• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Model Erosi Tanah dan Pengelolaan DAS

Degradasi lahan merupakan konsepsi komprehensif yang pada hakekatnya berkaitan erat dengan kesalahan manusia dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan. Pengertian konsepsi tersebut mencakup penurunan kualitas tanah sebagai akibat proses erosi tanah, salinisasi tanah, dan pencemaran tanah (Barrow, 1991).

Erosi tanah menyebabkan kehilangan hara tanaman yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tanah. Hal tersebut memberikan konsekuensi semakin meningkatnya biaya yang diperlukan untuk

19

mempertahankan kesuburan tanah (Kurnia, 1996). Hashim et al. (1996) menyatakan bahwa erosi tanah sebanyak 47,6 ton ha-1 pada lahan petani di Viantiane telah mengangkut unsur hara nitrogen, fosfor, dan kalium masing- masing sebanyak 104,2, 32,3, dan 358,7 kg ha-1.

Lal (1998) menyatakan bahwa pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung yang terjadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari proses erosi tanah adalah robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem perakaran dan hanyutnya pupuk yang telah diberikan oleh. Pengaruh tidak langsung dalam jangka panjang adalah menurunnya kedalaman solum sebagai akibat terhanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya kapasitas air tanah tersedia, dan kandungan karbon organik.

Sinukaban et al. (2000) telah mempelajari perubahan sistem hidrologi di sub DAS Way Besay sebagai akibat perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal budidaya pertanian. Berkurangnya luas hutan sejak periode 1975 – 1998 menyebabkan meningkatnya debit sungai yang melebihi kriteria lebih besar dari 15, 25, dan 35 m3 detik-1. Perubahan tersebut disebabkan karena berkurangnya intersepsi tajuk pohon, berkurangnya evapotranspirasi, dan kerusakan struktur tanah lapisan atas (top soil) sebagai akibat terjadinya erosi tanah.

Pemilihan model penduga erosi tanah ditentukan oleh tujuan penggunaan model dan skala atau luas wilayah yang akan direncanakan. Dengan kata lain, sebelum suatu model digunakan maka pengguna harus mengetahui kekuatan dan kelemahan model tersebut baik berdasarkan pertimbangan faktor-faktor yang akan digunakan maupun keluaran (output) yang dihasilkan dari hasil simulasi model.

Pada tahun 1972 Wischmeier telah mengembangkan perhitungan kehilangan tanah dalam jangka panjang yang terjadi pada erosi lembar dan erosi alur. Persamaan tersebut dikenal dengan istilah ″Universal Soil Loss Equation

atau yang disingkat dengan USLE (Arsyad, 2000). Dalam bahasa Indonesia USLE di terjemahkan menjadi ″Persamaan Umum Kehilangan Tanah″ yang di

20

singkat dengan PUKT. Persamaan USLE dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

A = R K L S C P ... (2.11)

A menyatakan jumlah tanah yang tererosi (ton ha-1 tahun-1), R menyatakan faktor hujan yang dikenal dengan istilah erosivitas hujan(ton m ha-1 jam), K menyatakan faktor erodibilitas tanah (ton ha-1 unit R-1), L menyatakan faktor panjang lereng (tanpa dimensi), S menyatakan faktor kelerengan (tanpa dimensi), C menyatakan faktor tanaman (tanpa dimensi), dan P menyatakan faktor penerapan konservasi (tanpa dimensi).

Berdasarkan sejarahnya, pada tahun 1980-an Departemen Pertanian Amerika serikat (USDA) menggunakan model USLE dan mengumpulkan data yang berasal dari lebih dari satu juta titik sampel di Amerika Serikat (Wischmeier dan Smith, 1976). Faktor-faktor yang digunakan dalam perancangan model USLE tidak ada yang berorientasi pada kondisi geografi pada daerah tertentu secara langsung. Berdasarkan atas kelemahan model USLE tersebut maka secara konseptual model tersebut hanya dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menentukan pemilihan tindakan konservasi tanah pada skala usahatani. Sa’ad (2002) menyatakan bahwa model USLE secara konseptual kurang valid digunakan untuk menduga erosi pada skala DAS.

Model Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) telah dikembangkan oleh William (1975) berdasarkan perhitungan volume dan debit puncak aliran permukaan yang mempengaruhi erosi tanah. Meninjau model MUSLE masih dikembangkan berdasarkan model erosi skala plot menyebabkan kelemahan-kelemahan yang ada pada model USLE sama dengan kelemahan yang terdapat pada model tersebut.

Model Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE) dapat digunakan untuk memprediksi erosi lembar dan erosi alur. Kekuatan dari model RUSLE adalah disebabkan karena model tersebut dibangun berdasarkan hasil pertemuan nasional masyarakat konservasi tanah dan air di Amerika Serikat pada tahun 1993 yang membahas data erosi tanah pada areal lebih dari 10.000 plot

21

penelitian erosi tanah tahunan (Renard et al., 1996). Seperti halnya dengan struktur model USLE maka struktur Model RUSLE juga dirancang berdasarkan 6 faktor yang digambarkan dalam perkalian R (erosivitas hujan/aliran permukaan), K (erodibilitas tanah), LS (panjang lereng dan kemiringan lahan), C (pengelolaan tanaman), dan P (praktek-praktek pengelolaan pertanian yang diterapkan).

Nilai R pada model RUSLE meningkat sejalan dengan meningkatnya curah hujan dan aliran permukaan (run- off). Nilai K merupakan fungsi dari distribusi ukuran partikel, kandungan bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah. Faktor LS meningkat sejalan dengan meningkatnya panjang lereng dan kemiringan lahan. Asumsi tersebut didasarkan atas akumulasi aliran permukaan dan percepatan aliran sesuai dengan arah kemiringan lahan. Nilai C menurun sejalan dengan meningkatnya luas penutupan lahan dan biomassa tanah. Program RUSLE dengan komputerisasi telah dikembangkan berdasarkan teknik perhitungan nilai C pada suatu areal tertentu sejalan dengan waktu sehingga dimungkinkan untuk memprediksi erosi tanah berdasarkan perubahan jumlah biomassa tanah. Nilai P menurun sejalan dengan meningkatnya praktek-praktek pengelolaan pertanian yang bertujuan untuk menurunkan volume dan kecepatan aliran permukaan.

RUSLE dianggap oleh para ahli konservasi tanah di Amerika Serikat sebagai perangkat untuk memprediksi erosi tanah dan sedimentasi yang cukup handal (Renard et al., 1996). Model RUSLE telah diperbaiki berdasarkan kelemahan model USLE sehingga menghasilkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:

1. Model RUSLE dapat bekerja lebih efektif dan efisien dari pada penggunaan data erosi tanah absolut

2. Prediksi kehilangan tanah pada jangka panjang dapat dimungkinkan dilakukan dengan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan prediksi erosi tanah pada setiap kejadian hujan

3. Verifikasi model yang dilakukan berdasarkan penggunaan data kelerengan dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dan Digital

22

Elevation Model (DEM) memungkinkan untuk digunakan dalam

mengevaluasi erosi dalam skala ruang yang lebih besar dan kompleks. 4. Model RUSLE dapat digunakan untuk prediksi erosi pada skala DAS

5. Penggunaan Model RUSLE dapat digunakan berdasarkan kawasan yang lebih luas dengan mempertimbangkan perubahan kondisi geografis setempat sehingga kesalahan-kesalahan dalam aplikasinya dapat dikurangi.

Model EPIC (Erosion Productivity Impact Calculator) dikembangkan oleh William et al., (1983) untuk mengevaluasi pengaruh erosi tanah terhadap produktivitas lahan. EPIC merupakan model simulasi kontinyu yang dapat digunakan untuk menentukan pengaruh strategi pengelolaan lahan terhadap produksi pertanian dan sumberdaya tanah dan air. Simulasi model EPIC memerlukan data kondisi iklim dan hidrologi, erosi tanah dan sedimentasi, siklus nutrisi, degradasi pestisida, pertumbuhan tanaman, temperatur tanah, pengolahan tanah, dan pengendalian lingkungan tanaman. Perancangan model EPIC untuk membangun sub model aliran permukaan didasarkan atas penggunaan teknik bilangan kurva (curve number) dari metode Soil Conservation Service (SCS). Sub model presipitasi dirancang berdasarkan model rantai Markov ordo satu. Sub model evapotranspirasi dirancang berdasarkan pilihan-pilihan model Hargreaves dan Samani, Penman, Priestly- Taylor, dan Penman-Monteith. Sub model erosi tanah oleh penyebab air dirancang berdasarkan persamaan USLE, sedangkan perancangan sub model erosi tanah oleh penyebab angin dibangun berdasarkan persamaan WECS (Wind Erosion Continuous Simulation).

ANSWERS (Aerial Non-Point Source Watershed Environmental Response Simulation) merupakan model prediksi erosi tanah yang memerlukan masukan (input) parameter sifat fisik tanah, penggunaan lahan dan kondisi permukaan, dan kekasaran permukaan (Beasley dan Huggins, 1981; Aswandi, 1996; Hidayat, 2001). Sifat fisik tanah yang diperlukan sebagai masukan model ANSWERS meliputi: bobot isi, porositas total, kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang, kedalaman perakaran, laju infiltrasi, dan kandungan air tanah pada saat pengukuran laju infiltrasi air tanah. Masukan penggunaan lahan

23

dan kondisi permukaan tanah merepresentasikan kondisi penutupan tanah oleh tanaman dan kemudahan tanah untuk tererosi sebagai akibat keberadaan berbagai macam tanaman dan penggunaan lahan. Intersepsi potensial tajuk tanaman dan persentase penutupan tajuk tanaman terhadap permukaan tanah digunakan dalam merepresentasikan intersepsi hujan. Kekasaran permukaan diperhitungkan melalui penentuan koefisien Manning. Penggunaan input parameter-parameter penggunaan lahan dan kekasaran permukaan yang digunakan dalam model ANSWERS pada hakekatnya identik dengan penggunaan kombinasi nilai C dan P pada persamaan model USLE.

Model Agricultural Non-Point Source (AGNPS) merupakan model yang digunakan untuk memprediksi erosi tanah dan transportasi nutrisi tanaman pada skala DAS (Young et al., 1994). Perancangan sub model erosi tanah berdasarkan aplikasi model USLE menyebabkan berbagai bentuk kelemahan model USLE juga merupakan sumber kelemahan model AGNPS tersebut. Perancangan sub model hidrologi pada desain model AGNPS didasarkan atas teknik bilangan kurva dari metode Soil Conservation Service Soil Conservation Service (SCS). Untuk menerapkan model AGNPS maka wilayah DAS yang diteliti harus dibagi menjadi setiap satuan (grid) yang berbentuk bujur sangkar. Penerapan model AGNPS membutuhkan 22 parameter yang menggambarkan kondisi fisik (tipe tanah, dan topografi), praktek-praktek pengelolaan pertanian, dan curah hujan untuk memprediksi polusi unsur hara (nitrogen, fosfor, dan belerang), erosi tanah, dan aliran permukaan.

Model CREAMS (Chemicals, Runoff, and Erosion from Agricultural Management Systems) sesuai untuk digunakan memprediksi erosi tanah dan transportasi hara pada lahan yang mempunyai penggunaan lahan tunggal, kondisi tanah yang homogen, curah hujan yang dapat diasumsikan seragam secara spasial, dan praktek-praktek pengelolaan konservasi lahan pertanian yang sejenis. Perancangan sub model hidrologi dalam desain model CREAMS didasarkan atas 2 pilihan, yaitu: penggunaaan data hujan harian untuk memprediksi aliran permukaan (run-off) berdasarkan metode Soil Conservation Service (SCS) dan penggunaan data hujan per jam untuk memprediksi aliran permukaan berdasarkan metode pendugaan aliran permukaan berbasis infiltrasi.

24

Sub model erosi tanah dirancang berdasarkan model USLE. Sub model nutrisi tanaman dalam perancangan model CREAMS mempertimbangkan proses- proses mineralisasi nitrogen, nitrifikasi, denitrifikasi, serapan N dan P oleh tanaman, pencucian nitrat dalam lapisan perakaran oleh proses perkolasi, dan kandungan unsur N dan P yang hilang karena proses erosi tanah (Troeh et al., 2004).

Model The water Erosion Prediction Project (WEPP) digunakan untuk memprediksi erosi tanah pada lahan yang mempunyai kelerengan landai dan Daerah Aliran Sungai kecil. WEPP merupakan model prediksi erosi tanah berbasis proses, parameter terdistribusi, dan simulasi kontinyu. Penggunaan model WEPP secara sederhana membutuhkan data iklim (presipitasi, temperatur, radiasi matahari, dan kecepatan angin) yang dibangun berdasarkan penggunaan perangkat lunak CLIGEN, kelerengan lahan, parameter fisik dan hidrologi tanah, pengelolaan tanaman, dan irigasi. Selanjutnya penggunaan model WEPP untuk simulasi erosi tanah pada skala DAS membutuhkan data tambahan tentang semua informasi kelerengan di dalam DAS, konfigurasi struktur DAS, kondisi saluran yang meliputi panjang, lebar, dan kemiringannya. Keluaran (output) penggunaan model WEPP dapat menghasilkan informasi tentang erosi tanah dan pengayaan unsur hara yang terdapat dalam sedimen sejalan dengan waktu pengamatan, distribusi erosi tanah secara spasial pada setiap bentang lahan dan waktu, dan informasi tentang neraca air tanah (Troeh et al., 2004).

Misra et al. (1996) menyatakan bahwa GUEST (Griffith University Erosion System Template) merupakan model prediksi erosi tanah berbasis proses atau lebih dikenal dengan model erosi tanah berbasis white box. Penentuan konsentrasi sedimen yang terdapat pada aliran permukaan digunakan sebagai dasar pengetahuan untuk mempelajari proses interaksi antara pukulan air hujan terhadap permukaan tanah, karakteristik tanah, dan vegetasi yang terdapat pada permukaan tanah.

Pengkajian erosi tanah memerlukan tolok ukur yang dapat digunakan sebagai dasar perancangan sistem usahatani konservasi. Konsep TSL (Tolerable Soil Loss) atau erosi tanah yang masih dapat ditoleransi digunakan di Amerika

25

Serikat sejak awal tahun 1940-an (Troeh et al., 2004). Utomo (1993) mengemukakan bahwa adanya dasar pemikiran pembentukan tanah hanya terjadi pada tanah lapisan bawah dan bukan lapisan atas digunakan untuk mempertahankan kedalaman tanah (solum) yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.

Nilai erosi tanah yang masih dapat ditoleransi (TSL) merupakan suatu ukuran yang menyatakan besarnya laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi apabila dilakukan eksploitasi sumberdaya lahan pada suatu areal tertentu berdasarkan batas waktu tertentu. Besarnya nilai erosi yang masih dapat ditoleransi dapat diprediksi dengan menggunakan metode Hammer (1980) sebagai berikut:

TSL = [ ( DE – Dmin) / T ] + LPT ... (2.12)

TSL menyatakan laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi (mm tahun-1) ; DE menyatakan kedalaman tanah ekivalen (mm); Dmin menyatakan kedalaman tanah minimum yang diperlukan untuk perkembangan perakaran suatu jenis tanaman tertentu (mm); T menyatakan umur guna tanah (tahun); dan LPT menyatakan laju pembentukan tanah (mm/tahun).

Pada hakekatnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia yang meliputi segala aktivitasnya dengan tujuan untuk menjaga kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat sumberdaya alam bagi umat manusia secara berkelanjutan (Asdak, 2002).

Kakade et al., (2003) mengemukakan bahwa pendekatan secara holistik dalam perencanaan pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan bahwa terganggunya salah satu komponen pada sistem alam akan berpengaruh terhadap komponen lainnya dalam sistem tersebut. Pendekatan perencanaan ekosistem dalam pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan multisektoral yang meliputi keterkaitan antara faktor-faktor ekologi, sosial, politik, dan ekonomi.

Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, sistem pengelolaan DAS merupakan proses produksi yang mempertimbangkan faktor biaya yang diperlukan untuk

26

pemakaian sumberdaya serta keuntungan ekonomi yang diperoleh dari hasil proses pengelolaan sumberdaya (Dixon dan Easter, 1986).

Hufschmidt (1986) berpendapat bahwa pengelolaan DAS sebagai sebuah sistem perencanaan memiliki kerangka pemikiran yang meliputi 3 dimensi pendekatan analisis, yaitu: 1) proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi mempunyai kaitan yang erat, 2) sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program melalui kelembagaan yang relevan dan terkait, dan 3) serial aktivitas yang saling berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.

Pengelolaan DAS pada umumnya berkaitan dengan kegiatan antisipasi kejadian jangka panjang, oleh sebab itu akan menghadapi masalah ketidak pastian. Sejumlah ketidakpastian yang pada awalnya berkaitan dengan ketersediaan data dan informasi seringkali muncul dan selanjutnya menyebabkan kesulitan bagi perencana pengelolaan DAS untuk memprediksi berbagai kondisi yang akan datang. Ketidakpastian dalam masalah teknis tersebut dapat mengakibatkan dampak munculnya ketidakpastian dalam masalah sosial-ekonomi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh, usahatani konservasi dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS juga memerlukan sebuah perencanaan yang bersifat lintas sektoral. Pertimbangan- pertimbangan fisik-lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik secara holistik diperlukan untuk mengatasi ketidakpastian dalam pengelolaan DAS (Freebairn, 2004b).

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait