• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. Latar Belakang

4. Payback Period.

4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investas

4.4.5.1 NPV yang Diharapkan

Weston & Copeland (1995), NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. Penentuan nilai NPV yang diharapkan sebagai berikut:

= = n t i i NPV p NPV E 1 ) ( ) ( dimana: Pi = Probabilitas ke-i NPVi = Net Present Value ke-i

i = 1, 2, 3,.... (1= Kondisi Tertinggi, 2= Kondisi Normal, 3= Kondisi Terendah)

Penentuan probabllitas diperoleh berdasarkan kemungkinan dari suatu kejadian pada kegiatan budidaya dan penyulingan yang dapat diukur berdasarkan pengalaman yang telah dialami petani dan penyuling dalam mengusahakan akarwangi. Probabilitiy dari masing-masing kegiatan budidaya dan penyulingan pada setiap kondisi (tertinggi, normal, dan terendah) akan diperoleh. Total peluang dari beberapa kejadian berjumlah satu dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

=

n

t 1 pi j = 1

Semakin tinggi NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi semakin besar. Pengukuran peluang (p) pada setiap kondisi skenario diperoleh dari frekuensi kejadian setiap kondisi yang dibagi dengan jumlah tahun selama umur pengusahaan akarwangi, baik untuk kegiatan budidaya maupun kegiatan penyulingan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 13.

Tabel 13. Peluang Setiap Kondisi Pada Kegiatan Budidaya dan Penyulingan Akarwangi

Kegiatan Kondisi Peluang (Probablity)

Budidaya Tertinggi 0,20 Normal 0,62 Terendah 0,18 Penyulingan Tertinggi 0,11 Normal 0,72 Terendah 0,17 4.4.5.2. Standard Deviation

Makna dari ukuran standard deviation dari NPV, artinya semakin kecil nilai standard deviation dari NPV maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Secara matematis standard deviation dari NPV dapat dituliskan sebagai berikut:

= − = ∂ n t i E NPV NPV p NPV i 1 )) ( ( 4.4.5.3. Coefficient Variation (CV)

Coefficient variation dari NPV diukur dari rasio standard deviation dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Secara matematis, CVNPV dapat dituliskan sebagai berikut:

CVNPV = δNPV / E (NPV) 4.5. Asumsi Dasar

Analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut menggunakan beberapa asumsi, yaitu:

1. Analisis kelayakan dibagi menjadi dua yaitu analisis kelayakan budidaya dan penyulingan. Hal ini dikarenakan komponen cashflow yang berbeda dalam proses produksi.

2. Dari masing masing analisis kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I dan kondisi II. Kondisi I merupakan analisis kelayakan tanpa risiko (kondisi normal) dan kondisi II merupakan analisis kelayakan dengan adanya risiko. Kondisi II memiliki tiga skenario. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi harga output. Skenario III yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi dan harga output.

3. Umur proyek dari analisis kelayakan budidaya yaitu selama tiga tahun. Hal ini didasarkan pada umur bibit (bonggol) optimal yang dapat ditanam selama 3

kali masa tanam yang diperoleh dari pecahan tunas sebelumnya. Umur proyek dari analisis kelayakan penyulingan yaitu salama delapan tahun. Hal ini didasarkan pada umur teknis aset terpenting dalam kegiatan penyulingan yaitu ketel stainless.

4. Satu kali musim tanam akarwangi yaitu selama 12 bulan. Jadi, tahun yang digunakan adalah tahun pertama karena pada tahun pertama akarwangi sudah dapat dipanen.

5. Dalam kondisi normal, satu hari dilakukan dua kali penyulingan. Dalam satu bulan dilakukan 28 kali penyulingan.

6. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga deposito di Bank Indonesia (BI) yaitu 8 persen pada bulan Januari tahun 2008. Alasan pemilihan tingkat suku bunga deposito dikarenakan petani dan penyuling menggunakan modal pribadi bukan pinjaman. Oleh karena itu petani dan penyuling dihadapkan pada pilihan akan menginvestasikan modal pada usaha akarwangi atau mendepositokan di bank.

7. Nilai sisa pada kegiatan budidaya diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. Nilai sisa motor ditetapkan 60 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru empat tahun sedangkan umur teknis motor selama 10 tahun.

8. Nilai sisa pada kegiatan penyulingan diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa dari pabrik, gudang, dan motor ditetapkan 20 persen. Hal ini dikarenakan umur teknisnya selama 10 tahun sedangkan pemakaiannya baru 8 tahun. Perhitungan nilai sisa dari ketel stainless dan blander ditetapkan 30 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi ini akan dapat terjual dengan nilai 30 persen dari nilai beli investasi. Nilai sisa mobil ditetapkan 50 persen dari harga belinya karena umur teknis mobil 15 tahun sedangkan baru digunakan 8 tahun. Sedangkan komponen investasi lainnya memiliki nilai sisa sebesar 10 persen. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya.

9. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya dan penyulingan adalah biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke-1 dan terdapat biaya reinvestasi yang dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang sudah habis umur ekonomisnya. Biaya operasional adalah semua biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan usaha. Biaya operasional dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel.

10.Dalam kegiatan budidaya dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 69,31 persen. Hal ini dikarenakan petani belum memilki pengalaman dalam teknik budidaya akarwang. Namun, pada tahun berikutnya pengetahuan akan budidaya akarwangi meningkat, seiring bertambahnya pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman akarwangi tersebut sehingga kapasitas produksi

tahun kedua hingga tahun keempat telah optimal.

11.Dalam kegiatan penyulingan dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun, pada tahun kedua hingga ketujuh kapasitas produksi telah optimal. Tahun kedelapan kapasitas produksi 91,5 persen karena usia mesin yang telah usang dan berpengaruh terhadap jumlah produksi.

12.Harga output dan jumlah produksi yang berlaku adalah berdasarkan pengalaman petani dan penyuling selama melakukan usaha akarwangi.

5.1. Karakteristik Wilayah

Dokumen terkait