• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

10. Nilai-nilai yang terkandung dalam Kegiatan Ekstrakurikuler a.Karawitan

Ekstrakurikuler karawitan memiliki nilai ketelitian, nilai percaya diri, nilai kerjasama didalamnya. Hal ini dikarenakan berlatih karawitan memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi, ini disebabkan nada-nada dalam gamelan tersebut berbeda antara alat musik satu dengan yang lainnya. Nilai percaya diri dan kerjasama juga ditanamkan ekstrak ini sebab dibutuhkan kerjasama untuk menghasilkan karya musik yang indah dan juga nilai percaya diri ditanamkan pada kegiatan ini dengan maksud

85

melatih siswa berani menunjukkan minat dan bakat nya terhadap karawitan. Nilai lain yang terkandung pada karawitan diantaranya adalah: 1) Nilai Estetika : Seni karawitan melalui gamelan yang lengkap ditabuh oleh 10 hingga 15 penabuh atau niyaga. Kaitannya dalam hal ini dari alat musik yang berbeda dengan dimainkan secara keseluruhan akan menghasilkan suara yang harmonis dan dinamis sehingga akan memunculkan estetika keindahan suara di dalamnya, suara yang unik yang menimbulkan rasa nyaman bagi penikmatnya.

2) Nilai Historis : Seni Karawitan adalah warisan budaya leluhur, keberadaannya sangat erat hubungannya dengan perjalanan kebudayaan masyarakat Jawa, perkembangannya hingga saat ini menyimpan sejarah yang bisa dijadikan pelajaran yang diharapkan dapat menumbuhkan semangat untuk terus menjaga budaya bangsa. 3) Nilai Budaya : Seni Karawitan adalah kebudayaan asli masyarakat

Jawa yang telah lahir sebelum masuknya pengaruh agama Hindu dan Budha, eksistensinya tetap bertahan hingga hari ini, diakui dan tetap dinikmati oleh masyarakat bahkan dunia.

4) Nilai Spiritual : Gamelan dalam pada awal sejarahnya merupakan perangkat alat musik yang sangat dikaitkan dengan upacara-upacara keagamaan, sehubungan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, karawitan gamelan Jawa adalah sarana dakwah dengan jalan akulturasi budaya lokal dengan budaya

86

Islam. adapun syair-syair karawitan juga banyak mengandung unsur nasihat-nasihat agama.

5) Nilai Demokrasi : Karawitan juga mengandung unsur demokratis yakni berkaitan dengan peranan setiap alat musik gamelan, contoh kendhang sebagai pemimpin dan pengendali disini terdapat peran pengaturan yang dianalogikan sebagai eksekutif. Sementara gong sebagai tanda pemberhentian atau pengawasan terhadap jalannya permainan yang dianalogikan sebagai yudikatif. Sedangkan kenong adalah legislatif yang mewakili perangkat lainnya.

6) Nilai Sosial : Pada seni karawitan, kandungan nilai sosial dapat kita lihat pada kerjasama dan toleransi antar pemain yang berusaha menyatukan berbagai jenis alat musik dengan saling mengikuti aturan yang ada secara bersama-sama.

7) Nilai Psikologis : Melalui keindahan dan kehalusan seni suara dalam Karawitan mampu mendidik rasa keindahan seseorang yang memungkinkannya tumbuhnya kesadaran pada nilai sosial, moral dan spiritual, orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapanya halus, tingkah laku lebih sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing.

b. Bahasa Jawa

Terkandung nilai integritas, nilai toleransi, nilai kesantunan, dan nilai kerendahan hati. Bahasa Jawa merupakan salah satu warisan budaya

87

yang harus dilestarikan dan dijaga karena jika tidak, dapat terkikis oleh bahasa dari kebudayaan lain. Selain itu, bahasa Jawa merupakan bahasa yang menyiratkan budi pekerti luhur atau merupakan cerminan dari tata krama. Nilai lain yang terkandung dalam bahasa Jawa, yaitu:

1) Nilai Estetika : Bahasa Jawa terbagi menjadi Krama dan Ngoko. Berikut ini adalah pembagian unggah ungguhin basa. Basa Ngoko: Ngoko lugu dan Ngoko Andhap; Basa Madya : Madya Ngoko, Madya Krama, Madyantara; Basa Krama: Mudha Krarna, Kramantara, Wredha Krama, Krama Inggil, Krama Desa, Basa Kedathon.

2) Nilai Historis : Unggah ungguhing basa merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain juga merupakan produk dari kehidupan sosial.

3) Nilai Budaya : Penggunaan Basa Ngoko Krama dalam masyarakat Jawa adalah Basa Krama dan Ngoko digunakan sebagai norma pergaulan di masyarakat, tataran bahasa Jawa dipakai sebagai tata unggah ungguh, penggunaan basa krama berfungsi sebagai alat untuk menyatakan hormat dan kekerabatan, dan sebagai pengatur jarak sosial

c. Nembang

Terkandung nilai kesusilaan, nilai kesopanan, nilai kesantunan, nilai kesabaran, nilai kerendahan hati dan nilai toleransi. Dalam tradisi sastra Jawa, buku-buku tentang tembang pada umumnya berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Inti di dalam lirik tembang

88

mengajarkan bahwa manusia sudah sepantasnya berbuat baik terhadap alam, binatang, tumbuhan, bahkan terhadap manusia lain. Terhadap sesama manusia pun, hendaknya kita bersikap sopan santun terhadap orang yang lebih tua dan tidak ada salahnya kepada orang yang lebih muda. Kemudian adanya sikap saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain, baik terhadap teman sendiri, guru, kepala sekolah maupun warga sekolah lainnya.

Nilai-nilai yang terkandung pada nembang sarat dengan nilai-nilai moral yang sangat penting bagi pembentukan karakter bangsa. Nilai-nilai budi pekerti luhur yang terkandung dalam tembang-tembang Jawa sangat urgen untuk disosialisasikan kepada generasi muda karena generasi muda pada milenium ketiga ini sudah tidak banyak lagi yang mengenal, mencintai, dan memahaminya. Nilai-nilai budi pekerti tersebut bersifat dikotomis antara perbuatan baik dan tidak baik, perbuatan yang diperbolehkan dan tindakan yang dilarang secara moral, perbuatan yang perlu diteladani dan tindakan yang tidak perlu ditiru. Tidak hanya sarat dengan nilai moral, tembang juga mengajarkan bagaimana proses kehidupan manusia diawal hingga kembali kepada Tuhan, karena itu sebagai manusia hendaklah selalu berdoa atas segala cobaan dalam hidup yang mana kesabaran selalu diuji. Nilai lain dalam tembang, yaitu: 1) Nilai Estetika : Terbagi menjadi tiga, tembang macapat, tembang

tengahan, dan tembang gedhe. Tembang macapat dibagi menjadi sebelas pupuh, yaitu: maskumambang, mijil, sinom, kinanthi,

89

asmaradhana, gambuh, dhandanggulo, durma, pangkur, megatruh, dan pocung.

2) Nilai Historis : Digunakan sebagai media dakwah para sunan untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Islam.

3) Nilai Budaya : Tembang merupakan warisan leluhur yang sampai sekarang masih di uri-uri, agar tidak hilang dan terlupakan.

4) Nilai Spiritual : Melalui tembang macapat yang isi nya mengajarkan tentang proses kehidupan manusia. Proses bagaimana Tuhan memberikan ruh kepada manusia hingga manusia itu kembali lagi pada-Nya.

d. Tari

Terkandung nilai kesabaran, nilai kerjasama, nilai percaya diri, nilai kerja keras, dan nilai kedisiplinan. Dalam pelajaran tari umumnya diajarkan tentang kesabaran dan kerja keras. Dalam setiap gerakan tari, untuk menghasilkan gerakan yang indah dan gemulai tidak dapat berhasil dalam sekejap, maka dari itu dibutuhkan kesabaran, kerja keras dan semangat siswa. Konsep tari yang tenang mengalun, memiliki korelasi positif dengan konsep etis Jawa yang senantiasa mengutamakan ketena ngan, keseimbangan, keselarasan, dan harmonis dengan alam. Nilai lain yang terdapat dalam tari yaitu:

1) Nilai Estetika : Menggunakan empat dasar keterampilan yaitu wiraga (dasar keterampilan gerak tubuh atau fisik penari yang dapat menyalurkan ekspresi batin dalam gerak tari); wirama (suatu pola

90

untuk mencapai gerakan yang harmonis di dalam tari yang terdapat pengaturan dinamika seperti aksen dan tempo tarian); wirasa (ekspresi raut muka atau mimik yang menggambarkan karakter tarian, penghayatan dan penjiwaan gerak sesuai dengan tarian; wirupa (penampilan menari dari ujung atas sampai ujung bawah, ditunjukkan melalui warna, busana, dan tata rias).

2) Nilai Historis : Seni tari klasik yang diciptakan pada masa Sultan Hamengku Buwono Pertama. Tarian klasik sebagai suatu totalitas merupakan perpaduan harmonis antara kulit luar yaitu gerak tubuh, pakaian, ekspresi dengan substansi roh dan jiwa.

3) Nilai Budaya : Tari klasik Yogyakarta menggambarkan adanya penggunaan simbol yang sarat makna pesan etik maupun estetik untuk penanaman moral dan untuk membentuk kepribadian yang utuh lewat pengenalan seni budaya. Tarian klasik juga digunakan sebagai strategi perjuangan moral dan usaha untuk mencari jati diri orang Jawa.

4) Nilai Spiritual : Tarian Bedaya merupakan tarian tua yang lebih magis dari tari serimpi. Diibaratkan sebagai bentuk tarian untuk keperluan ritus agama asli yang berasimilasi dengan agama budha. Pementasan tari memakan waktu tiga jam, oleh karena itu, para penari sebelumnya harus menjalani puasa dan proses bersih diri agar mendapat kekuatan lahir dan batin.

91 e. Dolanan Anak

Lagu dolanan anak mengajarkan nilai kerjasama, nilai kejujuran, nilai kedisipinan, nilai kesantunan dan nilai kerendahan hati. Inti dari Gendhing dolanan anak lebih bersifat hiburan. Siswa diajarkan dan dikenalkan tentang alat permainan, lagu- lagu untuk anak- anak yang lazimnya dinyanyikan ketika memainkan permainan jaman dahulu. Ini bertujuan walaupun sudah berkembangnya teknologi, siswa dengan kerendahan hatinya untuk tidak melupakan alat permainan dan lagu dolanan jaman dahulu. Secara umum dapat disampaikan bahwa semua lagu dolanan anak banyak mengarah pada aspek falsafah hidup dan nilai moral yang dibangun dalam nilai-nilai masyarakat Jawa, yang pantas digunakan sebagai pembentuk karakter generasi muda penerus bangsa. Nilai lain yang terkandung dalam lagu dolanan anak, yaitu:

1) Nilai Estetika : Gendhing dolanan anak pada umumnya memiliki ciri sebagai berikut, yaitu : 1) bahasanya sederhana; 2) mengandung nilai estetis; 3) jumlah barisnya terbatas; 4) berisi tentang hal-hal yang selaras dengan keadaan anak-anak; 5) lirik dalam gendhing tersebut bermakna religius, kebersamaan, rendah hati dan nilai sosial lainnya. 2) Nilai Historis : Lagu dolanan anak mengajarkan moral dengan lirik

jenaka dan sederhana yang bertujuan mudah diingat dan mudah dihafal.

92 f. Membatik

Pelajaran membatik mengajarkan nilai kesabaran, nilai integritas, nilai kepedulian, dan nilai ketelitian bagi orang yang melakukannya. Karena untuk menghasilkan sebuah karya yang baik di perlukan kesabaran dan ketelitian. Pelestarian budaya batik melalui pendidikan merupakan salah satu cara dalam mengenalkan budaya Jawa serta anak didik dapat mengetahui nilai-nilai budaya yang diwariskan kepada mereka sebagai generasi bangsa. Nilai yang terkandung dalam membatik, yaitu:

1) Nilai Estetika : Memiliki bermacam-macam fungsi, tiga diantaranya yaitu: a) batik sebagai busana (batik dianggap sebagai pakaian yang cocok untuk menyambut tamu atau menghadi acara seremonial atau kegiatan formal lainnya); b) batik sebagai karya seni (batik dibuat dengan ketelitian tinggi dan sarat dengan nilai adiluhung); c) batik sebagai artefak budaya (corak dan ragam batik pada setiap daerah berbeda-beda, ini dikarenakan pola interaksi masyarakat dahulu memiliki ide kreatif yang bermacam-macam dan pada tiap pola tersebut mengandung makna atau simbol yang menunjukkan sejarah atau latar belakang daerah tersebut.

2) Nilai Historis : Seni membatik adalah Warisan Budaya Leluhur, dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian kerajaan Yogyakarta dan Solo.

93

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan raja-raja jaman dahulu. 3) Nilai Budaya : Seni Membatik sekarang ini menjadi bagian pakaian

tradisional Indonesia dan batik merupakan akulturasi budaya. g. Bahasa Inggris

Terkandung nilai Integritas, ketelitian, kesabaran dan kerja keras. h. Pramuka

Terdapat nilai kerjasama, kepedulian, keadilan, kepemimpinan, ketangguhan.

i. Pencak Silat

Terdapat nilai pengendalian diri, kedisiplinan, ketangguhan, kerendahan hati.

j. Drum Band

Terkandung nilai ketertiban atau kedisiplinan, kesabaran, kerjasama, tanggung jawab, kerja keras.

k. Ensamble Musik

Terkandung nilai ketertiban/kedisiplinan, kerjasama, tanggung jawab, percaya diri, kerja keras, ketelitian.

l. Komputer/ IT

Terdapat nilai tanggung jawab, nilai integritas, ketelitian. m.Vocal

94 n. Seni Lukis

Terkandung nilai kesabaran, tanggung jawab, kerja keras. o. TPA

Terdapat nilai kerendahan hati, kesabaran, kesantunan, ketelitian. B.Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan deskripsi hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah, dan pertanyaan penelitian, yang mencakup (1) bentuk nilai-nilai budaya jawa yang di terapkan di sekolah; (2) cara menanamkan nilai- nilai budaya jawa dalam kegiatan sekolah; (3) faktor pendukung dan penghambat dalam penanaman nilai- nilai budaya jawa di sekolah; dan (4) strategi dalam mengatasi kendala tersebut. Adapun uraiannya sebagai berikut:

1. Bentuk Nilai-Nilai Budaya Jawa Yang di Terapkan di Sekolah a. Pendidikan Berbasis Budaya

SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa merupakan salah satu sekolah berbasis budaya yang ada di kota Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu kepala sekolah dengan inisial “A” sebagai berikut:

“Sekolah berbasis budaya adalah sekolah yang tidak meninggalkan budaya Indonesia khususnya budaya Jawa seperti tari, nembang, karawitan”.

Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu guru pamong dengan inisial “E”, beliau menyatakan bahwa:

95

“Pendidikan berbasis budaya itu pendidikan yang mengintegrasikan dengan budaya. Jadi pendidikan yang sedikit dicampur dengan budaya melalui kebiasaan sehari-hari”.

Guru pamong dengan inisial “D” juga mengungkapkan hal yang sama, beliau mengungkapkan bahwa:

“Pendidikan berbasis budaya adalah semua ranah pendidikan dihubungkan dengan budaya, budi pekerti, dan unggah ungguh”. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pada usia sekolah dasar, anak cenderung meniru atau mencontoh hal-hal yang ada di lingkungan mereka, dimana pada anak sekolah dasar proses inilah yang pertama mereka lakukan dalam memenuhi rasa ingin tahu dan merespon stimulasi lingkungan. Anak akan meniru semua yang mereka lihat, dengar dan rasakan dari lingkungan.

Proses selanjutnya anak akan belajar mengenali semua perilaku yang ditirunya dan mulai biasa membedakan mana perilaku yang dapat diterima dan memberikan dampak positif serta mana perilaku yang tidak bisa diterima dan memberikan dampak negatif. Setelah mereka dapat membedakan mana yang baik, dan mana yang kurang baik kemudian anak mulai membiasakan perilaku-perilaku yang baik dan diberi penguatan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku. Dari sinilah kemudian membentuk pemahaman anak dan pondasi kepribadian anak secara utuh. Sebagai contoh guru among dengan inisial “E” menjelaskan

96

bahwa pada saat kegiatan ekstrakurikuler berlangsung terdapat seorang anak meniru tokoh kartun yang suka melempar barang ketika bertarung, dan hal tersebut dilakukan kepada berkumpul dengan temannya pada saat kegiatan ekstrakurikuler berlangsung. Kemudian, guru membantu menjelaskan kepada siswa bahwa melempar barang kepada teman tidak bisa diterima karena akan menyakiti teman dan hal tersebut tidak sopan.

Beranjak dari kejadian tersebut siswa belajar untuk membedakan perilaku mana baik dan tidak baik. Guru among kemudian menjelaskan kepada siswa bahwa perilaku yang baik yang ditiru oleh siswa akan diberi penguatan dan pujian atau hadiah. Begitu pun sebaliknya perilaku yang kurang baik yang ditiru oleh siswa akan mendapatkan sanksi tegas dari guru. Kebiasaan dan pemahaman terhadap perilakunya inilah yang kemudian terinternalisasi dalam karakternya dan menjadi komponen dalam pembentukan kepribadianya. Oleh karena itu, SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa senantiasa menerapkan pendidikan berbasis budaya di lingkungan sekolahnya. Hal ini menjadi penting karena SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa menjunjung tinggi budi pekerti luhur untuk membentuk karakter anak menjadi baik, sopan, dan tahu unggah-ungguh adat timur yang masih di anut di kota Yogyakarta ini. b. Perda DIY No.5 Tahun 2011 Tentang Pendidikan Berbasis Budaya

Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa pendidikan berbasis budaya yang diterapkan di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa berlandaskan Perda DIY No. 5 tahun 2011. Hal ini sesuai dengan

97

ungkapan wakil kepala sekolah dengan inisial “M” yang menyatakan bahwa:

“Pendidikan berbasis budayadi SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa memang didasarkan pada Perda DIY No. 5 tahun 2011”.

Ibu kepala sekolah dengan inisial “A” juga menambahkan bahwa: “Pendidikan berbasis budaya sudah di terapkan lama. Akan tetapi, hasilnya tidak langsung memuaskan, karena membutuhkan proses dan evaluasi dalam pelaksanaannya”.

Hal senada juga diungkapkan oleh guru pamong dengan inisial “E”, beliau menyatakan bahwa:

“Pendidikan berbasis budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa dilaksanakan berdasarkan pada Perda DIY No. 5 tahun 2011”.

Guru pamong dengan inisial “E” juga menambahkan bahwa: “Akan bagus apabila setiap sekolah melaksanakan pendidikan berbasis budaya berdasarkan Perda DIY No. 5 tahun 2011, karena anak-anak mendapat pendidikan budaya Jawa salah satunya dari sekolah. Hal ini menjadi penting mengingat hampir mayoritas siswa dirumah berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Belum lagi keseharian siswa di rumah yang dilingkupi dengan gadget, atau media elektronik yang lain yang sudah menggeser jenis permainan dan kesenian tradisional. Pendidikan berbasis budaya tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah mengenalkan budaya kepada generasi muda”.

Hal senada juga diungkapkan oleh guru pamong dengan inisial “D”, beliau menyatakan bahwa:

“Pendidikan berbasis budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa sesuai dengan Perda DIY No. 5 tahun 2011, hal ini dilakukan karena anak sekarang tidak kaya jaman saya dulu. Jadi sekarang cenderung sikap suka-suka aku saja, terus ada Mamanya juga yang bersikap suka-suka aku. Tapi kalau jaman dulu kan tidak begitu, masih punya sikap sopan santun sama rasa takut atau segan terhadap orangtua kalau sekarang kan tidak”.

98

Guru pamong dengan inisial “D” juga menambahkan bahwa: “Sebelum ada Perda sekolah sudah menerapkan pendidikan berbasis budaya. Sampai sekarang masih diterapkan, malah sekarang semakin maju semakin bersinergi. Jadi lebih banyak lagi pelajaran budaya yang diterapkan. Kalau dulu cuma menanamkan hal sehari-hari aja seperti sopan santun, budi pekerti, tapi kalau sekarang grid nya atau pencapaiannya lebih tinggi lagi. Misalnya sekarang bukan cuma unggah ungguh saja, belajar membatik juga, belajar nembang juga kalau dulu cuma belajar sehari-hari pake bahasa kromo, tapi sekarang kita belajar budaya tidak hanya perilaku saja, tapi semua.

Beliau juga menambahkan bahwa:

“Untuk guru juga dituntut hal yang sama, berkiblat dari semboyan Ki Hajar Dewantara. Kita harus Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, sama Tut Wuri Handayani. Anak-anak diberi kebebasan sendiri seperti semboyan Ing Madya Mangun Karsa, guru tetap memberikan perhatian dan tetap memberikan semangat”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa melaksanakan pendidikan berbasis budaya didasarkan pada Perda DIY No. 5 tahun 2011. Pendidikan berbasis budaya tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah mengenalkan budaya kepada generasi muda. Mengingat sudah mulai bergesernya budaya timur ke budaya barat dan mulai terkikisnya nilai-nilai budaya Jawa di kalangan generasi muda Indonesia khususnya Yogyakarta.

c. Nilai-Nilai Budaya Jawa Yang di Terapkan di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa

Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti diketahui bahwa pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, nilai-nilai budaya jawa yang

99

diterapkan di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa meliputi penggunaan bahasa Jawa dalam berkomunikasi, penerapan sikap sopan santun dan menghormati terhadap semua warga sekolah, berbaris sebelum masuk kelas dan salim kepada Kepala sekolah dan guru, serta wajib menyanyikan tembang dan lagu nasional. Nilai-nilai budaya Jawa tersebut dapat diintegrasikan ke dalam bentuk nilai-nilai moralitas yang mencakup sopan santun, religiusitas, sosialitas, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, daya juang, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap lingkungan alam maupun sosial.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu kepala sekolah dengan inisial “A” sebagai berikut:

“Salah satunya kalau saya bicara dengan siswa itu menggunakan bahasa Jawa, walaupun mereka menggunakan bahasa Indonesia saya tetap menjawabnya menggunakan bahasa Jawa tidak sepenuhnya krama terkadang juga ngoko alus karena semua sudah saya anggap anak sendiri. Itu sebenarnya sudah contoh dan sudah diterapkan tapi tidak terasa ini namanya pembiasaan. Kalau sama guru-guru karena lebih sepuh dan sama-sama orang tua bahasanya saya krama di lingkungan juga dibiasakan“.

Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu guru dengan inisial “FHS”, beliau menyatakan bahwa:

“Bentuk-bentuk nilai budaya yang diterapkan oleh sekolah sebetulnya lebih menekankan pada budi pekerti dan sopan santun.

Guru dengan inisial “D” juga mengungkapkan hal serupa, dalam wawancara yang dilakukan, beliau menyatakan bahwa:

“Penanaman budi pekerti tidak hanya melalui program ya, tetapi pada kegiatan sehari-hari di sekolah contohnya dari awal datang

100

saling memberikan salam tapi kita juga perlu peran dari orangtua sebetulnya kalau cuma di sekolah itu agak susah”.

Guru pamong dengan inisial “CM” menyatakan hal serupa dalam wawancara yang dilakukan bahwa:

“Menyampaikan secara langsung mengenai budi pekerti itu sulit, hanya bisa kalau dibiasakan saja misalnya membiasakan anak- anak salim kalau datang ke sekolah itu kan sebenarnya juga budaya Jawa”.

Hal serupa juga dijabarkan oleh guru dengan inisial “E”, beliau menyatakan bahwa:

“Untuk pendidikan budaya kan di pelajaran sehari-hari, seperti sikap salim kepada guru. Kemudian setiap pagi harus ada kegiatan menyanyi atau nembang lagu daerah sebelum memulai pelajaran. Itu merupakan kegiatan wajib setiap pagi, satu lagu nasional dan satu lagu daerah, dan itu diutamakan lagu daerah Jogja”.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di atas dapat