BAB IV METODE PENYUSUNAN MU’JAM LIS Ā N AL-‘ARAB
A. Metode Penyusunan Mu’jam Lis ā n al-‘Arab Karya Ibn Manẓūr
Lisān al-‘Arab karya Ibn Manẓūr al-Afrīqī merupakan salah satu dari sejumlah kamus Arab yang menggunakan sistem atau metode penyusunan qāfiyah (sajak/sastrawi), sangat diakui keunggulannya dibanding dengan kamus lain sejenisnya. Secara menyeluruh mu’jam Lisān al-‘Arab tidak hanya berfungsi sebagai kamus (mu’jam) tetapi keistimewaan lain yang dimiliki oleh Lisān
al-‘Arab ialah kitab ini bisa dipakai sebagai kitab bahasa, kitab rujukan nahw, ṣarf, fiqhi, sastra, syarah hadis dan tafsir al-Qur’an.
Salah satu contoh dalam aspek syarah hadis yang penulis temukan sebagaimana yang tercantum pada uruaian penjelasan Muhammad Rasyād Hamzawī dalam bukunya yang berjudul Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, berikut:
Sementara
Lis
ān al-‘Arab
mencantumkan:ﷲ لﻮﺳر ﺪﻤﳏ ﺎﻬﻴﻓ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ يأ ((ﺎﻴﺑﺮَﻋ ﻢﻜﲤاﻮﺧ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ : ﺚﻳﺪﳊا ﰲو)) ﻣو .ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻲﻠﺻ ﱯﻨﻟا َِﰎﺎﺧ َﺶْﻘَـﻧ نﺎﻛ ﻪﻧﻷ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻲﻠﺻ ﺚﻳﺪﺣ ﻪﻨ
ﰲ َﺶُﻘﻨﻳ نأ ﻩﺮﻜﻳ ﺮﻤﻋ ﻦﺑا نﺎﻛو .ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﻢﻜﲤاﻮﺧ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ)) :ﻪﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر ﺮﻤﻋ ((نآﺮﻘﻟا َِﰎﺎﳋا .
1Contoh lain yang penulis amati, Ibn Manẓūr dalam menjelaskan kata "
ْﻟا َﻘ ْﺮ ُء
" , memberikan
syarah
(penjelasan) dari berbagai aspek, tidak hanya pada1Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan (Cet. I; Lebanon: Dār al-‘Arab al-Islāmī , 1986), h. 106-107.
aspek fiqhi, bahasa, ia juga menguraikan dalam aspek
syarah
al-Qur’an dan hadis, sehingga ini menjadi salah satu keistimewaan yang dimiliki olehmu’jam
ini dibandingmu’jam
lain yang sejenisnya (kamus dengan metode yang sama).Berikut uraian (
syarah
) makna kata yang dipaparkan oleh Ibn 2"ُء ْﺮ َﻘ ْﻟا
"Manẓūr dalam
mu’jam Lis
ān al-‘Arab
:َﻘﻟ ْﺮ او ُء ُﺖﻗﻮﻟا : ﺮﻋﺎﺸﻟا لﺎﻗ . :
ٍإ َذ َﻣ ا ﱠﺴﻟا ﺎ ُءﺎ َﻤ َْﱂ َﺗ ِﻐ ْﻢ ﱠُﰒ ، ْﺧ َﻠ َأ ْﺖ َﻔ
ُﻗ
ﱡـﺜﻟا ءوﺮ َﺮ ﱠ*
ْن َأ َﻳ ُﻜ ْﻮ َن
ََﳍ َﻗ ﺎ ُﺮ ْﻄ
سﺎﻨﻟا ﻪﻴﻓ ﺮﻄﳝ يﺬﻟا ﺎﻬﺋﻮﻧ ﺖﻗو ﺪﻳﺮﻳ .
ُﺤﻠﻟ ل ﺎﻘﻳو .ءﺮﻗ :ﺪﻴﻌﺒﻠﻟو ،ءﺮﻗ :ﺐﺋﺎﻐﻠﻟو ،ءﺮﻗ :ﻰﻤ َﻘﻟاو
ُﻘﻟاو ءﺮ ءﺮ نأ ﻚﻟذو .ﺪﺿ ﺮﻬﻄﻟاو ،ﺾﻴﳊا :
ﺾﻴﺤﻠﻟ نﻮﻜﻳ ﺪﻘﻓ ،ﺖﻗﻮﻟا ءﺮﻘﻟا ﺪﻴﺒﻋ ﻮﺑأ لﺎﻗ .ﺮﻬﻄﻟاو
: ءﺮﻘﻟا ﺮﻬﻄﻟاو ﺾﻴﺤﻠﻟ ﺢﻠﺼﻳ .
ﻪﻨﻇأو :لﺎﻗ
ءاﺮﻗأ :ﻊﻤﳉاو .ﺖﺑﺎﻏ اذإ مﻮﺠﻨﻟا تأﺮﻗأ ﻦﻣ .
ﰲو :ﺚﻳﺪﳊا َد
َةﻼﺼﻟا ﻲﻋ َم*أ
َأ ْﻗ ِﺋاﺮ ِﻚ . ﱏدأ ﰲ ﱐﺎﻴﺤﻠﻟا ﻦﻋ ةﲑﺧﻷا ،ؤﺮﻗأو ،لﻮﻌﻓ ﻰﻠﻋ ،ءوﺮﻗو
ﺔﺛﻼﺛ دارأ ،ءوﺮﻗ ﺔﺛﻼﺛ :ﻞﻳﺰﻨﺘﻟا ﰲو .لﻮﻌﻔﺑ ﻪﻨﻋ اﻮﻨﻐﺘﺳا :لﺎﻗ .اؤﺮﻗأ ﻻو ءاﺮﻗأ ﻪﻳﻮﺒﻴﺳ فﺮﻌﻳ ﱂو ،دﺪﻌﻟا بﻼﻜﻟا ﻦﻣ ﺔﺴﲬ ﺎf داﺮﻳ ،بﻼﻛ ﺔﺴﲬ اﻮﻟﺎﻗ ﺎﻤﻛ ،ءوﺮﻗ ﻦﻣ ءاﺮﻗأ .
ﻪﻟﻮﻘﻛو : ُﺲ َْﲬ
َـﺑ َﻨ َﻗ ٍنﺎ ِﺊﻧﺎ ْﻇ َﻷا َﻔ ِرﺎ
َدارأ َْﲬ ًﺴ َـﺒﻟا ﻦﻣ ﺎ َﻨ ِنﺎ ﻰﺸﻋﻷا لﺎﻗو . :
ُﻣ ْﻮ َ ًﺔ ر ﱠﺛ َﻣ َﳊا ﰲو ، ًﻻﺎ ِّﻲ
ِر ْـﻓ َﻌ ًﺔ * ،
َعﺎﺿ ﺎﳌ ِﻣ ﺎﻬﻴﻓ ِءوﺮﻗ ﻦ ِﻧ َﺴ ِﺋﺎ ﺎﻜ
2Ibn Manẓūr, Lisān al-‘ArabJilid I ( Cet. III ; Lebanon: Dār Ṣadr, 1994), h.130-131.
ﰲ ﻲﻌﻤﺻﻷا لﺎﻗو ﱃﺎﻌﺗ ﻪﻟﻮﻗ
َﺔﺛﻼﺛ : ُـﻗ ُﺮ ﻻو .ؤﺮﻗأ ﺔﺛﻼﺛ سﺎﻴﻘﻟاو ،سﺎﻴﻗ ﲑﻏ ﻰﻠﻋ اﺬﻫ ءﺎﺟ :لﺎﻗ ،ءو
ﺛﻼﺛ لﺎﻘﻳ ﺎﳕإ ،سﻮﻠﻓ ﺔﺛﻼﺛ لﺎﻘﻳ نأ زﻮﳚ ،لﺎﺟر ﺔﺛﻼﺛ لﺎﻘﻳ ﻻو ،سﻮﻠﻔﻟا ﻲﻬﻓ تﺮﺜﻛ اذﺈﻓ ،ﺲﻠﻓأ ﺔ
اﻮﻟﺎﻗ نﻮﻳﻮﺤﻨﻟاو :ﰎﺎﺣ ﻮﺑأ لﺎﻗ .ﺐﻠﻛأ ﺔﺛﻼﺛ ﻲﻫ ﺎﳕا ،بﻼﻛ ﺔﺛﻼﺛ لﺎﻘﻳ ﻻو ،ﺔﻠﺟر ﺔﺛﻼﺛ ﻲﻫ ﺎﳕإو ﱃﺎﻌﺗ ﻪﻟﻮﻗ ﰲ :
ءوﺮﻘﻟا ﻦﻣ ﺔﺛﻼﺛ دارأ .ءوﺮﻗ ﺔﺛﻼﺛ .
ﺪﻴﺒﻋ ﻮﺑأ :
ءاﺮﻗﻷا ﰲ ،ةأﺮﳌا تأﺮﻗأ ﺪﻗو ،رﺎﻬﻃﻷا :ءاﺮﻗﻷاو ،ﺾﻴﳊا : ﻮﻧد ﻦﻣ ﻪﻠﺻأو ،ﺎﻌﻴﲨ ﻦﻳﺮﻣﻷا
.ﺊﺸﻟا ﺖﻗو ﻲﻌﻓﺎﺸﻟا لﺎﻗ
ﺮﻬﻄﻟاو ،ﺖﻗﻮﻟ ﺊﳚ ﺾﻴﳊا نﺎﻛ ﺎﻤﻠﻓ ﺖﻗﻮﻠﻟ ﻢﺳا ءﺮﻘﻟا :ﻪﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر
ارﺎﻬﻃأو ﺎﻀﻴﺣ ءاﺮﻗﻷا نﻮﻜﻳ نأ زﺎﺟ ﺖﻗﻮﻟ ﺊﳚ .
،ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ،ﷲ لﻮﺳر ﺔﻨﺳ ﺖﻟدو :لﺎﻗ
ﻞﺟو ﺰﻋ ،ﷲ نأ ﺛ ﻦﻬﺴﻔﻧ} ﻦﺼﺑﱰﻳ تﺎﻘﻠﻄﳌاو ﻪﻟﻮﻘﺑ دارأ ،
ءوﺮﻗ ﺔﺛﻼ :
ﺮﻤﻋ ﻦﺑا نأ ﻚﻟذو .رﺎﻬﻃﻷا
،ﻪﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر ،ﺮﻤﻋ ﱴﻔﺘﺳﺎﻓ ،ﺾﺋﺎﺣ ﻲﻫو ،ﻪﺗأﺮﻣا ﻖﻠﻃ ﺎﳌ ﱯﻨﻟا
ﻰﻠﺻ ،ﻞﻌﻓ ﺎﻤﻴﻓ ،ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ
ءﺎﺴﻨﻟا ﺎﳍ ﻖﻠﻄﻳ نأ ﱃﺎﻌﺗ ﷲ ﺮﻣأ ﱵﻟا ةﺪﻌﻟا ﻚﻠﺘﻓ ،ﺎﻬﻘﻠﻄﻴﻠﻓ تﺮﻬﻃ اذﺈﻓ ،ﺎﻬﻌﺟاﲑﻠﻓ ﻩﺮﻣ :لﺎﻘﻓ . أ اﺬﻫ ﺔﻘﻴﻘﺣ ﰲ يﺪﻨﻋ يﺬﻟا :ﻖﺤﺳإ ﻮﺑأ لﺎﻗو ءﺮﻘﻟا ن
ﺔﻐﻠﻟا ﰲ ، ﰲ ءﺎﳌا ﺖﻳﺮﻗ ﻢﳍﻮﻗ نأو ،ﻊﻤﳉا ،
يأ يﺮﻘﻳ دﺮﻘﻟاو ،ﺎﻋﻮﻤﳎ ﻪﺑ ﺖﻈﻔﻟ :نآﺮﻘﻟا تأﺮﻗو ،ﺖﻌﲨ ﻮﻬﻓ ،ءﺎﻴﻟا مﺰﻟأ ﺪﻗ نﺎﻛ نإو ،ضﻮﳊا ﺢﺻو .ﺮﻬﻄﻟا ﰲ نﻮﻜﻳ ﺎﳕإ ﻚﻟذو ،ﻢﺣﺮﻟا ﰲ مﺪﻟا عﺎﻤﺘﺟا ءﺮﻘﻟا ﺎﳕﺈﻓ ،ﻪﻴﻓ ﰲ ﻞﻛˆ ﺎﻣ ﻊﻤﳚ ﻦﻋ
ﺮﻤﻋ ﻦﺑاو ﺔﺸﺋﺎﻋ
ﻤ‰أ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر مﻼﻛ ﻦﻣ ،ﻆﻔﻠﻟا اﺬﻫ ﻖﻘﺣو .رﺎﻬﻃﻷا :ءوﺮﻘﻟاو ءاﺮﻗﻷا :ﻻﺎﻗ ﺎ
ﻰﺸﻋﻷا لﻮﻗ ،بﺮﻌﻟا :
ِﻟ َﻤ َعﺎﺿ ﺎ ﺎﻜﺋﺎﺴﻧ ءوﺮﻗ ﻦﻣ ﺎﻬﻴﻓ
ﻪﺘﺒﻴﻐﺑ عﺎﺿ ﺎﳕﺈﻓ ، ﻦﻬﻀﻴﺣ ﰲ ﻻ ﻦﻫرﺎﻬﻃأ ﰲ ﲔﺗﺆﻳ ﺎﳕإ ءﺎﺴﻨﻟا نﻷ ،ﺾﻴﳊا ﻻ رﺎﻬﻃﻷا ﺎﻨﻫ ءوﺮﻘﻟﺎﻓ ﻦﻫرﺎﻬﻃأ ﻦﻬﻨﻋ .
:لﺎﻘﻳو َـﻗ َﺮ َأ ِت و ،تﺮﻬﻃ :ةأﺮﳌا َـﻗ َﺮ َأ
ْت
:
ﺖﺿﺎﺣ
.
Substansinya makna kata "
ءوﺮﻘﻟا
" atau "ءاﺮﻗﻷا
" telah banyak dijelaskan dengan uraian yang berbeda-beda dari sejumlah tokoh ulama bahasa, fiqhi ataupun tafsir dari berbagai literatur yang ada. Namun dalam pengamatan penulis, cara Ibn Manẓūr dengan keakuratan dan kehati-hatiannya dalam menjelaskan arti suatu kata, pada dasarnya tidak terlepas dari peranansyarah
(penjelasan-penjelasan) yang terdapat dari kitab-kitab lain yang dijadikan sebagai acuan. Ia banyak mengkaji, meneliti dan mengamati kitab-kitab lain yang ada kaitannya dengan suatu kata yang akan ia terjemahkan dalam kamusnya.Sehingga penjelasan arti suatu kata dalam bidang tertentu selalu relevan dengan kitab-kitab rujukan lain yang terkait dengan bidang kosakata yang dimuat.
Sebagai contoh, penulis mengambil perumpamaan dari penjelasan arti kata "
ُﺮ ْو ُء ُﻘﻟا
" atau "ُءا ْـﻗ َﺮ َﻷا
" yang ditulis oleh al-Duktūr ‘Abdu al-Karīm Zaidān dalam bukunya yang berjudul “al-Mufa
ṣṣal F
īAhk
ām Mar’ah wa Bait al-Muslim F
īal-Syar
ī’ah al-Isl
āmiyyah
”, dengan uraian berikut:ُﺔَﺛَﻼَﺛ َﻲِﻫ َلﺎَﻗ ، ُرﺎَﻬْﻃَْﻷا َﻲِﻫ َءْوُﺮُﻘْﻟا ﱠنإ : لﺎﻗ ﻦﻤﻓ ...
َﻲِﻫ َءْوُﺮُﻘْﻟا ﱠنِإ : َلﺎَﻗ ْﻦَﻣَو ، ٍرﺎَﻬْﻃَأ
. ٍﺾْﻴَﺣ ثَﻼَﺛ َﻲِﻫ َلﺎَﻗ ، ُﺾْﻴَْﳊا
3Dari kedua penjelasan arti kata tersebut, penulis menyimpulkan bahwa arti atau penjelasan makna kosakata yang dijelaskan oleh Ibn Manẓūr, selain detail, akurat, juga selalu mengedepankan aspek relevansi dengan keakuratan (kesesuaian) makna kata yang bersumber dari kitab-kitab rujukan yang lain.
3‘Abdu al-Karīm Zaidān, al-Mufaṣṣal Fī Ahkām al-Mar’ah wa Bait al-Muslim Fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah (Cet.III; Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2000), h. 147.
Di sini penulis perlu menegaskan bahwa mu’jam Lisān al-‘Arab yang terdiri dari 20 jilid merupakan mu’jam yang awalnya pertama kali dicetak dan diterbitkan oleh al-Maṭba’ah al-Amīriyyah dalam bentuk yang sudah dibagi secara jilid per jilid (būlāq) di Kairo tahun 1308 H/ 1890 M. Kemudian muncul versi cetakan yang berbeda-beda, ada yang diterbitkan di Dār Ṣādr (Beirut), lalu di Yordania dengan format daftar isi yang baru (lain) , lalu versi cetakan yang tersebar saat ini yaitu versi cetakan Dār al-Ma’ārif (Kairo) tahun 1981 H.
Sedangkan cetakan yang terus berlanjut sampai saat sekarang yaitu versi cetakan Dār Ṣādr (Beirut).
Metode yang digunakan oleh Ibn Manẓūr dalam penyusunan Mu’jam Lisān al-‘Arab adalah metode qāfiyah sebagaimana yang telah dijelaskan dari berbagai literatur yang ada. Ciri umum yang dapat dilihat yaitu dengan model pencarian makna kata yang dimulai dari huruf akhir suatu kata yang diistilahkan dengan ‘bab’ dan huruf awal dengan istilah ‘pasal’. Adapun Lisān al-‘Arab yang kebanyakan dimiliki oleh kalangan pelajar saat ini dengan versi (model) urutan abjadiyah, bukan merupakan metode awal dari mu’jam ini melainkan hanya bentuk kodifikasi baru dari percetakannya yang tdiak lain bertujuan untuk memudahkan pembaca (pengguna kamus) dalam mencari arti kata yang dikehendaki karena masih banyak dari pengguna kamus yang terbilang sulit dalam menggunakan versi (model) qāfiyah.
Ibn Manẓūr, setelah mempelajari kamus-kamus para pendahulunya, mulai dari kamus al-‘Ain hingga kamus Mukhtar al-Ṣihāh menemukan beberapa hal yang masih dianggap kurang dan perlu ditinjau ulang atau direvisi. Kekurangan yang didapati Ibn Manẓūr pada kamus-kamus era sebelumnya menjadi titik lemah bagi kamus itu sendiri. Sehingga Ibn Manẓūr merasa perlu untuk menyusun
sebuah kamus yang dapat mempermudah bagi para pengguna kamus dalam mencari dan memahami suatu makna. Titik lemah yang didapati Ibn Manẓūr mencakup dua garis besar. Pertama, sistem penyusunan kamus itu sendiri atau diistilahkan oleh Ibn Manẓūr dengan al-tartīb. Kedua, penyajian makna kata atau al-waḍ’.
Kitab al-‘Ain adalah kamus pertama Arab yang begitu fenomenal, lahir dari tangan seorang pakar bahasa kenamaan di masanya bernama al-Khalīl bin Ahmad al-Farāhīdī. Dalam penyusunan kamus ini, pengarangnya menggunakan metode al-tartīb al-ṣautī atau sistem fonetik. Sistem fonetik terbilang sukar di kalangan masyarakat umum. Sebab sistem ini menuntut kepiawaian atau pengetahuan tentang makhārij al-hurūf beserta urutannya dan tanpa ada pengetahuan tentang hal tersebut akan sangat sulit untuk menemukan makna suatu kata yang dicari. Setelah itu, lahir kamus al-Jamharah atau Jamharah al-Lugah, hasil karya Ibn Duraid. Kamus ini menggunakan metode yang hampir sama dengan kamus al-‘Ain, hanya penjabaran kata yang berbeda. Jamharah menggunakan metode al-tartīb al-hijā’ī. Namun metode ini juga dianggap masih sulit bagi para pengguna kamus.
Berangkat dari hal inilah, pakar perkamusan di era tersebut berusaha mencari suatu format kamus yang lebih mudah dari kamus-kamus sebelumnya dan pada akhirnya seorang pakar perkamusan bernama Ismā’īl bin Hammād al-Jauharī (398 H) menemukan satu metode kamus yang dikenal dengan nama metode qāfiyah. Metode ini jugalah yang dijadikan asas oleh Ibn Manẓūr dalam menyusun kamusnya, Lisān al-‘Arab.
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa Ibn Manẓūr mencatat ada dua titik lemah -secara garis besar- yang melekat pada kamus-kamus sebelumnya.
Titik lemah pertama adalah sistem penyusunan yang tak lain adalah metode taqlībāt ṣautī atau sistem fonetik. Metode ini telah dituntaskan dan diganti dengan metode qāfiyah. Selanjutnya, titik lemah kedua adalah metode penyajian makna.
Menurut pengamatan Ibn Manẓūr terhadap kamus-kamus sebelumnya bahwa terdapat beberapa hal yang masih perlu ditambahkan dan dibenahi dalam penjabaran dan penjelasan makna kata. Seperti pencantuman ayat atau potongan ayat al-Qur’an yang bertalian dengan suatu kata pada uraian makna kata tersebut.
Begitu juga halnya dengan hadits, akhbār (cerita orang dahulu), amṡāl (peribahasa) atau asy’ār (puisi) yang berhubungan dengan suatu kata atau leksem disisipkan dan dicantumkan pada uraian suatu kata dengan tujuan menambah wawasan dan pengetahuan perihal kata tersebut. Olehnya, tidak mengherankan jika Lisān al-‘Arab penuh dengan syawāhid-syawāhid.
Ibn Manẓūr dalam pendahuluan kitabnya amat menyadari bahwa kamus-kamus yang disusun sebelumnya memiliki kelemahan atau kekurangan, baik dalam sisi pengumpulan bahan bahasa maupun pada penyusunan bahan tersebut.
Ia memaparkan: “saya mendapati para ulama perkamusan berada di antara dua versi.
Versi pertama
, Ulama perkamusan yang baik dalam pengumpulan bahan namun lemah dalam penyusunan.Versi kedua
, Ulama perkamusan yang baik dalam penyusunan namun kurang dalam pengumpulan.”4Beliau juga menampakkan ketakjubannya pada kitab
al-Tah
ẓīb
, karangan al-Azharī dan al-Muhkam, hasil karya Ibn Sīdah. Namun demikian beliau tetap memberikan kritikan terhadap keduanya. Contoh kritikan beliau terhadapal-4Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 101.
Azharī: “Al-Azharī terkadang mengakhirkan, terkadang juga mengedepankan. Ia bermaksud menjelaskan namun terjebak dalam kesamaran. Beda halnya dengan Ibn Sīdah, ia terkadang keliru dan berlebihan dalam menjelaskan”.5 Kritikan ini beliau lakukan bukan hanya berasal dari hasil temuan beliau, tetapi hal ini ditopang oleh
haw
āsy
ī(catatan kaki) Ibn Barrī yang dijadikan pegangan oleh Ibn Manẓūr.Berdasar atas fakta ini, Ibn Manẓūr bermaksud meminimalisir dan menghindari kekurangan yang melekat pada kitab-kitab perkamusan sebelumnya, baik dari aspek pengumpulan maupun penyusunan. Olehnya itu, Ibn Manẓūr dianggap sebagai peletak (penyusun)
kamus percontohan/al-mu’jam al-mi
ṡāl
ī dalam aspek pengumpulan (al-jam’
) dan aspek penyusunan (al-tart
īb
/al-wa
ḍ’
).Sebagaimana beliau juga meletakkan bahan percontohan bahasa (
m
āddah mi
ṡāliyyah lugawiyyah
).Dalam aspek
al-tart
īb
(penyusunan), alangkah baiknya juga bila kita mengetahui apakah Ibn Manẓūr itu mengikut (bertaql
īd)
atau mencampur bahan-bahan bahasanya ataukah ia menggunakan metode baru yang mengikat kitabnya dengan 5 (lima) referensi yang diperpeganginya.Ibn Manẓūr tidak menyebutkan secara jelas 5 (lima) referensinya yang dijadikannya pedoman dalam menyusun Lisān al-‘Arab. Tetapi berdasar pada litertur lain yang ada, disebutkan bahwa kelima referensi yang diperpegangi oleh Ibn Manẓūr dalam mengumpulkan
m
āddah
(bahan)mu’jam
nya meliputi: 1) Tahżīb karangan al-Azharī, 2) al-Muhkam karangan Ibn Sīdah, 3) Ṣihāh karangan al-Jauharī, 4) Hawāsyī karangan Ibn Barrī, 5) Nihāyah Ibn al-Aṡīr.6 Sepertinya,5Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 102.
6Husain Naṣṣār, Al-Mu’jam al-‘Arabī Nasy’atuh wa Taṭawwuruh Juz II (Kairo: Dār Miṣr lī al-Ṭibā’ah, t.th), h. 544.
Ibn Manẓūr menafikan hal itu karena alasan-alasan yang kebanyakan tidak kita ketahui. Namun hal itu mesti disebutkan dan dipaparkan karena penting kita ketahui. Sebagai contoh, siapa orang pertama yang membahas makna ini dan siapa yang hanya menukil ? Kamus sejarah sangat memerlukan hal tersebut untuk mengetahui pertumbuhan kata (mufradat), perkembangannya dan sebab-sebab atau faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangannya.
Kita mengetahui bahwa kitab Lisān al-‘Arab mengkritisi kitab al-Tahzīb, al-Ṣihāh, al-Muhkam dan al-Nihāyah. Tetapi kita tidak mengetahui bagaimana Ibn Manẓūr mengganti
naqd salb
ī dengannaqd
īj
āb
ī? Maka untuk mengetahuinya, kita dituntut melewati kritiktaql
īd
dan hal-hal yang bertautan dengannya, berupa perbedaanmu’jam
yang satu denganmu’jam
lainnya dan perbedaan penyusunannya, baik berdasar atas asasal-a
ṣwa
ṭ,
ataual-q
āfiyah
atau berdasar atasas
ās al-hur
ūf al-abjadiyah
(asas huruf abjad).
Dengan mengetahui metode Ibn Manẓūr yang berdasar atas asas deskripsi (al-wa
ṣf
) dan analisis (at-tahl
īl
) dapat dengan sendirinya membantu kita mengetahui pengumpulan dan penyusunan bahan-bahan bahasa kitab Lisān al-‘Arab, yang selanjutnya menuntun kita untuk mengetahui sikap ilmiah yang baik ketika menyusunmu’jam
Arab modern.Tentunya dalam mengupayakan hal ini semua terdapat beberapa kendala, di antaranya:
1. Ibn Manẓūr tidak menyebutkan sejarah jelas metode bahannya dalam penyusunan dan pengumpulan bahannya. Ia juga tidak menyisakan
wa
ṡāiq
(dokumen-dokumen) penunjang selain bahan Lisān al-‘Arab itu sendiri.2. Mustahil bagi kami melakukan upaya ini dan mengaplikasikannya pada semua bahan Lisān al-‘Arab. Sebab upaya ini menuntut kerjasama yang teratur dan didukung oleh peralatan modern.
3. Tidak ditemukan di Tunisia 5 (lima) referensi yang dijadikan pegangan utama oleh Ibn Manẓūr. Inilah yang menyebabkan kami meringkas (mengfoksukan) area pembahasan kami pada bahan (
m
āddah بﺮﻋ
“araba”yang kami dapati di al-Tahżīb, al-Ṣihāh, al-Muhkam dan al-Nihāyah.
Nampaknya, pilihan kami terhadap
m
āddah
“ ‘araba” ini terbilang bagus.Sebab Ibn Barrī tidak membahasnya. Perbandingan bisa saja, tetapi amat terbatas karena hal-hal yang telah kami sebutkan tadi.7
Bila diamati metode dasar Ibn Manẓūr dalam mengumpulkan bahasa (bahan-bahan bahasa), ditemukan bahwa Lisān al-‘Arab memiliki 2 (dua) keistimewaan penting yang juga merupakan metode Ibn Manẓūr, yaitu:
1. Berpegang hanya pada 5 (lima) referensi saja. Pilihan ini atau komitmen terhadap 5 (lima) pilihan ini merupakan metode ilmiah tersendiri dan langka, tanpa menutup mata dari hasil
ta
ṭb
īq
(terapan) nya danq
īmah lughawiyah
(nilai bahasa) nya. Hal itu tak lain karena belum ada akademisi atau praktisi perkamusan yang melakukannya sebelum Ibn Manẓūr.2. Ibn Manẓūr menganggap dirinya sebagai
n
āqil
(penukil) danjamm
ā’
(pengumpul), bukanr
āwiyah
(perawi) dansamm
ā’
(pendengar). Beliau mengatakan: “ ... meskipun demikian, saya tidak mengakui suatu pengakuan bahwa saya mengatakan: saya berucap langsung (syafahtu
), saya7Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h.102.
mendengar, saya melakukan, saya meletakkan, ... saya menukil dari Orang Arab Fushah”.8
Melalui dua metode yang merupakan ciri khas Lisān al-‘Arab ini, kita menemukan ada pengaruh penting, tidak secara menyeluruh, melainkan terkhusus pada tingkat pengumpulan bahasa. Lisān al-‘Arab sendiri memuat semua yang tertera di 5 (lima) referensi, baik dari al-Qur’an, hadits Nabi, syair dan prosa.
1. Aplikasi/ Terapan Metode Ibn Manẓūr pada Leksem/Kata “ ’araba”.
Pada kata “’araba”, Lisān al-‘Arab mencantumkan 5 (lima) ayat yang semuanya tertera pada kamus al-Tahżīb dan hanya satu yang dipaparkan dalam kitab al-Ṣihāh dan al-Muhkam. Sedangkan dalam ranah hadits, Lisān al-‘Arab mencatat 26 hadits yang umumnya diambil secara
harf
ī dari Ibn al-Aṡīr. Akan tetapi, beliau tidak menjelaskannya bahwa beliau berpedoman pada Ibn al-Aṡīr.Sebagai contoh, Ibn al-Aṡīr mencatat:
((نآﺮﻘﻟا َِﰎﺎﳋا ﰲ َﺶُﻘﻨﻳ نأ ﻩﺮﻜﻳ ﺮﻤﻋ ﻦﺑا نﺎﻛو .ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﻢﻜﲤاﻮﺧ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ))
9
Artinya:
((“Jangan engkau mengukir cincinmu dengan menggunakan bahasa Arab”.
Ibn ‘Umar tidak menyukai (membenci) cincin yang berukiran /bertuliskan al-Qur’an)).
Sementara
Lis
ān al-‘Arab
mencantumkan:ﷲ لﻮﺳر ﺪﻤﳏ ﺎﻬﻴﻓ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ يأ ((ﺎﻴﺑﺮَﻋ ﻢﻜﲤاﻮﺧ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ : ﺚﻳﺪﳊا ﰲو)) .ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻲﻠﺻ ﱯﻨﻟا َِﰎﺎﺧ َﺶْﻘَـﻧ نﺎﻛ ﻪﻧﻷ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻲﻠﺻ ﺚﻳﺪﺣ ﻪﻨﻣو
8Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 105.
9Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 106-107.
ﰲ َﺶُﻘﻨﻳ نأ ﻩﺮﻜﻳ ﺮﻤﻋ ﻦﺑا نﺎﻛو .ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﻢﻜﲤاﻮﺧ اﻮﺸﻘﻨﺗ ﻻ)) :ﻪﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر ﺮﻤﻋ .((نآﺮﻘﻟا َِﰎﺎﳋا
10
Artinya:
(( Dalam hadits tertera: Jangan engkau / kalian mengukir cincinmu dengan lafadz Arab)). Maksudnya hadits tersebut adalah jengan engkau mengukir cincinmu yang padanya terdapat kata Muhammad saw, sebab itu adalah ukiran (cap) cincin Nabi Muhammad saw. Dan di antaranya juga adalah hadits Umar r.a (( jangan engkau mengukir cincinmu dengan menggunakan bahasa Arab.” Ibn Umar tidak menyukai (membenci) cincin yang berukiran (bertuliskan) al-Qur’an)).
Bila dicermati hadits ini, akan muncul suatu pertanyaan, siapa perawi hadits pertama (hadits yang dicantumkan Ibn al-Aṡīr) ? Mengapa Ibn Manẓūr menisbahkan hadits kedua ke Umar ? Sementara dalam kitab al-Nihāyah tidak dicantumkan perawinya ? Oleh sebab itu, penukilan tidak dapat terlepas dari perbedaan-perbedaan dan kekeliruan.11
Pada lingkup sya’ir, Lisān al-‘Arab menuliskan 19 bait, 10 (sepuluh) di antaranya terdapat dalam kitab al-Tahzīb, 6 (enam) pada Kitab al-Muhkam dan satu di kitab al-Ṣihāh. Jika kita mengamati metode Ibn Manẓūr dalam lingkup sya’ir ini, kita mendapati bahwa Ibn Manẓūr dalam menyikapi (memilih dan mengambil)
syaw
āhid syi’riyah
sama dengan sikap referensi-referensinya. Ibn Manẓūr terkadang tidak menyebutkan pemilik sya’irnya.12 Hal ini sama dengan al-Azharī (pemilik al-Tahżīb) tidak menyebutkan pemilik syairnya. Seperti syair berikut ini:10Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan.
11Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan.
12Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 105.
ٍضْرأ ُﺔَﺑْﺮَﻋو ِﻣ # ﺎﻬَﻣاَﺮَﺣ ﱡﻞَِﳛ َﺎﻣ
َﻦ ﱠﻨﻟا ِسﺎ ِإ ﱠﻻ ﱠﻟا ْﻮﻠ َذ ﱡﻲ ِﻋ ُﻞِﺣﻼُﳊا
13
Artinya:
“Kota Mekkah dihalalkan/dibolehkan kepada Nabi saw. setengah hari.
Kemudian setelah itu, Kota Mekkah menjadi haram hingga hari kiamat”.
Ibn Manẓūr juga tidak menjelaskan mengapa ia hanya memilih satu riwayat sya’ir yang tertera pada satu referensi saja, tanpa mengambil sya’ir-sya’ir yang tertera pada referensi-referensi lainnya. Seperti bait berikut ini:
َﻓ َﻤ َناَﺮْﻤِﻋ ِّمأ ْﻦِﻣ ٌﻖَﻠَﺧ ﺎ ِﻣ # ٌﻊَﻔْﻠَﺳ
َﻦ ﱠﺴﻟا ْﻮ ِد َﻫْرَو ﻟا ُءﺎ َﻨِﻌ ُبوُﺮَﻋ ِنﺎ
14
Artinya:
“Tiada yang lahir dari rahim Ummi ‘Imrān perempuan yang jorok dan jelek perangainya, terbakar matanya dan pendosa/pembangkang”.
Bait tersebut di atas, tertera dalam kitab
al-Tah
żīb
yang diriwayatkan dari Abu al-‘Abbās, dari Ibn al-A’rabī. Juga tertera pada kitabal-Muhkam
yang diriwayatkan dari Ṡa’lab. Namun Ibn Manẓūr memilih riwayat dari Ibn al-A’rabī, tanpa mengisyaratkan kalau ada riwayat lain dari Ṡa’lab. Apa alasan Ibn Manẓūr dalam memilih itu tanpa ini? Faktor apa yang membawa Ibn Manẓūr mengambil sikap (perspektif) seperti ini? Tidak ada yang tahu pasti. Mungkin sikaptauq
īf
ī yang mengantar Ibn Manẓūr dalam menyikapi referensi-referensinya. Dan hal itu dilakukannya dengan teliti dan seksama.Adapun pada tatanan prosa,
Lis
ān al-‘Arab
tetap berpedoman pada metode yang sama. Sebab langka dan jarang kita dapati perbedaan yang mencolok antaraLis
ān al-‘Arab
dengan 4 (empat) kitab-kitab sebelumnya (al-13Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 107.
14Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan,
Tah
żīb, al-
Ṣih
āh, al-Muhkam dan al-Nih
āyah
). Sebagai contoh, untuk kitabal-Tah
żīb
diberi simbol huruf “Ta” (ت
), al-Ṣihāh (ص
),al-Muhkam
(م
), danal-Nih
āyah
(ن
). Maka pada kata “بﺮﻋ
” yang memiliki arti-arti berikut:ُبَﺮَﻌﻟاو ُبْﺮُﻌﻟا َﻌﻟا –
َﺮ ُب ْا َﻌﻟ ِرﺎ
َﺑ ُﺔ َو – ْﻷا ﰊاﺮﻋ – ﰊﺮﻌﻟاو
15
Mendapat simbol sesuai dengan kitab di mana ia tertera. Seperti,
م * ص
)ت * ص * ن * ت * م * ص * م * ص *
( . Namun terdapat beberapa
uy
ūb
(kekurangan), meskipun Lisān al-‘Arab masih memiliki hubungan (ikatan) dengan referensi-referensinya.
2.
KeistimewaanLis
ān al-‘Arab
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap buku, hasil karya atau karangan dalam semua aspek pengetahuan, baik pengetahuan umum maupun pengatahuan agama yang disusun oleh pengarangnya memiliki keistimewaan dan kekurangan.
Keistimewaan ini tentunya lahir dari buah pemikiran dan gagasan pengarangnya atau penyusunnya. Begitupula halnya dengan kitab
Lis
ān al-‘Arab
, ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan ini tidak terlepas dari kecerdasan dan kepiawaian pemilik kamus ini.Di antara kesitimewaan kitab
Lis
ān al-‘Arab
yang penulis temukan adalah:a. Keakuratan nama-nama penyair.
Bukan hal aneh bila
Lis
ān al-‘Arab
tetap menjaga keakuratan nama-nama penyair dan memperluas tentang syair-syair mereka dengan tujuan menambah penjelasan. Contoh, al-Jauharī (pengarang kitabal-
Ṣih
āh
) menyebutkan bahwa15Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h.106
Abu al-Hindī berkata pada kata “
al-‘uraib
” (ﺐْﻳَﺮُﻌﻟا /
anak-anak kecil Arab) yang merupakan bentukta
ṣg
īr
kata “بﺮﻌﻟا
”. Ia melantunkan sya’ir:ِﻢَﺠَﻌﻟْا ُسْﻮُﻔُـﻧ ِﻪْﻴِﻬَﺘْﺸَﺗ َﻻ # ِﺐْﻳَﺮُﻌﻟْا ُمﺎَﻌَﻃ ِبَﺎﺒﱠﻀﻟا ُﻦْﻜَﻣَو
16
Artinya:
“Telur biawak/kadal adalah makanan Arab (anak kecil Arab), yang tidak disukai oleh orang-orang non-Arab”.
Lis
ān al-‘Arab
menjelaskan bahwa nama Abū Hindī adalah ‘Abdu al-Mu’min bin ‘Abdu al-Quddūs. KemudianLis
ān al-‘Arab
menyebutkan tiga bait sebelum bait yang tertera padaal-
Ṣih
āh
sebagai tambahan penjelasan.b. Penghapusan atau penjatuhan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan
m
āddah
(bahan bahasan)Lis
ān al-‘Arab
juga memiliki keistimewaan lain, meskipun terdapat kelemahan yang tercermin pada pengguguran (penjatuhan) sesuatu yang tidak ada kaitannya denganm
āddah
(bahan) tertentu. Beliau tidak menggugurkannya atau menjatuhkannya tanpa didasari alasan kuat. Seperti, Ibn Manẓūrmeng-ihmal-
kan (mengabaikan) apa yang tertera pada al-Tahżīb dalam pembahasanm
āddah
“ ’araba
” :((ﺎﺣﺎﺼﻓإ ﻪﻣﻼﻛ ﺢﺼﻓأو ﻞﺟﺮﻟا ﺢﺼﻓو :لﺎﻗ))
. Hal itu karena tidak ada kaitannya denganm
āddah
“ ’araba ”, melainkan denganm
āddah
‘faṣahah”.17
c. Perluasan
m
āddah
bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara memperbanyaksyaw
āhid
, baik dari al-Qur’an, al-Hadits,al-Na
ṡr
(prosa) danal-Syi’ir
(puisi).1816Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 111.
17Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan.
18Husain Naṣṣār, Al-Mu’jam al-‘Arabī Nasy’atuh wa Taṭawwuruh Juz II, h. 569.
Berdasar atas pembahasan-pembahasan yang lalu, kita dapat menyimpulkan bahwa metode Ibn Manẓūr dalam mengumpulkan bahan-bahan bahasanya berpedoman secara umum pada penukilan akurat yang tidak terlepas dari pandangan kebahasaan yang bersifat
tauq
īf
ī dan tidak menerima kekeliruan atau kekurangan yang sangat jelas. Penukilan ini tiada lain ialah prosescopying
(penukilan) yang mencakup dari satu sisi ke sisi yang lain, dengan cara menambahkan beberapa tambahan yang di dalamnya terdapat sesuatu yang penuh dengan ketelitian dan kedecerdasan. Ini dalam ranah atau tingkatanjam’u al-maw
ādd
(pengumpulan bahan).3. Kekurangan
Lis
ān al-‘Arab
Suatu hasil karya di samping memiliki keistimewaan, juga tidak akan terlepas dari kekurangan. Hal itu juga berlaku pada kitab Lisān al-‘Arab yang memiliki deretan keistimewaan, namun tidak dapat melepaskan diri dari ikatan
‘uy
ūb
(kekurangan). Diantara kekurangan yang terdapat dalam kitabLis
ān
al-‘Arab
ialaha. Penghapusan kalimat.
Penghapusan ini kita dapati umumnya dalam lingkup
syaw
āhid
prosa.Sebagaimana yang tertera pada kitab al-Tahżīb tentang kata
“ ٌﺮ َﺠ َﺷ ﻮ ُﻫو ُباﺮ َﻌﻟا َـﻳ ْﻔ ُﺘ
ُﻞ ْﻦ ِﻣ َِﳊ ِﺋﺎ ِﻪ ِْﳊا َﺒ
ُلﺎ ”
namun kalimat ini digugurkan atau ditiadakan oleh Ibn Manẓūr pada Lisān al-‘Arab. Ibn Manẓūr juga menghapuskan kalimat yang tertera pada kitab al-Ṣihāh:“ ْﻢ ُﻬ ْـﻨ َﻋ ُﺖ ْﻤ ﱠﻠ َﻜ َﺗ ْي َأ ِم ْﻮ َﻘ ْﻟا ِﻦ َﻋ ُﺖْﺑﱠﺮَﻋو ”.
19 Disamping itu, Ibn Manẓūr tidak menjelaskan alasan mengapa ia memilih satu makna dari dua riwayat yang tertera. Seperti pada kata:
19Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 108.
ﺔﻤﻠﺘﻐﳌا ﺔﺠﻨﻐﻟا ﺔﻛﺎﺤﻀﻟا ةأﺮﳌا ﻲﻫو بْوُﺮَﻌﻟْاَو ُﺔَﺑِﺮَﻌﻟا ةأﺮﳌا )
20
(
Artinya:
“yaitu perempuan yang banyak ketawa, genit lagi seksi”
b. Di sisi lain, didapati
Lis
ān al-‘Arab
terkadang menisbahkan ke sanad/pihak/orang kedua apa yang mesti menjadi hak pihak (orang pertama).Sebagaimana pada contoh berikut: Ibn Manẓūr berkata:
ﻴﻓ يﺬﻟا ﻞﻴﳋا ﻦﻣ ُبِﺮْﻌُﻤْﻟا :ﻲﺋﺎﺴﻜﻟا لﺎﻗ)) ((ﲔﺠﻫ ٌقْﺮِﻋ ﻪ
21
Dan yang benar sebagaimana yang tertera di al-Tahẓīb adalah:
َأ)) ُـﺑ ْﻮ ِﺒ ْﻴ َﻋ ٍﺪ ْﻟا ﻦﻋ َﺴ ِﻜ
ِﻣ ُبِﺮْﻌُﻤْﻟا :ﻲ ِﺋﺎ َﻦ
َْﳋا ْﻴ ِﻞ ﱠﻟا ْي ِﺬ َـﻓ ْﻴ َﻫ ٌقْﺮِﻋ ِﻪ ٌْﲔ ِﺠ
((
Artinya:
“Abū ‘Ubaid dari al-Kisāi menyatakan
al-Mu’rib
sejenis pasukan kuda yang di dalamnya terdapat kelas/ kasta yang rendah”.c. Terkadang juga kita mendapati beliau tidak menyebutkan sanad atau pihak sama sekali, seperti:
((ﻲَﻤْﻬُـﺒﻟْا ُﺲْﻴِﺒَﻳ ُبْﺮِﻌﻟْاَو))
Sementara yang benar dalam kitab
al-Tah
ẓīb
ialah:ُبْﺮِﻌﻟْا : ﻲﻌﻤﺻﻷا لﺎﻗَو)) ((ﻲَﻤْﻬُـﺒﻟْا ُﺲْﻴِﺒَﻳ
22
20Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan.
21Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 109
22Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan.
Artinya:
Al-Aṣma’ī berkata : “al-‘Irb merupakan tumbuh-tumbuhan yang kering”.
d. Hal lain yang berbeda dalam
Lis
ān al-‘Arab
ialah Ibn Manẓūr menduga/menyangka bahwa ia mengambilsecara harfiah
dari referensi-referensinya, padahal hal tersebut sama sekali bukanmanhaj
(metode) beliau.Beliau terkadang menafikan sumber utama dan mengambil dari sumber kedua yang merupakan salah satu pengarang kitab referensi-referensi Ibn Manẓūr.
Seperti contoh: defenisi kata “
al-‘innah
”, tertera dalam al-Tahżīb:)) ْﻟا ِﻌ ﱠﻨ ُﺔ َﻗ : َو : َلﺎ ُـﻳ َﻘ ُلﺎ ِﻟ َﺤ ْﻠ َْﲑ ِة ِﻈ َﻦ ِﻣ ﱠﺸﻟا َﺠ ِﺮ َِz ُﺮﱠﻈَُﳛ َﻋ ﺎ
َﻠ ْﻟا ﻰ َﻐ َﻨ ِﻢ َو ْا
ِﺑ ِﻞ ِﻹ ِﰱ ﱠﺸﻟا َﺘ ِءﺎ
ِﻟ َـﺘ َﺘ
ِّر َي َﺬ
َِz ِﻣ ﺎ َـﺑ َﺮ ْﻦ ِّﺸﻟا ِد َﻤ َﻋ ِلﺎ ْﻨ ُﻪ َو ، ُﻌ َﻬ َْﲨ ِﻣ ٌنﺎَﻨُﻋو ٌﻦَﻨُﻋ ﺎ ْﺜ ُﻞ
((ٌبﺎَﺒُـﻗو ﺔﱠﺒُـﻗ
Sementara dalam
Lis
ān al-‘Arab
tercatat:َو ...)) َﻗ
َلﺎ ْﻟا َﺒ َﺸ ﱡِﱵ ْﻟا : ِﻌ َﻨ ُﻦ ِﰲ َﺒ ِﺣ ُﺗ ٍلﺎ َﺸ َو ﱡﺪ ُـﻳ ْﻠ َﻘ َﻋ ﻲ َﻠ ْـﻴ َﻬ ْا ﺎ َﻟ ْﻳ ُﺪ ِﺪﻘ َﺎﻗ . َل َأ ُـﺑ ْﻮ َﻣ ْﻨ ْﻮ ٍر ُﺼ :
ﱠﺼﻟا َﻮ ِﰲ با ْا ِﻌﻟ ﱠﻨ ِﺔ َو ْﻟا ِﻌ َﻨ ِﻦ َﻣ َﻗ ﺎ ُﻪ َﻟﺎ َْﳋا ِﻠ ْﻴ ُﻞ َْﳊا ِﰱ َْﲑ ِة ِﻈ َو ، َﻗ َو : َلﺎ َر َأ ْﻳ ُﺖ ِتاَﺮُﻈُﺣ ِْﻹا
ِﺑ ِﻞ ِﰱ
َﻳِدﺎَﺒ ْﻟا ُﻳ َﺴ ِﺔ ْﻮ ََ‚ ﱡﻤ ِﰲ ﺎِ‚ﺎَﻨِﺘْﻋِﻻ ًﺎﻨَﻨِﻋ ﺎ َﻣ
ِّﺐ َﻬ ِّﺸﻟا َﻤ ُﻣ ِلﺎ ْﻌ َِ
َﺿ ﱰ ِﻟ َـﺘ َﺔ ْﻘ ِﻴ َـﺑ ﺎ َﻬ َﺮ َد ِّﺸﻟا َﻤ ِلﺎ ((...
Perbedaan dari kedua
mu’jam
ini amat jelas. Hal ini apabila kita mengamati MukaddimahTah
żīb al-Lugah
, kita akan mendapati bahwa Ibn Manẓūr lebih mengutamakan penukilan dari Mukaddimah tersebut daripada penukilan darial-Tah
żīb
sendiri. Dan yang paling aneh, Ibn Manẓūr memastikan bahwa ia menukil dari Abu Manṣūr al-Ṡa’ālabī namun ia tidak menyebutkan kalau Abu Manṣūr al-Ṡa’ālabī menukil dari MukaddimahTah
ẓīb al-Lugah
.2323Muhammad Rasyād Hamzawī, Min Qaḍāyā al-Mu’jam al-‘Arabī Qadīman wa Hadīṡan, h. 109-110.
e. Hal yang dianggap dan termasuk kekurangan
Lis
ān al-‘Arab
yang mendasar adalah keterbatasan referensinya pada 5 (lima) kitab saja dan menafikan referensi-referensi atau sumber-sumber lainnya.24B.