• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID SKRIPSI"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

i

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA

MENURUT NURCHOLISH MADJID

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

RENI SEKAR OKTAVIANA NIM: 111-13-257

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Anak memiliki kecenderungan untuk meniru (al-iqtida’); orang tualah yang menjadi teladan pertama dalam hidupnya.”

-Imam Al-Ghazali-

“Memang susah menjadi orang baik, tapi ini bukan bicara soal BISA atau TIDAK BISA. Karena Allah memberikan potensi, ini bicara mengenai MAU atau TIDAK

MAU” (Penulis)

PERSEMBAHAN Untuk Kedua Orang Tuaku (Ibu Sunti Rinjani dan Bapak Sarijo)

Adikku dan Tante (Doni Kusuma Putra dan Sutrisni)

Orang yang setia menungguku (Nur Saefudin)

Keluarga Keduaku (Sian’s Hostel): Kunni, Heni, Hani, Mela, Rumi, Mba Datul,

Rani, Tesa, Anggun, Helmi, Momo, Desy

Keluarga Besar SD Muhammadiyah (Plus) Kota Salatiga

Keluarga besar PPL MA Al-Manar, Bener, Tengaran

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya

Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi

Agung Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan

hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafa’atnya di

hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA

DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID”.

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari

bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa

tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

4. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si, selaku pembimbing yang telah mengarahkan

(8)

viii ABSTRAK

Oktaviana, Reni Sekar. 2017 “Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid” Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.

Kata Kunci: Nilai-nilai, Pendidikan Agama, Keluarga

Penanaman nilai-nilai pendidikan agama dalam keluaga tidak cukup hanya berupa pengajaran kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama. Pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh guru ngaji atau guru agama di sekolah. Pendidikan tersebut melibatkan peran orang tua dan seluruh anggota keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam keluarga, pengertian itu perlu disempurnakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholsih Madjid. (2) Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis (descriptive of analyze research). Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi dokumentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi (content analysis).

(9)

ix

DAFTAR ISI

JUDUL ...i

LEMBAR BERLOGO ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN KELULUSAN ...iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...vi

KATA PENGANTAR ...vii

ABSTRAK ...viii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan Penelitian ...6

D. Kegunaan Penelitian ...7

E. Metode Penelitian ...8

F. Penegasan Istilah ...11

G. Sistematika Penulisan ...12

BAB II BIOGRAFI A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ...14

(10)

x

C. Aktivitas Intelektual Nurcholish Madjid ...22

D. Karya-karya Nurcholish Madjid ...27

E. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Bidang Pendidikan Agama ...32

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN A. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid ...34

1. Aspek-Aspek Nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga ...34

2. Hak Orang Tua dari Anak ...42

3. Orang Tua sebagai Pendidik Bukan Pengajar bagi Anak ...46

B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid ...49

1. Mendidik dengan Keteladanan ...49

2. Membiasakan Shalat Berjamaah ...51

3. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Ketuhanan dalam Diri Anak ...52

4. Menanamkan Nilai Dimensi Hidup Kemanusiaan dalam Diri Anak 62 5. Menerapkan Pola Asuh Anak yang Benar ...68

BAB IV PEMBAHASAN A. Signifikansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga ...70

B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid dengan Ayat Al-Qur’an ...74

(11)

xi BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...90

B. Saran ...92

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar Nurcholish Madjid ... 96

2. Daftar Riwayat Hidup ... 97

3. Daftar SKK ... 98

4. Nota Pembimbing Skripsi ... 101

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan secara prinsip berlangsung dalam lingkungan keluarga.

Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang

merupakan figur sentral dalam pendidikan.

Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia karena pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan tak berdaya, dan tidak langsung dapat berdiri sendiri serta memelihara dirinya sendiri. Manusia pada saat lahir memerlukan bantuan orang tuanya. Akhirnya pada hakikatnya anak merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa kepada orang tuanya untuk mendidiknya menjadi manusia dewasa yang penuh tanggung jawab, terutama tanggung jawab moral, salah satunya dengan menanamkan pendidikan agama dalam keluarga (Sadulloh, 2014: 10).

Kegiatan pendidikan dapat berlangsung di dalam tiga lembaga, yaitu

keluarga, sekolah dan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut yang

bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik atau seseorang

dalam perkembangan rohani dan jasmaninya, agar mencapai tingkat

kedewasan dan mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk

Allah, makhluk dan sebagai individu (Djumransah, dkk., 2007: 83).

(14)

2

Seperti yang kita ketahui seorang bayi yang baru lahir adalah makhluk Allah SWT yang tidak berdaya dan senantiasa memerlukan pertolongan untuk dapat melangsungkan hidupnya di dunia. Maha bijaksana Allah SWT yang telah menganugerahkan rasa kasih sayang kepada semua ibu bapak untuk memelihara anaknya dengan baik tanpa mengaharap imbalan (Majid, 2004: 11).

Seorang anak senantiasa membutuhkan pendidikan karena pendidikan

berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak

dapat berbuat menjadi dapat berbuat, dari bersikap yang tidak diharapkan

menjadi bersikap seperti yang diharapkan. Kegiatan pendidikan ialah usaha

untuk membentuk manusia secara keseluruhan aspek kemanusiaannya secara

utuh, lengkap dan terpadu. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan

pembentukan kepribadian.

Oleh karena itu, manusia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan.

Pendidikan dapat membawa manusia ke arah yang lebih baik. Terutama

pendidikan pada masa anak-anak, pendidikan bagi anak harus dimulai dalam

lingkungan keluarga, sejak anak masih dalam kandungan (periode pra-natal)

hingga dilahirkan sampai mereka dewasa (periode post-natal) sampai memiliki

kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang matang.

Lingkungan keluarga sering pula disebut sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama yang dikenal anak. Kedua orang tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan. Bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dan anak-anaknya merupakan basis yang ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik (Nizar, 2001: 125).

Munculnya pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan karena

adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dan anak yang

(15)

3

wadah yakni keluarga. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung

jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan

berdasarkan cinta kasih (Yasin, 2008: 207).

Pendidikan dalam lingkungan keluarga bersifat pertama dan utama atau tertua, artinya pembiasaan atau tradisi untuk mengembangkan kepribadian anak adalah pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga. Alam keluarga adalah alam pendidikan yang pertama dan yang terpenting, karena sejak timbulnya adat kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti manusia (Yasin, 2008: 208).

Oleh karena itu keluarga merupakan lembaga sosial yang paling dasar untuk mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini masih menjadi keyakinan dan harapan bersama bahwa keluarga senantiasa dapat diandalkan sebagai lembaga ketahanan moral, akhlaq al-karimah dalam konteks bermasyarakat, bahkan baik butuknya suatu generasi suatu bangsa, ditentukan pula oleh pembentukan pribadi dalam keluarga. Di sinilah keluarga memili peranan strategis untuk memenuhi harapan tersebut (Mufidah, 2008: 39).

.

Kehidupan keluarga diibaratkan sebagai suatu bangunan, demi

terpeliharanya bangunan itu dari hantaman badai dan goncangan gempa, maka

ia harus didirikan di atas fondasi yang kuat dengan bahan bangunan yang

kokoh serta jalinan perekat yang lengket. “Fondasi kehidupan kekeluargaan

adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon

ibu dan ayah” (Shihab, 2007: 254).

Pembinaan moral atau mental agama harus dimulai sejak anak lahir,

oleh bapak ibunya. Karena setiap pengalaman yang dilalui oleh si anak, baik

melalui pendengaran, penglihatan, perlakuan, pembinaan dan sebagainya,

akan menjadi bagian pribadinya yang akan bertumbuh nanti. “Kepribadian

(16)

4

yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi

anak yang sedang bertumbuh itu” (Darajat, 2015: 67).

Pada umumnya, agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Seseorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang mempunyai pengalaman agama di waktu kecilnya, maka mereka akan cenderung pada aturan-aturan agama (Darajat, 2015: 43).

“Semakin banyak pengalaman yang bernilai agamis mampu ditransfer

dan diterimanya, maka akan banyak pula unsur agama dan pengalaman

keagamaan yang mampu mewarnai proses pembentukan kepribadiannya”

(Nizar, 2001: 126). Sedemikian sangat berpengaruhnya pendidikan agama

dalam keluarga bagi anak, tidak salah bila Rasulullah mengibaratkan seorang

anak yang baru dilahirkan itu fitrah atau suci, orang tualah yang menjadikan anak itu Yahudi, Majusi atau Nasrani. Sebagaimana sabda Rasulullah:

هناسجمي وأ هنارصني وأ هنادوهي هاوبأف ةرطفلا ىلع دلوي دولوم لك

menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

“Si anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan

keluarga. Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua, sangat

mempengaruhi perkembangan agama pada anak. Sebelum anak dapat bicara,

ia telah melihat dan mendengar, pertumbuhan agama telah mulai ketika itu”

(Darajat, 2015: 70). Dari kedua orang tua terutama ibu, pertama kali pengaruh

dari sesuatu yang dilakukan ibu secara tidak langsung akan membentuk watak

(17)

5

pendidikan anak. Karena ibu ibarat sekolah, jika ibu mempersiapkan anak

berarti ibu telah mempersiapkan generasi yang kokoh dan kuat. Dengan

generasi yang kuat berarti telah menginvestasikan sesuatu pada diri anak agar

bermanfaat kelak mengarungi kehidupan yang lebih global. Itulah sebabnya

pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan yang pertama dan utama serta

merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan anak.

Begitu besarnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak. Maka Jalaludin dan Usman Said menyebut tanggung jawab orang tua adalah pertama mencegah anak dari kemungkaran dan selalu mengajak kepada kebaikan. Kedua, memberikan arahan dan binaan untuk selalu berbuat baik. Ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu tugas dan tanggung jawab orang tua adalah membimbing anak agar menjadi hamba yang taat menjalan ajaran agama (Yasin, 2008: 206).

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak-anak mula-mula menerima pendidikan . dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan timbal balik antara orang tua dan anak. Ibu dan ayah memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya (Darajat, 2014: 35).

Nurcholish Madjid salah satu tokoh cendekiawan muslim Indonesia

yang cukup concern mmenyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan Islam salah satunya yang tak luput dari perhatiannya adalah masalah

pendidikan agama dalam keluarga. Mengingat ajaran agama adalah sebagai

fondasi bagi kehidupan keluarga, maka pendidikan agama seharusnya dapat

mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian

(18)

6

kemudian hari. Sehubungan dengan itu, peran orang tua mendidik anak

melalui pendidikan agama yang benar amat amat penting. Namun, perlu

direnungkan kembali apa sebenarnya arti pendidikan agama, bagaimana

pendidikan agama dalam keluarga, dan nilai-nilai keagamaan apa saja yang

harus ditanamkan kepada anak dalam keluarga.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dari itu penulis tertarik

melakukan penelitian mengenai “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA MENURUT NURCHOLISH MADJID”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan di atas maka yang

menjadi masalah pokok dalam bahasan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut

Nurcholish Madjid?

2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga

menurut Nurcholish Madjid?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dapat menentukan

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga menurut

(19)

7

2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan agama dalam

keluarga menurut Nurcholish Madjid.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi, yaitu

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif dan

sebagai bagian dari usaha untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) dan keguruan pada

umumnya dan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan pada keluarga dengan

mengimplementasikan peranan-peranan pendidikan agama di

dalamnya.

b. Sebagai alternatif guna meningkatkan kualitas pendidikan agama di

dalam keluarga.

c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi

pelaksanaan penelitian-penelitian yang relevan di masa yang akan

(20)

8 E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Sebagai suatu kajian terhadap gagasan dari seorang tokoh, dalam

hal ini metode penelitian penyusunan skripsi ini penulis menggunakan

penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Yaitu pemecahan

masalah-masalah yang ada dengan usaha menganalisis dan menjelaskan

dengan teliti kenyataan-kenyataan faktual dari subjek yang diteliti

sehingga dipeoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta (Surakhmad,

2004: 139). Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan (library research) yakni dengan membaca, menelaah, dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan

masalah yang dibahas.

Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan content analysis, yaitu metode analisis yang menitikberatkan pada pemahaman isi dan maksud yang sebenarnya dari sebuah data.

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang

mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini,

maka penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu

mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan

bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan

(21)

9

sejarah, internet dan sumber lain, yang berhubungan dengan Nurcholish

Madjid dan pemikirannya tentang pendidikan agama dalam keluarga.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur

yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan

mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada

buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya.

3. Sumber Data

Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research). Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data-data yang valid maka diperlukan sumber data penelitian

yang valid pula. Dalam penelitian ini ada dua sumber, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Yaitu data yang langsung dari sumber pertama mengenai

masalah yang diungkap secara sederhana disebut data asli. Data yang

dimaksud yaitu buku-buku karya Nurcholish Madjid yaitu Masyarakat Religius, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonsesia, Pintu-pintu Menuju Tuhan, dan Pesan-pesan Taqwa Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina adalah landasan utama

untuk menjadi rujukan dalam mengkaji masalah pendidikan agama

dalam keluarga.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari sumber lain selain sumber

(22)

10

melengkapi data primer. Data yang dimaksud yaitu yang relevan

dengan skripsi ini. Yaitu buku-buku yang ditulis orang lain yang

membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid. Data sekunder ini

sifatnya sebagai pelengkap untuk memperkuat data primer.

Setelah data terkumpul lengkap berikutnya yang penulis

lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan

mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok

bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu

pembahasan yang utuh.

4. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan

pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi

yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti

mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti

menyajikan apa yang sudah ditemukannya kepada orang lain (Sugiono,

2008: 85).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi

(content analysis) dalam bentuk deskriptif analisis yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan

mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai

dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini

penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil

(23)

11

dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan (Bungin, 2008:

155-159).

F. Penegasan Istilah

1. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga

Kata “nilai” dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik, bermanfaat,

positif (Sujarwa, 2010: 229). “Dalam KKBI, pendidikan berasal dari kata ‘didik’, yang mendapat awalan ‘pen’ dan akhiran ‘an’, yang berarti proses

pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan” (Zarkasi, 2005: 19). Agama adalah kebutuhan jiwa manusia, yang

mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan hidup, kelakuan serta cara

menghadapi tiap-tiap masalah” (Darajat (2015: 47). Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terikat

oleh satu keturunan yang masing-masing anggotanya mempunyai peran

dan tanggung jawab. (Ahmadi, 2003: 96).

Setelah mengartikan nilai, pendidikan, agama, dan keluarga,

penulis ingin menambahkan bahwa yang dimaksud “Pendidikan Agama” di sini menurut Nurcholish Madjid adalah “Pendidikan Islam”.

(24)

12 2. Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid populer dipanggil dengan sebutan Cak Nur. Ia

merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia,

serta cendekiawan muslim bangsa. Dalam banyak sumber yang mengulas

tentang dirinya, disebutkan bahwa Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan

di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa

Timur, pada 17 Maret 1939. Prestasi Nurcholish Madjid lebih terlihat

dalam pemikiran. Ia meninggal pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit

sirosis yang dideritanya (Cahyo, 2014: 210-215).

Jadi, yang dimaksud “nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga” menurut Nurcholish Madjid dalam skripsi ini adalah sifat-sifat

atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai

dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada

Allah Swt. Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil

dengan metode peneladanan, karena pada waktu itu adalah masa yang

tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik kepada mereka dalam

rangka pembentukan pribadi muslim sejati.

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai: latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode

(25)

13 BAB II BIOGRAFI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai: riwayat hidup, pendidikan,

aktivitas dan karya-karya intelektual, dan kontribusi pemikiran

Nurcholish Madjid di bidang Pendidikan Agama.

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai: nilai-nilai pendidikan

agama dalam keluarga dan implementasi nilai-nilai pendidikan

agama dalam keluarga menurut Nurcholish Madjid

BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai: signifikansi, relevansi, dan

implikasi pemikiran Nurcholish Madjid mengenai nilai-nilai

pendidikan agama dalam keluarga.

BAB V PENUTUP

(26)

14 BAB II BIOGRAFI

H. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur lahir di

Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 bertepatan dengan tanggal 26

Muharram 1358 H (Madjid, 1995: 224). Nurcholish adalah putra dari seorang

petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid adalah

seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya, dia adalah seorang

figur ayah yang alim. Dia merupakan Kyai alim ulama Nahdlatul Ulama (NU),

yang secara personal mempunyai hubungan khusus dengan K.H. Hasyim

Asy’ari, salah seorang founding father Nahdlatul Ulama. H. Abdul Madjid

inilah yang menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada Nurcholish Madjid

semenjak dirinya masih berusia 6 tahun (Barton, 1999: 74).

Orang tua Nurcholish Madjid datang dari lingkungan Nadlatul Ulama

dan Masyumi. Ibunda Nurcholish Madjid, Fathonah, dipilih menjadi istri

ayahnya, Abdul Madjid, atas perintah Kyai Asy’ari. Fathonah putri keluarga

pengusaha yang taat beragama. Abdul Madjid adalah petani dan guru, yang

bersama istrinya kemudian mendirikan Madrasah Al-Wathaniyah, di

Mojoanyar. Sang ayah politisi Masyumi, yang jarang di daerah itu, meski

tetap memegang tradisi NU secara kuat.

Tradisi yang kosmopolit dan menghargai keragaman seperti itulah

(27)

15

pribadi, dan pikiran Nurcholish Madjid terbentuk pada masa remaja ketika dia

sekolah di Pondok Modern Gontor. Pesantren ini sangat progresif dan modern,

baik dalam metode pengajaran maupun gaya hidup para santrinya. Santri

diperbolehkan main musik dan mengenakan celana, bukannya sarung.

Kurikulum di Gontor mengkombinasikan kajian Islam dan sekular dengan

metode pengajaran modern: pengantar bahasa Arab dan Inggris. Selepas

Gontor, Nurcholish Madjid pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran di

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sejak 19 Juli 2004, ketika Nurcholish Madjid meninggalkan tanah air,

untuk menjalani transplantasi hati di Taiping Hospital, di Guandong, China,

harap-harap cemas selalu menyelimuti sahabat-sahabatnya. Penyakit hepatitis

C yang dideritanya sejak 20 tahun lalu, telah menjadi keganasan.

Transplantasi merupakan satu-satunya harapan Nurcholish Madjid. Namun

Tuhan menentukan lain.

Tanggal 23 Juli 2004, Nurcholish Madjid menjalani operasi

transplantasi. Semua dikabarkan operasinya sukses, sebab tidak lebih dari

seminggu, Nurcholish Madjid telah dipindahkan ke Singapura. Sejak

Nurcholish Madjid operasi lever di China, dirawat di rumah sakit Singapura,

sampai perawatan intensif di rumah sakit Pondok Indah, Jakarta,

teman-temannya berdatangan memberikan doa dan dukungan moril.

Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul

14.05 WIB, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur meninggal

(28)

16

Madjid meninggalkan seorang istri Omi Komariah dan dua orang anak, Nadia

Madjid dan Ahmad Mikail (Yani, 2009: 49-50).

I. Pendidikan Nurcholish Madjid

Dalam mempersepsikan tatanan pendidikan yang diberikan oleh

ayahnya, Nurcholish Madjid mencatat:

Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan SR, tetapi ia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab dan megakar dalam tradisi pesantren. Abdul Madjid sering dipanggil “kyai haji”, sebagai penghormatan atas ketinggian ilmu keislaman yang dimilikinya, walaupun ia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut dirinya sebagai kyai dan tidak pernah secara resmi bergabung dengan kalangan ulama. Dan meskipun ia tetap menyebut diri sebagai orang biasa, namun hal itu tidaklah menmbendung keinginannya untuk mendirikan sebuah madrasah. Bahkan ia menjadi pengelola utama pada pembangunan madrasah yang ia kelola sendiri dan juga yang paling berperan dalam membesarkan madrasah wathoniyah di Mojoanyar Jombang (Barton, 1999: 72).

Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul

Madjid kepada Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah,

moral, etika, ataupun dengan pembelajaran membaca Al-Qur’an saja, akan tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi Nurcholish Madjid (Barton,

1999: 72). Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat

dasar, yaitu di Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di

Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang.

Pemikiran Nurcholish Madjid yang sedemikian rupa tentu tidak lepas

dari pengaruh lingkungan rumah dan eksistensi keluarga serta pengaruh

(29)

17

tingkat dasar, Nurcholis Madjid telah mengenal dua model pendidikan.

Pertama, pendidikan dengan pola madrasah, yang sarat dengan penggunaan kitab kuning sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nurcholish Madjid juga memperoleh pendidikan umum secara memadai, sekaligus berkenalan dengan

metode pengajaran modern. Pada masa pendidikan dasar ini, khususnya di

Madrasah Wathoniyah, Nurcholish Madjid sudah menampakkan

kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan atas prestasinya

(Nadroh, 1999: 21-22).

Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan

Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan

pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul ‘Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Di

pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu menjalani proses belajarnya

selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish Madjid pindah ke

Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al-Islamiah)

Gontor Ponorogo pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang

dialami Nurcholish Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya,

terkait dengan pendidikan politik ayahnya yang terlibat di Masyumi (Barton,

1999: 75).

Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik,

sehingga dari kelas 1 ia langsung loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia banyak

(30)

18

kemampuan berbahasa Arab ini, terdapat suatu cerita menarik dari Nurcholish

Madjid (untuk selanjutnya ditulis dengan nama akrabnya, Cak Nur):

Suatu hari ia pulang ke rumah, ayahnya, Abdul Madjid dikenal memiliki koleksi kitab yang banyak dan tidak ada yang bisa membaca selain ayahnya sendiri. Ketika pulang ke rumahnya, ditunjukkan beberapa kitab berbahasa Arab dari Mesir dan ayahnya tidak bisa membaca. Sementara Cak Nur mampu membaca kitab-kitab ayahnya itu dengan baik (Ridwan, 2002: 51).

Kurikulum yang diberikan Gontor menghadirkan perpaduan yang

liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat. Para santri

diwajibkan menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris secara aktif dalam

berkomunikasi antar santri di lingkungan pesantren. Pelajaran agama yang

diajarkan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya di semua

kelas kecuali kelas tahun pertama. Tujuan penekanan pada santri-santri dalam

menggunakan kedua bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar sehari-hari,

yakni mengantarkan para santrinya ke dalam cakrawala pengetahuan yang

lebih luas.

Semboyan Gontor yang berbunyi “berbudi tinggi, berbadan sehat,

berpengetahuan luas dan berfikiran bebas” memberikan penekana keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani, menciptkan iklim yang

kondusif bagi santrinya untuk pemikiran kritis dan maju secara intelektual. Di

pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Mu’alimien al -Islamiah) selama enam tahun. Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid menyelesaikan studi di Gontor dan untuk beberapa tahun ia mengajar di bekas

(31)

19

merupakan unsur yang cukup berpengaruh pada perkembangan intelektual

Nurcholish Madjid (Barton, 1999: 36).

Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan

seiring dengan besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam

mendidik. Untuk itulah akselerasi belajar yang diperolehnya tersebut

menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi belajar Cak Nur yang

fenomenal itu, diperhatikan oleh K.H. Zarkasyi, salah satu pengasuh pesantren

Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud

mengirimnkannya ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Karena waktu itu di

Mesir terjadi krisis politik akibat problem Terusan Suez, keberangkatan Cak

Nur ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu Cak Nur mengajar di

almamaternya. Ketika terbetik kabar bahwa di Mesir sulit memperoleh visa,

sang guru tahu bahwa Cak Nur sangat kecewa dan untuk menghiburnya, K.H.

Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar murid kesayangannya

itu dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor di IAIN tersebut, Cak

Nur bisa diterima, meski tanpa ijazah negeri (Barton, 1999: 77).

Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah Nurcholish Madjid

meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidyatullah

Jakarta. Pilihannya terhadap IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkaitan erat

dengan minatnya yang besar terhadap pemikiran keislaman. Pemikirannya

yang kritis dan keebranian pengembaraan intelektualitasnya ditunjukkan

(32)

20

Makna adalah Universal). Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish Madjid tersebut setidaknya telah menyiratkan kekritisan dan corak berfikir

keislaman yang inklusif. Kuliahnya di selesaikan pada tahun 1968 dengan

predikat cum laude.

Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah,

Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kabayoran Baru dan

sedemikian akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap

dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan

budaya dan semangat Al-Qur’an sehingga paham keislaman yang ditawarkan Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Hal tersebut

dilansir dari Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Madjid, (1995:

vii).

Minat Nurcholish Madjid terhadap kajian keislaman semakin

mengkristal dengan keterlibatannya di HMI. Dia terpilih menjadi Ketua

Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun

1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa

Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 1967-1969. Dan untuk masa bakti

1969-1971, Cak Nur menjadi Wakil Sekertaris Umum International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO) (Barton, 1999: 78).

Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat

nasional tersebut merupakan hal yang amat penting dalam jalur

intelektualisme kehidupannya. Pada sisi lain keterlibatanya pada kegiatan

(33)

21

telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-saat

itulah Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat

menyengat kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol

memperjuangkan visi Islam Politik, yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No (Nadroh, 1999: 37). Banyak reaksi keras yang dialamatkan kepadanya, namun

dia tak bergeming, bahkan semakin aktif dengan gagasan-gagasannya, dengan

mendirikan Yayasan Samanhudi dan ia menjadi direkturnya selama tahun

1974-1976 (Barton, 1999: 83-84). Atas dasar itu, dalam perspektif Majalah

Tempo-hingga batas tertentu-pemikiran Nurcholish Madjid telah

menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima asas tunggal

(Pancasila) merasa lebih damai karena telah menemukan kebenaran (Barton,

1999: 36).

Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar Philoshopy Doctoral

(Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cum laude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran Ibnu Taimiyah dengan judul “Ibn Taimiyah dalam

Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam” (Ibn

Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi doctoral yang dilakukan ini menunjukkan kekaguman dirinya terhadap tokoh tersebut. Kekaguman ini pun menjadi pengakuan yang

disampaikannya.

Nurcholish Madjid bukan hanya memiliki prsetasi akademik yang

menakjubkan, tapi sebagai seorang aktivis pun ia dipercaya untuk menempati

(34)

22

dedikasinya dalam me-manage waktu antara aktivitas akademik dengan aktivitas organisasinya, hal mana sulit dilakukan oleh rekan-rekan aktivis

lainnya. Pada saat yang bersamaan Nurcholish Madjid telah mampu

membuktikan intergritasnya sebagai intelektual yang produktif.

Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun

1984, penuh dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang sangat

memuaskan. Hal tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan predikat

cum laude yang setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas intelektualnya. Karir Nurcholish Madjid semakin sempurna tatkala ia

dinobatkan sebagai Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai rasa

penghargaan pihak kampus baginya yang begitu lama menggeluti dunia

keilmuan pada tanggal 10 Agustus 1998. Adapun pidato pengukuhannya

sebagai guru besar berjudul “Kalam Kekhalifahan Manusia Reformasi: Suatu Percobaan Pendekatan Sistematis Terhadap Konsep Antropologis Islam.”

J. Aktivitas Intelektual Nurcholish Madjid

Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi

mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor,

tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja

berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi

(35)

23

merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara

berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid.

Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan

dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu

berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan

Mahasiswa Ialam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan

roda organisasi Nurcholish Madjid bnyak menerapkan komitmen

ke-KMI-annya yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya (Barton , 1999: 65).

Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai

Ketua Umum PBHMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966

sampai 1969 dan periode 1969-1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan

ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya

untuk menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT)

pada tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabar

sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization/Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun 1967-1971 (Nadroh, 1999: 26).

Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki

beberapa posisi sentral. Di antara berbagai karir sentral yang dicapainya

adalah: menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta

(36)

Ilmu-24

ilmu Kemasyrakatan), pada tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan

Islam Samanhudi) tahun 1974-1977. Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS

LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun 1978-1984,

menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Pada tahun 1968 Nurcholish Madjid mendirikan dan menjadi ketua

Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan

menjadi penulistetap harian Pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi

dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal,

Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai Guru Besar

Luar Biasa dalam Ilmu Filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina

Mulya, Jakarta (Sufyanto, 2001: 63). Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga

menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim

Se-Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia

(KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang

anggota MPR RI (Madjid, 2004: 211).

Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam silaturahmi

organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung

dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan

Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid

menggantikan pidatonya Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang

(37)

25

Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (Rahardjo,

1987: 18-19).

Dari pidato yang disampaikannya ini Nurcholish Madjid mulai menui

pandangan yang sangat kontroversial termasuk dari para seniornya, semisal,

Rasjidi, dikarenakan anjurannya terhadap sekularisasi. Isi pembahasan dari

judul pidato, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah

Integrasi Umat” yakni mencakup: Islam Yes, Partai Islam No; kuantitas

versus kualitas; liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam sekarang

(sekularisasi, kebebasan berfikir, idea of progress, dan sikap terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan “liberal”. Liberalisasi pemikiran Nurcholish

Madjid dimulai dari penyampaian pidatonya pada acara HUT ke-3 HMI di

Jakarta, 5 Pebruari 1970, dengan judul “pembaharuan pemikiran dalam

Islam”. Kegigihannya untuk mengembangkan pola-pola penyegaran paham

keagamaan Islam dilakukannya pada saat emberikan kuliah di pusat kesenian

Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”(Sufyanto, 2001: 66).

Nurcholish Madjid adalah seorang dari sedikit intelektual muslim

Indonesia dan menjadi orang nomor satu di Paramadina. Ia dilahirkan dari

kalangan Islam tradisionalis yang kuat. Nurcholish Madjid sejak memperoleh

pendidikan di pesantren Gontor, yaitu pesantren yang menerapkan semboyan

“berfikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”, sangat mempengaruhi pemikirannya untuk tidak memihak pada salah

(38)

26

Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa

Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang

bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang

membawa paradigma baru termasuk paradigma dalam membangun Indonesia

ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit

banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran

keislaman Nurcholish Madjid yang relative “asing” bagi umat Islam saat itu (Sofyan dan Madjid, 2003: 73).

Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis

tentang kajian keislaman maupun politik, sehingga dia sempat mendapatkan

gelar “Natsir Muda”. Gelar tersebut didapat Nurcholish Madjid dengan ciri

khas orang yang anti dan sangat membenci Barat, akan tetapi sikap itu pada

akhirnya runtuh ketika Nurcholish Madjid usai melakukan kunjungannya di

Amerika Serikat dan beberapa Negara Timur Tengah yang akhirnya gelar

tersebut dicopot (Sofyan dan Madjid, 2003: 65).

Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago,

Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuwan muslim ternama

neo-modernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Di perguruan inilah Fazlur

Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke bidang

kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan intelektual

Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran Nurcholish

(39)

27

begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish Madjid untuk

kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam.

K. Karya-karya Nurcholish Madjid.

Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif.

Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986

mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Di lembaga inilah sebagian besar

Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi intelektualnya (sehingga

pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya dengan obsesi

mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping sebagai

peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor

Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam

perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah

yang telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:

1. Khazanah Intelektual Islam. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh PT. Bulan Bintang pada tahun 1984 ini adalah langkah awal mengabdikan

pemikirannya lewat tulisan di saat Nurcholish Madjid melewati

hari-harinya di Chicago University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan

ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan segi

kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain

itu dalam buku ini Nurcholish Madjid juga memperkenalkan kepada para

pembaca tentang corak pemikiran para tokoh klasik. Tokoh yang disebut

(40)

28

300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950 M), Ibn Sina (370 H-428 H/980

M-1030 M), al-Ghozali (w. 505 H/111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M),

Ibn Taymiyyah (w. 782 H/1328 M), Ibn Kaldun (w. 808 H/1406 M),

Jamaluddin al-Afghani (1255 H-1315 H/1839 M-1897 M), dan

Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). Penulis ingin

menegaskan tentang buku ini, seperti yang diungkapkan Nurcholish

Madjid sendiri bahwa buku ini hanya sekadar pengantar pemikiran kepada

kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan

pemikiran Islam.

2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Buku ini diterbitkan di Bandung oleh Mizan pada tahun 1987. Dalam isi buku ini membincangkan tentang

permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat ini, dan di

sisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa

solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 70-an

permasalahan-permasalahan menjadi wacana yang menggegerkan dan penuh dengan

pandangan-pandangan yang kontroversial.

3. Islam Doktrin dan Peradaban. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1992. Buku ini berisi tentang

Islam di Indonesia adalah kemajemukan. Pluralitas (kemajemukan) adalah

kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci

disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

(41)

29

meningkat menjadi pluralism, yaitu suatu sistem nilai yang memandang

secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri.

4. Islam Agama Peradapan, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1992. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid

memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang

transcendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal,

kebijakan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam

mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya buku ini hanya kumpulan

sebagian makalah dari kelompok kajian agama yang diselenggarakan oleh

Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan

beranggotakan 200 orang.

5. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pengembangan di Indonesia. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada

tahun 1997. Dalam buku ini Cak Nur mengungkapkan peran strategis

ajaran-ajaran Islam sebagai sumber substansi bagi pembangunan yang

sedang dilaksanakan di Indonesia. Peran intelektual Indonesia dalam

membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan

demokrasi serta membangun sumber daya manusia yang siap memasuki

era industrialisasi dan era tinggal landas.

6. Bilik-bilik Peantren, Sebuah Potret Perjalanan. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Paramadina pada tahun 1997. Buku ini berisi tentang

(42)

30

buku ini Cak Nur mengajak dunia pesantren “membuka diri” dan berbenah

diri untuk paling tidak memperkecil jarak kesenjangan tersebut.

Nurcholish Madjid tertuju pada kurikulum pesantren yang ada di

Indonesia. Menurutnya, bahwa materi keagamaan masih mendominasi di

lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan selalu dalam bahasa Arab,

seperti Fiqh, Aqa’id, Nahwu-Sharaf. Padahal menurutnya, masih ada yang lebih penting pada tataran praktis di saat seorang muslim berinteraksi

dengan sesame, yakni semangat religius juga tasawuf yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain, pengetahuan umum

ternyata masih dilaksanakan secara setengah-setengah, akibatnya

kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari

masyarakat ilmu-ilmu eksak. Itulah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara dunia pesantren dengan dunia modern.

7. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1995. Isi buku ini merupakan kumpulan

tulisan Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian

Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa

umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena

Islam menyediakan banyak pintu untuk menuju Tuhan untuk meraih sisi

yang mulia di samping-Nya.

8. Masyarakat Religius. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Wakaf Paramadina pada tahun 1997. Buku ini menyodorkan tesis bahwa makna

(43)

31

menyediakan konsep tentang hakikat dan makna hidup itu. Buku ini juga

mengetengahkan tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen

pribadi dan sosial dan konsep pendidikan agama Islam dalam keluarga.

9. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, 1999. Dalam buku ini Nurcholish Madjid mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan

kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan

argumentasi yang fresh dan jernih. Di mana dalam uraiannya mengaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang tengah menghadang bangsa

Indonesia, seperti cita-cita politik bangsa dan persoalan keadilan.

10.Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Buku ini ditulis pada saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, yang

berisi tentang Materi Pengkaderan tentang keislaman. Namun, buku ini

kemudian diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Buku ini menjadi bacaan wajib yang menjadi dasar dan motivasi perjuangan anggota

Himpunan Mahasiswa Islam.

Selain buku-buku di atas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula

karya Nurcholish Madjid yang sudah beredar di pasaran dan tidak sempat

(44)

32

dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, karya uatafa Al-Sibai. Hal lain yang dilakukan Nurcholish Madjid adalah, bahwa ia banyak

mendorong kaum intelektual Islam serta memprakarsai penulisan buku-buku

bermutu dan standard (Nata, 2005: 324).

Tidak hanya dalam buku, Nurcholish Madjid juga menulis berbagai

artikel tentang keislaman, politik Islam, moral dan sebagaianya yang dimuat

dalam Harian Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan, Republika, Jurnal Ulumul

Qur’an, Panji Masyarakat, Prisma, Amanah, dan lain sebagainya (Nata, 2005:

324).

Berdasarkan uraian tentang beberapa karya dan buah pikiran

Nurcholish Madjid di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Cak Nur sosok

pemikir yang handal dan julukan pun melekat padanya, yakni seorang teolog,

filosof, sejarawan, konseptor, dan pembaharu yang selalu mengedepankan

toleransi pada setiap perbedaan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang

berpijak pada ajaran Islam.

L. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Bidang Pendidikan Agama Gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid tidak hanya mencakup satu

bidang saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya masalah

doktrin, ilmu pengetahuan, dan peradaban. Dari berbagai pemikirannya ini

dapat ditelusuri dan dilacak gagasan dan konsep yang berkaitan dengan

(45)

33

dan gagasan Nurcholish Madjid dalam bidang pendidikan Islam (pendidikan

agama) (Nata, 2005: 326).

Pendidikan agama dalam rumah tangga. Menurut Nurcholish Madjid,

bahwa pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk

pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika

dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam

masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid bahwa pendidikan agama akhirnya

menuju kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi.

Pendidikan akhlak. Sejalan dengan pentingnya pendidikan agama

dalam lingkungan keluarga yang ditekankan pada pengalaman ajaran agama

terkait dengan etika, moral dan akhlak, Nurcholish Madjid memiliki

komitmen terhadap tegaknya etika, moral dan akhlak. Dalam berbagai

kesempatan dalam tulisannya, ia banyak menyinggung kehancuran suatu

bangsa dari sejak zaman klasik yang penyebab utamanya adalah kehancuran

akhlak.

Tidak ada gagasan yang yang berdiri sendiri di atas angin. Setiap

gagasan baru lahir, ia senantiasa mengundang respon bahkan polemik.

Demikian pula dalam dinamika pemikiran keagamaan, hal serupa senantiasa

terjadi. Bahkan kemudian tak terhindarkan lahir ketegangan-ketegangan dan

konflik, yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran itu. Inilah yang

terjadi disekitar gagasan-gagasan keagamaan Nurcholish Madjid (Siswanto,

(46)

34 BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN

A. Nilai-nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga Menurut Nurcholish Madjid

1. Aspek-aspek Nilai Pendidikan Agama dalam Keluarga

Manusia dikatakan sempurna apabila memiliki jasmani dan rohani

secara utuh, artinya secara fisik sehat, secara psikis dia normal. Jasmani

yang sehat adalah dambaan setiap insan, terutama orang tua (keluarga)

kepada anak. Usaha menyehatkan anak oleh orang tua adalah perbuatan

tanpa pamrih, semata-mata karena cinta kasih yang murni. Sehingga

hubungan emosional yang amat kental antara anak dan orang tua menjadi

taruhan survival anak dalam memasuki dunia kehidupan selanjutnya

(Madjid, 1997a: 85).

Seiring dengan pertumbuhan jasmani anak, biasanya akan diikuti

oleh proses pencarian jati diri. Dalam konteks ini kedudukan ayah bukan

hanya penghasil nasi (bread earner) dalam keluarga, tetapi posisi ayah dalam keluarga menempati posisi sebagai teladan dan bahkan “pahlawan”

bagi anak, setelah itu baru orang lain, karena pada umumnya anak akan

mencari sosok atau figur yang diidolakan dalam keluarga. Untuk itulah

orang tua dituntut untuk menjadi uswah hasanah bagi anak dan anggota keluarganya. Perilaku orang tua secara otomatis akan berdampak pada

(47)

35

Dalam praktik kehidupan sehari-hari orang tua harus memberikan

kesempatan pada anak untuk bermain, bergaul, dan bercanda dengan

teman sebayanya. Karena hal ini dapat membantu perkembangan jasmani

anak untuk tumbuh menjadi kuat secara alami, selain itu anak akan mudah

bersosialisasi dalam bergaul di masyarakat. Atau orang tua hendaknya

meluangkan waktu untuk berolahraga bersama anaknya. Hal ini dilakukan

agar pertumbuhan jasmani anak menjadi tumbuh dan berkembang dengan

sempurna. Dengan berbekal jasmani yang kuat diharapkan anak dapat

hidup dengan keterampilan yang dimiliki. Oleh karena itu, tidak

dibenarkan jika orang tua tidak memberi kesempatan pada anak untuk

bermain dan bergaul dengan teman sebayanya. Hal tersebut lambat laun

akan berdampak buruk bagi pertumbuhan jasmani, dan bahkan

perkembangan rohani anak. Kesempatan bermain dan bergaul yang

diberikan orang tua kepada anak hendaknya secara wajar dan tetap dalam

kontrol. Dengan harapan anak kelak memiliki jasmani yang kuat dan

terlatih dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan dasar iman

dan takwa kepada Allah Swt.

Setiap jiwa manusia sudah memiliki kelengkapan dalam dirinya

untuk mengetahui apa yang baik dan buruk, benar dan salah.

“Kelengkapan itu adalah hati nurani. (Madjid, 2005: 93). Orang tua

berperan sebagai penyaring bagi anak dari segala pengaruh buruk yang

terdapat dari lingkungan. Oleh karena itu kedua orang tua (ibu dan bapak)

(48)

36

agama, yang nantinya ditransfer dan diinternalisasikan kepada anak, serta

orang tua dituntut untuk menyiapkan waktu yang cukup guna

mendampingi dalam memberikan pendidikan bagi anaknya khususnya

pendidikan agama.

Pengembangan dan penumbuhan yang harus dilakukan orang tua

bukan hanya bersifat jasmani saja tetapi juga rohani, yakni peningkatan

potensi positif yang sudah ada sejak lahir menjadi tabiat anak. Hal ini dilakukan agar anak kelak menjadi manusia dengan kualitas

setinggi-tingginya. Dan orang tua berkewajiban untuk menjauhkan anak dari sikap

yang menyimpang dari nature kebaikannya tersebut (Madjid, 1997a: 84). Kualitas manusia yang tinggi adalah yang mampu

mengaktualisasikan ritus-ritus formal keagamaan dalam kehidupan nyata.

Ritus hanya sebagai bingkai, bukan tujuan. Oleh karena itu, ritus baru

mempunyai makna hakiki jika sudah dapat mengantarkan orang yang

bersangkutan kepada tujuan hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah Swt. dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaq al karimah).

Pendidikan rohani atau qalbu (hati) menjadi kunci pendidikan agama bagi anak dalam rumah tangga. Karena pendidikan tersebut

memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Juga

pendidikan agama merupakan kunci utama, karena pendidikan agama

dalam rumah tangga adalah yang pertama dan utama. Pendidikan itu

(49)

37

diikuti dengan rohani yang baik agar menghasilkan manusia dengan

kualitas tinggi. Oleh karenanya aspek rohani menjadi penentu baik atau

buruknya kepribadian seseorang. Dalam hal ini agama menjadi solusi

untuk mengantarkan kerohanian seseorang menuju puncak dari segala

kebaikan.

Aspek-aspek nilai pendidikan agama dapat dikelompokkan

menjadi tiga bagian sebagai berikut:

a. Nilai Pendidikan Akhlak

Dalam konteks ini (keluarga) yang ditekankan adalah

pendidikan akhlak, yang menyangkut etika dan moral. Dalam kitab

suci Al-Qur’an surat kedua kalimat terakhir memuat perintah kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau memohon kepada Tuhan dari

cuaca pagi (rab al falaq) supaya dilindungi dari kejahatan seorang pendengki atau penghasud. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya

kedengkian itu. Karena dengki adalah salah satu penyakit hati yang

paling berbahaya (Madjid, 2002: 118). Dalam sebuah hadits, Nabi

Muhammad SAW bersabda bahwa sifat dengki itu bagaikan api yang

memakan kayu bakar, artinya kedengkian itu jika diibaratkan tumbuh

dalam hati maka bisa menghabiskan nilai kebaikan pelakunya. Di sisi

lain kedengkian dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan yang dapat

mengancam keselamatan orang lain, karena seorang pendengki akan

senantiasa merasa tidak senang kalau orang yang didengki itu selamat

(50)

38

suatu bangsa ditengarai dengan hancurnya akhlak (baca: iri, dengki,

dan penyakit hati lainnya). Kedengkian hati juga menjadi indikasi awal

datangnya kesengsaraan.

Sebenarnya kehancuran akhlak (baca: iri, dengki, dan penyakit

hati lainnya) itu bisa ditanggulangi sejak dini. Artinya sedini mungkin

orang tua mulai menanamkan sifat-sifat terpuji bagi anak, tidak

berperilaku sebagai pendengki. Tentu penanaman sikap terpuji tersebut

harus dimulai dari orang tua terlebih dahulu, karena secara alami anak

akan meniru tata cara dan perilaku orang tuanya dalam berbagai hal.

Ingat pepatah yang mengatakan bahwa kacang ora ninggal lanjaran (Jawa), atau buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, artinya perbuatan atau perilaku orang tua dengan sendirinya akan membawa

pengaruh bagi anak-anaknya. Jika perilaku orang tua baik maka anak

akan meniru kebaikan itu, tetapi jika perilaku orang tua tidak terpuji

maka jangan harap anak akan berperilaku terpuji.

b. Nilai Pendidikan Ibadah

Mengikuti tema-tema yang ada dalam Al-Qur’an bahwa penanaman takwa kepada Allah Swt. sebagai dimensi manusia yang

pertama yang dimulai dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal

agama yang berupa ibadat-ibadat (Madjid, 1997a: 96). Dalam konteks

ini, pendidikan agama dalam rumah tangga awalnya berupa pengajaran

kepada anak tentang aspek-aspek ritual dan formal agama, dengan cara

(51)

39

membaca Al-Qur’an, dan ritual-ritual agama lain. Kemudian dalam melaksanakan ritual agama tersebut orang tua secara pelan memberi

penghayatan dan pemaknaan ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat

tersebut tidak dilakukan semata-mata sebagai ritus formal belaka,

melainkan dengan keinsafan mendalam tentang makna edukatifnya

bagi kehidupan.

Edukatif dalam arti, setiap ritual agama yang kita lakukan

dengan anak adalah ajakan kebaikan untuk taat menjalankan perintah

agama. Jika tahap ini telah tercapai, maka tugas kita selanjutnya adalah

bagaimana ritus agama yang bersifat “simbolik” tadi bisa menjadikan

anak tahu dan memahami makna di balik itu semua. Shalat misalnya,

dengan memahami arti bacaan pada setiap gerakan, baik yang wajib

maupun yang sunnah, maka anak akan tahu apa maksud dan tujuannya.

Saat membaca doa iftitah ketika sampai inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin, sesungguhnya shalatku,

ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan alam

semesta. Jika orang bersangkutan (anak) paham makna yang

terkandung dalam bacaan itu, niscaya orang tersebut akan merasakan

betapa semua ibadah, amal perbuatan, hidup dan mati hanyalah milik

Allah semata. Sehingga ketika harus menerima kenyataan hidup pahit

tidak lantas menyalahkan Allah, tetapi orang tersebut akan mengambil

hikmah di balik kejadian itu, bukankah segala hal yang terjadi di muka

(52)

40

diharapkan kita akan dapat selamat dari ancaman Allah sebagaimana

tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’un. Yaitu ibadah yang sia-sia tanpa atsar dan makna di sisi Allah, na’udzu billah min dzalika.

c. Nilai Pendidikan Aqidah

Aqidah merupakan dasar keimanan seseorang, sehingga harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Orang beriman adalah orang yang

kuat batin dan jiwanya, yang tidak pernah gentar menghadapi cobaan

hidup. Kekuatan orang beriman diperoleh karena hanya berharap

kepada Allah Swt. ia tidak mudah putus asa karena Allah selalu

menyertainya (Madjid, 2002: 14).

Oleh karena itu kunci pendidikan agama sebenarnya terletak

pada pendidikan aqidah. Karena hal tersebut yang akan mewarnai

perkembangan akal dan sikap seorang anak. Kekuatan aqidah berdasar

pada keimanan kepada Allah sehingga mampu mengantarkan

seseorang menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan bertanggung

jawab. Iman yang kuat akan menghasilkan harapan dan kepercayaan

kepada Allah, atau sebaliknya, Allah tidak memberi harapan dan

kepercayaan kepada orang tersebut. Oleh karena itu salah satu ciri

orang beriman adalah adanya sikap berbaik sangka kepada Allah.

Orang beriman harus yakin bahwa setiap kejadian pasti ada makna

pelajaran yang bisa diambil, karena tak satupun kejadian di dunia ini

(53)

41

Baik sangka atau husnudhan adalah salah satu ciri orang beriman, karena orang beriman akan senantiasa berharap hanya kepada

Allah, bukan kepada manusia. Berharap kepada manusia sifatnya

temporer dalam arti ketika orang yang diharapkan tersebut dalam

keadaan siap, maka harapan tersebut dapat terwujud, tetapi kalau tidak

siap maka harapan itu sirna. Sedangkan begantung dan berharap

kepada Allah merupakan sikap terpuji dan bijaksana, karena Allah

tidak pernah mengecewakan hambanya yang percaya, beriman,

sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi bahwa Allah itu

sebagaimana prasangka hamba-Nya, jika persangkaan tersebut baik

maka Allah akan memberikan kebaikan, dan apabila persangkaan

tersebut berupa kejelekan maka Allah akan memberikan kejelekan,

Ana ‘inda dhanni ‘abdi bi.

Sikap orang beriman selanjutnya adalah optimis, sikap dan

perasaan optimis dalam konteks ini adalah ketika seseorang tersebut

telah bekerja, berdo’a, dan sebagainya, kemudian memasrahkan hasil

akhir usaha atau pekerjaannya tersebut kepada Allah, tawakkal.

Sehingga tidak merasa putus asa dan patah semangat apabila hasil

usahanya tidak seseuai harapan. Karena dia selalu baik sangka dan

menyadari bahwa di balik itu semua pasti ada hikmahnya, dan itulah

mungkin yang terbaik menurut Allah. Orang beriman senantiasa ikhlas

Gambar

GAMBAR NURCHOLISH MADJID

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan pengujian kadar fenolat total, uji aktivitas antioksidan dan uji aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi keterbacaan pada empat puisi anak karya Muhammad

Dari hasil keseluruhan dapat disimpulkan bahwa variabel Gaya Hidup dan Kelompok Referensi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Keputusan Pembelian baik

Diketahuinya pola aliran bahan tata letak awal yang merupakan petunjuk utama dalam perencanaan tata letak usulan dan tata letak usulan dalam pola aliran bahan disesuaikan dengan

Diketahui bahwa didalam perjanjian internasional terdapat norma – norma atau asas yang berlaku, salah satunya ialah asas Pacta Sunt Servanda yang secara langsung berarti

Penataan Penataan Ruang Pulau Sulawesi bertujuan untuk mewujudkan: (a) Pusat pengembangan ekonomi kelautan berbasis keberlanjutan pemanfaatan sumber daya kelautan dan

menjadikan penulis untuk mengangkat judul “ GAYA KEPEMIMPINAN PADA RUMAH MAKAN PUTI MINANG CABANG HAJI MENA NATAR LAMPNG. SELATAN DALAM MENINGKATKAN KINERJA

Hasil ini memberikan gambaran bahwa perbandingan jumlah induk jantan dalam pemijahan ikan Jelawat sangat berpengaruh pada tingkat pembuhaannya, ini memberikan