• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODAL MANUSIA DAN PENGUKURANNYA

Bayu Kharisma

9. KEPENDUDUKAN DAN PENDIDIKAN 1. TEORI EKONOMI PENDIDIKAN

9.1.2. MODAL MANUSIA DAN PENGUKURANNYA

Tantangan – tantangan terbaru seperti globalisasi, ekonomi yang berbasis pengetahuan, dan evolusi teknologi, telah memajukan banyak negara dan organisasi dan giat mencari cara-cara baru untuk mempertahankan keunggulan kompetitif. Sebagai reaksinya, ada pemahaman yang berkembang bahwa kesuksesan bergantung sebagian besar pada orang-orang dengan tingkatan kompetensi individu yang lebih tinggi. Pada akhirnya, orang menjadi aset yang bernilai dan dapat dikenali dalam suatu bingkaikerja yang disebut modal manusia.

Secara luas, konsep modal manusia secara makna adalah campuran antara manusia dan modal. Dalam perspektif ekonomi, kata modal mengacu pada ‘faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menciptakan barang atau jasa yang bila berdiri sendiri tidak secara signifikan dikonsumsi dalam proses produksi’ (Boldizzoni, 2008). Sesuai dengan makna modal dalam perspektif ekonomi, manusia menjadi sosok utama yang bertanggung jawab

atas semua kegiatan ekonomi seperti produksi, konsumsi, dan transaksi. Dalam penentuan konsep-konsep ini, dapat dikenali bahwa modal manusia artinya adalah salah satu elemen produksi yang dapat menghasilkan nilai tambah dengan memasukkannya sebagai input.

Metode untuk menciptakan modal manusia dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah untuk memanfaatkan ‘manusia sebagai tenaga buruh’ dalam perspektif ekonomi klasik. Pemahaman ini menggambarkan bahwa nilai tambah ekonomi dihasilkan dengan input tenaga kerja sebagai mana faktor produksi lainnya seperti modal finansial, lahan, mesin, dan jam kerja. Hingga pertumbuhan ekonomi besar-besaran di tahun 1950an, sebagian besar ahli ekonomi telah mendukung keutamaan kuantitatif tenaga kerja untuk menciptakan produk. Makna kedua didasarkan pada asumsi bahwa investasi modal fisik akan menunjukkan keefektifan yang sama dengan modal manusia dengan pendidikan dan pelatihan (Little, 2003). Dengan mempertimbangkan bahwa asumsi tersebut diterima sebagai premis, modal manusia secara ekspansif mencakup makna ‘manusia sebagai pencipta’ yang membingkai pengetahuan, skill atau keahlian, kompetensi, dan pengalaman yang terjadi dengan secara berkelanjutan menghubungkan antara ‘diri’ dan ‘lingkungan’.

Diantara konsep-konsep modal manusia tersebut, ia cenderung dikenali bahwa makna kedua lebih penting dibandingkan makna yang pertama (Beach, 2009). Sebenarnya, banyak literatur empiris menunjukkan bahwa modal manusia mempengaruhi berbagai komponen sosial. Pada tahun 1950an, beberapa ahli ekonomi mendapati bahwa investasi modal manusia adalah elemen utama untuk meningkatkan upah individu dibandingkan dengan input kuantitatif dari komponen lainnya seperti halnya lahan, modal finansial, dan tenaga kerja (Salamon, 1991). Senada dengan opini tadi, Woodhall (2001) menyatakan bahwa investasi modal manusia lebih efektif dibandingkan dengan investasi modal fisik. Melalui investasi modal manusia, seorang individu memperoleh pengetahuan dan keahlian yang bisa ditransfer ke barang dan layanan tertentu (Romer, 1990). Dengan mempertimbangkan bahwa akumulasi pengetahuan dan keahlian mengambil peranan penting untuk modal manusia, maka ada kepercayaan yang luas bahwa pembelajaran adalah faktor inti untuk meningkatkan modal manusia. Dengan kata lain, pembelajaran adalah suatu komponen pentin untuk mendapatkan banyak pengetahuan dan keahlian melalui banyak cara akuisisi termasuk hubungan antara individu dan yang lainnya (Sleezer, Conti, Nolan, 2003). Saat ini, diterima bahwa dasar konsep modal manusia didasarkan pada ‘sesuatu semacam pengetahuan dan keahlian’ yang didapatkan oleh seorang individu melalui aktifitas pembelajarannya. Dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan bisa secara luas mencakup faktor lain dari modal manusia seperti misalnya keahlian, pengalaman, dan kompetensi, modal manusia dan ‘pengetahuan dengan makna luas’ dianggap sebagai ekspresi yang sama.

Akumulasi modal manusia melalui kegiatan pembelajaran secara signifikan mempengaruhi banyak sektor. Dalam aspek makro, banyak peneliti menyatakan bahwa akumulasi modal manusia seseorang pada pendidikan dan investasi pelatihan sangat mempengaruhi pertumbuhan upah seseorang, produktifitas perusahaan dan ekonomi nasional (Denison, 1962; Schultz, 1961). Dari segi mikro, Lepak & Snell (1999) menunjukkan bahwa kompetensi inti perusahaan atau keunggulan kompetitifnya dipicu oleh investasi pada modal manusia yang diikuti dengan potensi penciptaan nilai.

Modal manusia juga semakin mendapatkan banyak perhatian di lingkungan kerja. Menurut Lucas, (1988) suatu model mikroekonomi menunjukkan bahwa investasi pendidikan untuk pekerja secara signifikan mempengaruhi produktifitasnya di tempat kerja.

Sejalan dengan kepercayaan bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas pekerja, banyak peneliti menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam bidang modal manusia (Griliches & Regev, 1995; Rosen, 1999).

Tidak hanya produktifitas seseorang tetapi yang lainnya juga dipengaruhi oleh investasi modal manusia. Dengan berpartisipasi pada kegiatan pembelajaran, peserta belajar akan lebih mungkin mengimplementasikan kegiatan mencari kerja dengan meningkatkan modal manusia (Vinokur et al., 2000). Setelah ia dipekerjakan, pekerja tersebut cenderung lebih mudah mengendalikan kondisi pekerjaan mereka di lingkungan kerja dan relatif mendapatkan imbalan yang tinggi dalam pasar tenaga kerja internal/eksternal (Edward, 1979). Lebih jauh lagi, investasi modal manusia mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional dengan dampak – dampak yang juga telah disebutkan di atas (Romer, 1986).

Dengan memahami pentingnya modal manusia, banyak negara telah mencoba untuk secara efektif dan efisien mengukur modal manusia mereka untuk memahami status mereka saat ini dan setelahnya mengimplementasikan berbagai cara untuk meningkatkan modal manusia mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengukuran modal manusia adalah suatu sumber penting dalam hal menyarankan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Meskipun kebutuhan akan pengukuran modal manusia ini, metode tradisional dari pengukuran modal manusia masih memiliki beberapa keterbatasan. Untuk permulaan, Wolf (2002) menyatakan bahwa beberapa indikator bisa dianggap tidak lengkap. Untuk mendukung pernyataannya, ia memberikan contoh bahwa upah pekerja – salah satu indikator modal manusia sebagai proxi – tidaklah benar benar mengukur ‘modal manusia yang otentik.’ Dengan kekurangan dari pengukuran modal manusia cara tradisional, maka yang diterima adalah mengukur modal manusia otentik dan bukanlah menggunakan proxi semacam pemasukan dan produktifitas.

Kedua, adalah sulit bahwa modal manusia itu sendiri secara independen berkontribusi pada pembangunan individu dan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Ashton & Green (1996), adalah perlu bahwa hubungan antara modal manusia dan kinerja ekonomi harusnya diaangap dalam suatu konteks politik dan sosial untuk secara presisi mengukur modal manusia. Lebih lanjut lagi, banyak literatur empiris menyatakan bahwa modal finansial, modal manusia, dan modal sosial secara positif mempengaruhi ‘sesuatu seperti kesehatan individu’ (Blakey, Lochner, & Kawachi, 2002; Veenstra, 2001; Veenstra et al., 2005; Wilson et al., 2004). Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklarifikasi suatu pendekatan baru cara pengukuran modal manusia melalui kajian literatur yang berhubungan. Sebelum melakukan ini, paper ini menyatakan beberapa konsep dan karakteristik modal manusia. Dalam memahami modal manusia semacam itu, pengukuran modal manusia tradisional dan kekurangannya, suatu pendekatan baru dari pengukuran modal manusia diajukan.

9.1.2.1.Metode Pengukuran Konvensional Modal Manusia

Standar konvensional untuk mengukur stok modal manusia telah dikategorikan menjadi tiga bagian: Pendekatan Output, Pendekatan Biaya, dan Pendekatan berbasis pendapatan. Tingkat pendaftaran sekolah, pencapaian belajar, literasi orang dewasa, dan tahun rata-rata bersekolah adalah contoh dari pendekatan output. Pendekatan biaya didasarkan pada menghitung biaya yang dibayarkan untuk memperoleh pengetahuan. Dan yang terakhir, pendekatan berbasis pendapatan berhubungan erat dengan manfaat yang diperoleh masing-masing individu dengan investasi pendidikan dan pelatihan.

a. Pendekatan berbasis output (Output-Based Approach)

Untuk kebutuhan menganalisa hubungan antara modal manusia dan pertumbuhan ekonomi, beberapa ahli ekonomi mencoba untuk mengukur stok modal manusia dengan memanfaatkan “tingkat pendaftaran sekolah”sebagai suatu proxi modal manusia (Barro, 1991; Barro & Lee, 1993). Melalui penghitungan rasio antara individu usia sekolah dan siswa yang mendaftar di institusi pendidikan, para ahli ekonomi menunjukkan stok modal manusia yang dimiliki oleh tiap negara. Namun demikian, metode tersebut memiliki kekurangan bahwa keefektifan siswa baru bisa dilihat setelah berpartisipasi dalam aktifitas produksi.

Dalam perspektif pencapaian pendidikan, Nehru, Swanson, & Dubey (1993) mencoba mengukur hubungan antara modal manusia dan siswa 'akumulasi tahun pendidikan' pada usia bekerja sebagai pencapaian pendidikan. Dengan mengasumsikan bahwa stok modal manusia adalah jumlah dari tahun pendidikan masing masing individu; sulit untuk dengan jelas mendemonstrasikan hubungan ini, karena pencapaian pendidikan adalah bagian dari pendidikan sekolah reguler. Sebenarnya, banyak orang dewasa yang cenderung berpartisipasi dalam banyak pendidikan formal dan kegiatan pelatihan untuk meningkatkan produktifitas mereka.

Selain pengukuran stok modal manusia dengan tingkat pendaftaran sekolah dan pencapaian pendidikan, Romer (1990) menyatakan rasio antara orang dewasa berkeahlian dan total keseluruhan orang dewasa digunakan untuk mengukur stok modal manusia dalam perekonomian negara. Lebih jauh lagi, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memanfaatkan Survei Literasi Dewasa Internasional (IALS), rasio antara literasi dewasa dan total keseluruhan orang dewasa, untuk mengukur stok modal manusia. Meskipun demikian, metode IALS memiliki beberapa kekurangan dimana literasi tidaklah begitu berkaitan dengan produktifitas pekerja, dan produktifitas bisa ditingkatkan dengan kegiatan pembelajaran non formal seperti pembelajaran pribadi dan pelatihan di tempat kerja.

Terakhir, Psacharopoulos & Arriagada (1986) menyatakan rataan tahun pendidikan untuk mengukur stok modal manusia. Mereka mengacu bahwa rataan tahun pendidikan sangat berguna untuk mengukur stok modal manusia sebagai proxi atau tolok ukur. Pernyataan ini mengasumsikan bahwa produktifitas seorang individu meningkat sesuai proporsi dengan rataan tahun pendidikannya; mereka memberi contoh bahwa produktifitas seseorang dengan menyelesaikan pendidikan 12 tahun adalah 12 kali lipat dibandingkan produktifitas seseorang yang hanya menjalani 1 tahun. Sebagaimana disebutkan diatas, metode ini memiliki kekurangan bahwa tahun pendidikan seseorang bisa saja tidak begitu berkaitan dengan produktifitasnya.

b. Pendekatan berbasis biaya (Cost-Based Approach)

Pendekatan berbasis biaya didasarkan pada pengukuran stok modal manusia melalui penjumlahan biaya yang diinvestasikan untuk modal manusia seseorang. Untuk kebutuhan penghitungan biaya yang diinvestasikan, Kendric (1976) memanfaatkan biaya investasi seseorang dengan mempertimbangkan depresiasi, sedangkan Jorgenson & Fraumeni (1989) menyertakan pemasukan yang akan datang yang sudah dikenai diskonto. Dengan mempertimbangkan bahwa pendekatan ini mendasarkan pada pengukuran secara tidak langsung dari stok modal manusia, sulit untuk secara presisi mengklasifikasikan batasan antara investasi dan konsumsi dalam perspektif biaya untuk modal manusia.

c. Pendekatan Berbasis Pendapatan (Income-Based Approach )

Pendekatan ini mendasarkan pada tingkat pengembalian yang didapatkan oleh individu di suatu pasar tenaga kerja melalui investasi pendidikan. Mulligan & Sala-i-Martin (1995) mendefinisikan bahwa agregat modal manusia adalah jumlah penyesuaian kualitas dari tiap tiap tenaga kerja individu, dan menyatakan stok modal manusia menggunakan pendapatan individu. Dengan mempertimbangkan 'faktor-faktor yang tidak ada kaitannya dengan manusia' juga dapat mempengaruhi pemasukan individu, pendekatan ini jarang sekali memberikan pengukuran yang komplit untuk modal manusia.

9.1.2.2. Pendekatan Baru

Sejak tahun 1990, Program Pembangunan PBB (UNDP) telah melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menginvestigasi sebagian besar negara, mengukur pembangunan manusia di suatu negara dan kesejahteraannya. Struktur dari indeks ini terdiri dari kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup dengan banyak sub-variabel seperti tingkat harapan hidup saat lahir, tingkat literasi dewasa, angka kasar partisipasi pendidikan, dan produk domestik bruto per kapita. Menimbang bahwa indeks IPM mencakup aspek kualitas, pendekatan IPM berfokus pada kualitas hidup dan situasi ekonomi semua individu. Selain itu, Kantor Perburuhan Internasional (ILO) cenderung untuk memanfaatkan indeks yang sama mempertimbangkan aspek kualitas seperti Indikator Kunci Pasar Tenaga Kerja (KILM).

Dengan demikian, adalah penting agar pengukuran lanjutan modal manusia mempertimbangkan konsep ‘pembangunan manusia’, mengasumsikan bahwa konsep pembangunan mencakup pertumbuhan kuantitatif dan progress kualitatif. Dengan mengacu pada konsep pembangunan manusia, adalah perlu bahwa pendekatan baru dari pengukuran modal manusia perlu lebih memperhatikan modal sosial. Sebagaimana disebutkan, modal sosial individu berkaitan erat dengan modal manusianya yang berfokus pada stok pengetahuan.

Menimbang bahwa inti dari modal sosial didasarkan pada jaringan antar konstituen maka memungkinkan bahwa komponen jaringan modal sosial berkontribusi pada peningkatan modal manusia mengingat karakteristiknya yaitu: dapat dibawa dan dibagikan. Akumlasi modal manusia seseorang bisa dengan mudah dilakukan melalui modal sosial. Sebenarnya, tingkat keahlian seseorang dan keahliannya bisa lebih ditingkatkan dengan jejaring keluarga, kolega, sosial dan konstituen dibandingkan situasi terisolir (Coleman, 1988). Asumsi ini bisa memberikan petunjuk penting dalam hal memahami bagaimana modal manusia bisa memainkan suatu peran dalam kemajuan sosial.

Akhirnya, adalah perlu bahwa pendekatan baru pengukuran modal manusia mengklarifikasi indikator-indikator apa yang bisa dipertimbangkan untuk mengukur dengan presisi modal manusia tersebut. Adalah mungkin bahwa pengukuran konvensional modal manusia menggunakan proxi seperti produktifitas individu. OECD menyatakan bahwa pengukuran modal manusia sangat berkaitan dengan faktor-faktor terkait pendidikan seperti kualifikasi tingkat tinggi, kelulusan dan tingkat partisipasi, waktu yang diinvestasikan pada pendidikan, dan investasi pada pendidikan dalam perspektif investasi modal manusia juga (Hansson, 2008. Namun demikian, proxi-proxi ini ada kaitannya dengan kemungkinan

modal manusia. Suatu pendekatan baru perlu mencari indikator-indikator yang lebih terhung dengan kuat dengan kemungkinan dan identifikasi bagaimana cara mengukurnya.

Dokumen terkait