• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

3. Solidaritas

a. Pengertian Solidaritas

Solider berarti bersama-sama, setia kawan, merasa senasib, sama-sama berkepentingan, maka bersatu dalam kehendak dan perbuatan. Solidaritas adalah rasa kesetiakawanan, hubungan batin antara para anggota dalam suatu kelompok atau masyarakat. Solidaritas dapat juga dikatakan sebagai tindakan demi kesejahteraan bersama yang diambil dan diilhami oleh perasaan tersebut.

Solidaritas adalah sikap orang yang telah bertobat dari nafsu mencari untung dan kuasa. Solidaritas adalah sikap menyeluruh yang dituntut dari semua orang dalam segala dimensi kehidupannya. Solidaritas sikap terhadap sesama dalam lingkungan hidup konkret, golongan masyarakat yang miskin dan menderita, dan bangsa-bangsa yang terbelenggu oleh kelaparan, keterbelakangan, dan ketergantungan (Suseno, 1993: 52). Solidaritas adalah implikasi etis pengakuan terhadap martabat manusia. Solidaritas berarti orang berada didekat saudara yang menderita, diperlakukan tidak adil, yang marginal, dan dalam kesulitan.Solidaritas adalah terjemahan cinta kasih kedalam situasi dimana ada orang yang mengalami kesusahan dan penderitaan (Suseno, 1993: 81).

Solidaritas berarti berada dekat orang yang mengalami kesulitan dan penderitaan dengan cinta, perhatian, hormat, dan kesediaan untuk tidak meninggalkannya, tetapi bersedia membantu mengubah nasibnya yang buruk. Solidaritas adalah konsekuensi “alamiah” dari fakta bahwa manusia berada dan bertindak bersama orang lain (Suseno, 1993: 85).

Solidaritas adalah sesuatu yang menunjuk pada keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas dalam lapisan masyarakat bekerja seperti” perekat social” dalam hal ini bias berupa nilai, adar istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif. Emile Durkheim membagi solidaritas tersebut kedalam dua kategori yaitu Solidaritas Mekanik dan solidaritas Organik. (Dorr, 1983: 245).

b. Aspek Solidaritas

Dalam ajaran sosial Gereja tema solidaritas memperoleh ulasan yang panjang lebar, ketika Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II Gaudium et Spes tiba pada pembahasan tentang aspek sosialitas manusia. Solidaritas merupakan wujud dimensi sosialitas manusia. Kehidupan manusia ditandai dengan semakin intensifnya hubungan timbal balik antar manusia. Kemajuan dalam hal ini banyak ditopang dan dipacu oleh kemajuan di bidang teknologi.

c. Prinsip Solidaritas

Prinsip solidaritas sebagai salah satu prinsip Ajaran Sosial Gereja yang menegaskan bahwa manusia sesuai dengan kodratnya sebagai pribadi sosial membutuhkan masyarakat supaya dapat berkembang. Oleh karena itu semua anggota masyarakat harus terlibat mewujudkan perkembangan dan kesejahteran bersama supaya hidup menjadi semakin manusiawi. Manusia dan masyarakat saling membutuhkan. Setiap manusia membutuhkan lingkungan masyarakat yang menguntungkan perkembangannya sebagai pribadi yang bermartabat. Di lain pihak masyarakat membutuhkan sumbangan masing-masing anggotanya dan terutama

sejumlah masyarakat yang berkepribadian baik supaya mutu manusiawi masyarakat itu terjamin. Maka pribadi-pribadi dan masyarakat wajib saling mendukung dan menguatkan tanpa mengorbankan salah satu pihak.

Prinsip solidaritas adalah suatu prinsip yuridis yang menjamin bahwa setiap orang tetap subyek dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat diakui sebagai suatu organisme tanpa mengeramatkan tata susunan masyarakat tertentu. Prinsip solidaritas menekankan pentingnya kesejahteraan atau kepentingan bersama dan keadilan serta martabat pribadi manusia. Namun solidaritas yang memperhatikan kenyataan bahwa yang satu tergantung dari yang lain kurang memadai. Solidaritas bukan berarti menganut prinsip do ut des (“memberi supaya diberi”). Karena, selalu saja da pihak yang tidak sanggup memberi sumbangan yang berarti seperti kaum miskin, lemah, dan tersingkir. Dalam situasi seperti itu motivasi yang lebih tinggi dibutuhkan yakni cinta kasih kepada sesama.Atas dasar cinta kasih orang membuktikan solidaritasnya dengansesama yang tertindas, miskin, dan tersisih.

Solidaritas dapat diwujudkan dan dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung. Solidaritas langsung berarti keterlibatan melalui pengabdian dan pemberian diri yang penuh (hati, pikiran, dan tenaga) dalam perjuangan dan pergulatan hidup kaum miskin, lemah, dan tersingkir. Pengabdian dan pemberian diri secara penuh itu diwujudkan dan dilaksanakan dengan keterlibatan yang aktif dan konkret ditengah-tengah hidup kaum miskin. Dengan kata lain, orang langsung mewujudkan dan melaksanakan sikap solidernya dengan terjun langsung ke lapangan dengan pengorbanan yang tulus. Sedangkan solidaritas tidak langsung berarti keterlibatan orang melalui doa, sumbangan, dan bentuk kepeduliana lainnya tanpa terjun langsung ke lapangan. Solidaritas ini lebih merupakan suatu bentuk simpati dan empati

terhadap perjuangan dan pergulatan hidup kaum miskin, lemah, dan tersingkir tanpa melibatkan diri secara langsung (Kieser, 1992: 38).

Prinsip solidaritas mau menekankan bahwa orang lain bukan sebagai objek dan bawahan yang dapat diperlakukan dengan sewenag-wenang, melainkan sebagai sesama, subjek, dan mitra dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Solidaritas merupakan suatu kebajikan yang intinya adalah cinta kasih yang mau menjembatani segala macam kesenjangan (Kieser, 1992: 41).

d. Peran Solidaritas

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Ini berarti bahwa manusia secara individu tidak dapat hidup sendiri, namun ada ketergantungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Manusia secara individu selalu membutuhkan bantuan dari orang lain entah dalam skala besar maupun skala kecil. Manusia di dunia ini tidak ada yang hidup dalam kesendirian, dia akan hidup dalam kelompok kecil dalam masyarakat atau lingkungann. Maka dari itu, rasa solidaritas sangat penting untuk di bangun oleh satu orang dengan orang lainnya atau kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Karena dengan adanya solidaritas, kita dapat bersatu dalam hal mewujudkan sesuatu secara bersama–sama. Di sekolah kita memiliki banyak teman, kita dapat menumbuhkan rasa solidaritas kita melalui teman. Teman memiliki peran dalam bersolidaritas, tanpa teman kita tidak bisa menumbuhkan rasa solidaritas karena sebagian besar lingkungan kita adalah sekolah. Namun kita juga bisa bersolidaritas di Lingkungan keluarga ataupun masyarakat. Dalam salah satu hak anak ada hak yang berkaitan dalam solidaritas yaitu hak partisipasi atau ikut serta. Pengertian partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan

dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya.

Dalam ensiklik Laborem Exercens, Paus Yohanes Paulus II menyeruhkan solidaritas para pekerja dan dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, beliau menyerukan solidaritas universal, yakni dalam semua hubungan manusia. Solidaritas ini menghormati orang dan bangsa, yakni dlam semua hubungan manusia, yang lain diterima justru dalam kelainan atau keunikan mereka. Masalah-masalah sosial yang berat hanya dapat diselesaikan atas dasar aliansi solidaritas baru, termasuk juga kewajiban solidaritas negara atau golongan kaya dengan negara atau golongan miskin supaya dapat mengatasi nasib malang jutaan orang (Turang, 1987: 13).

e. Faktor dalam solidaritas

Faktor utama dalam hubungan timbal balik antar manusia itu adalah kebersamaan antar pribadi sendiri yang menuntut sikap saling menghargai martabat rohani mereka sendiri. Dengan faktor utama inilah dialog persaudaraan antar manusia baru dapat mencapai tingkat kesempurnaannya. Allah yang memelihara setiap orang, menghendaki agar segenap umat manusia menjadi satu keluarga dan saling bertemu dengan sikap penuh persaudaraan. Mengingat bahwa cinta kasih kepada Allah dan sesama merupakan perintah utama dan terutama. Dari sifat sosial manusia, tampaklah bahwa pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat itu saling tergantung satu sama lain. Hal ini mengingat bahwa asas, subjek dan tujuan semua lembaga sosial pada akhirnya adalah pribadi manusia itu sendiri. Oleh kodratnya manusia memerlukan kehidupan bersama denga sesamanya (Hadawiryana, 2004: 23-25).

f. Prasyarat dalam Solidaritas

Solidaritas merupakan keutamaan kristiani. Dalam terang iman kristiani, solidaritas berusaha melampaui diri dan mengenakan dimensi-dimensi khas kristiani, yaitu kemurahan hati, pegampunan, dan perdamaian. Sesama bukan melulu manusia beserta hak-haknya dan kesetaraan dasaria dengan manusia lain, melainkan menjadi citra yang hidup yang menyerupai Allah dan ditebus oleh Yesus Kristus serta selalu diliputi oleh kaya Roh Kudus. Oleh karena itu sesama harus dikasihi dengan cinta yang tulus seperti cinta Tuhan sendiri yang rela menyerahkan nyawaNya bagi penebusan dosa manusia. Dari sini muncul kesadaran bahwa Allah adalah Bapa bagi semua orang, bahwa semua orang bersatu dan persaudaraan didalam Kristus, dan bahwa Roh Kudus selalu hadir dan berkarya dalam hidup manusia. Pola kesatuan yang baru ini harus menjiwai solidaritas Kristiani dalam mewujudkan kesejahteraan bersama bagi semua umat manusia, terutama kesejahteraan kaum miskin (Turang, 987: 40).

Sumber inspirasi dalam membangun solidaritas adalah Yesus Kristus sendiri. Mengikuti Yesus berarti membangun sikap-sikap seperti Yesus, mengambil Yesus sebagai pegangan dan teladan. Ciri yang menyolok adalah solidaritas Yesus kepada sesama.Yesus merasa prihatin dengan orang-orang yang sakit dan menderita, para pendosa, orang-orang yang lapar, bahkan para serdadu yang memaku-Nya di kayu salib.Yesus solider dengan manusia sampai mati.

Yesus sangat menuntut agar manusia mau solider dengan sesama. Sikap yang paling dibenci oleh Yesus adalah kekerasan hati yang tidak mau berbelaskasihan. Yesus menegaskan bahwa solidaritas yang nyata justru kelihatan dalam sikap manusia berhadapan dengan orang miskin, lemah, dan tertindas.

Dasar paling mendalam tuntutan solidaritas yang ditegaskan oleh Yesus adalah solidaritas Allah pada manusia.Seluruh karya keselamatan dapat dipahami sebagai ungkapan kesetiakawanan Allah dan manusia. Dalam Yesus, Allah menjadi solider pada manusia dan menjadi satu dengan manusia untuk selamanya. Yesus adalah Immanuel “Allah beserta kita”. Kematian Yesus di salib membuktikan solidaritas Allah dengan manusia.Solidaritas Allah dengan manusia inilah yang menjadi dasar solidaritas Gereja dengan orang-orang yang menderita, kecil, lemah, miskin dan tertindas (Suseno, 1993: 61-62).

Dalam kesadaran bahwa Allah adalah Bapa seluruh umat manusia, semua orang bersaudara dalam Kristus, dan Roh Kudus hadir dan berkarya sebagai pemberi kehidupan, Allah akan memperkaya visi manusia untuk menafsirkan dunia. Dalam terang iman pola kesatuan yang luhur ini menampilkan suatu pola baru kesatuan umat manusia yang mengilhami solidaritas manusia di tengah dunia. Solidaritas berperan serta dalam rencana keselamatan Allah, baik pada taraf perorangan maupun pada taraf masyarakat nasional dan internasional. Segala bentuk mekanisme jahat dan struktur-struktur dosa hanya dapat diatasi dengan mempraktekan solidaritas manusiawi dan kristiani dalam tata kehidupan di dunia (Turang, 1987: 40).

Maka solidaritas kristiani terutama harus kelihatan dalam solidaritas dengan mereka yang miskin, lemah, dan tersisih, merupakan kesaksian paling meyakinkan dalam masyarakat bahwa Roh Allah hadir di tengah-tengah umat kristiani (Suseno, 1993: 83).

Rasa solidaritas dapat tumbuh karena dorongan dari teman atau orang lain yang membuat kita percaya diri, selain dari orang lain diri sendiri juga harus memiliki keyakinan untuk selalu maju dan percaya diri serta membuang jauh rasa keminderan dalam diri yang membuat kita susah untuk bersosialisasi. Minder adalah salah satu

masalah yang membuat rasa solidaritas tidak nampak dalam diri kita. Kebanyakan anak yang aktif dalam berorganisasi atau bermasyarakat itu sudah membuktikan bahwa mereka sudah memiliki rasa solidaritas. Menumbuhkan rasa solidaritas bisa juga didapatkan dari kegiatan–kegiatan yang berkaitan dengan organisasi yang membuat rasa percaya diri dan solidaritas tumbuh dalam diri kita. Bila ada kegiatan– kegiatan seperti itu mungkin lebih baik kita mengikuti saja agar bisa makin tumbuh rasa solidaritas dan makin banyak pengalaman.

g. Solidaritas dalam Compassion

Kata compassion berasal dari bahasa latin “ Compassio-onis” yang artinya belas kasihan. Compassion juga turut merasakan beban penderitaan orang lain, bersama-sama memikul beban penderitaan namun bangkit mengatasi penderitaan itu bersama-sama pula. Compassion lebih dari kepekaan hati (empati) yang merasakan penderitaan orang lain (simpati), tetapi merupakan sebuah kebajikan dimana kapasitas lain dianggap sebagai bagian dari cinta itu sendiri serta merupakan landasan keterkaitan sosial yang lebih besar dan humanistis, dasar prinsip-prinsip tertinggi dalam berperilaku sebagai pribadi yang utuh (Sudarminta, 2012: 16-17).

Allah adalah kasih. Kasih Bapa dinyatakan kepada kita dalam pribadi Yesus Kristus (1Yoh 4:8-9). Relasi kasih Trinitas mempunyai kualitas kasih belarasa yang diwujudkan Yesus sampai di salib. Bapa sangat mencintai Putra dalam Roh Kudus dan Putra juga sangat mencintai Bapa dalam Roh yang sama. Kasih inilah yang menggerakkan Yesus menjamah kelemahan manusia. Yesus berjumpa dengan banyak orang sakit, hatinya tergerak oleh belas kasihan, dan Ia menyembuhkan mereka ( Mat 14:14). Hati Yesus tergerak oleh belas kasihan kepada mereka karena mereka seperti domba tanpa gembala (Mrk 6:34). Kehadiran Yesus di dunia merupakan wujud Solidaritas Allah yang berbelarasa pada manusia agar memperoleh keselamatan yakni

kehidupan kekal. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tuggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16).

Kasih yang diwujudkan Yesus menjadi pengalaman yang mendalam bagi Bunda Elisabeth selama hidupnya, bahkan sebelum masuk biara. “sejak aku masih berada di dunia luar, aku pergi kepada orang-orang yang malang itu, dan dalam kesibukan-kesibukan di rumah, aku masih teringat-ingat saja akan orang-orang malang itu, dan mereka senantiasa terbayang dalam anga-anganku” (Gruyters, 1987: 49). Kasih belarasa Yesus terhadap nasib manusia mendapat pemenuhannya sampai disalib. Bunda Elisabeth mengalami kasih belarasa yang mendalam, sehingga misteri salib baginya adalah misteri kasih. Bunda Elisabeth menyapa Yesus dengan “Pencinta Ilahi”. Pengalamannya akan kasih belarasa Yesus Kristus tertuang dalam syair doa sewaktu memandang salib. Doa Bunda Elisabeth di hadapan salib; O Pencinta hatiku yang manis, berilah aku bagian dalam dukaMu, semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta. buatlah aku cakap dalam pengabdianMu tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja pun juga bagi keselamatan sesama manusia Amin (Gruyters, 1987: 29).

Kepekaan Bunda Elisabeth sebagai seorang wanita yang telah mengalami ketersentuhan akan kasih Allah dalam Yesus yang tersalib sangat kuat. Pengalaman akan cinta kasih Allah yang mendalam menggerakkan hati bunda Elisabeth untuk berbelarasa seperti Allah yang berbelarasa kepada mereka yang lemah, miskin, menderita dan berkesesakan hidup. Kepekaan Bunda Elisabeth akan posisi anak yang selalu ada dalam ketidakberdayaan menjadi prioritas keberpihakan Bunda Elisabeth pada awal memulai Kongregasi. Hatinya bernyala-nyala akan kasih Allah menjadikan Bunda Elisabeth peka terhadap anak-anak yang tak berdaya dan menderita akibat

perang. Bunda Elisabeth meneladan Yesus sendiri yang mencintai anak-anak. “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan Sorga. Lalu Ia meletakkan tanganNya atas mereka” ( Mat 19:14-15).

Membangun manusia secara utuh menjadi tujuan Bunda Elisabeth sejak awal pelayanannya terhadap anak-anak meskipun tampaknya begitu sederhana. Dari aspek Kognitif memberi pelajaran agama, aspek kemampuan mengajari mereka menjahit, aspek rohani, mengajari berdoa dan mencintai Tuhan, dan aspek sosial mengajari saling berbagi diantara anak-anak yang dikumpulkannya. Bunda Elisabeth mendidik mereka pasti mempunyai tujuan untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah telah menggerakkan Bunda Elisabeth mewujudnyatakannya dengan mendidik anak-anak.

Compassion merupakan nilai spiritualitas yang di hidupi oleh Bunda Elisabeth

Gruyters pendiri Kongregasi suster-suster cinta kasih St. Carolus Borommeus karena mengalami dan merasakan kasih Allah yang berbelarasa tanpa syarat. Perwujudan nilai ini tampak dalam seluruh kehidupan dan karya Bunda Elisabeth Gruyters yang senantiasa mengutamakan keselamaran manusia (Gruyters, 1987: 29). Compassion dapat diwujudkan melalui sikap peduli, solider, dan rela berbagi dengan mereka yang lemah, miskin, menderita dan tersisih tanpa membeda-bedakan sebagai sesama.

Dalam konteks Tarakanita, pendidikan karakter haruslah berakar dan berangkat dari semangat cinta kasih tanpa syarat dan berbelarasa.“Waktu itu kami mulai menerima anak-anak miskin, dengan maksud membangun dasar baik dalam batin mereka.Kami memberikan pelajaran agama Kristen, menjahit, mengajar mereka berdoa dan mendidik mereka mencintai Allah (Gruyters, 1987: 32). Membangun dasar yang baik merupakan tugas perutusan yang melekat pada siapapun dan

dimanapun kita yang terlibat dalam proses pendidikan. SMP Stella Duce 2 adalah sekolah yang berada dibawa naungan Yayasan Tarakanita yang menempatkan Compassion sebagai salah satu keutamaan khas lembaga. Dengan demikian setiap

anak dan segenap anggota komunitas yayasan Tarakanita selalu didorong untuk mengamalkan dan menghayati dengan sungguh nilai Campassion dalam hidupnya disamping nilai-nilai yang ditawarkan dalam School Values Tarakanita.

Compassion diperlukan bagi siswa-siswi SMP Stella Duce 2 Yogyakarta agar

mereka turut merasakan penderitaan sesama sehingga menimbulkan keinginan aktif untuk meringankannya demi terwujudnya kehidupan yang harmonis. Siswa-siswi juga diharapkan mampu melakukan aksi peduli bagi mereka yang lemah, miskin, dan menderita sebagai sesama ciptaan Allah yang sederajat, mereka juga bisa bersikap solider terhadap mereka yang lemah, miskin, dan menderita sebagai sesama ciptaan Allah, dan rela kepada siapa saja. Sebagai suatu proses pembelajaran, anak diajak melihat secara dekat situasi hidup keluarga yang berkesesakan di sekitar Lingkungan sekolah dengan cara:

1) Mengunjungi keluarga tersebut, melakukan observasi dan membuat catatan-catatan peristiwa yang dialami dalam kunjungan tersebut.

2) Siswa-siswi dipandu oleh Guru untuk mempelajari sebab-sebab orang menjadi lemah, miskin, dan menderita.

3) Siswa-siswi mengidentifikasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh situasi-situasi tersebut.

4) Melakukan refleksi dengan harapan siswa-siswi mampu menghidupi sikap peduli, solider, dan mau berbagi dengan mereka yang lemah, miskin dan menderita.

5) Siswa-siswi merancang dan melakukan aksi sosial dan pada akhirnya siswa-siswi mengevaluasi aksi sosial yang mereka lakukan, apakah aksi sosial bermanfaat bagi terbangunnya kehidupan yang harmonis dalam masyarakat.

Dokumen terkait