• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Perancangan Skenario Model Penggunaan Lahan untuk

Mengacu pada hasil analisis skala prioritas penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa maka untuk tujuan pengembangan budidaya pertanian dititik beratkan pada penggunaan lahan yang mempunyai urutan prioritas tertinggi, yaitu: kakao, kacang tanah, jagung, dan ubi kayu. Kebiasaan masyarakat menanam komoditas kacang tanah, jagung, dan ubikayu secara tumpang gilir maka dalam perencanaan skenario kebijakan penggunaan lahan tidak dilakukan perencanaan komoditas tersebut secara monokultur, akan tetapi direncanakan sebagai penggunaan lahan palawija dengan pola tanam tumpang gilir

Walaupun berdasarkan diskusi pakar menunjukkan bahwa penggunaan lahan padi beririgasi merupakan prioritas ke dua yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan pertanian di DAS Gumbasa, akan tetapi berdasarkan hasil diskusi stakeholder dinyatakan bahwa dalam jangka menengah pembangunan fasilitas irigasi dan pencetakan sawah baru belum merupakan prioritas dalam perencanaan pengembangan pertanian di DAS Gumbasa sehingga skenario

61

pengembangan budidaya padi beririgasi tidak dilakukan dalam perencanaan penggunaan lahan. Sebagai konsekuensinya maka dalam skenario kebijakan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di daerah penelitian usahatani padi beririgasi hanya dititik beratkan pada unit lahan yang pada kondisi aktual telah digunakan sebagai areal budidaya padi beririgasi. Selanjutnya unit lahan tersebut tidak diubah pemanfaatannya menjadi tipe penggunaan lain.

Berdasarkan atas kriteria klasifikasi kemampuan lahan untuk penggunaan pertanian (Sitorus, 1998; Arsyad, 2000) penggunaan lahan yang terletak pada kelerengan yang lebih besar dari 35 % tidak dapat diperuntukkan penggunaannya sebagai areal budidaya pertanian sehingga dalam penelitian skenario penggunaan lahan yang diterapkan adalah unit lahan yang terletak pada kelerengan lebih kecil dari 35 %, kecuali unit lahan yang pada kondisi aktual berada pada kelerengan di atas 35 % akan tetapi sedang digunakan sebagai areal budidaya pertanian.

Diskusi stakeholder untuk menentukan arahan tipe penggunaan lahan telah mempertimbangkan bahwa usahatani yang menjadi prioritas jangka menengah di Kabupaten Donggala adalah pengembangan komoditas kakao dan palawija. Oleh sebab itu, mengacu pada hasil diskusi kebijakan tersebut pengembangan komoditas yang tergolong urutan prioritas 6, 7, dan 8 (vanili, kelapa, dan cengkeh) tidak ditentukan sebagai skenario dalam membuat arahan kebijakan pengembangan pertanian di daerah penelitian.

Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa faktor-faktor penting yang perlu dikembangkan dalam perencanaan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan adalah konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Skenario yang dapat dikembangkan dalam pengembangan teknologi konservasi tanah secara mekanik di daerah penelitian adalah guludan, guludan bersaluran, dan teras kredit. Pengembangan teknologi konservasi tanah secara vegetatif yang dapat diterapkan pada areal budidaya palawija adalah pola tanam tumpang gilir. Kombinasi antara konservasi tanah secara vegetatif dan mekanik dapat direncanakan apabila penerapan salah satu teknik konservasi tanah tidak dapat mengurangi laju erosi tanah hingga berada di bawah TSL.

62

Pengembangan teknologi pasca panen pada penggunaan lahan kakao dilakukan melalui teknologi fermentasi, sedangkan pada penggunaan lahan kacang tanah, jagung, dan ubikayu (palawija) di lakukan melalui pengolahan hasil pertanian yang berasal dari sisa panen untuk tujuan produksi pakan ternak.

Mengacu pada hasil diskusi pakar dalam penentuan skala prioritas penggunaan lahan dan analisis prospektif untuk analisis kebijakan penggunaan lahan maka dapat dirancang skenario model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Gumbasa (Tabel 10).

Tabel 10. Skenario model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian Berkelanjutan di DAS Gumbasa.

Skenario Unit Lahan Luas Lahan (ha) Kelerengan (%) 1 2 3 4 5 6 7 3 262,20 6 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 5 300,00 7 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 6 279,88 11 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 7 305,25 25 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 8 279,88 9 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 9 1.566,81 12 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 10 473,38 18 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 11 289,30 36 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 12 423,27 6 PPK0 PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 14 908,48 11 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 15 3.977,84 14 H KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 16 1.314,95 17 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 17 1.057,63 5 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 18 1.274,78 5 KPT PPK0 KPT KPK2-TP PPK1-TP PPK1-TP PPK3-TP 22 531,34 9 KPT KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 25 1.269,74 12 H KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP 26 317,85 34 H KPT KPT KPK2-TP PPK1-TP KPK2-TP KPK3-TP

H : Hutan; KPT: Budidaya kakao pola pengelolaan pertanian tradisional; KPK2-TP : Budidaya kakao dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan guludan bersaluran dan penerapan teknologi pasca panen; KPK3-TP : Budidaya kakao dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teras kredit dan penerapan teknologi pasca panen; PPK0: Budidaya palawija dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teknologi pola tanam tumpang gilir dan penggunaan mulsa; PPK1-TP : Budidaya palawija dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teknologi pola tanam tumpang gilir, mulsa, guludan dan penerapan teknologi pasca panen; PPK3-TP: Budidaya palawija dengan menerapkan pola pengelolaan pertanian konservasi menggunakan teknologi pola tanam tumpang gilir, mulsa, teras kredit, dan teknologi pasca panen

5.4. Perancangan Model Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan

Perancangan model penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan ditujukan untuk menganalisis proses yang terjadi pada setiap sub model dan menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan dalam merancang struktur model. Terdapat 3 sub model yang dirancang untuk membangun model

63

penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan dalam penelitian ini, yaitu: 1) sub model evaluasi lahan, 2) sub model erosi tanah, dan 3) sub model usahatani.

5.4.1. Perancangan Sub Model Evaluasi Lahan

Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, dan persyaratan iklim untuk budidaya tanaman kakao maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya kakao di daerah penelitian. Kriteria penilaian kesesuaian iklim untuk budidaya kakao berdasarkan metode Sys et al. (1993) masih memerlukan penyesuaian/modifikasi dalam penerapannnya, terutama dalam penentuan harkat/bobot curah hujan tahunan. Modifikasi kriteria penilaian kesesuaian iklim tersebut diperlukan untuk menyesuaikan kondisi iklim di lapang dengan persyaratan penggunaan lahan untuk budidaya kakao berdasarkan kriteria Sys et al. (1993). Lopulisa dan Hernusye (1995) menyatakan bahwa penilaian kesesuaian lahan berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan oleh Sys et al. (1993) dapat digunakan di Indonesia, akan tetapi masih memerlukan penyesuaian/modifikasi.

Dasar diperlukannya modifikasi kriteria evaluasi iklim untuk budidaya tanaman kakao ditentukan berdasarkan analisis neraca air tanah di daerah penelitian (Gambar 11). 0 30 60 90 120 150 180

Jan Peb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des

B u l a n Ju ml a h Ai r ( mm)

CH Bulanan Kb. Air Kakao

KAT fc SAT cum

64

Gambar 11 menunjukkan bahwa walaupun curah hujan di daerah penelitian tergolong rendah (berkisar 1200 mm tahun-1) dengan intensitas terendah pada bulan Pebruari, akan tetapi sepanjang tahun pada areal budidaya kakao tersebut tidak mengalami cekaman air karena mendapatkan suplai air tanah yang cukup dari bulan sebelumnya. Curah hujan yang lebih tinggi dari kemampuan menahan air tanah dalam kondisi kapasitas lapang (KAT fc) memberikan sumbangan kehilangan air tanah melalui perkolasi dan aliran permukaan pada bulan April hingga Agustus.

Pada umumnya kebutuhan air tanaman kakao menunjukkan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan curah hujan bulanan yang terdapat di daerah penelitian. Kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang (KAT fc) sebesar 99 mm bulan-1 (kedalaman tanah yang dipertimbangkan sedalam 500 mm) ditentukan berdasarkan hasil penelitian Widjajanto et al. (2003) yang menyatakan bahwa kandungan air tanah pada areal budidaya kakao di DAS Gumbasa hulu adalah sebesar 18 % (w/w). Kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang pada areal budidaya kakao telah memberikan sumbangan air tanah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air sepanjang periode pertumbuhan tanaman. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh kandungan air tanah kumulatif tersisa (SAT cum) yang selalu menunjukkan nilai positif. Evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya tanaman kakao disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Evaluasi kesesuaian iklim untuk pengembangan kakao di DAS Gumbasa.

NO KARAKTERISTIK IKLIM HARKAT / BOBOT

1 2

Curah Hujan Tahunan (mm) Panjang Periode Kering

84,00 85,00 3

4 5

Temperatur Rata-Rata Tahunan (0C)

Temperatur Rata-Rata Maksimum Tahunan (0C) Temperatur Rata-Rata Minimum Tahunan (0C)

92,00 100,00 100,00 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi Kelas Kesesuaian Iklim

77,28 83,70 S2

Hasil evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya kakao di DAS Gumbasa (Tabel 11) menunjukkan bahwa daerah tersebut tergolong dalam kelas kesesuaian iklim Cukup Sesuai (S2) dengan pembatas curah hujan rata-rata tahunan dan

65

temperatur rata-rata tahunan. Curah hujan rata-rata tahunan sekitar 1200 mm/tahun dan temperatur udara rata-rata tahunan sebesar 24,4 oC merupakan pembatas yang dapat menghambat pertumbuhan dan produksi kakao di DAS Gumbasa.

Doorenbos et al. (1984) menyatakan bahwa tanaman kakao merupakan tanaman yang peka terhadap kekeringan. Koefisien tanaman kakao yang tumbuh dengan tanpa tanaman penutup tanah di bawahnya berkisar antara 0,9 hingga 1,0 akan tetapi apabila terdapat tanaman penutup tanah di bawahnya maka koefisien tanaman meningkat antara 1,1 hingga 1,5.

Kondisi areal budidaya kakao di daerah penelitian pada umumnya terdapat tanaman penutup tanah di bawah kanopi tanaman kakao. Oleh sebab itu, kebutuhan air tanaman menjadi meningkat dan tanaman lebih mudah mengalami cekaman air (water stress). Hasil penelitian Nachabe et al. (2005) menunjukkan bahwa laju evapotranspirasi tanaman tahunan dengan keberadaan tanaman penutup tanah di bawahnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa tanaman penutup tanah.

Berdasarkan data curah hujan, suhu udara, dan persyaratan iklim untuk budidaya jagung, kacang tanah, dan ubikayu dilakukan analisis neraca air pada areal budidaya tanaman palawija dan evaluasi kesesuaian iklim. Analisis neraca air tanah pada areal budidaya palawija disajikan pada Gambar 12 , sedangkan evaluasi kesesuaian iklim disajikan pada Tabel 12.

-60 -30 0 30 60 90 120 150

Jan Peb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des

B u l a n J u ml ah Ai r (mm)

CH Bulanan Kb. Air Palawija

KAT fc SAT cum

66

Gambar 12 menunjukkan bahwa pada umumnya kehilangan air tanah sebagai akibat aliran permukaan dan perkolasi pada areal budidaya palawija terjadi sepanjang musim. Berdasarkan hasil penelitian Widjajanto et al. (2003) yang menyatakan bahwa kandungan air tanah kondisi kapasitas lapang pada lahan kering untuk budidaya palawija berkisar 20 % (w/w).

Tabel 12. Evaluasi kesesuaian iklim untuk pengembangan palawija di DAS Gumbasa

No Karakteristik Iklim Harkat / Bobot

JAGUNG 1 2 3 4 5

Curah Hujan Selama Siklus Pertumbuhan (mm) Curah Hujan Pada Bulan Pertama (mm) Curah Hujan Pada Bulan Kedua (mm) Curah Hujan Pada Bulan Ketiga (mm) Curah Hujan Pada Bulan Keempat (mm)

88,39 82,38 59,18 62,56 76,44 6 7

Rata-Rata Temperatur Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

Rata-Rata Temperatur Minimum Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

98,13 88 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi

Kelas Kesesuaian Iklim untuk Jagung

52,08 59,07 S3 KACANG TANAH 1 2 3 4 5

Curah Hujan Selama Siklus Pertumbuhan (mm) Curah Hujan Pada Bulan Pertama (mm) Curah Hujan Pada Bulan Kedua (mm) Curah Hujan Pada Bulan Ketiga (mm) Rata-Rata Presipitasi Bulan Keempat (mm)

84,53 93,79 77,95 85 96,02 6 7 8

Rata-Rata Temperatur Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

Rata-Rata Temperatur Maksimum Selama Siklus Pertumbuhan (°C) Rata-Rata Temperatur Minimum Selama Siklus Pertumbuhan (°C)

99 91,17 93,09 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi

Kelas Kesesuaian Iklim untuk Kacang Tanah

71.07 81,07 S2

UBIKAYU

1 Curah Hujan Tahunan 88

2 3 4

Rata-Rata Temperatur Tahunan

Temperatur Minimum pada Bulan Paling Dingin (oC)

Rata-Rata Temperatur Minimum Selama Siklus Pertumbuhan (oC)

100 100 100 Indeks Iklim

Bobot Ekuivalensi

Kelas Kesesuaian Iklim untuk Ubikayu

88 93 S1

Terbatasnya kemampuan tanah untuk menahan air pada kondisi kapasitas lapang (KAT fc) sebesar 67,7 mm bulan-1 (kedalaman tanah yang dipertimbangkan sedalam 300 mm) menyebabkan terjadinya defisit air pada bulan Mei – Juni, akan tetapi kekurangan air tersebut dapat dicukupi oleh sisa air tanah pada bulan sebelumnya. Kandungan suplai air tanah yang cukup pada areal budidaya palawija di DAS Gumbasa ditunjukkan oleh kandungan air tanah

67

kumulatif sisa (SAT cum) yang selalu menunjukkan nilai positif selama periode pertumbuhan tanaman (Maret – Mei dan September – Nopember).

Hasil evaluasi kesesuaian iklim untuk budidaya jagung, kacang tanah, dan ubikayu (Tabel 12) menunjukkan bahwa kelas kesesuaian iklim untuk budidaya jagung di daerah penelitian tergolong atas kelas kesesuaian iklim Sesuai Marjinal (S3) dengan pembatas terendah curah hujan pada bulan pertumbuhan ke dua. Kelas kesesuaian iklim untuk budidaya kacang tanah tergolong dalam kelas Cukup Sesuai (S2) dengan pembatas terendah curah hujan pada bulan ke dua. Kelas kesesuaian iklim untuk budidaya ubikayu yang tergolong pada kelas Sangat Sesuai (S1).

Jadwal tanam palawija di DAS Gumbasa terdapat 2 kali penanaman dalam setahun, yaitu pada Bulan Pebruari – Juni dan Agustus – Nopember. Rendahnya curah hujan pada bulan Maret dan September telah membatasi pertumbuhan jagung. Doorenbos et al. (1986) menjelaskan bahwa pada fase pertumbuhan vegetatif tanaman jagung yang berumur 25 – 60 hari maka besarnya koefisien tanaman mencapai 0,7 – 1,2. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi kecukupan air maka laju evapotranspirasi maksimum pada tanaman jagung adalah sebesar 0,7 – 1,2 kali laju evapotranspirasi referensi. Norwood (2000) menyatakan bahwa pemberian air irigasi dalam jumlah yang cukup pada saat tanaman jagung mengalami masa vegetatif dapat meningkatkan produksi jagung hingga 29 % dibandingkan tanpa pemberian irigasi.

Rendahnya curah hujan pada bulan kedua setelah tanam (Maret dan September) dapat membatasi pertumbuhan dan produksi kacang tanah untuk mencapai optimum. Kebutuhan air tanaman yang tinggi pada saat tanaman kacang tanah berumur 25 – 60 hari disebabkan karena tanaman tersebut mempunyai koefisien tanaman sekitar 0,7 – 1,1. Koefisien tanaman berkisar antara 0,7 – 1,1 menunjukkan bahwa dalam kondisi kecukupan air maka terjadi laju evapotranspirasi maksimal sebesar 0,7 – 1,1 kali laju evapotranspirasi referensi. Doorenbos et al. (1986) menyatakan bahwa evapotranspirasi referensi pada daerah yang mempunyai temperatur udara berkisar antara 20 – 30 0C adalah berkisar 4 – 5 mm/hari.

68

Tanaman ubikayu adalah jenis tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Rendahnya suplai air selama siklus pertumbuhan tanaman tidak menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman ubikayu di daerah penelitian.

Berdasarkan hasil analisis lansekap dan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk budidaya tanaman kakao serta informasi produksi usahatani kakao maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya kakao dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 13) . Hasil evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan kakao dan produktifitas lahan menunjukkan bahwa pembatas utama penggunaan lahan untuk pengembangan kakao di DAS Gumbasa adalah curah hujan, kelerengan, sifat fisik tanah, dan kesuburan tanah.

Tabel 13. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman kakao dan Produktifitas Lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 93 59 100 100 94 100 100 89 83.7 13,83 N-ctsf - 2 33 100 100 98 58 100 100 100 100 100 84 83.7 13,19 N-ctsf - 3 90 100 100 98 59 85 87 100 100 97 89 83.7 27,81 S3-ctsf 1.290 4 90 100 100 100 57 95 100 87 100 97 81 83.7 27,88 S3-ctsf - 5 88 100 100 94 63 85 100 66 100 100 100 83.7 24,47 N-ctsf 1180 6 76 100 100 94 57 100 100 82 100 100 100 83.7 27,95 S3-ctsf 1260 7 47 100 100 94 54 100 88 85 94 97 67 83.7 9,12 N-ctsf 650 8 82 100 100 93 55 85 100 69 100 100 83 83.7 17,09 N-ctsf 960 9 73 100 100 93 67 95 100 100 100 97 82 83.7 28,77 S3-ctsf 1.230 10 58 100 100 93 58 100 100 70 94 100 68 83.7 11,72 N-ctsf 810 11 36 100 100 94 67 85 100 95 100 100 100 83.7 15,32 N-ctsf 930 12 90 100 100 98 63 95 100 79 100 100 87 83.7 30,37 S3-ctsf - 13 96 100 100 100 55 95 100 88 100 100 59 83.7 21,8 N-ctsf - 14 76 100 100 100 73 100 100 89 100 98 67 83.7 27,14 S3-ctsf 1.300 15 66 100 100 94 78 85 100 70 100 97 100 83.7 23,38 N-ctsf - 16 62 100 100 93 90 100 100 87 100 100 100 83.7 37,79 S3-ctsf 1.590 17 93 100 100 98 74 100 100 71 100 100 100 83.7 40,08 S3-ctsf 1.685 18 93 100 100 98 84 100 100 75 100 100 87 83.7 41,81 S3-ctsf 1.670 19 30 100 100 93 59 95 90 100 100 100 83 83.7 9,78 N-ctsf - 20 30 100 100 93 61 85 100 100 100 97 84 83.7 9,87 N-ctsf - 21 36 100 100 89 58 95 100 100 100 100 84 83.7 12,41 N-ctsf - 22 82 100 100 93 66 95 100 73 100 100 65 83.7 18,99 N-ctsf 1.045 23 88 100 100 100 63 95 91 96 100 97 55 83.7 20,55 N-ctsf - 24 34 100 100 94 77 95 100 89 100 100 82 83.7 14,28 N-ctsf - 25 73 100 100 89 59 95 100 87 100 97 100 83.7 25,72 S3-ctsf - 26 37 100 100 89 58 95 100 92 100 100 100 83.7 13,97 N-ctsf - 27 29 100 100 89 63 95 100 77 100 97 100 83.7 9,66 N-ctsf -

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon Organik; L = Harkat/Bobot Ekuivalensi Iklim; - = Tidak Dilakukan Survai

69

Tabel 13 menunjukkan bahwa lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) terdapat pada unit lahan 1, 2, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 15, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, dan 27. Lahan yang tergolong atas kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3) terdapat pada unit lahan 3, 4, 6, 9, 12, 14, 16, 17, 18, dan 25. Produktifitas lahan untuk pengembangan kakao menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya kelas kesesuaian lahan. Lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan Sesuai Marjinal (S3) mempunyai produktifitas lahan berkisar 1200 – 1700 kg ha-1, sedangkan lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N) mempunyai produktifitas lahan yang lebih rendah dari 1.200 kg ha-1.

Noorwood (2000) menyatakan bahwa rendahnya kapasitas menahan air tanah yang diikuti oleh kekurangan air pada saat pembungaan dapat membatasi pertumbuhan dan produksi tanaman secara optimal. Lalu lintas peralatan pemanenan pada saat musim hujan menyebabkan terjadinya kerusakan sifat fisik tanah dan menurunnya produktivitas tanaman dalam jangka panjang. Pemadatan tanah, terganggunya mineralisasi nitrogen, dan kompetisi unsur hara sebagai akibat tanpa perlakuan pengelolaan tanah telah merugikan usaha pertanian dalam jangka panjang.

Freebairn (2004b) menyatakan bahwa penggunaan jerami sebagai mulsa dapat digunakan untuk menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan kandungan karbon organik tanah. Zheng et al. (2004) dan Terra et al. (2006) mendukung pendapat tersebut dan menyatakan bahwa peningkatan karbon organik tanah pada lahan yang berada dibawah program konservasi cenderung menurunkan koefisien erodibilitas tanah dan aliran permukaan dibandingkan dengan program pengelolaan konvensional.

Shaver et al. (2002), Baker et al. (2004) dan Lado et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Peningkatan jumlah porositas makro tanah melalui pemberian bahan organik dapat menurunkan kekuatan tanah (soil strength) dan bobot isi tanah. Sebaliknya pengaruh pemberian bahan organik dan penggunaan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan kapasitas menahan air tanah, kandungan bahan organik, dan stabilitas agregat tanah.

70

Berdasarkan hasil analisis lansekapdan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk budidaya tanaman jagung serta informasi produksi usahatani jagung maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman jagung dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 14).

Tabel 14. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman jagung dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 81 94 95 100 93 100 90 100 59,07 12,87 N-ctsf - 2 33 100 100 95 93 95 100 100 100 90 100 59,07 14,72 N-ctsf - 3 90 100 100 95 94 100 100 100 100 98 100 59,07 46,53 S3-ctsf - 4** 90 100 100 100 91 100 100 87 100 98 94 59,07 38,77 S3-ctsf 1.056 5 88 100 100 85 100 100 100 60 100 90 100 59,07 23,86 N-ctsf - 6 76 100 100 85 91 95 100 60 100 90 100 59,07 17,81 N-ctsf - 7 47 100 100 85 89 95 100 85 100 98 90 59,07 14,96 N-ctsf - 8 82 100 100 81 90 100 100 60 100 90 100 59,07 19,07 N-ctsf - 9 73 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 59,07 34,23 S3-ctsf - 10 60 100 100 81 93 95 100 60 100 90 91 59,07 12,46 N-ctsf - 11 36 100 100 85 100 100 100 93 100 90 100 59,07 15,13 N-ctsf - 12* 90 100 100 95 100 100 100 86 100 90 100 59,07 39,09 S3-ctsf 931 13** 96 100 100 100 89 100 100 87 100 90 80 59,07 31,61 S3-ctsf 1.043 14 76 100 100 100 100 95 100 88 100 100 90 59,07 33,78 S3-ctsf - 15 66 100 100 85 100 100 100 60 100 98 100 59,07 19,49 N-ctsf - 16 62 100 100 81 100 100 100 87 100 90 100 59,07 23,23 N-ctsf - 17 93 100 100 95 100 95 100 60 100 90 100 59,07 26,77 S3-ctsf - 18 93 100 100 95 100 95 100 60 100 59 100 59,07 17,55 N-ctsf - 19 30 100 100 81 94 100 100 100 100 90 100 59,07 12,14 N-ctsf - 20 30 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 59,07 14,07 N-ctsf - 21 36 100 100 70 92 100 100 100 100 90 100 59,07 12,33 N-ctsf - 22 82 100 100 81 100 100 100 60 100 59 88 59,07 12,22 N-ctsf - 23** 88 100 100 100 100 100 100 94 100 98 81 59,07 38,79 S3-ctsf 1.049 24 34 100 100 85 100 100 100 88 100 90 100 59,07 13,52 N-ctsf - 25 73 100 100 70 94 100 100 86 100 98 100 59,07 23,91 N-ctsf - 26 37 100 100 70 93 100 100 90 100 90 100 59,07 11,52 N-ctsf - 27 29 100 100 70 100 100 100 60 100 98 100 59,07 7,05 N-ctsf -

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah

kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon Organik; L = Harkat/Bobot

Ekuivalensi Iklim; * Penggunaan lahan dominan untuk budidaya jagung; ** : Penggunaan lahan tidak

dominan untuk budidaya jagung; - = Tidak Dilakukan Survai

Tabel 14 menunjukkan bahwa pada umumnya pembatas utama penggunaan lahan untuk budidaya jagung di DAS Gumbasa adalah curah hujan, kelerengan, sifat fisik tanah, dan kesuburan tanah. Lahan yang tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Tidak Sesuai (N) untuk budidaya jagung terdapat pada unit lahan 1, 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, dan 27. Lahan yang

71

tergolong kelas kesesuaian lahan aktual Sesuai Marjinal (S3) untuk budidaya jagung terdapat pada unit lahan 3, 4, 9, 12, 13, 14, 17, dan 23.

Produktifitas lahan untuk pengembangan jagung pada kondisi penggunaan lahan aktual (unit lahan 4, 12, 13, dan 23) menunjukkan kisaran antara 931 hingga 1.056 kg ha-1. Produktifitas lahan pada unit lahan 4, 13, dan 23 berada di atas 1000 kg ha-1 pada lahan – lahan yang mendapatkan irigasi (di dominasi oleh penggunaan lahan padi beririgasi), sedangkan pada unit lahan 12 menunjukkan produktifitas di bawah 1000 kg ha-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa di daerah penelitian mempunyai pembatas utama suplai air tanah untuk pengembangan jagung. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa apabila terdapat suplai air tanah (kondisi lahan beririgasi) yang cukup maka produktifitas lahan untuk pengembangan jagung di daerah masih dapat ditingkatkan.

Pengolahan tanah dan pemberian bahan organik merupakan perbaikan lahan yang layak untuk diterapkan di DAS Gumbasa. Licht dan Al-Kaisi (2005) berpendapat bahwa pengolahan tanah pada areal budidaya jagung dapat meningkatkan serapan nitrogen tanah, efisiensi penggunaan air, dan produksi berat kering jagung. Arriaga et al.(2003) menyatakan bahwa cekaman air pada masa pertumbuhan vegetatif jagung dapat menurunkan produksi jagung yang ditumbuhkan pada lahan berlereng.

Menurut Kelly dan Mays (2005) kandungan karbon organik tanah meningkat sebesar 73 % pada lahan yang mendapatkan program konservasi melalui pemberian bahan organik tanah dibandingkan dengan lahan tanpa program konservasi. Whalen et al. (2003), Allmaras et al. (2004), Wiliams dan Weil (2004), Wilts et al. (2004), dan Canqui et al. (2006) berpendapat bahwa penggunaan tanaman penutup tanah, pemberian bahan organik, dan rotasi tanaman dapat meningkatkan kandungan karbon organik tanah pada daerah perakaran dan memperbaiki struktur tanah sehingga kandungan air tanah dapat dipertahankan untuk mencukupi kebutuhan tanaman.

Berdasarkan hasil analisis lansekap dan tanah serta persyaratan lansekap dan tanah untuk pengembangan tanaman kacang tanah serta informasi produksi usahatani kacang tanah maka dapat dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk

72

pengembangan tanaman kacang tanah dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa (Tabel 15)..

Tabel 15. Evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan tanaman kacang tanah dan produktifitas lahan di DAS Gumbasa .

Harkat / Bobot Unit Lahan A B C D E F G H I J K L Indeks Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Produktifitas Lahan (kg ha-1) 1 36 100 100 81 94 95 100 93 100 90 100 81,07 17,67 N-ctsf - 2 33 100 100 95 93 95 100 100 100 90 100 81,07 20,21 N-ctsf - 3 90 100 100 95 94 100 100 100 100 98 100 81,07 63,85 S2-ctsf - 4** 90 100 100 100 91 100 100 87 100 98 94 81,07 53,21 S2-ctsf 439 5 88 100 100 85 100 100 100 60 100 90 100 81,07 32,75 S3-ctsf - 6 76 100 100 85 91 95 100 60 100 90 100 81,07 24,45 N-ctsf - 7 47 100 100 85 89 95 100 85 100 98 90 81,07 20,53 N-ctsf - 8 82 100 100 81 90 100 100 60 100 90 100 81,07 26,17 S3-ctsf - 9 73 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 81,07 46,98 S3-ctsf - 10 60 100 100 81 93 95 100 60 100 90 91 81,07 17,11 N-ctsf - 11 36 100 100 85 100 100 100 93 100 90 100 81,07 20,76 N-ctsf - 12* 90 100 100 95 100 100 100 86 100 90 100 81,07 53,65 S2ctsf 457 13** 96 100 100 100 89 100 100 87 100 90 80 81,07 43,39 S3-ctsf 409 14 76 100 100 100 100 95 100 88 100 100 90 81,07 46,36 S3-ctsf - 15 66 100 100 85 100 100 100 60 100 98 100 81,07 26,74 S3-ctsf - 16 62 100 100 81 100 100 100 87 100 90 100 81,07 31,88 S3-ctsf - 17 93 100 100 95 100 95 100 60 100 90 100 81,07 36,74 S3-ctsf - 18 93 100 100 95 100 95 100 60 100 59 100 81,07 24,09 N-ctsf - 19 30 100 100 81 94 100 100 100 100 90 100 81,07 16,67 N-ctsf - 20 30 100 100 81 100 100 100 100 100 98 100 81,07 19,31 N-ctsf - 21 36 100 100 70 92 100 100 100 100 90 100 81,07 16,92 N-ctsf - 22 82 100 100 81 100 100 100 60 100 59 88 81,07 16,77 N-ctsf - 23** 88 100 100 100 100 100 100 94 100 98 81 81,07 53,23 S2-ctf 465 24 34 100 100 85 100 100 100 88 100 90 100 81,07 18,56 N-ctsf - 25 73 100 100 70 94 100 100 86 100 98 100 81,07 32,82 S3-ctsf - 26 37 100 100 70 93 100 100 90 100 90 100 81,07 15,82 N-ctsf - 27 29 100 100 70 100 100 100 60 100 98 100 81,07 9,68 N-ctsf -

A = Harkat / Bobot Kelerengan; B = Harkat/Bobot Banjir; C = Harkat/Bobot Drainase; D = Harkat/Bobot Fragmen Kasar; E = Harkat/Bobot Kedalaman Tanah; F = Harkat/Bobot Tekstur ; Tanah; G = Harkat/Bobot Kapasitas Tukar Kation; H = Harkat/Bobot Kejenuhan Basa; I = Harkat/Bobot Jumlah

kation Dasar; J = Harkat/Bobot pH H2O; K = Harkat/Bobot Karbon Organik; L = Harkat/Bobot

Ekuivalensi Iklim; * Penggunaan lahan dominan untuk budidaya kacang tanah; ** : Penggunaan lahan tidak

Dokumen terkait