JA JR SD J B I A I A 1 Sumbar 96 26 44 70 70 11 7 0 0 0 155 148 7 2 Riau 48 23 22 45 45 2 5 0 0 9 91 86 5 3 SumSel 192 59 73 132 132 6 35 2 26 30 290 255 35 4 Lampung 96 50 34 84 84 6 11 0 0 6 174 163 11 Jumlah 432 158 173 331 331 25 58 2 26 45 710 652 58 Sumber: Diolah, 2012

Data diatas menunjukkan perkembangan ternak Brahman Cross pembagian tahun 2006 di pulau Sumatera. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari Dinas Peternakan pada tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 76,6%. Pedet yang dilahirkan 47,7% berjenis kelamin jantan dan 52,3% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2006-2008 sebesar 5,8%. Tingkat kematian anak sekitar 17,5%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 10,4%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 58 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti.

Kebuntingan merupakan penentu keputusan apakah sapi betina diberikan ke peternak ataupun tidak. Banyak laporan yang tidak menyebutkan sumber yang

Indonesia. Faktor pengiriman yang tidak baik dan benar dapat juga menggugurkan kebuntingan sapi betina yang dikirim.

Kelahiran pedet yang sudah dinanti peternak merupakan suatu keberhasilan pemeliharaan oleh peternak terhadap sapi betina bunting. Pengetahuan tentang sapi mutlak diperlukan ketika seseorang ingin beternak. Penanganan pedet baru lahir sangat menentukan daya hidup pedet tersebut.

Tingkat kelahiran di pulau Sumatera pada pembagian sapi indukan periode 2006 lebih rendah daripada pulau Jawa. Ada kemungkinan hal tersebut terjadi karena transportasi indukan yang jauh dari pulau Jawa. Secara genetis, peluang anakan jantan dan betina berbanding 1:1 (Arthur et al., 1989). Perbandingan pedet jantan dan betina yang lahir di pulau Sumatera hampir menyamai perbandingan tersebut.

Pada tahun 2009, dilakukan monitoring dan evaluasi lanjutan untuk pembagian sapi periode tahun 2006 di pulau Sumatera. Data yang didapat menunjukkan adanya penambahan pedet di Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sumatera Barat mengindikasikan kesalahan pelaporan yang cukup besar. Kelahiran ternak yang mencapai 70 ekor pada evaluasi tahun 2008 menjadi hanya 40 ekor pada evaluasi tahun 2009. Bisa jadi evaluator tidak memeriksa catatan 2008 atau evaluator yang turun ke lapangan berbeda sehingga data yang didapatkan berubah.

Tingkat kematian ternak di pulau Sumatera pembagian 2006 bertambah kecuali kematian induk di Riau dan kematian pedet di Sumatera Selatan dan Lampung. Kematian induk di daerah selain Riau mencapai 21 ekor dan kematian pedet mencapai 20 ekor. Evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 belum berhasil menekan tingkat kematian ternak di Pulau Sumatera.

Perkembangan sapi di pulau Sumatera pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah. Kabupaten yang mendapatkan bantuan sapi adalah Simalungun (Sumatera Utara); Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru (Riau); Limapuluh Kota (Sumatera Barat); Batang Hari dan Kerinci (Jambi); Musi Banyuasin, OKI, Musi Rawas, OKU Timur, dan OKU (Sumatera Selatan); Muko-muko dan Rejang Lebong (Bengkulu); Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung Tengah

(Lampung). Total pembagian sapi di pulau Sumatera periode 2007 adalah 1.564 ekor.

Tabel 4. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2007 (Data 2008) Regional Sumatera

PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2007 (Data 2008) Regional Sumatera

No Propinsi JIA KA Tot TR KT BK JA JR SD J B I A 1 Sumut 98 26 34 60 60 1 17 10 157 140 17 2 Riau 148 45 67 112 112 1 27 13 259 232 27 3 Sumbar 300 53 51 104 104 6 5 0 398 393 5 4 Jambi 147 42 56 98 98 4 13 20 241 228 13 5 SumSel 370 90 84 174 174 10 6 0 534 528 6 6 Bengkulu 200 65 70 135 135 7 8 0 328 320 8 7 Lampung 301 89 92 181 181 5 27 0 477 450 27 Jumlah 1564 410 454 864 864 34 103 43 2394 2291 103 Sumber: Diolah, 2012

Data diatas menunjukkan perkembangan ternak Brahman Cross pembagian tahun 2007 di pulau Sumatera. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada tahun 2008. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 55,2%. Pedet yang dilahirkan 47,5% berjenis kelamin jantan dan 52,5% betina. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2007-2008 sebesar 2,2%. Tingkat kematian anak sekitar 11,9%. Persentase sapi indukan bunting kembali adalah 2,7%. Data yang tersaji di laporan pengamatan oleh dinas peternakan memiliki selisih 103 ekor dengan perhitungan yang dilakukan oleh peneliti.

Persentase kelahiran di pulau Sumatera pada periode pembagian tahun 2007 merupakan tingkat kelahiran terendah diantara ketiga regional (Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia) akan tetapi tingkat kematian induk paling rendah diantara ketiga regional tersebut. Setelah melahirkan, diharapkan sapi-sapi indukan yang dibagikan bunting kembali. Sapi-sapi induk di pulau Sumatera memiliki persentase kebuntingan kembali yang sangat kecil dibandingkan pulau-pulau lainnya.

Tingkat kebuntingan kembali yang sangat rendah dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya malnutrisi, kemajiran, anestrus postpartum, silent heat, dan kegagalan inseminasi buatan (IB).

Malnutrisi pada sapi Brahman Cross yang dibagikan kepada masyarakat dapat disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat (peternak dan kelompok ternak) tentang angka kecukupan gizi sapi Brahman Cross. Sebagai sapi hasil persilangan antara Bos taurus dan Bos indicus, sapi Brahman Cross membutuhkan asupan mineral yang cukup tinggi dan tingkat pakan yang lebih baik daripada sapi-sapi lokal Indonesia.

Kemajiran yang dialami sapi Brahman Cross post partus bisa disebabkan karena adanya infeksi bakteri yang terjadi didalam uterus. Proses kelahiran yang tidak normal, misalkan terjadinya retensio secundinae dapat menyebabkan infeksi yang menjalar kedalam uterus.

Penanganan kemajiran pada sapi potong merupakan hal yang bisa dilakukan, akan tetapi membawa dampak negatif yang cukup besar. Ada peluang terjadinya infeksi berulang atau hilangnya kemampuan untuk bunting lagi. Adapun waktu yang diperlukan cukup lama, sehingga dalam program perbibitan, sapi-sapi yang mengalami kemajiran hendaknya di-culling atau tidak dimasukkan dalam program breeding lagi.

Anestrus postpartum dapat disebabkan oleh malnutrisi (kekurangan pakan, baik secara umum atau nutrisi tertentu), abnormalitas ovarium (cystic ovary), dan faktor uterus (peradangan, dan pyometra)

Silent heat dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian atau observasi yang

tidak sesuai standar (2 kali sehari), stress panas (thermal stress), malnutrisi, dan lingkungan (McDonald’s, 1980). Kasus yang terjadi pada para peternak di lapangan adalah malnutrisi dan berahi yang tidak teramati. Kesibukan dan kurangnya pengetahuan peternak merupakan unsur utama terjadinya kasus ini.

Nutrisi yang kurang merupakan alasan kedua terjadinya kasus silent heat. Pengetahuan peternak yang kurang tentang pemeliharaan secara umum, dan khususnya tentang pakan membuat sapi yang dibagikan mengalami malnutrisi.

Jainudeen dan Hafez (1974) menyatakan bahwa tingkat energi memiliki efek yang cukup besar pada aktifitas ovarium. Kekurangan nutrisi menekan timbulnya estrus, dan efeknya lebih besar pada sapi dara yang sedang berkembang daripada sapi induk.

Defisiensi mineral atau vitamin dapat juga menyebabkan anestrus. Defisiensi phospor pada sapi gembala menyebabkan disfungsi ovari yang akhirnya dapat menyebabkan pubertas yang tehambat, tanda-tanda estrus yang tidak jelas, bahkan gangguan siklus estrus yang permanen. Defisiensi vitamin A atau E bisa menyebabkan siklus estrus yang tidak teratur atau anestrus.

Repeat breeding dapat disebabkan oleh kegagalan fertilisasi dan mortalitas

embrio tahap awal. Kegagalan reproduksi dapat ditentukan dari jarak antara inseminasi dan estrus berikutnya. Selang waktu antara inseminasi dan estrus yang sama dengan siklus estrus menunjukkan adanya kegagalan fertilisasi atau kematian embrio yang sangat dini. Jarak yang diperpanjang dapat mengindikasikan adanya kematian embrio tahap akhir.

Kegagalan reproduksi dapat juga didasari oleh kegagalan inseminasi buatan (transportasi atau kualitas sperma yang kurang baik, teknik dan waktu inseminasi, dan deteksi estrus yang kurang baik), ovum yang abnormal, atau abnormalitas saluran kelamin betina. Sapi brahman Cross yang dibagikan kepada para peternak merupakan sapi silangan yang secara genetik sudah tercampur dengan banyak ras. Keragaman genetik yang ada pada sapi Brahman Cross dapat pula menyebabkan adanya perubahan secara anatomis pada saluran reproduksi betina.

Sebanyak 632 ekor sapi dibagikan di pulau Sumatera dari total jumlah sapi yang dibagikan pada tahun 2008 sebanyak 1.946 ekor. Sebagian besar daerah belum melaporkan kelahiran dengan persentase yang cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan karena evaluasi dan monitoring dilaksanakan pada awal tahun 2009. Perkembangan sapi di pulau Sumatera dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah.

Tabel 5. Perkembangan Ternak Brahman Cross Tahun 2008 (Data 2009) Regional Sumatera

PERKEMBANGAN TERNAK BRAHMAN CROSS TAHUN 2008 (Data 2009) Regional Sumatera

No Propinsi Jumlah Induk Awal

Kelahiran Anak Kematian Ternak Anak % Induk % Anak % 1 Sumsel 102 9 8,8 1 1,0 0 0,0 2 Bengkulu 80 3 3,8 0 0,0 0 0,0 3 Lampung 450 199 44,2 7 1,6 35 17,6

Data diatas menunjukkan perkembangan ternak Brahman Cross pembagian tahun 2008 di pulau Sumatera. Pemeriksaan dan pelaporan dilakukan oleh petugas dari dinas peternakan pada awal tahun 2009. Persentase kelahiran dari induk yang dibagikan adalah 33,4%. Pedet yang dilahirkan tidak dilaporkan jenis kelaminnya. Indukan yang mati dalam masa perawatan 2007-2009 sebesar 1,3%. Tingkat kematian anak sekitar 16,6%.

Pelbagai permasalahan yang ada di lapangan merupakan hal yang harus kita cari solusinya demi perbaikan program PSDSK 2014. Adapun permasalahan yang ditemukan adalah yang berkaitan dengan ternak secara langsung, seperti anestrus postpartum, silent heat, repeat breeding, tingkat kecacingan tinggi, malnutrisi, dan kemajiran.

Tingkat kecacingan yang tinggi dapat disebabkan oleh tidak adanya penanggulangan kecacingan sebelum sapi dibagikan kepada masyarakat. pada pelaksanaannya, peternak dan kelompok ternak boleh jadi tidak mengetahui adanya kecacingan yang diderita oleh sapi peliharaannya. Wilayah dan teknik pencarian pakan yang tidak baik juga dapat mengakibatkan atau meningkatkan kondisi kecacingan pada ternak sapi.

Permasalahan yang disebabkan oleh pemerintah, seperti kurangnya air tawar di daerah tertentu, tidak tersedianya semen Brahman, kesulitan mendapatkan straw, sapi kekurangan pakan, kurangnya pemahaman peternak terhadap reproduksi dan pemeliharaan, kandang tidak sesuai standar (rapat, pengap, kurang ventilasi, kotor, sempit, dan tidak ada umbaran), dan IB massal tanpa pemeriksaan estrus terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya, evaluasi dilaksanakan kembali pada tahun 2009. Data yang didapatkan menunjukkan adanya kelahiran ternak yang bertambah sejumlah 230 ekor. Ada kesalahan pelaporan yang menyatakan kelahiran hanya 102 ekor di Riau dan 104 ekor di Bengkulu. Hal ini berarti ada penurunan angka kelahiran sebanyak 41 ekor di kedua daerah tersebut. Penambahan kematian ternak induk sebanyak 80 ekor dan kematian pedet sebanyak 73 ekor terjadi di Sumatera. Ada perbaikan manajemen di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Tingkat kematian pedet tidak bertambah, yang berarti perbaikan dalam pemeliharaan pedet.