• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

2. Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman Langsung

Menurut David Kolb dalam Fathurrohman (2015: 128) mendefinisikan belajar sebagai proses bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk

pengalaman. Pengalaman diakobatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman. Fathurrohman (2015: 129) menyatakan bahwa Experiential Learning adalah proses belajar, proses perubahan yang menggunakan

pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran bukan hanya materi yang bersumber dari buku atau pendidik. Experiential Learning sebagai metode yang membantu pendidik dalam mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata, sehingga dengan pengalaman nyata siswa dapat mengingat dan memahami informasi yang didapatkan dalam pendidikan sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan. Fathurrohman (2015: 130) mengatakan bahwa pengalaman belajar yang akan benar-benar efektif, menggunakan seluruh roda belajar, dari pengaturan tujuan, melakukan observasi, memeriksa ulang dan merencanakan tindakan.

Menurut Atherton dalam Fathurrohman (2015: 128) mengemukakan bahwa konteks belajar pembelajaran berbasis pengalaman dapat dideskripsikan sebagai proses pembelajaran yang merefleksikan pengalaman secara mendalam sehingga muncul pemahaman baru atau proses belajar.

Menurut Fathurrohman (2015: 128) pembelajaran berbasis pengalaman memanfaatkan pengalaman baru dan reaksi pembelajaran terhadap pengalamannnya untuk membangun pemahaman dan transfer pengetahuan, keterampilan baru, dan sikap baru bahkan cara berpikir baru untuk memecahkan masalah-masalah baru. Pembelajaran berbasis pengalaman berpusat pada pembelajaran dan berorientasi pada aktivitas refleksi secara personal tentang sesuatu pengalaman dan memformulasikan rencana untuk menerapkan apa yang diperoleh dari pengalaman personal tersebut.

Model pembelajaran berbasis pengalaman merupakan model pembelajaran yang menitikberatkan pada pengalaman yang akan dialami dan dipelajari oleh peserta didik. Dengan terlibatnya langsung dalam proses belajar dan menkontruksikan

sendiri pengalaman-pengalaman yang didapat. Sehingga menjadi suatun pengetahuan.

b. Karakteristik model pembelajaran berbasis pengalaman langsung.

Kolb dalam Fathurrohman (2015: 129) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman mempunyai enam karakteristik utama yaitu:

1. Belajar terbaik dipahami sebagai suatu proses, tidak dalam kaitannya dengan hasil yang dicapai.

2. Belajar adalah suatu proses kontinu yang didasarkan pada pengalaman. 3. Belajar memerlukan resolusi konflik-konflik antara gaya-gaya yang

berlawanan dengan cara dialektis. 4. Belajar adalah proses yang holistic.

5. Belajar melibatkan hubungan antara seseorang dan lingkungan.

6. Belajar adalah proses tentang menciptakan pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang merupakan hasil dari hubungan antara pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi.

Fathurrohman (2015: 130) mengatakan bahwa model pembelajaran berbasis pengalaman mempunyai tiga aspek yaitu; pengetahuan (konsep, fakta, dan informasi), aktivitas (penerapan dalam kegiatan) dan refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu). Ketiganya merupakan kontribusi dalam tercapainya tujuan pembelajaran.

Menurut Majelis Pendidikan Katolik dan Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang (2009: 51-62), Paradigma Pedagogi Refleksi mengembangkan pada pengolahan tiga unsur berikut:

Pengalaman anak didik menjadi langkah pertama, untuk memasuki pendalaman bahan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan diinterpretasikan agar tidak bersifat subyektif semata, melainkan menjadi autentik dan bermakna bagi orang lain. Pengalaman dalam hal ini adalah segala pengalaman, yang dialami secara langsung maupun tidak langsung, yang bersifat faktual, aktual dan konkret dari anak didik itu sendiri. Melalui cara ini, anak didik dibantu untuk menyadari dirinya sebagai subyek yang keberadaannya dihormati dan diharapkan. Anak didik dibantu untuk mengungkapkan pengalamannya.

b. Proses Refleksi Pengalaman

Melalui refleksi, anak didik diharapkan mampu mengomunikasikan pengalaman atau kisah hidup yang ditemukan dengan visi kemanusiaan dan iman serta memperoleh kebebasan untuk mengenal, memahami, serta menginternalisasikan nilai dan pengetahuan yang sesuai karena pembelajaran yang terjadi berpusat pada anak didik sebagai subyek. Ada dua unsur yang menjadikan proses refleksi ini maksimal dan optimal melalui pendekatan apresiasi, yakni mengajak anak didik memahami artikel atau karya seni, film, lagu, dsb, serta memberikan pendapat dan tanggapan yang disebut interpretasi. Selain pendekatan apresiasi, juga digunakan pengembangan aspek kebebasan intelektual atau cara berpikir. Proses refleksi pengalaman ini, mencakup refleksi nilai pengalaman manusiawi dan refleksi nilai religiositas, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

c. Mewujudkan Aksi

Paradigma Pendidikan Reflektif mengacu pada prinsip belajar yang mengantar anak didik sampai pada proses mengalami dan melakukan nilai-nilai yang telah dipelajarinya. Anak didik tidak hanya menerima sejumlah informasi saja, tetapi lebih dari itu, anak didik diarahkan untuk mengembangkan konsep nilai-nilai

kehidupan, baik dalam ungkapan maupun sikap hidup yang nyata. Pada tahap ini, ada dua kegiatan yang harus dikembangkan, yakni aksi dan aksi. Dalam kegiatan pra-aksi, anak didik diajak untuk mengungkapkan nilai-nilai yang ditemukan dalam bentuk aneka kreativitas dan model yang dilakukan di dalam kelas, bisa melalui rumusan maupun aksi. Anak didik dapat semakin dikembangkan potensinya, yang meliputi pola pikir, daya imajinasi, fantasi, hasil karya. Sedangkan dalam kegiatan aksi, anak didik dapat melakukan kegiatan konkret sebagai buah dari refleksi, yang dapat berdampak pada segi sosial dan menjadi wujud nyata dari kehendak serta sikap anak didik. Aksi yang dilakukan harus menghubungkan kegiatan pembelajaran dengan situasi sosial yang dialami anak didik agar dapat berdampak atau berdimensi sosial. Untuk dapat melaksanakan sebuah aksi, anak didik harus melakukan perencanaan dan koordinasi terlebih dahulu, meskipun masih bersifat sederhana, namun tetap dapat berdampak bagi kepentingan sosial. Maka, amat diperlukan dukungan dari guru, sekolah dan orang tua untuk keberhasilan pelaksanaan aksi dari anak didik. Hasil dari perencanaan dan koordinasi ini dapat dijadikan bahan atau portofolio bagi kepentingan penilaian.

Menurut Subagya dalam Mursanto Riyo (2010: 39-40) Paradigma pedagogi refleksi Ignasius, terdiri atas tiga bagian yaitu; pengalaman, refleksi, dan aksi. Seorang guru dapat mendampingi siswa-siswi lewat menatap kebenaran dan menggali pengalaman manusiawi siswa. Paradigma ini merupakan sebuah sarana praktis dan sebuah perangkat efektif untuk meningkatkan cara mengajar sehingga tidak sekedari sebuah teori. Pola pengalaman, refleksi, aksi, merupakan suatu cara bertindak yang dapat kita ikuti karena sungguh-sungguh membantu para pelajar berkembang menjadi manusia kompeten, bertanggung jawab, dan berbelas kasih, bukan hanya sebuah gagasan.

AKSI

Skemanya dapat digambarkan sebagai berikut:

Salah satu hal yang paling menentukan dalam paradigma Ignasian adalah unsur refleksi sebagai salah satu unsur yang esensial. Ada Lima langkah didalam dinamika pedagogi Ignasian:

a. Konteks belajar

Dalam latihan rohani, Ignasius menekankan bahwa pengalaman-pengalaman retretan selalu menentukan bentuk latihan-latihan yang akan dijalankan dalam konteksnya. Perhatian terhadap pelajar secara pribadi dan kepedulian terhadap mereka secara individual menuntut bahwa guru menjadi orang yang sungguh-sungguh mengetahui pengalaman hidup pelajar. Oleh karena itu pengalaman seseorang menjadi titik tolak dalam pedagogi Ignasian, maka perlu memahami dunia pelajar. Untuk menciptakan hubungan yang otentik antara pengajar dan pelajar dituntut sikap saling mempercayai dan saling menghargai. Subagya dalam Mursanto (2010: 42-44) menegaskan bahwa, bagi para pengajar maupun anggota komunitas sekolah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Konteks nyata dari kehidupan pelajar yang mencakup keluarga, kelompok baya, keadaan sosial, lembaga pendidikan dan pengajaran, politik, ekonomi, suasana kebudayaan, keadan gereja dan kenyataan hidup lainnya. Ini berdampk pada pelajaran sebagai hal yang merugikan atau menguntungkan. Kadang berguna untuk mendorong para pelajar untuk berefleksi atas faktor-faktor kontekstual yang mereka alami dan bagaimana hal-hal itu mempengaruhi sikap-sikap, tanggapan, penilaian, pilihan mereka.

2) Konteks sosial ekonomi, politis, dan kebudayaan yang merupakan lingkungan hidup pelajar.

REFLEKSI

3) Suasana kelembagaan sekolah atau pusat belajar, yaitu jaringan kompleks terdiri dari norma-norma, harapan-harapan yang menciptakan suasana kehidupan sekolah.

b. Pengalaman

Bagi Ignatius pengalaman berarti “mengenyam sesuatu hal yang batin”. Ignasius menekankan keseluruhan pribadi, budi, perasaan, dan kemauan masuk dalam pengalaman belajar. Ignasius mengajak supaya memakai daya khayal dan perasaan maupun budi dalam menghayati suatu pengalaman. Untuk dapat mendorong orang untuk bertindak perlu melibatkan ranah afektif maupun kognitif karena tanpa perasaan batin yang terkait dengan pemahaman intelektual, tidak akan mendorong orang untuk bertindak. Subagya dalam Mursanto Riyo (2010: 48-49). Pengalaman dapat langsung atau tidak langsung. Pengalaman langsung adalah suatu situasi akademik biasa berlangsung lewat pengalaman-pengalaman interpersonal, seperti pembicaraan atau diskusi, kegiatan lintas alam, proyek pelayanan dan sebagainya. Pada tahap awal pengalaman baik lansung maupun tidak langsung, para pelajar menyerap data sekaligus mengalami reaksi afeksinya.

c. Refleksi

Ignasius dalam seluruh perjalanan hidupnya mengalami gerak batin, dorongan batin dan macam-macam kebingungan. Pada tingkat refleksi daya ingat, pemahaman, daya khayal dan perasaan dipergunakan untuk menangkap arti dan nilai yang paling hakiki dari sebuah pembelajaran. Refleksi adalah suatu proses yang membentuk orang dan membebaskannya. Refleksi ini membentuk suara hati para pelajar (keyakinan, nilai, sikap), sehingga mereka dapat diantar melewati tahap mengerti ketahap berbuat sesuai dengan pengertian mereka. Subagya dalam Mursanto (2010: 54-55).

d. Aksi

Bagi Ignasius yang menjadi batu uji atas cinta kasih adalah perbuatannya bukan omongannya. Bagi Ignasius, tahap afeksi dan evaluasi selalu dilakukan dalam proses belajar, karena tahap afeksi mengantar seseorang untuk “merasakan dan mengenyam”, dan itu berarti memperdalam pengalamannya. Subagya dalam Mursanto (2010: 59-60).

e. Evaluasi

Pedagogi Ignasian bermaksud mwujudkan pembentukan yang mencakup kemajuan akademik. Namun yang menjadi focus perhatian ini adalah pertumbuhan pelajar yang menyeluruh sebagai pribadi dan sesama. Evaluasi berkala perkembangan pelajar dalam sikap, prioritas-prioritas, dan kegiatan-kegiatan selaras dengan sikap menjadi orang demi orang lain. Pada saat tertentu seluruh dinamika hidup antara lain; sikap-sikap, prioritas, keputusan pelajar dapat lihat kembali karena adanya pengalaman baru, perubahan dalam suasana hidup, dan sebagainya Subagya dalam Mursanto (2010: 60).

Paradigma pedagogi refleksi ini menjadi salah satu kekhasan sekolah-sekolah para suster Cinta kasih St. Carolus Borommeus di bawah Yayasan Tarakanita. Siswa-siswi diajak untuk tidak hanya berkembang dalam hal intelektual melainkan harus sampai pada perubahan sikap dan perilaku, yang menggerakkan mereka merefleksikan kembali proses belajar untuk akhirnya sampai pada sebuah aksi nyata sebagai wujud dari materi yang diperoleh. Melalui proses refleksi pengalaman belajar itu akan dimasukan dalam struktur pengetahuan, sikap dan perilaku siswa-siswi yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari pengetahuan, sikap dan pengetahuan yang dimilikinya (Sudarminta, 2012: 114).

c. Tahap-tahap dalam pembelajaran berbasis pengalaman langsung

Model pembelajaran berbasis pengalaman sebagai sebuah siklus yang terdiri dari dua rangkaian yang berbeda, memiliki daya tangkap dalam pemahaman dan memiliki tujuan yang berkelanjutan. Daya tangkap untuk memahami sesuatu sangat dipengaruhi oleh pengamatan yang dialami lewat pengalaman. Fathurrohman (2015: 132). Pengalaman dilakukan sendirian tidak cukup dijadikan pembelajaran, harus dilakukan secara terperinci dan perubahan yang dilakukan sendiri tidak dapat mewakili yang dibutuhkan pembelajaran. Fathurrohman (2015: 132). berpendapat bahwa pada dasarnya model pembelajaran berbasis pengalaman sangat sederhana dimulai dengan melakukan, merefleksikan, dan kemudian menerapkan. Adapun langkah-lngkahnya sebagai berikut:

1. Concrete experience (felling). Belajar dari pengalaman-pengalaman yang spesifik, peka terhadap situasi. Siswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman.

2. Reflective observation. Mengamati sebelum membuat sesuatu keputusan dengan mengamati lingkungan dari prespektif-prespektif yang berbeda. Siswa mengobservasi dan merefleksikan atau memikirkan pengalaman dari berbagai segi mengapa dan bagaimana pengalaman itu bisa terjadi

3. Abstract conceptialitation. Analisis logis dari gagasan-gagasan dan bertindak sesuai pemahaman paa suatu situasi. Siswa menciptakan konsep-konsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat.

4. Active experimentation ( doing) kemampuan ntuk melaksanakan berbagai hal dngan orng-orang dan melakukn tindakan berdasarkan peristiwa. Siswa menggunakan teori untuk memecahkan masalah-masalah dan mengambil keputusan.

Skemanya sebagai berikut:

d. langkah-langkah model pembelajaran berbasis pengalaman langsung.

Dalam menerapkan model pembelajaran berbasis pengalaman, guru harus memperbiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Menurut Hamalik dalam Fathurrohman (2015: 136-137) mengungkapkan beberapa hal yang diperhatikan dalam model pembelajaran berbasis pengalaman adalah sebagai berikut:

1) Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka mengenai hasil yang potensial atau memiliki seperangkat hasil-hasil tertentu.

2) Guru memberikan rangsangan atau motivasi pengenalan terhadap pengalaman.

3) Siswa dapar bekerja secara individu atau dalam kelompok-kelompok kecil atau keseluruhan kelompok didalam belajar berdasarkan pengalaman.

4) para siswa ditempatkan didalam situasi-situasi nyata pemecahan masalah. Concret exprience Active experimentatio Abstract conceptulization Replective observation

5) Siswa aktif berpartisipasi dalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusan sendiri, menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut.

6) Keseluruhan kelas menyajikan pengalaman yang telah dipelajari sehubungan dengan mata pelajaran tersebut dan memperluas belajar dan pemahaman guru melaksanakan pertemuan yang membahas berbacam-macam pengalaman tersebut.

e. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran berbasis pengalaman langsung.

Fathurrohman (2015: 138) menyatakan bahwa kelebihan model pembelajaran berbasis pengalaman secara individu adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesadaan akan rasa percaya diri.

2. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi, perencanaan dan pemecahan masalah.

3. Menumbuhkan dan meningkatkan komitmen dan tanggungjawab. 4. Mengembangkan ketangkasan, kemampuan fisik dan koordinasi.

Kelebihan model pembelajaran berbasis pengalaman secara kelompok adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan dan meningkatkan rasa saling ketergantungan antara sesama anggota kelompok.

2. Meningkatkan keterlibatan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

3. Mengidentifikasi dan memanfaatkan bakat tersembunyi dan kepemimpinan. 4. Meningkatkan empati dan pemahaman antat sesama anggota kelompok.

Adapun kekurangan dari model pembelajaran berbasis pengalaman langsung yaitu sulit dimengeti sehingga masih sedikit yang mengaplikasikan model pembelajaran ini.

Dokumen terkait