• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIGNALING DI PASAR TENAGA KERJA

Bayu Kharisma

9. KEPENDUDUKAN DAN PENDIDIKAN 1. TEORI EKONOMI PENDIDIKAN

9.1.3. SIGNALING DI PASAR TENAGA KERJA

Model signaling dari pendidikan, biasanya dihubungkan dengan seorang Michael Spence (1973), dibedakan dari teori modal manusia pada pendidikan dengan premisnya bahwa tingkat produksi dalam diri seorang individu pekerja diidentifikasi oleh tahun tahun pendidikan mereka dan bukan ditingkatkan oleh mereka. Salah satu implikasi dari model tersebut adalah bahwa pekerja yang lebih terdidik menerima bayaran yang lebih tinggi karena pendidikan memberikan mereka kredensial, dan bukanlah suatu keahlian atau skill yang diperoleh. Beberapa variasi penting dari model signaling termasuk diantaranya teori yang dikembangkan oleh Arrow (1973), Layard dan Psacharopoulos (1974), Riley (1975, 1979), Spence (1974, 1976), Stiglitz (1975), dan Wolpin (1977). Istilah-istilah signaling, screening, dan sorting sering digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan varian varian dari model dasar yang sama.

Teori signaling didasarkan pada asumsi-asumsi berikut. (1) Individu-individu memiliki tingkat produktifitas dalam diri yang berbeda, yang tidak terpengaruhi oleh pendidikan mereka. (2) Pendidikan tambahan memicu biaya tambahan, yang berbeda untuk pekerja dengan produktifitas tinggi dan pekerja dengan produktifitas rendah. Yang penting disini adalah, biaya psikis pendidikan lebih tinggi bagi individu dengan tingkat produktifitas yang lebih rendah. Mereka yang bisa belajar dengan mudah akan bisa mendapatkan signal lebih murah dari yang lainnya. Sebagai contoh, mereka mungkin akan membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mempelajari sesuatu hal. Ada informasi yang asimetris berkaitan dengan produktifitas pekerja: pekerja individu mengetahui tingkat keahlian mereka sendiri, tetapi mereka yang akan berpotensi mempekerjakan pekerja individu ini tidak tahu. (4) Tingkat pendidikan bisa diamati tanpa mengeluarkan biaya. Karena pihak yang mempekerjakan tidak bisa mengamati produktifitas sebenarnya dari pihak-pihak yang akan bekerja, para atasan ini menggunakan kualifikasi pendidikan untuk memprediksi produktifitas, membuat keputusan perekrutan, dan menetapkan gaji/upah, berdasarkan pada asumsi bahwa individu yang memiliki tahun pendidikan lebih banyak akan lebih produktif. Agar asumsi ini akurat, pekerja yang lebih produktif haruslah, faktanya, berupaya memilki pendidikan yang lebih. Model ini berdasarkan pada premis bahwa individu bersikap rasional dan bahwa mereka berinvestasi pada pendidikan selama manfaat dari tahun tambahan pendidikan melebihi biayanya. Manfaat dari satu tahun tambahan pendidikan adalah sama baik untuk pekerja produktifitas tinggi maupun yang rendah, tetapi biayanya lebih tinggi untuk mereka yang berproduktifitas rendah. Bila perolehan upah yang dikaitkan dengan pendidikan cukup bagi pekerja berproduktifitas tinggi untuk memilih lebih banyak pendidikan tetapi tidak cukup besar bagi pekerja berproduktifitas rendah untuk memilih lebih banyak pendidikan, maka pendidikan akan seolah mensortir para pekerja dengan keahlian yang berbeda sehingga apa yang dipercayai oleh pemilik pekerjaan menjadi valid dan tercapailah ekuilibrium.

Model signaling bergantung pada asumsi bahwa produktifitas pekerja memiliki hubungan negatif dengan biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sinyal. Selama perbedaan biaya antar pekerja yang berasal dari perbedaan dalam kemampuan kognitif atau hasrat untuk belajar, mereka akan indikatif terhadap perbedaan dalam produktifitas di

pekerjaan. Namun demikian, bila biaya bervariasi karena adanya perbedaan dalam kontribusi keluarga terhadap bayaran, dan sebagainya maka individu yang menghadapi biaya pendidikan yang lebih tinggi mungki tidak kurang produktif dibandingkan mereka yang menghadapi biaya pendidikan yang lebih rendah, dan pendidikan tidak akan membolehkan pemilik pekerjaan membedakan antara pekerja dengan produktifitas tinggi dan rendah.

Ketidaksempurnaan informasi adalah suatu hal umum di banyak pasar tenaga kerja, dan ini memunculkan fenomena yang tidak bisa dihitung semata menggunakan model neoklasik sederhana. Beberapa variabel penting yang masuk dalam keputusan ekonomi tidaklah bersifat dapat diamati (observable) (atau hanya bisa diamati dengan biaya besar) hingga setelah (atau mungkin jauh lama setelah) suatu keputusan atau transaksi terjadi. Dalam keadaan yang semacam ini, baik pemilik pekerjaan dan pegawainya akan mencari variabel-variabel yang dipercaya berkorelasi dengan atau berhubungan dengan variabel yang menjadi perhatian. Variabel semacam ini, yang dapat diamati sebelum suatu keputusan atau transaksi dibuat, memainkan peranan untuk menjadi sinyal bagi pasar. Dalam model ini, produktifitas pekerja tidak diketahui saat keputusan perekrutan pegawai dibuat, dan pendidikan memainkan peranan sebagai sinyal dari produktifitas pegawai. Model ini penting dengan sendirinya karena pendidikan, setidaknya sebagian dari pendidikan dapat berfungsi sebagai alat penanda atau signaling atau medium pensortir, dan selain itu pendidikan mengilustrasikan lebih dari sekedar fenomena umum sebagai penanda baik di pasar tenaga kerja maupun produk.

Dalam model yang dideskripsikan disini, pendidikan bertindak hanya sebagai sinya; artinya, kami mengasumsikan untuk kesederhanaan dan tujuan ilustrasi ini bahwa pendidikan tidak memiliki efek pada produktifitas pekerja. Asumsi ini dibuat separuh untuk menjaga agar analisisnya tetap sesederhana mungkin, dan separuh untuk mengilustrasikan gagasan bahwa penggunaan signaling atau penanda di pasar tenaga kerja memberikan suatu penjelasan alternatif dari korelasi positif antara pendidikan dan pendapatan.

Para pemilik pekerjaan di model tersebut diasumsikan tidak mengetahui produktifitas pekerja individu sebelum perekrutan pekerja-pekerja tersebut. Bahkan setelah perekrutan, para pemilik pekerjaan mungkin bisa mengamati produktifitas dari kelompok karyawan ketimbang masing-masing karyawan secara individu. Namun demikian, para pemilik pekerjaan memang mengamati karakteristik tertentu dari pegawai prospektif. Secara khusus, mereka mengamati jumlah pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing pelamar kerja. Karena pemilik pekerjaan berada di pasar tenaga kerja secara reguler, mereka akan membentuk kepercayaan tentang hubungan antara atribut atribut karyawan seperti jumlah pendidikan dan produktifitas. Kepercayaan-kepercayaan ini bisa jadi didasarkan pada pengalaman terdahulu si pemilik pekerjaan. Agar kepercayaan pemilik pekerjaan tetap bertahan, mereka harus dipenuhi oleh pengalaman lanjutan yang sebenarnya. Maka, suatu kondisi penting bagi ekuilibrium pasar adalah bahwa kepercayaan pemilik pekerjaan tentang hubungan antara pendidikan dan produktifitas faktanya telah terealisasikan atau terwujudkan jadi kenyataan.

Bila pemilik pekerjaan percaya bahwa pekerja yang berpendidikan lebih juga lebih produktif, mereka akan (selama kepercayaan ini terus terkonfirmasikan oleh pengalaman sebenarnya) menawarkan upah yang lebih tinggi pada pekerja dengan pendidikan lebih. Para pekerja kemudian mengamati besaran upah yang ditawarkan bergantung pada jumlah pendidikan yang dimiliki. Dalam model ini, kami mengasumsikan bahwa pekerja memilih jumlah pendidikan yang memberikan tingkat pengembalian tertinggi. Nilai konsumsi pendidikan diintegrasikan pada biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan.

Untuk menjaga agar analisis tetap sesederhana mungkin, kami mengasumsikan bahwa ada dua tipe pekerja dalam ekonomi. Pekerja dengan kemampuan rendah (tipe L) memiliki suatu produk marjinal sebesar 1 (MP = 1) dan memperoleh s unit pendidikan dengan biaya $s. Pekerja dengan produktifitas tinggi (tipe H) memiliki suatu produk marjinal sebesar 2, dan memperoleh s unit pendidikan dengan biaya $s/2. Catatan, sebagaimana dijelaskan diatas bahwa produktifitas atau kemampuan pekerja sudah fix dan independen dari jumlah pendidikan yang diperoleh. Catat juga bahwa pekerja yang lebih mampu diasumsikan bisa memperoleh pendidikan pada suatu besaran biaya yang lebih rendah untuk tiap unit pendidikan yang didapat. Situasi ini dapat muncul karena pekerja yang lebih mampu memperoleh jumlah pendidikan spesifik dengan lebih cepat, atau karena mereka menempatkan suatu nilai konsumsi yang lebih tinggi pada (atau memiliki ketidak sukaan psikis yang lebih rendah terhadap) proses pendidikan.

Asumsi bahwa pekerja yang lebih mampu memiliki biaya pendidikan yang lebih rendah dalam perolehan pendidikan adalah sesuatu hal yang penting. Seperti yang akan kita lihat, ini adalah suatu kondisi yang diperlukan agar pendidikan bertindak sebagai suatu sinyal yang informatif di pasar tenaga kerja. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, pekerja dengan kemampuan rendah dan tinggi akan memperoleh jumlah pendidikan yang sama, dan pendidikan tidak akan mampu berfungsi sebagai sinyal bagi produktifitas pekerja.

Untuk melihat seperti apa rupa ekuilibrium pasar, anggap bahwa kepercayaan pemilik pekerjaan adalah sebagai berikut:

Jika s < s* maka MP = 1 Jika s ≥ s* maka MP = 2

Dengan begitu, ada nilai kritis dari pendidikan (misalnya menyelesaikan SMA, dapat gelar sarjana) dan pelamar dengan pendidikan yang kurang dari nilai kritis ini akan dipercaya sebagai kurang produktif, sedangkan pelamar dengan pendidikan setara atau lebih besar dari nilai ini dipercaya sebagai lebih produktif.

Gambar 9.2. Besaran Upah Ditawarkan dan Besaran Biaya Signaling

S* Years of education (s) -2 1 CL(s)=S C”(s)=S/2 1 W=(s) Upah W(s) Biaya Pendidikan C(s)

Pemilik pekerjaan menawarkan besaran upah W(s) dengan prasyarat pendidikan s*, dimana pekerja akan dibayarkan 2 jika mereka memiliki pendidikan s ≥ s* dan 1 jika mereka memiliki tingkat pendidikan s < s*. Biaya pekerja berkemampuan rendah untuk memperoleh pendidikan diberikan oleh CL(s). Tingkat pengembaliannya s* diberikan oleh 2 - CL(s) < 1, jadi mereka lebih baik tidak sekolah, dan menerima gaji yang lebih rendah. Keuntungan net dari pendidikan bagi mereka yang berkemampuan tinggi diberikan oleh 2 - CH(s) > 1, maka mereka lebih baik mendapatkan pendidikan tingkat s* daripada masuk ke kelompok yang sama dengan yang berkemampuan rendah (di besaran upah 1). Dalam ekuilibrium ini, hanya yang berkemampuan tinggi yang mendapatkan pendidikan, dan semua pekerja dibayarkan produk marjinal mereka.

Dalam keadaan ini, besaran upah yang ditawarkan (mengasumsikan untuk tujuan ilustrasi bahwa pasar tenaga kerja bersifat kompetitif, sehingga perusahaan akan menawarkan upah setara dengan produk marjinal yang diharapkan) akan ditunjukkan pada Gambar 9.3. Dengan demikian, pelamar dengan pendidikan setara atau lebih besar dari s* akan ditawarkan upah w = $2, dan pelamar dengan pendidikan kurang dari s* akan ditawarkan upah w=$1. Pada gambar 9.3 diasumsikan bahwa s* terletak di antara 1 dan 2.

Juga ditunjukkan pada gambar 9.2 adalah untuk tiap tipe pekerja, fungsi biaya C(s) berasosiasi dengan perolehan pendidikan. Cata bahwa pekerja dengan kemampuan rendah akan lebih baik bila mereka mendapati 0 unit pendidikan. Pilihan ini memberikan upah bersih $1; karena biaya memperoleh nol unit pendidikan adalah nol, dengan demikian upah kotor dan upah bersih akan setara dalam kasus seperti ini. Sebaliknya pekerja berkemampuan rendah akan menerima upah bersih w = $2 – s* <$1 jika mereka ingin memperoleh pendidikan yang cukup untuk memperoleh penawaran gaji yang lebih tinggi yang diberikan pada mereka dengan pendidikan setara atau lebih besar dari s*.

Meskipun demikian, pekerja dengan kemampuan tinggi lebih baik dengan memperoleh tingkat pendidikan s = s*. Pilihan ini akan menghasilkan upah net dari w = $2 – s* / 2 > $1, dimana memilih s = 0 yield/hasil untuk individu ini upah netnya adalah w = $1. Maka, dengan besaran upah yang ditawarkan, bila s* terletak pada kisaran 1 < s* < 2, pekerja berkemampuan rendah akan memilih s = - dan pekerja berkemampuan tinggi akan memilih s = s*. Maka, kepercayaan pemiliki pekerjaan tentang hubungan antara pendidikan dan produktifitas pekerja pun akan terkonfirmasi / terbukti benar.

Pelamar dengan pendidikan rendah akan kurang produktif, dan mereka yang berpendidikan tinggi akan lebih produktif. Pemberi pekerjaan dengan demikian tidak memiliki alasan apapun untuk mengubah kepercayaan mereka atau besaran upah yang ditawarkan. Dengan besaran upah yang ditawarkan, pekerja akan terus memilih untuk mendapatkan “sinyal” pendidikan sehingga tingkat pendidikan adalah suatu prediktor atau penanda yang baik (dalam model sederhana ini ia menjadi prediktor sempurna) dari produktifitas. Hasil ini adalah suatu ekuilibrium pasar walaupun dengan asumsi pendidikan tidak meningkatkan produktifitas dari pekerja individu; yakni, pendidikan hanya bertindak semata sebagai signaling atau penanda atau medium sortir dalam kasus ini. Bila dilihat dari sisi luar, akan terlihat bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas karena mereka dengan pendidikan lebih akan lebih produktif dan menerima pendapatan lebih tinggi. Namun demikian, sebenarnya tidaklah seperti itu; pendidikan semata mensortir populasi heterogen menjadi dua kelompok yang berbeda.

Model sederhana ini mengilustrasikan hasil utama dari teori signaling / penanda pasar. Teori ini telah digunakan untuk menjelaskan sejumlah fenomena lain, seperti penggunaan harga produk tinggi untuk menandakan kualitas produk, penggunaan jaminan

garansi produk untuk menandakan kualitas produk, dan penggunaan oleh pemilik pekerjaan dalam hal pengalaman bekerja para pelamar pekerjaan (jumlah pekerjaan, waktu lama menganggur) sebagai penanda kualitas pekerja.

Tentu saja, kami tidak mengharapkan bahwa pendidikan bertindak semata sebagai filter atau mekanisme sinyal, sebagaimana yang diringkas dalam model sederhana tersebut diatas. Sebagian besar program pendidikan tentunya mungkin memberikan sejumlah keahlian dan pengetahuan yang meningkatkan produktifitas pekerja. Namun demikian, mungkin saja bahwa bentuk pendidikan atau pelatihan tertentu utamanya berperan sebagai sinyal, sedang bentuk lainnya yang melibatkan akuisisi modal manusia, yang meningkatkan produktifitas dan pendapatan. Sejauh mana pendidikan berfungsi sebagai perangkat sinyal versus sebagai bentuk akuisisi modal manusia adalah pertanyaan menarik dan penting. Implikasi kebijakan model tersebut sangatlah berbeda. Untuk model sinyal, subsidi pendidikan merepresentasikan transfer murni pada individu berkemampuan tinggi, dan tidak dapat dibela / dibenarkan dari perspektif kesetaraan.

Satu contoh untuk memperkuat hal ini yang disebutkan disini berdasarkan pada Michael Spence (1973).

Anggaplah bahwa ada dua tipe pekerja: pekerja yang lebih produktif memiliki suatu tingkat produktifitas setara 2 dan pekerja kurang produktif memiliki suatu tingkat produktifitas setara 1. Anggap lagi bahwa pemilik pekerjaan percaya bahwa pelamar pekerjaan dengan tingkat pendidikan setara atau lebih besar dari S* adalah pekerja tipe 2 dan mereka yang memiliki kurang dari S* tahun pendidikan adalah pekerja tipe 1. Perusahaan membayar pekerja sesuai dengan tingkat produktifitas yang diharapkan dari mereka; jadi mereka yang memiliki S* atau lebih tahun pendidikan dibayarkan gaji setara 2, dan mereka yang memiliki kurang dari S* tahun pendidikan dibayarkan gaji setara 1. Para pekerja memperhitungkan nilai pemasukan seumur hidup, yang mana adalah E1 untuk mereka yang memiliki kurang dari S* tahun pendidikan dan E2 untuk mereka dengan lebih dari S* tahun pendidikan. Hubungan antara pendapatan seumur hidup dan pendidikan digambarkan pada Gambar 9.3.

Gambar 9.3. Manfaat Seumur Hidup yang dihubungkan dengan Pendidikan

S* Years of education E2 E2 P en d ap atan s eu m u r h id u p ( p resen t v al u e)

S* Years of education E2 E2 P en d ap atan s eu m u r h id u p ( p resen t v al u e) C1

Biaya pendidikan untuk pekerja 1

C2

Biaya pendidikan untuk pekerja 2

Individu akan memilih untuk berinvestasi pada tingkat pendidikan yang memaksimalkan net benefit mereka (total benefit dikurangi biaya total). Untuk penyederhanaan, asumsikan bahwa satu-satunya benefit yang dipertimbangkan oleh pekerja adalah pendapatan mereka. Lalu individu akan memilih tingkat pendidikan yang menghasilkan perbedaan terbesar antara nilai pendapatan seumur hidup (saat ini) dan biaya pendidikan. Jika pendidikan tidak memakan biaya maka semua pekerja akan ingin mendapatkan sinyal S*, tetapi model sinyal bergantung pada asumsi bahwa biaya bervariasi antar individu.

Anggaplah pada Figur 9.4, bahwa tipe pekerja 1 menghadapi biaya C untuk tiap tahun pendidikan, tetapi tipe pekerja 2, yang merasa sekolah itu mudah, menghadapi biaya C/2. Maka mudah untuk melihat bahwa untuk pekerja tipe 1 perbedaan antara pendapatan seumur hidup dan C dimaksimalkan saat mereka memilih 0 tahun pendidikan. Sedangkan disisi lain, untuk tipe pekerja 2, perbedaan antara pendapatan seumur hidup dan C/2 terbesar saat ada pada S*. Maka, tipe pekerja 1 dan 2 masuk ke tingkatan pendidikan yang berbeda yang konsisten dengan apa yang dipercayai oleh pemberi pekerjaan, dan S* berfungsi sebgaai suatu sinyal valid.

Gambar 9.4: Manfaat Seumur Hidup dan Biaya yang Dihubungkan Dengan Pendidikan

Catat bahwa tidak semua tahun pendidikan serta merta memberikan sinyal yang valid. Misalnya, pada Gambar 9.5, pemberi pekerjaan menggunakan S’ tahun pendidikan dan bukan S* untuk mendiferensiasi antara pekerja produktifitas rendah dan tinggi. Dengan demikian, struktur pendapatan saat ini digambarkan sebagai jarak AEGH. Disini, baik pekerja tipe 1 dan tipe 2 memaksimalkan perbedaan antara pendapatan seumur hidup mereka dan biaya pendidikan dengan memilih S’. Karena semua pelamar pekerjaan memilih tingkat pendidikan yang sama, S’ tidak menandakan apapun tentang produktifitas pekerja.

Gambar 9.5: Manfaat dan Biaya yang diasosiakan dengan sinyal alternatif.

Sebagaimana yang ditekankan oleh Weiss (1995), modal manusia dan model signaling pendidikan tidak serta merta bersifat mutual eksklusif. Pendidikan mungkin secara bersamaan meningkatkan produktifitas pekerja dan bertindak sebagai suatu sinyal tentang kemampuan yang ada dalam diri mereka. Dalam keadaan semacam itu, maka signaling dapat dianggap sebagai suatu ekstensi dari model modal manusia dimana beberapa perbedaan produktifitas yang perusahaan tidak bisa amati berkorelasi dengan biaya pendidikan.

Menguraikan secara ilmiah tentang keutamaan relatif dari model modal manusia dan model signaling terbukti sulit. Kedua model memprediksi bahwa pekerja yang lebih berpendidikan akan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, maka hubungan positif yang kami amati antara pendidikan dan pendapatan tidak memberikan informasi yang berguna. Tidak ada suatu metode yang diterima secara universal untuk secara terpisah mengidentifikasi peran peningkatan pendidikan yang dilakukan oleh universitas dengan peran signalingnya.

Satu pendekatan yang telah digunakan untuk membandingkan jarak perbedaan upah pendidikan untuk pekerja dengan usia yang berbeda atau tahun pengalaman bekerja yang berbeda dengan mengasumsikan bahwa seiring waktu, akan lebih mudah bagi para pemilik pekerjaan untuk secara langsung mengamati produktifitas sebenarnya dari pegawai-pegawai mereka (Cohn et al., 1987; Layard dan Psacharopoulos, 1974; Mendes de Oliveira et al., 1989; Psacharopoulos, 1979; Rao dan Datta, 1989; Wolpin, 1977). Pemikirannya adalah bahwa jika pendidikan semata merupakan alat signaling maka ia memiliki suatu fungsi yang berguna pada masa awal karir seorang pekerja, tetapi seiring informasi langsung tentang produktifitas sebenarnya dari para pekerja terkumpul, hubungan antara pendidikan dan penghasilan semestinya menurun. Faktanya, perbedaan pendapatan antara pekerja yang lebih terdidik dan kurang terdidik meningkat seiring dengan usia, yang mana ini bisa diambil sebagai bukti yang berpihak pada model modal manusia. Di sisi lain, pendukung model signaling beranggapan bahwa pertumbuhan berkelanjutan pada diferensiasi pendapatan terjadi karena signal yang terkandung dalam pencapaian pendidikan adalah suatu saran prediksi yang akurat dari produktifitas individu.

Berbagai penelitian lainnya membandingkan pendapatan lintas industri atau profesi dimana signaling mungkin penting, ke industri atau profesi dimana signaling tidak penting. Cohn et al. (1987), De Wit dan Van Winden (1989), Katz dan Ziderman (1980), Riley (1979),

S* Years of education E2 E2 P en d ap atan s eu m u r h id u p ( p resen t v alu e) C1

Biaya pendidikan untuk pekerja 1

C2

Biaya pendidikan untuk pekerja 2 G

E A

dan Wolpin (1977), misalnya, membandingkan pendidikan dan pendapatan dari pekerja wirausaha dan pekerja bergaji, mendasarkan pada asumsi bahwa signaling semestinya tidak relevan bagi mereka yang berwirausaha. Karena pekerja yang berwirausaha tidak harus berinvestasi pada sinyal pendidikan untuk pemilik pekerjaan potensial, mereka akan berinvestasi pendidikan lebih sedikit. Penelitian-penelitian ini telah menghasilkan bukti campuran tentang keutamaan relatif dari dua hipotesis.

Set penelitian ketiga berfokus pada efek kulit kambing, atau tingkat pengembalian (return) upah terhadap gelar tertentu dan / atau tahun diploma. Argumennya adalah bahwa bagian peningkatan produktifitas dari pendidikan semestinya proporsional dengan waktu yang dihabiskan di sekolah; dengan demikian, tingkat pengembalian upah dari diploma itu sendiri, setelah dikontrol atas tahun pendidikan, dapat diinterpretasikan sebagai bukti yang mendukung hipotesis signaling. Groot dan Oosterbeek (1994), Hartog (1983), Hungerford dan Solon (1987), Jaeger dan Page (1996), Layard dan Psacharopoulos (1974), dan Weiss (1983) semua telah mengestimasi varian dari model kulit kambing. Penelitian oleh Hungerford dan Solon, serta Jaeger dan Page keduanya mendapati bahwa relatif terhadap satu tahun pendidikan SMA atau kampus, ada tingkat pengembalian upah yang lebih tinggi yang diasosiasikan dengan lulusan SMA dan kampus. Namun demikian, kedua penelitian ini mencatat bahwa adanya efek kulit kambing tidak serta merta menjadi suatu hal yang menguatkan model signaling: karena mustahil untuk mengetahui apakah perbedaan yang teramati berasal dari suatu sinyal tentang kemampuan mereka yang menyelesaikan vs kemampuan mereka yang tidak menyelesaikan ataukah mereka yang menyelesaikan gelar mereka meningkatkan produktifitas mereka lebih besar dari mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka.

Tyler et al (2000) membahas permasalahan ini saat mengestimasi nilai signaling dari Gelar Setara Diploma (GED) dengan membandingkan pendapatan individu yang memiliki skor ujian GED yang sama tetapi tinggal di negara bagian dengan standar kelulusan yang berbeda. Individu dengan nilai ujian yang sama diasumsikan memiliki jumlah modal manusia yang setara dan dinilai memiliki produktifitas setara. Mereka mendapati bahwa kulit putih yang memiliki GED memiliki pendapatan lebih tinggi 10 hingga 19% persen dibanding kulit putih dengan skor ujian yang sama yang tidak mendapatkan gelar itu karena mereka tinggal di negara bagian dengan standar yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa GED memiliki suatu efek signaling yang penting terhadap pendapatan. Di sisi lain, Cameron dan Heckman (1993) dan Heckman dan Lafontaine (2006) mendapati bahwa upah mereka yang memiliki GED tidak lebih tinggi dari upah mereka yang drop out dari SMA, yang menunjukkan bahwa GED bukanlah substitusi untuk SMA.

Lang dan Kropp (1986) menguji model signaling dengan membandingkan tingkat pendaftaran kelompok usia yang diikat dengan hukum pendidikan dasar dengan tingkat pendaftaran kelompok usia yang tidak terpengaruhi secara langsung. Pemikirannya adalah bahwa dengan model signaling, undang undang wajib sekolah negara bagian semestinya meningkatkn pencapaian pendidikan dari pekerja berkemampuan tinggi yang tidak terpengaruhi secara langsung oleh undang-undang tersebut, karena ia menurunkan kemampuan rata-rata (dan sekaligus upah) yang diasosiasikan dengan tingkat pendidikan wajib. Ini memberikan individu berkemampuan tinggi suatu insentif untuk mendapatkan pendidikan yang lebih. Teori modal manusia memprediksi bahwa undang undang semacam itu semestinya hanya mempengaruhi individu yang secara langsung terikat. Lang dan Kropp mendapati bahwa undang undang pendidikan wajib memang meningkatkan tingkat

pendaftaran untuk kelompok usia yang tidak terpengaruhi secara langsung, yang

Dokumen terkait