• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERANAN MEDITASI TERHADAP MUTU PELAYANAN

C. Mutu Pelayanan

Para pelayan kristiani mulai merasa bahwa doa semakin dialami sebagai pelarian ke dalam hidup batin yang aman dan sebagai jalan untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yang seharusnya mengusik suara hati kristiani dan merupakan tantangan untuk melibatkan diri dalam tindak yang kreatif dalam pelayanan. Meditasi dan kontemplasi akan membosankan dan tidak menghasilkan

buah kalau tidak diimbangi dengan menggunakan waktu secara lebih baik untuk melatih ketrampilan yang perlu dan mempelajari teknik-teknik yang membantu untuk dapat melayani sesama dengan sungguh-sungguh. Tidak mengherankan bahwa kapel menjadi tempat yang makin tidak populer untuk dikunjungi, pembimbing rohani semakin jarang didatangi. Sebaliknya semakin banyak perhatian diberikan kepada latihan-latihan pastoral di rumah sakit, penjara, paroki dan proyek-proyek khusus (Nouwen, 1986: 17).

Doa bukanlah persiapan sebelum bekerja atau syarat yang tidak dapat diabaikan kalau pelayanan mau berhasil, doa adalah bagian dari hidup orang beriman. Doa dan pelayanan adalah sama dan tidak dapat dipisahkan. Kalau keduanya dipisahkan, seorang pelayan kristiani akan menjadi seorang tukang dan imamat tidak lebih dari sebuah cara lain untuk meringankan penderitaan hidup sehari-hari. Kalau keinginan untuk hening, untuk berkontemplasi dan bermeditasi tidak muncul dari keterlibatan terhadap dunia ini, akan segera menjadi bosan karena tidak tahu mengapa harus menjalani latihan-latihan rohani yang begitu banyak. Kalau Allah tidak semakin menjadi Allah yang hidup, manipulasi bagi mereka yang melayani umat Allah setiap hari, Dia tidak akan ditemukan di gurun, di biara atau pun pada saat-saat diam. Kalau profesionalisme pelayanan tidak mau merosot menjadi satu bentuk manipulasi klerikal, haruslah profesionalisme itu dilandaskan pada hidup rohani pelayan kristiani sendiri yang mengakar begitu dalam, karena profesionalisme itu berkembang dari perhatiannya yang terus-menerus bagi mereka yang bekerja bersama dengan dia (Nouwen, 1986: 21).

Keutamaan kerja keras dan mutu adalah tuntutan profesionalitas sekaligus tuntutan totalitas. Kerja keras mengindikasikan kemauan untuk mencurahkan seluruh tenaga dan waktu, sementara mutu mengindikasikan kemauan untuk memberikan semua kemampuan dan potensi diri. Kerja keras dan mutu hendak menunjuk pada pribadi yang tidak setengah-setengah. Ia punya sikap magis, yaitu melakukan yang lebih baik dengan cara memberikan waktu, tenaga maupun pikiran dan talenta diri. Keutamaan kerja keras dan mutu dilakukan sebagai penghayatan iman bahwa ia melakukan semua itu karena ingin dipersatukan bersama Allah sendiri, yang di dalam Yesus Kristus telah bekerja keras demi kebahagiaan dan keselamatan umat manusia seluruhnya (Mintara, 2014: 78).

Motivasi sejati dalam pelayanan dimurnikan dan dijernihkan dalam doa. Begitu banyak motifasi yang tidak sehat menentukan pemikiran dan tindakan dan semuanya itu membutakan sehingga tak dapat lagi membedakan motifasi-motifasi yang sesungguhnya (Stockman, 2005: 39).

Efektivitas karya pelayanan ikut terpengaruh oleh bagaimana cara melayani. Sebaik dan semutu apapun pelayanan kita, tetapi bila diberikan dengan tidak rela, maka buah dan efektivitas pelayanan menjadi lain, yakni kurang baik. Pelayanan yang murah hati tampak dalam pelayanan yang membebaskan. Pelayanan yang membebaskan tampak dari buah pelayanan yang membawa orang kepada suasana ringan, enak dan gembira. Entah bagaimana kehadiran kita membuat orang lain merasa dibantu, dibebaskan dari belenggu atau tekanan tertentu. Kehadiran dan pelayanan kita selalu dinantikan, diharapkan, dan dirindukan (Martasudjita, 2003: 49-50).

Pelayanan yang murah hati adalah pelayanan yang penuh pengabdian. Pengabdian dalam arti sikap pelayanan yang tulus, tanpa pamrih, tidak memikirkan kepentingan diri sendiri. Jiwa pengabdian juga mengandung makna tanpa mencari imbalan alias tanpa pamrih (Martasudjita, 2003: 52-53).

Pelayanan dengan penuh pengabdian dijiwai oleh keinginan untuk memberikan seluruhnya bagi Kerajaan Allah. Sedangkan hal-hal lain, seperti keperluan hidup, pakaian, makanan, singkatnya: nafkah, tidak menjadi nomor satu. Orang macam ini meresapkan Sabda Tuhan (Martasudjita, 2003: 54).

Seluruh karya pelayanan dan kerasulan hanya bisa ada, hidup dan tumbuh karena mengalir dari Tuhan Yesus Kristus sendiri, Sang Batu Penjuru. Itulah hakikat karya pelayanan yakni karya Tuhan sebagaimana telah direnungkan. Karya pelayanan dan kerasulan merupakan karya Gereja sendiri yang dibangun atas dasar para rasul dan para nabi (Martasudjita, 2006: 47).

Di dalam kehidupan ini khususnya dalam karya pelayanan para religius, tentu banyak tantangan dan kesulitan yang dihadapi. Orang beranggapan bahwa kesusahan, derita, penyakit adalah hambatan dalam pelayanan yang baik. Pandangan yang dikemukakan oleh Yesus bertolak belakang dengan pandangan duniawi. Baik dalam pengajaran maupun dalam hidup-Nya, Yesus menunjukkan bahwa kegembiraan yang sejati sering kali tersembunyi di balik kesusahan, tarian kehidupan dimulai dalam kesedihan. Ia berkata, “...kalau tidak mati, biji gandum tidak dapat menghasilkan...”. Salib menjadi lambang yang amat jelas. Salib adalah lambang kematian dan kehidupan dalam karya pelayanan, penderitaan dan

Orang Katolik begitu akrab dengan kata pelayanan (diakonia). Di dalam Gereja Katolik, dalam banyak kesempatan kata itu sering digunakan, misalnya pelayanan sakramental, pelayanan kesehatan, pelayanan orang sakit, dan sebagainya. Dalam banyak bidang, pelayanan menjadi bagian hidup dan

berkembangnya Gereja. Dalam pelayanan, orang melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain.

Sesuatu yang baik itu bisa berupa bantuan untuk orang miskin, pelayanan sabda untuk menghidupkan iman. Pelayanan tidak sekedar melakukan sebuah pekerjaan dengan tujuan mendapatkan sesuatu, tetapi sebuah pengabdian yang hanya karena didasari oleh rasa hormat dan syukur pada Tuhan. Semua orang Kristiani adalah pelayan, yaitu orang yang berusaha untuk menghayati hidupnya dalam sinar terang kabar gembira Yesus Kristus (Nouwen, 1986: 7).

Bertolak dari kalimat tersebut, penulis juga memiliki pendapat yang sama. Semua orang Kristiani, baik itu awam maupun para religius, mereka memiliki tugas yang sama yaitu sebagai pengikut Yesus Kristus. Menjadi pengikut Yesus Kristus berarti mengikuti teladan-Nya, menjadi pelayan. Pekerjaan apa saja yang dilakukan oleh seorang pengikut Kristus adalah pelayanan. Misalnya seorang Kristiani yang bekerja di tempat tertentu, sekalipun dia bekerja untuk mensejahterakan hidupnya, keluarganya, namun tetap harus didasari semangat pelayanan. Upah itu penting untuk hidupnya, namun yang jauh lebih penting adalah sikap pelayanannya.

Pelayanan bukanlah pekerjaan dengan jam kerja mulai pukul delapan sampai pukul lima, atau waktu-waktu yang telah ditentukan, akan tetapi

pertama-tama adalah jalan hidup. Jalan hidup yang dimaksud adalah supaya apa yang dilakukan selama bekerja dilihat dan dimengerti oleh orang lain bahwa bekerja bukan sekedar mencari upah melainkan demi cinta kasih terhadap orang lain. Doa bukanlah persiapan sebelum bekerja atau syarat yang tidak dapat diabaikan kalau pelayanan mau berhasil. Doa adalah hidup, doa dan pelayanan adalah sama dan tidak dapat dipisahkan (Nouwen, 1986: 21).

Menurut penulis pelayanan itu tidak sekedar melakukan pekerjaan, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan, tetapi pelayanan itu adalah suatu tindakan yang dilakukan dan dijiwai semangat rohani. Bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi terlebih untuk orang lain. Pelayanan lebih mengarah pada tindakan untuk memuliakan Tuhan melalui sesama dan alam sekitar. Doa dan pelayanan itu saling berkaitan. Doa yang dijiwai dan dihayati pasti akan membuahkan pelayanan yang penuh kasih. Doa ungkapan iman dan relasi batin manusia dengan Tuhan dan pelayanan merupakan ungkapan mencintai Tuhan dalam diri sesama dan alam sekitar.

Yesus mengosongkan diri-Nya dan memberikan hidup-Nya bagi orang lain. Demikianlah jalan dari semua pelayanan (Nouwen, 1986: 73). Merefleksikan hidup Yesus selama di dunia penulis merasakan bahwa segala yang Ia lakukan bukan semata-mata untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk memuliakan Tuhan dalam diri sesama. Kehidupan Yesus sepenuhnya adalah sebuah pelayanan.

Pelayan Kristiani, pelayanan religius, pelayanan yang memberi perhatian kepada orang lain terlebih mereka yang kecil, dipanggil untuk menjadi terampil tetapi tidak untuk menjadi seorang tukang, banyak pengetahuan tetapi bukan

seorang yang serba memaksakan, profesional tetapi bukan seorang manipulator. Apabila ia dapat menyangkal dirinya sendiri, beriman dan memahami arti penderitaan manusia, maka orang yang dilayani akan menyadari bahwa melalui tangan mereka yang mau menjadi pelayan, Allah menunjukkan cinta kasih-Nya yang lembut kepadanya. Mengajar menjadi pelayanan kalau guru melangkah lebih jauh daripada sekedar menyampaikan ilmu dan bersedia memberikan pengalaman hidupnya sendiri kepada murid, sehingga kecemasan yang melumpuhkan dapat disingkirkan. Khotbah menjadi pelayanan kalau pengkhotbah melangkah lebih jauh daripada sekedar menceritakan kisah (Nouwen, 1986 : 86).

Dokumen terkait