• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Perusahaan

Dalam dokumen TESIS OLEH REZKI ZURRIAH (Halaman 30-0)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3 Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan dapat dilihat dari kinerja perusahaan. Penilaian kinerja perusahaan dapat dilihat dari analisis laporan keuangan berupa rasio keuangan dan perubahan harga saham. Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti dengan tingginya kemakmuran pemegang saham, semakin tinggi harga saham maka nilai perusahaan akan juga tinggi. Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek, salah satunya dengan harga saham perusahaan karena mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan (Pamungkas, 2012).

Beberapa penelitian, nilai perusahaan juga dapat diartikan sebagai nilai pasar. Karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran para pemegang saham secara maksimum dengan harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi tingkat kemakmuran pemegang saham (Ludwina dan Wardhani, 2012).

Penilaian dalam perusahaan mengandung unsur – unsur proyeksi, asuransi, perkiraan dan judgement. Dengan beberapa konsep dasar penilaian yaitu : (1) nilai ditentukan untuk suatu periode tertentu; (2) nilai harus ditentukan pada harga wajar; (3) penilian tidak dipengaruhi sekelompok pembeli tertentu.

Dalam penelitian ini yang digunakan dalam menilai nilai perusahaan adalah Tobin’s Q. James Tobin membangun suatu teori yang disebut teori tobin’s Q yang merupakan perbandingan antara nilai pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal. Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan tentang nilai hasil pengembalian setiap

dana yang diinvestasikan. Jika nilai tobin’s Q diatas satu maka investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi sedangkan jika nilai tobin’s Q dibawah satu maka investasi dalam aktiva tidak menarik investor.

2.1.4 Manajeman Laba

2.1.4.1 Pengertian Manajemen Laba

Manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan eksternal guna mencapai tingkat laba tertentu dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya atau perusahaannya sendiri (Saffudin, 2011). Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa sebagai angka laba tanpa rekayasa.

Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa aspek, yaitu (1) intervensi menajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukkan dalam laporan keuangan seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. (2) tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai

kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar.

Gunny dalam Wardani (2013) mengelompokkan manajemen laba menjadi tiga, yaitu (1) akuntansi yang curang, (2) manajemen laba akrual dan (3) manajemen laba rill. Akuntansi yang curang merupakan pemilihan akuntansi yang melanggar prinsip – prinsip akuntansi yang berlaku umum. Manajemen laba akrual merupakan pilihan akuntansi yang diperbolehkan dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum yang mencoba untuk menutupi atau mengaburkan kinerja perusahaan yang sebenarnya. Manajemen laba rill merupakan tindakan yang terjadi ketika manajemen melakukan tindakan yang menyimpang dari praktek operasi normal perusahaan untuk meningkatkan laba yang dilaporkan.

2.1.4.2 Manajemen Laba Rill

Manajemen laba rill merupakan manipulasi yang dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari – hari selama periode akuntansi.

Motivasi dari manajemen laba rill adalah waktu, dimana manajemen laba rill dapat dilakukan kapan saja sepanjang periode akuntansi dengan tujuan spesifik yaitu memenuhi atau meningkatkan target laba, menghindari kerugian dan mencapai target ramalan analis.

Berdasarkan pengembangan penelitian empiris yang dilakukan Cohen et al (2007) dan Roychowdhurry (2006) tentang manajemen laba rill menunjukkan bahwa manajer sudah bergeser dari manajemen laba akrual menuju manajemen laba rill setelah periode Sarbanes Oxley Act (SOX). Selain itu manajemen laba rill lebih sulit dideteksi auditor dibandingkan dengan manajemen laba akrual

(Ratmono, 2010). Menurut Graham et al dalam Wardani (2013) pergeseran manajemen laba akrual menuju manajemen laba rill disebabkan beberapa faktor diantaranya : (1) manajemen laba akrual lebih sering dijadikan pusat pengamatan oleh auditor dan regulator daripada keputusan tentang penentuan harga dan produksi. Pilihan akuntansi yang dilakukan terkait dengan akrual pada perusahaan mempunyai resiko yang lebih besar terhadap pemeriksaan oleh pihak yang berwenang di pasar modal dan perusahaan akan mendapatkan sangsi apabila terbukti melakukan penyimpangan standar akuntasi yang berlaku umum dengan tujuan untuk manipulasi laba, (2) hanya menitikberatkan perhatian pada manipulasi akrual merupakan tindakan yang beresiko.

Menurut Cohen et al (2007) dan Ratmono (2010) ada tiga metode yang dilakukan dalam manajemen laba rill yaitu :

a. Manipulasi penjualan, merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Jika manajemen melakukan aktivitas ini secara lebih ekstensif daripada aktivitas normal berdasarkan situasi ekonominya, dengan tujuan meningkatkan target laba, maka tindakan seperti ini masuk dalam kategori manajemen laba.

b. Penurunan beban – beban diskresionari (discretionary expenditures), perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti beban penelitian dan pengembangan, iklan, penjualan, administrasi dan umum terutama dalam pengeluaran tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namum dengan resiko menurunkan arus kas periode mendatang.

c. Produksi yang berlebihan (overproduction), untuk meningkatkan laba manajemen perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan menyebabkan biaya tetap per unit produk lebih rendah. Strategi ini dapat menurunkan cost of goods sold dan meningkatkan laba operasi.

2.1.4.3 Faktor – faktor pendorong manajemen laba

Positive accounting theory menyajikan tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba yaitu bonus plan hypothesis, debt covenant hypothesis, dan political cost hypothesis (Watt dan Zimmerman,1990).

Masing – masing dari ketiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba. Bonus plan hypothesis yaitu dimana manajemen akan memilih metode akuntansi untuk memaksimalkan ultilitasnya dengan bonus yang tinggi.

Manajemen perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earning lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.

Debt covenant hypothesis, manajemen yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Sedangkan political cost hypothesis dimana jika semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal ini dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan misalnya mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak penghasilan perusahaan dan lain – lain.

Scott (2000) juga mengemukakan beberapa motivasi terjadi manajemen laba diantaranya bonus purposes, political motivations, taxation motivations, pergantian CEO, initital public offering (IPO) dan pentingnya memberikan informasi kepada investor.

Selain motivasi, menurut Scott (2000) pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara : taking a bath, income minimization, income maximization, dan income smoothing. Dimana taking a bath terjadi pada saat

reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang. Income minimization dilakukan saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan pengambilan laba pada periode sebelumnya.

Income maximization, saat laba menurun tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola income maximization ini dilakukan perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. Income smoothing dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.5 Mekanisme Good Corporate Governance

Mekanisme good corporate governance merupakan salah satu konsep yang dapat dipergunakan dalam meningkatkan efisiensi ekonomi, yang meliputi serangkaian hubungan antara manjemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham dan pemangku kepentingan perusahaan lainnya. Mekanisme corporate governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sarana – sarana dari suatu perusahaan dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja. Salah satu cara yang digunakan untuk memonitoring masalah kontrak dan membatasi perilaku oportunitik manajemen adalah corporate governance (Watts, 2003 dalam Wisnumurni, 2010).

Berkaitan dengan masalah keagenan, mekanisme corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Dimana kepemilikan institusional dapat memonitoring manajemen perusahaan karena dengan adanya kepemilikan institusional maka akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Selain itu dengan adanya komisaris independen yang memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong diterapkannya prinsip good corporate governance di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dam pemberian nasihat kepada direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Sehingga dengan adanya dewan komisaris yang secara luas dipercaya memiliki peranan penting dalam memonitor manajemen tingkat atas. Maka dengan kata lain corporate governance diarahkan untuk mengurangi asimetri informasi antara principal dan agen yang pada akhirnya dapat menurunkan tindakan manajemen laba (Wisnumurni, 2010).

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan asas – asas dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia tahun 2006, yang terdiri dari :

1. Transparansi (Transparency)

Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundang – undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar, untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas merupakan persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibilitas (Responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang – undangan serta melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dab mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4. Independensi (Independency)

Untuk melancarkan pelasanaan asas Corporate Governance, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing – masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asa kewajaran dan kesetaraan.

Dari beberapa mekanisme good corporate governance, peneliti hanya fokus kepada beberapa indikator diantaranya kepemilikan institusional, komisaris independen dan ukuran dewan komisaris.

Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah porsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik institusi dan blockholders pada akhir tahun (Wahyuni dan Pawestri dalam Pamungkas, 2012). Institusi adalah perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi maupun lembaga lain yang bentuknya seperti perusahaan. Sedangkan blockholders adalah kepemilikan individu atas nama perorangan di atas 5% yang tidak termasuk dalam kepemilikan manajerial.

Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajemen.

Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitoring manajemen perusahaan karena dengan adanya kepemilikan institusional maka akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring ini tentunya akan menjamin kemakmuran pemegang saham karena pengaruh kepemilikan institusional sebagai pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.

Dengan tingkat kepemilikan yang tinggi dalam suatu perusahaan akan menimbulkan pengawasan yang lebih besar oleh para investor institusional sehingga akan dapat mengkontrol manajemen untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kepentingan pemegang saham sehingga dapat mengurangi agency cost (Saffudin, 2011).

Komisaris Independen

Komisaris independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata – mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance 2006).

Keberadaan komisaris independen dalam perusahaan berfungsi sebagai penyeimbang dalam proses pengambilan keputusan guna memberikan perlindungan terhadap pemegang saham miniritas dan pihak – pihak lain yang terkait perusahaan (Mayangsari dalam Guna dan Herawaty, 2010).

Tugas komisaris berdasarkan UUPT No. 40 Tahun 2007 pasal 108 adalah :

1. Mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perusahaan.

2. Memberikat nasihat kepada direksi dalam anggaran dasar PT dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.

Penting dan strategisnya peranan komisaris menjadikannya bertanggung jawab secara rentang dengan direksi apabila sesuatu terjadi terhadap perusahaannya.

Dikaitkan dengan prinsip dan aturan corporate governance, maka komisaris memegang peranan yang sangat penting di dalam perusahaan. Dalam kerangka corporate governance komisaris ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Fungsi akuntabilitas komisaris ini ditujukan agar perlindungan terhadap para penanam modal serta stakeholder lainnya dikelola oleh perusahaan dengan baik.

Ukuran Dewan Komisaris

Pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan memiliki hasil yang beragam. Salah satu pendapat menyatakan bahwa makin banyaknya personel yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan (Sundgren dan Wells, 1998 dalam Nasution dan Setiawan, 2007). Hal tersebut dapat dijelaskan dengan adanya agency problems (masalah keagenan) yaitu dengan makin banyaknya anggota dewan komisaris maka badan ini akan mengalami kesulitan dalam menjalankan perannya,

diantaranya kesulitan dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari masing – masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan tindakan manajemen serta kesulitan dalam mengambil keputusan yang berguna bagi perusahaan (Yermack, 1996 dalam Nasution dan Setiawan, 2007). Dalam UUPT No.40 Tahun 2007 disebutkan bahwa dalam perusahaan harus memiliki minimal 2 orang anggota dewan komisaris.

Terkait manajemen laba, ukuran dewan komisaris dapat memberikan efek yang berkebalikan dengan efek terhadap kinerja. Sesuai dengan pernyataan Scott (2000) bahwa melakukan manajemen laba dapat dilaksanakan dengan berbagai cara salah satunya menurunkan laba (income decreasing earnings management).

Untuk itu hubungan yang terjadi antara ukuran dewan komisaris dengan manajemen laba seharusnya positif, makin banyak anggota dewan komisaris maka makin banyak manajemen laba yang terjadi.

2.1.6 Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)

Arus kas bebas bagi perusahaan adalah gambaran dari arus kas yang tersedia untuk perusahaan dalam suatu periode akuntansi setelah dikurangi dengan biaya operasional dan pengeluaran lainnya. Arus kas bebas dapat menimbulkan konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham yang disebut sebagai konflik agency. Pihak manajemen akan memilih dana tersebut dapat diinvestasikan lagi ke proyek yang dapat menghasilkan keuntungan karena dapat meningkatkan insentif yang diterimanya (Jensen dalam Putri, 2013).

Arus kas ini merefleksikan tingkat pengembalian bagi penanam modal, baik itu dalam bentuk hutang atau ekuitas. Arus kas bebas dapat digunakan untuk

membayar hutang, pembelian kembali saham, pembayaran deviden atau disimpan untuk kesempatan pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang. Jika arus kas bebas dari perusahaan bernilai positif (FCF ≥ 0) maka keuangan perusahaan dalam konsidi yang baik sedangkan jika arus kas bebas dari perusahaan bernilai negatif (FCF ≤ 0) dan perusahaan harus mengeluarkan saham untuk penambahan modal, maka akan mengakibatkan berkurangnya keuntungan per saham dari perusahaan.

Arus kas bebas merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk mengembalikan keuntungan bagi para pemegang saham melalui pengurangan hutang, peningkatan deviden atau pembelian saham kembali dengan itu nilai perusahaan akan juga ikut meningkat. Arus kas bebas merupakan determinan dalam penentu nilai perusahaan, sehingga manajemen perusahaan lebih terfokus pada usaha meningkatkan arus kas bebas.

2.1.7 Ukuran Perusahaan

Salah satu tolak ukur yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan adalah ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap nilai perusahaan. Besar (ukuran) perusahaan dapat dinyatakan dalam kapitalitasi pasar. Semakin besar kapitalisasi pasar, maka semakain dikenal dalam masyarakat (Sudarmadji dan Sularto, 2007 dalam Saffudin, 2011). Selain dari kapitalisasi pasar, ukuran perusahaan dapat dilihat dari total asset yang dimiliki perusahaan, yang dapat dipergunakan untuk kegiatan operasi perusahaan.

Jika perusahaan memiliki total asset yang besar maka pihak perusahaan dalam hal ini manajemen akan leluasa dalam mempergunakan asset yang ada. Ukuran

perusahaan juga akan mempengaruhi struktur pendanaan perusahaan. Hai ini menyebabkan kecenderungan perusahaan memerlukan dana yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang lebih kecil. Kebutuhan dana yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan menginginkan pertumbuhan laba dan juga pertumbuhan tingkat pengendalian saham (Dewi, 2010 dalam Saffudin, 2011).

Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan semakin banyak dan memperkecil kemungkinan terjadinya asimetri informasi yang bisa menyebabkan terjadinya praktik manajemen laba pada perusahaan. Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara yaitu : (1) log total aktiva (Marihot dan Setiawan, 2007), (2) log total penjualan (Nuryaman, 2008), (3) kapitalisasi pasar (Halim dkk, 2005 dan Saffudin, 2011).

Penentuan ukuran perusahaan dalam penelitian ini berdasarkan kepada log total aktiva perusahaan.

2.1.8 Leverage

Salah satu faktor penting dalam sumber pendanaan adalah leverage (hutang). Leverage adalah sumber dana yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai asetnya diluar sumber dana modal. Menurut Sam’ani (2008) dalam Saffudin (2011) Leverage dibagi menjadi dua yaitu :

1. Leverage operasi adalah suatu indikator perubahan laba bersih yang diakibatkan oleh besarnya volume penjualan.

2. Leverage keuangan adalah kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan equity yang dimilikinya.

Hutang merupakan perjanjian antara perusahaan sebagai debitur dengan kreditur. Dalam perjanjian hutang ini, ada kepentingan perusahaan untuk dinilai positif oleh kreditur dalam hal kemampuan membayar hutangnya. Brigham dan Houston (2001) menjelaskan hutang bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap nilai perusahaan. Pada titik tertentu peningkatan hutang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari pengguna hutang lebih kecil daripada biaya yang ditimbulkannya. Para pemilik perusahaan biasanya menciptakan hutang pada tingkat tertentu untuk menaikkan nilai perusahaan.

Bagi perusahaan, hutang mempunyai dua keuntungan. Pertama, pemegang hutang (debtholder) mendapat pengambilan yang tetap. Kedua, bunga yang dibayarkan dapat mengurangi beban pajak sehingga menurunkan efektif dari hutang. Kelemahan hutang yaitu bila semakin tinggi rasio hutang (debt ratio) maka semakin tinggi pula resiko perusahaan sehingga suku bunga tinggi. Apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan laba operasi tidak mencukupi untuk menutupi beban bunga maka pemegang saham harus menutupi kekurangan tersebut, dan jika perusahaan tidak sanggup maka perusahaan akan bangkrut.

2.1.9 Jakarta Islamic Index

Jakarta Islamic Index (JII) adalah salah satu indeks saham yang ada di Indonesia yang menghitung indeks harga rata – rata saham untuk jenis saham – saham yang memenuhi kriteria syariah. JII terdiri dari 30 saham syariah yang paling likuid yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.

Tujuan pembentukan JII adalah untuk meningkatkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi pada saham berbasis syariah dan memberikan manfaat bagi pemodal dalam menjalankan syariah Islam untuk melakukan investasi di bursa efek. JII juga diharapkan dapat mendukung proses transparansi dan akuntabilitas saham berbasis syariah di Indonesia.

Dalam melakukan investasi di pasar modal harus memperhatikan kesesuaian suatu produk investasi atau surat berharga dengan prinsip – prinsip syariah ajaran Islam. Dewan Syariah Nasional (DSN) suatu lembaga di bawah MUI melalui Fatwa DSN No: 40/DSN-MUI/X/2003 tanggal 4 Oktober 2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip syariah di bidang pasar modal (Nurhayati dan Wasilah, 2013). Berdasarkan arahan Dewan Syariah Nasional, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar saham – saham tersebut dapat masuk ke JII :

1. Emiten tidak menjalankan usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.

2. Bukan lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem riba, termasuk perbankan dan asuransi konvensional.

3. Usaha yang dilakukan bukan memproduksi, mendistribusikan dan memperdagangkan makanan atau minuman yang haram.

4. Tidak menjalankan usaha memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.

Pengkajian ulang yang dilakukan 6 (enam) bulan sekali dengan penentuan komponen indeks pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan

perubahan pada jenis usaha utama emiten akan dimonitor secara terus menerus berdasarkan data publik yang tersedia. Perusahaan yang mengubah lini bisnisnya menjadi tidak konsisten dengan prinsip syariah akan dikeluarkan dari indeks.

Sedangkan saham emiten yang dikeluarkan akan diganti oleh saham emiten lain.

Semua prosedur tersebut bertujuan untuk mengeliminasi saham spekulatif yang cukup liquid. Sebagian saham – saham spekulatif memiliki tingkat likuiditas rata – rata nilai perdagangan regular yang tinggi dan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Analisa (2011) berjudul pengaruh ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas dan kebijakan deviden terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur di BEI. Variabel dalam penelitian ini ukuran perusahaan (X1), leverage (X2), profitabilitas (X3) dan kebijakan deviden (X4). Indikator yang digunakan oleh masing – masing variabel adalah Ukuran perusahaan menggunakan log of total asset, leverage menggunakan rasio leverage sedangkan profitabilitas menggunakan ROE, kebijakan deviden menggunakan DPR dan nilai perusahaan

Analisa (2011) berjudul pengaruh ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas dan kebijakan deviden terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur di BEI. Variabel dalam penelitian ini ukuran perusahaan (X1), leverage (X2), profitabilitas (X3) dan kebijakan deviden (X4). Indikator yang digunakan oleh masing – masing variabel adalah Ukuran perusahaan menggunakan log of total asset, leverage menggunakan rasio leverage sedangkan profitabilitas menggunakan ROE, kebijakan deviden menggunakan DPR dan nilai perusahaan

Dalam dokumen TESIS OLEH REZKI ZURRIAH (Halaman 30-0)