• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Return to Investment in Education

Bayu Kharisma

9. KEPENDUDUKAN DAN PENDIDIKAN 1. TEORI EKONOMI PENDIDIKAN

9.1.2. The Return to Investment in Education

Nilai ekonomi dari investasi pendidikan sebagian besar telah diukur melalui tingkat pengembaliannya (rate of returns), karena Becker (1993) menyatakan bahwa “rates of

return memberikan ringkasan yang paling mudah dan lengkap mengenai pengaruh ekonomi

dari pendidikan”. Analisis rates of return memberikan suatu alat analisis untuk mengevaluasi investasi pendidikan dan merupakan bagian terbesar dan terpenting dari modal manusia (human capital). Tingkat pengembalian pribadi (privates rates of returns) menyediakan panduan bagi individu, sehubungan dengan keputusan investasinya, dimana individu akan melanjutkan atau berhenti sekolah dan tingkat pengembalian sosial dalam investasi pendidikan (The Social Return to Education).

a. Tingkat pengembalian pribadi (privates rates of returns)

Seperti halnya bentuk investasi lainnya maka dalam pendidikan, individu akan dihadapkan pada kondisi trade-off dalam keputusannya untuk melanjutkan sekolah atau tidak. Semakin lama tingkat pendidikan individu maka tingkat pendapatannya di masa akan datang akan lebih tinggi dibandingkan individu yang memutuskan untuk meninggalkan sekolah. Namun, keputusan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut harus menanggung biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar, misalnya iuran dan buku. Sementara itu, biaya tidak langsung yaitu biaya yang harus ditanggung oleh individu selama mengikuti sekolah dalam bentuk pendapatan yang hilang (foregone income).

Keputusan individu tersebut dapat diilustrasikan dalam Gambar 9.1 yang menunjukkan beberapa alternatif aliran pendapatan terkait dengan tingkat pendidikan yang berbeda yaitu : tidak selesai sekolah menengah atas (10 tahun pendidikan pada usia 16), menyelesaikan sekolah menengah atas (usia 18) dan universitas (usia 22). Dalam hal ini, tahun pendidikan (years of education) dianggap sebagai variabel kontinu yang setiap tahunnya dihubungkan dengan aliran atau arus pendapatan seumur hidup. Pendapatan setiap tahun diukur berdasarkan nilai sekarang (present value) agar dapat dibandingkan pada periode waktu yang berbeda.

Gambar 1 Pendidikan dan Aliran-Aliran Pendapatan Alternatif

Sumber : Dwayne dan Gunderson (2007)

Pada Gambar 9.1 di atas menunjukkan bahwa investasi modal manusia melibatkan biaya dan manfaat. Biaya tersebut termasuk pengeluaran langsung yaitu iuran dan buku sekolah serta opportunity cost dalam bentuk pendapatan yang hilang (foregone income). Seorang individu yang berusia 16 tahun pada dasarnya menghadapi 3 (tiga) lintasan (trajectories) pendapatan. Apabila individu mengalami putus sekolah pada jenjang pendidikan sekolah menengah tinggi usia 16 maka akan menghadapi arus pendapatan A untuk sisa hidupnya bekerja.

Sementara itu, apabila individu menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah tinggi maka akan mengikuti aliran pendapatan B setelah lulus sekolah. Opportunity cost untuk tetap tinggal di sekolah adalah foregone income (daerah a), sedangkan manfaat yang diterima adalah adanya peningkatan pendapatan (daerah b + e). Selanjutnya, apabila individu melanjutkan ke jenjang pendidikan universitas maka akan menghadapi biaya langsung (direct cost) dan forgone income aliran B. Total biaya pada saat mengikuti pendidikan universitas sama dengan daerah b + c + d, sedangkan manfaat (benefit) yang akan diterima jika lulus pendidikan universitas mengalami peningkatan yaitu aliran pendapatan C yang lebih tinggi dibandingkan B (daerah f). Dengan demikian, tingkat pendidikan universitas menghasilkan net present value terbesar dari pendapatan seumur hidupnya.

Bentuk aliran pendapatan (age-earnings profiles) pada dasarnya mencerminkan dua faktor kunci. Pertama, untuk setiap profil, pendapatan meningkat sejalan dengan usia, namun pada tingkatan yang menurun (decreasing rate). Bentuk concave ini menunjukkan bahwa individu terus melakukan investasi modal manusia dalam bentuk on-the-job training dan pengalaman kerja setelah memasuki angkatan kerja. Pengalaman kerja tersebut akan menambah produktivitas dan pendapatan di awal karir karena adanya timbal balik yang semakin menurun dengan pengalaman. Selain itu, pendapatan individu dengan tahun pendidikan lebih tinggi akan terletak di atas tahun pendidikan individu yang lebih rendah. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan akan memberikan keterampilan yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan individu di pasar tenaga kerja.

Ada beberapa asumsi yang berkaitan dengan aliran pendapatan yang dipilih oleh individu yaitu menekankan bahwa pendidikan sebagai suatu investasi bukan merupakan keputusan konsumsi. Asumsi kedua, menyiratkan bahwa kuantitas waktu luang (leisure) sama untuk setiap aliran atau arus pendapatan sehingga dapat dibandingkan dari pendapatan itu sendiri. Asumsi ketiga adalah mengabaikan atau mengeyampingkan adanya komplikasi risiko dan ketidakpastian. Asumsi keempat adalah adanya kondisi perfect capital

markets, dimana individu dapat mendasarkan keputusan investasi pada pendapatan seumur

hidupnya secara keselurugan, tanpa khawatir dengan waktu pendapatan dan pengeluaran. Secara umum, menuntut ilmu di jenjang yang lebih tinggi pasti akan mengorbankan waktu. Padahal waktu tersebut bisa digunakan untuk mencari uang secara langsung. Tapi, dengan meningkatnya tingkat pendidikan maka akan meningkatkan tingkat pendapatan juga, sehingga manusia dalam hal ini harus memilih, menggunakan waktunya untuk langsung mencari uang, atau mengorbankan waktunya untuk pergi ke jenjang yang lebih tinggi yang akan meningkatkan pendapatan di masa depan. Tetapi pada umumnya dengan menuntut ilmu yang lebih tinggi akan membawa keuntungan total yang lebih tinggi pula. Secara formal, keuntungan pendapatan yang diperoleh oleh seseorang dapat ditulis sebagai berikut:

Ε𝔱 − Ν𝔱 ( 1 + 𝑖 )ͭ Et = Pendapatan dengan pendidikan tambahan N = Pendapatan tanpa pendidikan tambahan t = Tahun

i = tingkat diskonto

berdasarkan persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum meningkatkan pendidikan dengan mengorbankan waktu yang bisa digunakan untuk mendapatkan uang, secara rata-rata akan lebih menguntungkan dibandingkan langsung bekerja.

b. Tingkat pengembalian sosial untuk investasi pendidikan (The Social Return to

Education)

Tingkat pengembalian sosial dalam investasi pendidikan mengindikasikan adanya harapan investasi pendidikan pada masyarakat. Perbedaan antara hasil privat (private

returns) dan sosial (social return) untuk pendidikan merupakan motivasi utama untuk

pemerintah dalam melakukan intervensi. Eksternalitas modal manusia, subsidi pemerintah, pajak dan lembaga-lembaga pasar tenaga kerja mungkin semuanya dapat mendorong

wedges antara return privat dan sosial. Namun, pengetahuan antara pengembalian privat

untuk pendidikan banyak diketahui, sedangkan pengetahuan tentang pengembalian atau hasil sosial pendidikan masih belum banyak dibahas. Sementara itu, sama halnya dengan biaya pendidikan indvidual yang mencakup direct dan indirect cost, biaya sosial pendidikan adalah biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat seluruhnya sebagai akibat memenuhi permintaan akan perluasan pendidikan dan semakin meningkat seiring dengan tingginya jenjang pendidikan.

Bukti penelitian menunjukkan ada perolehan pribadi yang substansial dari investasi di bidang pendidikan, tetapi penting pula untuk mempertanyakan apakah perolehan yang didapat oleh individu selain dari orang yang sebenarnya menginvestasikan dalam modal manusia yaitu: adakah tingkat pengembalian sosial dari pendidikan dan apa yang didapat oleh seorang individu? Dalam ilmu ekonomi, fenomena semacam ini dikenal sebagai eksternalitas positif dan keberadaannya menjustifikasi keterlibatan pemerintah untuk memajukan pendidikan. Tanpa eksternalitas semacam itu, pemikiran campurtangan pemerintah di bidang pendidikan menjadi jauh lebih lemah.

Dua pendekatan umum telah digunakan untuk mengukur besaran eksternalitas. Pertama, para ahli makroekonomi telah mencoba untuk mengidentifikasi agregat eksternalitas modal manusia. Suatu fokus terbaru dari literatur ini adalah menentukan apakah pekerja berkeahlian (berpendidikan tinggi) cenderung menaikkan upah pekerja tak berkeahlian (Ciccone dan Peri, 2006). Lebih umum lagi, pendekatan agregat ini mencoba untuk mengukur apakah ada benefit moneter untuk keseluruhan ekonomi yang tidak sepenuhnya tercerminkan oleh upah. Tidak ada konsensus / kesepakatan tentang besaran dari efek agregat ini. Pendekatan kedua adalah suatu pencarian yang memiliki fokus lebih sempit untuk mengidentifikasi eksternalitas spesifik dari pendidikan, biasanya melibatkan hasil nonmoneter. Beberapa contoh termasuk berikut ini:

Kewarganegaraan. Seorang warganegara yang terdidik sering kali dianggap

diperlukan untuk suatu fungsi demokrasi. Tugas dasar seperti memberikan suara dan membayarkan pajak membutuhkan tingkat fungsi kognitif dasar. Penelitian baru-baru ini mencoba mengukur apakah pendidikan memiliki efek kausal yang jelas pada perilaku penggunaan hak suara. Milligan et al (2004) mendapati bahwa pendidikan meningkatkan partisipasi kewarganegaraan di Amerika Serikat. Mereka juga mendapati bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki hubungan positif dengan kesadaran individu terhadap isu isu kampanye dan bahwa individu yang terdidik secara umum lebih terlibat dalam proses politis.

Kejahatan / Kriminalitas. Kegiatan kriminalitas menawarkan suatu aspek menarik

dari studi tentang eksternalitas. Tindak kejahatan hampir selalu menyebabkan kerugian terhadap orang selain dari orang yang melakukan kriminalitas. Maka berkurangnya kriminalitas karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah de facto dari eksternalitas pendidikan. Penjelasan modal manusia untuk suatu hubungan antara pendidikan dan kriminalitas biasanya melibatkan argumen kesempatan dan biaya. Individu yang hanya memiliki sedikit keahlian yang bisa dijual memiliki biaya peluang yang rendah dalam komisi kejahatan dan dalam biaya waktu kemungkinan apabila dipenjara. Argumen semacam ini digunakan untuk menjelaskan profil usia yang sering kali tercatat melakukan tindak kriminalitas: kejahatan properti dan kekerasan meningkat pada remaja pria, memuncak di akhir masa remaja, dan menurun pada periode usia setelahnya. Di sisi lain kejahatan kerah putih, yang cenderung membutuhkan suatu kecanggihan tersendiri, memuncak pada usia yang jauh lebih tua, dan jauh lebih lambat menurunnya. Suatu penelitian yang menarik oleh Lochner dan Moretti (2004) mencoba untuk mengukur efek kausal dari pendidikan pada aktifitas kriminal. Mereka mengestimasi bahwa satu tahun ekstra pendidikan menghasilkan pengurangan 0.37 poin persentase untuk kulit putih. Mereka mengestimasi bahwa tabungan sosial per lulusan sma tambahan adalah antara 1170 dollar dan 2100 dollar. Mereka juga mendapati bahwa hampir seperempat perbedaan antara gap kulit hitam dan kulit putih dalam tingkat dipenjara bisa dikaitkan terhadap perbedaan dalam lama masa pendidikan.

Kesehatan. Kasus eksternalitas di kesehatan secara teori meyakinkan tetapi lemah

secara empiris. Contohnya saja vaksinasi. Melakukan vaksinasi pada individu terhadap penyakit tertentu memberi manfaat individu (tingkat pengembalian pribadi), tetapi juga menurunkan tingkat insiden penyakit tersebut di masyarakat (tingkat pengembalian sosial). Bila pendidikan memiliki suatu efek kausal yang meningkatkan tingkat vaksinasi, ini akan mengimplikasikan adanya suatu eksternalitas. Walaupun suatu hubungan korelasi positif terdapat antara pendidikan dan tingkat vaksinasi, suatu hubungan definitif kausal belum bisa ditetapkan.

Hubungan lain yang mungkin di bidang kesehatan melibatkan efek pendidikan untuk menurunkan perokok dan mengemudi dalam keadaan mabuk. Kedua aktifitas ini memiliki potensi untuk lebih merugikan orang lain dibandingkan orang yang terlibat dalam aktifitas tersebut. Tetapi sama halnya dengan vaksinasi, bukti empiris yang kuat saat ini masih kurang. Beberapa penelitian terbaru beranggapan bahwa individu tidak secara cukup masuk untuk efek adiktif dari produk seperti rokok dan alkohol dan bahwa hasil dari kerusakan yang tak dimaksudkan kepada seorang individu akibat tindakan mereka lebih dianggap sebagai eksternalitas. Penelitian ini masih dalam tahap awal dan belum ada penelitian empiris yang definitif yang telah dihasilkan. Akhirnya, beberapa peneliti telah beranggapan bahwa asuransi merupakan hasil eksternalitas pendidikan untuk kesehatan (Manning et al., 1991). Bukti empiris menunjukkan bahwa pendidikan cenderung mengarah ke gaya hidup yang lebih sehat, tetapi dengan skema asuransi, individu yang sehat tidak mendapa imbalan dari ada premium asuransi kesehatan yang lebih rendah pada asuransi berbasis pekerjaan, meskipun ada reduksi dalam pengeluaran medis karena kesehatan yang lebih baik. Dengan tidak mendapat imbalan, individu yang sehat mengalami eksternalitas positif dari individu yang kurang sehat dalam kelompok tersebut. Besaran empiris dari efek potensialnya masih belum pasti.

c. Estimasi Empiris dan Metodologi

Penelitian modern tentang modal manusia (human capital) terjadi bertepatan dengan 2 (dua) perkembangan dalam ilmu ekonomi. Pertama, adalah munculnya kembali minat untuk memahami mengapa ekonomi tumbuh. Hal ini perhatian bagi para peneliti bahwa output nasional tumbuh dengan tingkatan yang lebih cepat daripada tingkatan pertumbuhan input, baik tanah, tenaga kerja, dan modal fisik (Denison, 1962). Suatu hipotesis utama untuk menjelaskan anomali tersebut adalah bahwa tenaga kerja telah dinilai secara keliru, dimana kondisi kerja dari seorang pekerja di tahun 1950an sangat berbeda secara substansi dengan apa yang dilakukan seorang pekerja pada tahun 1920an. Perkembangan yang kedua berkaitan dengan perkembangan pertama yaitu ketersediaan data (data set) yang besar yang memungkinkan eksplorasi produktifitas pekerja dan pendapatan dan bagaimana pekerja tersebut berhubungan dengan karakteristik seperti tahun pendidikan dan usia. Data tersebut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan meningkat secara dramatis dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mungkin akan dapat menjelaskan naiknya produktifitas dan upah.

Ada 3 (tiga) hal yang mendapatkan perhatian di tengah berkembangnya karya empiris dan teoretis pada akhir tahun 1950an dan awal 1960an. Jacob Mincer (1958) menstimulasi banyak kajian empiris yang mengukur manfaat dari pendidikan. Menggunakan data sensus, Mincer mendokumentasikan hasil yang sekarang terkenal sebagai hasil klasik,

dimana tahun-tahun pendidikan memiliki bentuk U terbalik dengan tingkat pertumbuhan pendapatan. Theodore Shultz berfokus pada peranan pendidikan dan investasi umum dalam modal manusia dalam menjelaskan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Monografnya yang berjudul The Economic Value of Education atau Nilai Ekonomi dari Pendidikan memfokuskan perhatian pada pendidikan sebagai suatu subjek yang layak menjadi konsentrasi penelitian oleh para ahli ekonomi, dengan demikian memulai bidang ilmu ekonomi dari pendidikan. Gary Becker (1964) mengorganisir munculnya jalinan terpisah karya teoretis dan empiris menjadi suatu framework atau paduan yang koheren yang menjadi suatu buku panduan bagi penelitian yang akan datang.

Penelitian tentang modal manusia telah terbukti sangatlah membuahkan hasil dengan sejumlah penelitian dengan segenap implikasinya bagi individu, perusahaan, dan negara antara lain pendidikan sebagai suatu investasi pada modal manusia. Selanjutnya, adalah hasil privat dari pendidikan. Tingkat pengembalian yang dalam ekonomi disebut dengan istilah return biasanya diukur dengan unit moneter, namun sejumlah bukti tentang pengembalian nonmoneter juga dibahas. Ini lalu diikuti dengan suatu diskusi pengembalian sosial dari pendidikan. Sejak masanya Adam Smith, potensi eksternalitas dari pendidikan telah mendapat catatan khusus, dan bagian ini mendiskusikan sejumlah temuan yang lebih utama dalam literatur empiris.

Walaupun teori modal manusia menyatakan bahwa individu berinvestasi pada pendidikan untuk mengantisipasi sejumlah manfaat atau benefit, sebagian besar karya empiris telah berfokus pada imbalan moneter dari bentuk peningkatan pendapatan. Data semacam itu cenderung menunjukkan tingkat pengembalian sebesar 10% untuk satu tahun tambahan pendidikan, dengan sejumlah variasi berdasarkan gender dan ras atau etnis (Psacharopoulos dan Patrinos 2004). Ukuran pengembalian ini mengabaikan benefit

nonmoneter dan konsumsi dari pendidikan, dan juga mengabaikan eksternalitas apapun

yang berkaitan dengan pendidikan.

Beberapa permasalahan metodologi muncul dalam melakukan estimasi tingkat pengembalian dari pendidikan (returns to education). Tujuan dari sebagian besar kajian empiris adalah untuk menetapkan suatu hubungan kausal antara pendidikan dan pengukuran pengembalian, yang cenderung lebih sulit dibandingkan semata mengukur suatu korelasi. Penelitian terdahulu membandingkan profil pendapatan seumur hidup untuk kelompok dengan tingkat pencapaian pendidikan yang berbeda. Analisis lebih jauh berdasarkan analisis regresi linier majemuk telah mencoba untuk menyertakan sejumlah masalah teknik estimasi antara lain omitted variables, nonrandom sample, measurement

error dan endogeneity.

Suatu variabel kunci yang hilang dalam banyak kajian empiris adalah kemampuan dalam diri (misalnya kecerdasan alami, etos kerja) yang juga dapat menyertakan upaya yang tak teramati. Kesulitan mendasarnya aalah bahwa individu dengan kemampuan tinggi cenderung memperoleh lebih banyak tahun pendidikan dibandingkan individu dengan kemampuan rendah, tetapi individu dengan kemampuan tinggi juga cenderung untuk berpenghasilan lebih untuk jumlah pendidikan berapapun dibandingkan individu berkemampuan rendah. Ini membuat menjadi sulit untuk mengurai efek dari pendidikan versus kemampuan dalam diri.

Sejumlah besar literatur ditujukan untuk menyelidiki dan mengatasi masalah ini. Idealnya, seorang peneliti akan mengamati apakah individu identik yang berbeda hanya pada tingkatan pendidikan. Walaupun pendekatan ini sulit dilakukan pada prakteknya,

strategi penelitian yang lebih baik menggunakan ekonometri lanjutan telah dilakukan dengan berbagai tingkat keberhasilan.

Nonrandom sampling seringkali menjadi masalah dengan estimasi tingkat

pengembalian pendidikan bagi individu dengan keterkaitan yang lemah dengan pasar tenaga kerja. Misalnya, berkebalikan dengan sebagian besar pria yang berpendidikan kampus, sejumlah besar wanita yang lulus dari kampus akan keluar dari pasar tenaga kerja selama periode waktu tertentu. Ini mengimplikasikan bahwa mengestimasi tingkat pengembalian kampus akan mengandalkan subset data yang tersedia (wanita yang bekerja) yang mungkin tidak representatif untuk populasi wanita sepenuhnya. Sama halnya dengan menghitung kemampuan yang tak teramati, sejumlah literatur telah muncul untuk tipe masalah ini, lagi-lagi dengan tingkatan keberhasilan yang bervariasi.

Measurement error dapat terjadi pada beberapa variabel dalam model empiris. Satu

contohnya adalah penghasilan, dimana penghasilan bisa dinyatakan secara salah dalam survei karena kecerobohan entah itu dari responder atau dari orang (atau mesin) yang melakukan koding informasi; atau, kecurigaan responder terhadap perangkat survei yang dapat menyebabkan ketidakakuratan data. Masalah-masalah semacam ini dapat mengaburkan pengukuran dari hubungan kausal antara bersekolah dan penghasilan, dan hubungan antara akumulasi modal manusia dan hasilnya secara lebih umum. Beberapa pendekatan telah digunakan untuk mengindahkan masalah ini, yang paling sederhana adalah dengan mengembangkan sumber data yang lebih baik.

Endogenrity muncul dalam situasi dimana sejumlah outcomes diputuskan secara

bersamaan. Misalnya keputusan kesuburan rumah tangga cenderung dibuat bersamaan dengan keputusan tentang tingkat dan tipe pendidikan yang akan dicapai. Ini membuat sulit untuk mengukur dampak kausal dari satu variabel endogen ke variabel lainnya, walaupun hubungan kausal semacam itu secara teori bisa terjadi. Sebagai contoh, sepertinya memiliki anak tambahan lebih memakan biaya dan dengan demikian menurunkan kemungkinan yang bersangkutan akan mendapatkan tahun-tahun pendidikan tambahan. Tetapi pengukuran efek independen terkaburkan oleh proses keputusan gabungan. Strategi yang lazim untuk menghadapi endogenitas adalah menggunakan teknik ekonometri yang dikenal sebagai estimasi instrumental variabel (intrumental variables). Teknik estimasi rumit alternatifnya juga telah digunakan dalam karya empiris.

Dokumen terkait