• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN

A. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid

1. Aspek-aspek Nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga

Manusia dikatakan sempurna apabila memiliki jasmani dan rohani secara utuh, artinya secara fisik sehat, secara psikis dia normal. Jasmani yang sehat adalah dambaan setiap insan, terutama orang tua (keluarga) kepada anak. Usaha menyehatkan anak oleh orang tua adalah perbuatan tanpa pamrih, semata-mata karena cinta kasih yang murni. Sehingga hubungan emosional yang amat kental antara anak dan orang tua menjadi taruhan survival anak dalam memasuki dunia kehidupan selanjutnya (Madjid, 1997a: 85).

Seiring dengan pertumbuhan jasmani anak, biasanya akan diikuti oleh proses pencarian jati diri. Dalam konteks ini kedudukan ayah bukan hanya penghasil nasi (bread earner) dalam keluarga, tetapi posisi ayah dalam keluarga menempati posisi sebagai teladan dan bahkan “pahlawan” bagi anak, setelah itu baru orang lain, karena pada umumnya anak akan mencari sosok atau figur yang diidolakan dalam keluarga. Untuk itulah orang tua dituntut untuk menjadi uswah hasanah bagi anak dan anggota keluarganya. Perilaku orang tua secara otomatis akan berdampak pada berbagai aspek, termasuk pendidikan anak.

35

Dalam praktik kehidupan sehari-hari orang tua harus memberikan kesempatan pada anak untuk bermain, bergaul, dan bercanda dengan teman sebayanya. Karena hal ini dapat membantu perkembangan jasmani anak untuk tumbuh menjadi kuat secara alami, selain itu anak akan mudah bersosialisasi dalam bergaul di masyarakat. Atau orang tua hendaknya meluangkan waktu untuk berolahraga bersama anaknya. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan jasmani anak menjadi tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Dengan berbekal jasmani yang kuat diharapkan anak dapat hidup dengan keterampilan yang dimiliki. Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika orang tua tidak memberi kesempatan pada anak untuk bermain dan bergaul dengan teman sebayanya. Hal tersebut lambat laun akan berdampak buruk bagi pertumbuhan jasmani, dan bahkan perkembangan rohani anak. Kesempatan bermain dan bergaul yang diberikan orang tua kepada anak hendaknya secara wajar dan tetap dalam kontrol. Dengan harapan anak kelak memiliki jasmani yang kuat dan terlatih dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan dasar iman dan takwa kepada Allah Swt.

Setiap jiwa manusia sudah memiliki kelengkapan dalam dirinya untuk mengetahui apa yang baik dan buruk, benar dan salah. “Kelengkapan itu adalah hati nurani. (Madjid, 2005: 93). Orang tua berperan sebagai penyaring bagi anak dari segala pengaruh buruk yang terdapat dari lingkungan. Oleh karena itu kedua orang tua (ibu dan bapak) harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu

36

agama, yang nantinya ditransfer dan diinternalisasikan kepada anak, serta orang tua dituntut untuk menyiapkan waktu yang cukup guna mendampingi dalam memberikan pendidikan bagi anaknya khususnya pendidikan agama.

Pengembangan dan penumbuhan yang harus dilakukan orang tua bukan hanya bersifat jasmani saja tetapi juga rohani, yakni peningkatan potensi positif yang sudah ada sejak lahir menjadi tabiat anak. Hal ini dilakukan agar anak kelak menjadi manusia dengan kualitas setinggi-tingginya. Dan orang tua berkewajiban untuk menjauhkan anak dari sikap yang menyimpang dari nature kebaikannya tersebut (Madjid, 1997a: 84).

Kualitas manusia yang tinggi adalah yang mampu mengaktualisasikan ritus-ritus formal keagamaan dalam kehidupan nyata. Ritus hanya sebagai bingkai, bukan tujuan. Oleh karena itu, ritus baru mempunyai makna hakiki jika sudah dapat mengantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuan hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah Swt. dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq al karimah).

Pendidikan rohani atau qalbu (hati) menjadi kunci pendidikan agama bagi anak dalam rumah tangga. Karena pendidikan tersebut memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Juga pendidikan agama merupakan kunci utama, karena pendidikan agama dalam rumah tangga adalah yang pertama dan utama. Pendidikan itu mencakup aspek jasmani, akal, dan rohani. Jasmani yang baik harus

37

diikuti dengan rohani yang baik agar menghasilkan manusia dengan kualitas tinggi. Oleh karenanya aspek rohani menjadi penentu baik atau buruknya kepribadian seseorang. Dalam hal ini agama menjadi solusi untuk mengantarkan kerohanian seseorang menuju puncak dari segala kebaikan.

Aspek-aspek nilai pendidikan agama dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

a. Nilai Pendidikan Akhlak

Dalam konteks ini (keluarga) yang ditekankan adalah pendidikan akhlak, yang menyangkut etika dan moral. Dalam kitab suci Al-Qur’an surat kedua kalimat terakhir memuat perintah kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau memohon kepada Tuhan dari cuaca pagi (rab al falaq) supaya dilindungi dari kejahatan seorang pendengki atau penghasud. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya kedengkian itu. Karena dengki adalah salah satu penyakit hati yang paling berbahaya (Madjid, 2002: 118). Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa sifat dengki itu bagaikan api yang memakan kayu bakar, artinya kedengkian itu jika diibaratkan tumbuh dalam hati maka bisa menghabiskan nilai kebaikan pelakunya. Di sisi lain kedengkian dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan yang dapat mengancam keselamatan orang lain, karena seorang pendengki akan senantiasa merasa tidak senang kalau orang yang didengki itu selamat dan tidak menderita. Kehancuran moral seseorang, masyarakat, bahkan

38

suatu bangsa ditengarai dengan hancurnya akhlak (baca: iri, dengki, dan penyakit hati lainnya). Kedengkian hati juga menjadi indikasi awal datangnya kesengsaraan.

Sebenarnya kehancuran akhlak (baca: iri, dengki, dan penyakit hati lainnya) itu bisa ditanggulangi sejak dini. Artinya sedini mungkin orang tua mulai menanamkan sifat-sifat terpuji bagi anak, tidak berperilaku sebagai pendengki. Tentu penanaman sikap terpuji tersebut harus dimulai dari orang tua terlebih dahulu, karena secara alami anak akan meniru tata cara dan perilaku orang tuanya dalam berbagai hal. Ingat pepatah yang mengatakan bahwa kacang ora ninggal lanjaran (Jawa), atau buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, artinya perbuatan atau perilaku orang tua dengan sendirinya akan membawa pengaruh bagi anak-anaknya. Jika perilaku orang tua baik maka anak akan meniru kebaikan itu, tetapi jika perilaku orang tua tidak terpuji maka jangan harap anak akan berperilaku terpuji.

b. Nilai Pendidikan Ibadah

Mengikuti tema-tema yang ada dalam Al-Qur’an bahwa penanaman takwa kepada Allah Swt. sebagai dimensi manusia yang pertama yang dimulai dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadat-ibadat (Madjid, 1997a: 96). Dalam konteks ini, pendidikan agama dalam rumah tangga awalnya berupa pengajaran kepada anak tentang aspek-aspek ritual dan formal agama, dengan cara mengajarkan anak melakukan ritual-ritual agama seperti shalat,

39

membaca Al-Qur’an, dan ritual-ritual agama lain. Kemudian dalam melaksanakan ritual agama tersebut orang tua secara pelan memberi penghayatan dan pemaknaan ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat tersebut tidak dilakukan semata-mata sebagai ritus formal belaka, melainkan dengan keinsafan mendalam tentang makna edukatifnya bagi kehidupan.

Edukatif dalam arti, setiap ritual agama yang kita lakukan dengan anak adalah ajakan kebaikan untuk taat menjalankan perintah agama. Jika tahap ini telah tercapai, maka tugas kita selanjutnya adalah bagaimana ritus agama yang bersifat “simbolik” tadi bisa menjadikan anak tahu dan memahami makna di balik itu semua. Shalat misalnya, dengan memahami arti bacaan pada setiap gerakan, baik yang wajib maupun yang sunnah, maka anak akan tahu apa maksud dan tujuannya. Saat membaca doa iftitah ketika sampai inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan alam semesta. Jika orang bersangkutan (anak) paham makna yang terkandung dalam bacaan itu, niscaya orang tersebut akan merasakan betapa semua ibadah, amal perbuatan, hidup dan mati hanyalah milik Allah semata. Sehingga ketika harus menerima kenyataan hidup pahit tidak lantas menyalahkan Allah, tetapi orang tersebut akan mengambil hikmah di balik kejadian itu, bukankah segala hal yang terjadi di muka bumi ini pastinya ada hikmahnya. Dengan cara yang demikian

40

diharapkan kita akan dapat selamat dari ancaman Allah sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’un. Yaitu ibadah yang sia-sia tanpa atsar dan makna di sisi Allah, na’udzu billah min dzalika.

c. Nilai Pendidikan Aqidah

Aqidah merupakan dasar keimanan seseorang, sehingga harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Orang beriman adalah orang yang kuat batin dan jiwanya, yang tidak pernah gentar menghadapi cobaan hidup. Kekuatan orang beriman diperoleh karena hanya berharap kepada Allah Swt. ia tidak mudah putus asa karena Allah selalu menyertainya (Madjid, 2002: 14).

Oleh karena itu kunci pendidikan agama sebenarnya terletak pada pendidikan aqidah. Karena hal tersebut yang akan mewarnai perkembangan akal dan sikap seorang anak. Kekuatan aqidah berdasar pada keimanan kepada Allah sehingga mampu mengantarkan seseorang menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab. Iman yang kuat akan menghasilkan harapan dan kepercayaan kepada Allah, atau sebaliknya, Allah tidak memberi harapan dan kepercayaan kepada orang tersebut. Oleh karena itu salah satu ciri orang beriman adalah adanya sikap berbaik sangka kepada Allah. Orang beriman harus yakin bahwa setiap kejadian pasti ada makna pelajaran yang bisa diambil, karena tak satupun kejadian di dunia ini yang tidak ada gunanya.

41

Baik sangka atau husnudhan adalah salah satu ciri orang beriman, karena orang beriman akan senantiasa berharap hanya kepada Allah, bukan kepada manusia. Berharap kepada manusia sifatnya temporer dalam arti ketika orang yang diharapkan tersebut dalam keadaan siap, maka harapan tersebut dapat terwujud, tetapi kalau tidak siap maka harapan itu sirna. Sedangkan begantung dan berharap kepada Allah merupakan sikap terpuji dan bijaksana, karena Allah tidak pernah mengecewakan hambanya yang percaya, beriman, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi bahwa Allah itu sebagaimana prasangka hamba-Nya, jika persangkaan tersebut baik maka Allah akan memberikan kebaikan, dan apabila persangkaan tersebut berupa kejelekan maka Allah akan memberikan kejelekan, Ana ‘inda dhanni ‘abdi bi.

Sikap orang beriman selanjutnya adalah optimis, sikap dan perasaan optimis dalam konteks ini adalah ketika seseorang tersebut telah bekerja, berdo’a, dan sebagainya, kemudian memasrahkan hasil akhir usaha atau pekerjaannya tersebut kepada Allah, tawakkal. Sehingga tidak merasa putus asa dan patah semangat apabila hasil usahanya tidak seseuai harapan. Karena dia selalu baik sangka dan menyadari bahwa di balik itu semua pasti ada hikmahnya, dan itulah mungkin yang terbaik menurut Allah. Orang beriman senantiasa ikhlas pada ketentuan dan takdir-Nya.

42 2. Hak Orang Tua dari Anak

Orang tua mempunyai kewajiban memelihara anak dengan penuh tanggung jawab sebagai amanah Allah. Namun sebaliknya, orang tua pun mempunyai hak terhadap anak sebagai berikut. Anak-anak harus melayani orang tuanya dengan baik, lemah-lembut menyayanginya, selalu menghormati, dan berterima kasih atas jasa-jasa mereka terhadapnya. Anak-anak juga harus mematuhi perintah orang tua kecuali kalau menyuruh kepada yang bathil atau munkar.

Sebagaimana Allah telah berwasiat kepada kita semua umat manusia tentang banyak hal. Wasiat-wasiat Allah tersebut membentuk bagian amat penting dalam ajaran Islam. Salah satu ialah yang berkenaan dengan ibu-bapak atau orang tua, Allah berwasiat kepada manusia bahwa mereka mutlak harus berbuat baik kepada orang tua (Madjid, 2002: 136).

Menurut Nurcholish Madjid hubungan antar anak dan orang tua dalam sistem ajaran Islam yang menyeluruh adalah perkara yang sangat penting setelah tauhid, yaitu hubungan dalam bentuk perbuatan baik dari pihak anak kepada ayah-ibunya (Madjid, 1997a: 111). Berbuat baik kepada orang tua dalam ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an adalah perintah.

Menurut Nurcholish Madjid, jika disimak lebih mendalam petunjuk-petunjuk Ilahi, maka dapat ditarik kesimpulan betapa pentingnya hubungan orang-tua dan anak dalam hidup ini, dan betapa ia terkait erat secara langsung dengan inti makna hidup itu sendiri. Yaitu beribadat dan

43

pasrah kepada Allah, Pencipta semesta alam dan manusia sendiri. Berkenaan dengan itu, menurut Nurcholish Madjid, di sini agaknya diperlukan kejelasan dan penegasan tentang suatu masalah. Tekanan “keputusan” dan “pesan” Allah kepada manusia berkenaan dengan kedua orang tua ialah pada kewajibannya berbuat baik (husn, ihsan) kepada ibu-bapaknya bukan pada kewajibannya taat atau menaati mereka. Berbuat baik meliputi makna yang luas dan mencakup banyak sekali jenis tingkah laku dan sikap anak kepada orang tua. Sedangkan taat hanyalah satu saja dari sekian banyak bentuk perbuatan baik itu, itu pun bersyarat (Madjid, 1997a: 112).

Ketaatan anak kepada orang tua itu, seperti halnya dengan setiap bentuk ketaatan orang kepada siapa pun dan apa pun selain Allah dibenarkan untuk dilakukan hanya dengan syarat bahwa ketaatan itu menyangkut kebenaran dan kebaikan, bukan kepalsuan dan kejahatan. Maka demikian pula halnya dengan ketaatan anak kepada orang tua dapat dan harus dilakukan hanya jika menyangkut suatu hal yang benar dan baik. “Dalam keadaan syarat itu terpenuhi, ketaatan anak kepada orang tua merupakan bagian dari kewajiban berbuat baiknya kepada mereka. Sedangkan dalam keadaan syarat itu tidak terpenuhi, ketaatan itu justru menjadi terlarang” (Madjid, 1997a: 112).

“Tetapi sebaliknya, menurut Nurcholish Madjid “keputusan” dan “pesan” Tuhan agar orang berbuat baik kepada ibu-bapaknya adalah mutlak, tanpa syarat, bahkan sekalipun ibu-bapaknya jahat, sampai-sampai

44

sekalipun ibu-bapaknya itu secara sadar melawan kebenaran (kafir)” (Madjid, 1997a: 112-113).

Terhadap keseluruhan keluarga dan kaum kerabat yang menyimpang pun seorang anak tetap diperintahkan Allah untuk menunjukkan sikap hormat dan sopan santun, meskipun anak itu dengan jelas tidak dapat menerima jalan hidup mereka (Madjid, 1997a: 113).



























Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas (Q.S. al-Isra’ [17]: 28) (Departemen Agama RI, 2005: 286).

Menurut Nurcholish Madjid, ketaatan anak terhadap orang tua hanya dituntut kepada suatu kebenaran (alhaqq) dan kebaikan (ma’ruf) dan jelas tidak dituntut dalam kepalsuan (Albathil) dan kejahatan (almunkar). Tetapi orang tua tetap berhak mendapatkan perlakuan baik dari anaknya. Seorang anak dilarang berkata kasar terhadap orang tuanya sebaliknya seorang anak harus berlaku lemah lembut terhadap orang tuanya sesuai apa yang menjadi “keputusan” dan “pesan” di dalam Al -Qur’an.

Kewajiban anak berbuat baik kepada orang tua adalah pertama-tama dan terupertama-tama dituntut dalam hubungan dengan ibunya. Sebab tidak ada di dunia ini yang sedemikian besar pengorbanannya untuk anak, dan tidak pula kecintaannya kepada anak demikian tulusnya seperti ibunya

45

sendiri. Dalam firman tadi dilukiskan oleh Allah, betapa ibu mengandung si anak dalam kesusahan, dan tidak bisa melepaskan atau memisahkan dirinya dari si anak selama dua tahun (Madjid, 1997a: 118).

Dihubungkan dengan masalah pendidikan anak, hal tersebut mengandung arti timbal balik, bahwa sebagaimana pertama-tama anak harus berbuat baik kepada ibunya, maka begitu pula sebaliknya ibulah yang banyak mempengaruhi anaknya. Ini disebabkan bahwa hubungan emosional ibu dengan anak, jika tidak ada faktor-faktor lain yang luar biasa, umumnya terpateri rapat dan menjadi abadi, sampai anak menjadi dewasa (Madjid, 1997a: 118).

Maka dari itu, begitu pentingnya peranan ibu dalam pendidikan anaknya sampai ada sebuah syair yang mengatakan bahwasannya “ibu adalah sekolah, bila dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat”. Makna syair tersebut mengandung arti bahwa seorang ibu mempunyai peran yang cukup signifikan dalam penumbuhan dan pengembangan pendidikan anak ke depan. Ibu diibaratkan sekolah di dalamnya berperan menampung anak-anaknya untuk proses pendidikan (belajar-mengajar secara langsung) sehingga anak dapat tumbuh berkembang, baik jasmani maupun rohani.

Tetapi tentu saja yang bertanggung jawab atas pendidikan anak tidak hanya ibu. Meskipun tidak mempunyai hubungan emosional dengan anak sehangat para ibu, kaum bapak pun ikut bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Faktor yang paling menentukan peranan bapak ialah

46

kedudukannya sebagai kepala keluarga. Ini tidak saja berarti sebagai “penghasil nasi” dalam keluarga, tetapi juga, untuk anak, fungsinya sebagai, “imago ideal”. Para ahli umumnya mengatakan bahwa dalam jiwa anak yang ingin mencari suri tauladan dan bahkan “pahlawan”, sang ayah selalu menempati urutan pertama, dan baru orang lain. Oleh karena itu pendidikan anak pun akan ikut ditentukan, berhasil atau gagalnya oleh “penampilan” sang ayah dalam penglihatan anak (Madjid, 1997a: 119).

Oleh karena itu peranan orang tua sangat besar pula menentukan pertumbuhan anak secara psokologis dan kultural. “Maka sudah selayaknya sebagai seorang anak dan diajarkan pula dalam agama untuk berbuat baik dan berterimakasih kepada orang tua. Dan selalu memohon doa kepada Allah agar memberikan rahmat kepada orang tua” (Madjid, 2002: 137).

3. Orang Tua sebagai Pendidik Bukan Pengajar bagi Anak

Jika menginsyafi lebih dalam lagi, bahwasannya harta benda dan anak-anak adalah karunia Ilahi, yang merupakan ujian atau percobaan (fitnah) bagi manusia, dan apakah manusia (orang tua) dapat memanfaatkan harta itu dan mendidik anak dengan baik atau tidak. Sebab tidak perlu diragukan lagi bahwa harta dan anak adalah unsur-unsur utama kehidupan manusia, yang membuatnya memperoleh kebahagiaan lahir dan duniawi (Madjid, 1997a: 121).

Karena “harta dan anak adalah kehidupan duniawi,” maka juga “sesungguhnya hidup di dunia ini adalah permainan, kesenangan dan

47

kemegahan serta saling bangga dan saling berlomba dalam harta dan anak”. Jadi, sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinan dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu kalau kita tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut dengan apa yang dipesankan dan diamanatkan Allah (Madjid, 1997a: 121-122).

Disebut cobaan, karena anak (dan harta) adalah batu penguji tentang siapa kita ini sebenarnya dari sudut kualitas hidup dan kepribadian kita. Sebab kualitas itu akan dengan sendirinya tercermin dalam apa yang kita lakukan kepada anak (dan harta) itu, menuju kebaikan ataukah membawa keburukan. Maka sebagai orang tua berkewajiban menuntun, membimbing, menumbuhkan anaknya menjadi orang shalih, yang bermanfaat sesamanya dan dirinya sendiri. “Inilah bentuk kecintaan yang sejati seseorang kepada anak, karena kecintaan serupa itu merupakan konsistensi kecintaan kepada Allah. Dan itulah pula salah satu pelaksanaan tanggung jawab keluarga adalah agar menjaga dan memelihara keluarganya dari hidup yang abadi” (Madjid, 1997a: 117). Sebagaimana firman Allah,







































48









Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S. at-Tahrim [66]: 6) (Departemen Agama RI, 2005: 561).

Pembentukan atau pembinaan kepribadian anak berlangsung secara berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali saja, melainkan suatu hal yang berkembang, oleh karena itu pembentukan kepribadian anak merupakan suatu proses. Apabila dalam pertumbuhannya anak mengalami proses yang baik dan benar, maka akan menghasilkan suatu kepribadian yang baik, matang, dan harmonis.

Pendidikan agama dalam keluarga adalah unsur pertama yang harus ditanamkan kepada anak. Karena jika diibaratkan sebuah bangunan maka agama adalah sebagai pondasi atau dasar dari bangunan tersebut. Perkembangan agama pada anak sangat tergantung dengan apa pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya dalam keluarga, baik sejak masih dalam kandungan maupun dalam masa kanak-kanak. Kata-kata, sikap, tindakan orang tua serta perhatian orang tua sangat mempengaruhi perkembangan keagamaan dan kepribadian anak. Dalam hal ini pembinaan kepribadian itu tidak terlepas dari pendidikan agama karena agama adalah sebagai landasan pembentukan kepribadian. Dengan demikian peranan agama dalam keluarga sangat penting dalam menumbuhkembangkan kepribadian

49

anak agar anak memiliki kepribadian yang utama sesuai dengan petunjuk agama.

Menurut Nurcholish Madjid pendidikan agama dalam keluarga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Namun di dalam masyarakat sering terjadi kekeliruan, orang tua sering melimpahkan tanggung jawab pendidikan agama kepada lembaga dan orang lain atau guru mengaji yang lebih populer di kalangan masyarakat. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga lain atau guru mengaji terutama hanyalah pengajaran agama, berupa segi-segi ritual dan formal agama. Dan di sini yang ditekankan adalah pendidikan agama yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Sedangkan para pelaku pendidikan, seperti guru mengaji, dan guru agama di sekolah adalah sebagai wakil-wakil orang tua dan pelanjut orang tua dalam menumbuhkembangkan potensi keagamaan dalam diri anak. Meskipun ada guru mengaji sekaligus juga bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua sepenuhnya. Jadi, guru mengaji pun sebenarnya terbatas perannya hanya sebagai pengajar agama, yakni penuntun ke arah segi-segi kognitif agama itu, bukan pendidikan agama.

B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut