II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Model Ekonomi Rumahtangga
Perilaku ekonomi rumahtangga petani dapat dilihat dari segi pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan pada rumahtangga petani dapat didasarkan
pada peran rumahtangga dalam mengambil keputusan ekonomi. Terdapat dua
peran rumahtangga dalam pengambilan keputusan ekonomi yaitu peran tunggal
dan ganda.
Pada model rumahtangga berperan tunggal, rumahtangga hanya sebagai
produsen atau konsumen saja. Dalam teori ekonomi, terdapat dua permasalahan
yang menjadi perhatian yaitu masalah produsen dalam mengambil keputusan
produksi dan masalah konsumen dalam mengambil keputusan konsumsi
(Henderson dan Quandt, 1980; Beattie dan Taylor, 1985; Debertin, 1986;
Chambers, 1988). Pada umumnya kedua permasalahan tersebut dianalisis secara
terpisah melalui perilaku produsen saja atau konsumen saja. Analisis tersebut
dilakukan untuk menyederhanakan fenomena yang terdapat di lapangan.
Sedangkan pada model rumahtangga berperan ganda, pengambilan
keputusan produksi dan konsumsi dilakukan sebagai satu kesatuan oleh
rumahtangga dan dianalisis secara terintegrasi. Dalam model rumahtangga
berperan ganda ini, rumahtangga petani bertindak baik sebagai produsen dan
konsumen. Model rumahtangga berperan ganda lebih realistis karena realitanya
rumahtangga petani di negara-negara berkembang pada umumnya merupakan
Model ekonomi pengambilan keputusan rumahtangga pertama kali
dikemukakan oleh Chayanov (Ellis, 1988) dengan teori maksimisasi utilitas
rumahtangga. Teori tersebut memfokuskan pada pengambilan keputusan
rumahtangga yang berkenaan dengan jumlah tenaga kerja keluarga yang
menjalankan kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dengan
menggunakan asumsi waktu kerja dan santai (leisure). Dari model rumahtangga
tersebut, kemudian Becker (1976) mengembangkan dengan menggunakan asumsi
bahwa alokasi waktu rumahtangga terdiri dari waktu kerja di rumah, kerja upahan
dan santai. Dengan perkembangan waktu, model ekonomi rumahtangga
dikembangkan oleh Barnum dan Squire (Ellis, 1988) yang mana rumahtangga
mempunyai kebebasan untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga sedangkan
tenaga kerja dalam keluarga juga dapat bekerja di luar dengan memperoleh tingkat
upah tertentu.
Selanjutnya model rumahtangga petani Low (Ellis, 1988)
mengkombinasikan beberapa model tersebut di atas dengan memberikan
penekanan diantaranya pada pasar tenaga kerja, yang mana tingkat upah bervariasi
berdasarkan kategori jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini
mengimplikasikan perbedaan anggota rumahtangga mempunyai perbedaan
potensial untuk penerimaan upah. Selain hal tersebut juga ada penekanan pada
perbedaan harga pangan di tingkat rumahtangga petani dengan tingkat pengecer.
Sedangkan Nakajima (1986) mengembangkan teori rumahtangga petani
dengan berbagai perilaku rumahtangga yang mengkombinasikan curahan tenaga
kerja keluarga dengan konsumsi produk yang dihasilkan. Adapun alternatif
usahatani, b) semua tenaga kerja keluarga tercurah pada usahatani tanpa menyewa
tenaga kerja, dan c) semua tenaga kerja keluarga tercurah dan menyewa tenaga
kerja. Sedangkan alternatif konsumsi produk mencakup usahatani komersial
murni, usahatani komersial dengan sebagian produk dikonsumsi, usahatani
subsisten dan usahatani dengan pembelian sebagian untuk konsumsi rumahtangga.
Selanjutnya Singh et al. (1986) mengembangkan model rumahtangga
pertanian (agricultural household model) khususnya dalam perilaku rumahtangga
pertanian. Rumahtangga diasumsikan memaksimumkan utilitas dengan kendala
pendapatan tunai, waktu dan teknologi produksi. Dengan menurunkan
keseimbangan pada rumahtangga dapat diperoleh fungsi penawaran output,
permintaan input dan permintaan komoditas, termasuk leisure. Penawaran output
dan permintaan input merupakan fungsi dari harga input, harga output dan
karakterisitik usahatani termasuk input tetap. Sedangkan permintaan komoditas
merupakan fungsi dari harga komoditas, full income dan karakterisitk
rumahtangga. Keputusan produksi sangat mempengaruhi keputusan konsumsi.
Model rumahtangga pertanian tersebut selanjutnya dikembangkan secara
empiris dengan menganalisis keterkaitan antara keputusan produksi dan konsumsi
dengan mengestimasi penawaran dan permintaan komoditas serta permintaan
input (Singh et al., 1986). Leisure merupakan salah satu produk yang dikonsumsi
selain komoditas pertanian dan non pertanian. Dari hasil kajian tersebut terdapat
perbedaan bahwa elastisitas harga sendiri terhadap konsumsi barang pertanian
bernilai positif di Malaysia dan bernilai negatif di Jepang dan Thailand.
Pada umumnya model rumahtangga petani yang sudah dilakukan tersebut
Subramanian (1986) dalam Singh et al.(1986) dan Sawit (1993) mengembangkan
model rumahtangga dengan mengkaji multicrop pada rumahtangga petani. Selain
multicrop, Sawit (1993), Leones dan Feldman (1998) juga mengembangkan
model dengan mempertimbangkan multiemployment yang diukur dari pendapatan
yang berasal dari pertanian, non pertanian maupun non aktivitas seperti kiriman
uang dan penyewaan aset.
Dalam analisis kebijakan pada model ekonomi rumahtangga, Taylor dan
Adelman (2003) mengkaji pengaruh kebijakan penurunan harga dasar barang
pokok dan transfer pendapatan terhadap produksi dan pendapatan rumahtangga.
Penurunan harga dasar barang pokok menyebabkan penurunan output barang
pokok, permintaan tenaga kerja, pendapatan rumahtangga, permintaan konsumsi
(cash crop, market good dan leisure) dan market surplus barang pokok.
Sedangkan adanya transfer pendapatan menyebabkan adanya peningkatan pada
indikator tersebut di atas kecuali market surplus dan cash crop.
Dari segi metoda, model ekonomi rumahtangga selanjutnya telah
dikembangkan dengan menggunakan persamaan simultan seperti yang dilakukan
oleh Pradhan dan Quilkey (1985), dengan mengkaitkan adopsi teknologi dengan
keputusan produksi, konsumsi dan penggunaan input serta dilakukan simulasi
terhadap skenario kebijakan. Metoda tersebut selanjutnya digunakan oleh Basit
(1996), Hardono (2002), Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Bakir (2007).
Sedangkan Hendratno (2006) dan Sawit (1993) menganalisis rumahtangga petani
tetapi tidak menggunakan persamaan simultan.
Selanjutnya Fabella (1986) menyatakan terdapat ketergantungan antara
keputusan terkait melalui tingkat pendapatan yang dicapai dalam produksi.
Apabila solusi blok produksi dapat ditentukan sebelum solusi blok konsumsi
maka dinamakan blok recursive system. Dalam recursive system, keputusan
konsumsi tidak memberikan pengaruh balik (feed back) terhadap keputusan
produksi, atau keputusan produksi terpisah (independent) dari keputusan
konsumsi. Konsep recursive identik dengan konsep model separable seperti yang
dikemukakan oleh Wik et al. (1998) bahwa pada model separable semua harga
adalah exogenous dan keputusan produksi bebas dari keputusan konsumsi.
Sementara itu Lofgren dan Robinson (1999) mengembangkan model
rumahtangga non separable dengan biaya transaksi sebagai endogenous dan
menggunakan Computable General Equilibrium (CGE). Keputusan produksi dan
konsumsi pada rumahtangga petani bersifat non separable mengindikasikan
ketidaksempurnaan pasar, sedangkan harga ditentukan secara endogenous oleh
interaksi permintaan dan penawaran. Sementara itu perilaku dari rumahtangga
antar waktu (intertemporal) telah dikaji oleh Mazzocco (2001).