BAB II BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
C. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
5. Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah :61
a. Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan
atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau
karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah.
61
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (4)
Dalam hal ini yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
Sedangkan yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari
hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria,62
6. Perhitungan BPHTB
termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Kemudian yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama- lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
Formula menghitung BPHTB adalah: BPHTB = Tarif x NPOP – NPOPTKP
= Tarif x NPOPKP
62
NPOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, yang menjadi dasar pengenaan
BPHTB.63
NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang merupakan jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan NPOPTKP diatur dalam ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang berbunyi:
Pada dasarnya ada 3 jenis nilai (harga) yang menjadi NPOP, yaitu nilai pasar, harga transaksi, dan harga transaksi risalah lelang. Bila nilai pasar atau harga transaksi yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
(4)Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling
rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5)Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).64
Tarif adalah aturan pungutan, dalam pungutan BPHTB tarif yang digunakan adalah tarif proporsional. Ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menentukan tarif BPHTB maksimal sebesar 5 % (lima persen), menurut ketentuan Pasal 88 ayat
63
Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan Dan Bisnis Dengan Pelaksanaan Hukum, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010), hlm.119.
64
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5)
(2) terhadap tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah 5% (lima persen) secara flat artinya berapapun nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan tetap dikenakan maksimal 5% (lima persen).
Tarif pajak dibagi dalam enam jenis yaitu : a. Tarif Tetap.65
Tarif yang berupa jumlah atau besarnya tetap untuk berapapun besarnya DPP. Contoh: BM = Rp.3.000,- untuk pembayaran dengan cek atau giro bilyet dalam jumlah berapapun.
b. Tarif Proporsional (Sebanding).66
Tarif berupa % tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun besarnya DPP. Contoh: PPn = 10% x DPP.
c. Tarif Progresif (Meningkat).67
Tarif berupa % tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya DPP. Contoh: PPh OP = 5% x sampai dengan Rp.50 juta, 15% x Rp.50 juta sampai dengan Rp.250 juta, 25% x di atas Rp.250 juta sampai dengan Rp.500 juta, 30% di atas Rp.500 juta.
d. Tarif Degresif (Menurun).
Tarif berupa % tertentu yang semakin menurun dengan menurunnya DPP, kebalikan tarif PPh OP.
65
Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Op.Cit., hlm.7 66
Ibid. 67
e. Tarif Advalorum.
Tarif dengan % tertentu yang dikenakan pada harga atau nilai suatu barang. Contoh: Barang impor 1.000 unit @ Rp.100, Bea Masuk = 10% x 1.000 x Rp.100.
f. Tarif Spesifik.
Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu. Contoh: impor 1.000 unit, Tarif Rp. 100 per unit, Bea Masuk = 1.000 x Rp. 100
Secara umum, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) (Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). terdapat 3 jenis NPOP yang dijadikan Dasar Pengenaan Pajak :68
a. Nilai Pasar, pada transaksi perolehan berupa:
1) Tukar-menukar,
2) Hibah,
3) Hibah Wasiat, 4) Waris,
5) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
6) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
7) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap,
68
Warta Ekonomi: Majalah Ekonomi & Bisnis, Volume I, Issues 9-17, (Jakarta: Obor Sarana Utama, 1998), hlm.69-71
8) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, 9) Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak,
10)Penggabungan usaha,
11)Peleburan usaha, 12)Pemekaran usaha, 13)Hadiah.
b. Harga Transaksi, pada transaksi perolehan berupa Jual Beli
c. Harga Transaksi Risalah Lelang, pada transaksi perolehan berupa penunjukan
pembeli dalam lelang.
Apabila Nilai Pasar (NP) atau Harga Transaksi (HT) yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP PBB, maka Dasar Pengenaan Pajak yang dipakai adalah NJOP PBB (Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan regional dengan ketentuan :69
a. Paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak (Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
b. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
69
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87.
satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 87 ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut Peraturan Daerah.70
Tata cara pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistem Self Assesment dan
Official Assesment, sebagaimana ternyata dalam Pasal 96 ayat (2) yang mengatur Sebagai ilustrasi/gambaran, Pemerintah Daerah Kota Medan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (7) dan ayat (8) Perda Nomor 1 Tahun 2011 ditetapkan besarnya NPOPTKP adalah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak, dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (6).
bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Lebih lanjut sistem Official Assesment pemungutan pajak ini tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (3) jo. ayat (4) yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Sedangkan
sistem Self Assesment tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (5) yang mengatur
bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar Tambahan (SKPDKBT).71
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Kemudian sebagai peraturan pelaksana diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, di mana dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pemungutan pajak terutang berdasarkan Surat
71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 96.
Ketetapan Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak
berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan:72
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, pemungutan pajak terutang dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak dengan menggunakan:73
a. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah;
b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar; dan/atau
c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.
Sistem pemungutan BPHTB menganut Self Assesment di mana Wajib Pajak
diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak yang menentukan dalam Pasal 4 bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
72
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Pasal 4 ayat (2)
73
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Pasal 4 ayat (3)
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebesar 5% dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
BPHTB = Tarif x NPOP - NPOPTKP
Tarif = maksimal 5%
NPOP = Nilai tertinggi antara Harga Transaksi atau Nilai Pasar dengan NJOP
PBB Contoh:
Rumah dengan luas tanah 600 m2 dan bangunan 400 m2 dijual P kepada Q, harga
transaksi Rp.500.000.000,- NJOP Tanah Rp.335.000,-/m2, Bangunan Rp.365.000,-
/m2
NJOP T 600 x Rp.335.000,- = Rp.201.000.000,-
, dan NPOPTKP di Kota R tahun 2009 Rp.30.000.000,-. Akta transaksi jual beli 18 Januari 2009, maka perhitungan BPHTB adalah:
NJOP B 400 x Rp.365.000,- = NJOP TB = Rp.347.000.000,- Rp.146.000.000,- Harga Transaksi/jual = Rp.500.000.000,- NPOP = Rp.500.000.000,- NPOPTKP = NPOPKP = Rp.470.000.000,- Rp. 30.000.000,- BPHTB terutang 5% x Rp.470.000.000,- = Rp. 23.500.000,-
C. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Dasar Hukum Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan (PPh PHTB) adalah:
a. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
b. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Perolehan Tanah/Bangunan (PPh PHTB);
d. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pertama PP
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua PP
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB;
g. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008. 2. Prinsip Pemajakan Menurut UU PPh
Undang-Undang PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.74
Pada dasarnya PPh itu menerapkan prinsip global taxation, dikenakan atas seluruh penghasilan, dari manapun asalnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (world-wide income concept).75
Pengenaan PPh yang bersifat final, berdasarkan teori disebut schedular
taxation. Dasar pertimbangannya kesederhanaan pemungutan, keadilan/pemerataan pengenaan, dan memperhatikan perkembangan ekonomi. Pasal 17 ayat (7) UU PPh memberikan wewenang kepada Peraturan Pemerintah/ Keputusan Menteri Keuangan untuk menerapkan tarif tersendiri atas PPh Pasal 4 ayat (2). System schedular dengan tarif tersendiri diterapkan terhadap penghasilan tertentu yang dikenakan PPh berdasarkan ketentuan UU PPh.
Namun UU PPh tidak sepenuhnya menganut unitary tax system (suatu skedul tarif diterapkan atas seluruh tanggungan penghasilan) dan comprehensive income taxation. Atas kategori penghasilan tertentu
UU PPh masih membolehkan penerapan schedular tax system yaitu pengenaan PPh
atas jenis dan sumber penghasilan tertentu dengan perlakuan pengenaan baik sifat, tarif, besar, dan tata cara secara tersendiri dan berbeda.
74
Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.321.
75
Mohammad Zain, Manajemen Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm.23.
Perbedaan antara Global Taxation dan Schedular Taxation adalah:76
a. Pada Global Taxation penghasilan digabungkan tanpa membedakan asal, sumber,
dan jenis (equal treatment for the equals), sedangkan pada Schedular Taxation
perlakuan pajak berbeda-beda berdasarkan asal, sumber, dan jenis penghasilan. b. Pada Global Taxation diberlakukan satu struktur tarif pajak atas total penghasilan
(Pasal 17 UU PPh), sedangkan pada Schedular Taxation tarif pajak berbeda-beda tergantung sumber, jenis penghasilan.
c. Pada Global Taxation penghasilan kena pajak adalah net income (global gross income dikurangkan dulu dengan tax reliefs), sedangkan pada Schedular Taxation
penghasilan kena pajak adalah gross income atau deemed profit atau deemed taxable income (tanpa tax reliefs).
d. Pada Global Taxation pajak penghasilan dipotong tax credit (tidak final), sedangkan pada Schedular Taxation pajak penghasilan dipotong bukan tax credit
(final).
Karakteristik PPh Final adalah penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain yang non final dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan PPh, jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain tidak dapat dikreditkan, biaya-biaya yang dipergunakan untuk memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak dapat dikurangkan.
76
Haula Rosdiana, Perpajakan, Teori dan Kebijakan, (Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI, 2004), hlm.112.
3. Penggolongan PPh Final
Schedular taxation dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) d, Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 22 UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
Berdasarkan jenis penghasilan objek pajak tertentu yang dikenakan PPh pengelompokan PPh final dengan sistem pemajakan skedular, PPh Final dapat digolongkan ke dalam 6 kelompok:
a. PPh Pasal 15 terdapat 5 kategori;
b. PPh Pasal 17 ayat (2) terdapat 1 kategori; c. PPh Pasal 19 terdapat 1 kategori;
d. PPh Pasal 21 terdapat 4 kategori; e. PPh Pasal 22 terdapat 1 kategori;
f. PPh Pasal 4 ayat (2) terdapat 11 kategori. Kategori PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
a. PPh Bunga Deposito dan Tabungan lainnya;
b. PPh Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara;
c. PPh Bunga Simpanan Anggota (OP) Koperasi;
d. PPh Hadiah Undian;
e. PPh Transaksi Saham, Sekuritas Lainnya, dan Derivatif yang Diperdagangkan di
Bursa;
f. PPh Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan
g. PPh Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan; h. PPh Usaha Jasa Konstruksi;
i. PPh Usaha Real Estate;
j. PPh Persewaan Tanah/Bangunan;
k. PPh Usaha Mikro Kecil dan Menengah;
l. PPh atas Penghasilan Tertentu Lainnya. 4. Subjek Pajak
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.77
a. Orang pribadi;
Subjek PPh meliputi :
Adalah orang pribadi yang bertempat tinggal/berada di Indonesia atau luar negeri.
b. Warisan Belum Terbagi (WBT);
Sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan yang berhak (ahli waris).
c. Badan;
Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
77
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap; dan
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Disebut juga Permanent Establishment mempunyai pengertian adanya suatu
tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas berupa tanah, bangunan, mesin, dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan dipakai untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan oleh orang pribadi atau badan luar negeri. Pengertian BUT mencakup juga orang pribadi atau badan selaku
independent agent yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan luar negeri. Orang pribadi atau badan luar negeri tidak dapat dianggap mempunyai BUT bila menggunakan agen, broker, atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas (independent agent).
Subjek Pajak/Wajib Pajak Dalam Negeri:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.78
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
78
politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.79
1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan
Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
2) pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD
3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Subjek pajak Dalam Negeri dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari Luar Negeri (worldwide income/ berdasarkan asas domisili).
Subjek Pajak/ Wajib Pajak Luar Negeri:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
79
memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek pajak Luar Negeri dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia baik melalui BUT maupun tanpa BUT di Indonesia.80
Tidak termasuk Subjek Pajak/Wajib Pajak Penghasilan, adalah: a. Kantor perwakilan negara asing;
b. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
1) bukan warga Negara Indonesia; dan
2) di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta
3) negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat :
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; 2) tidak menjalankan usaha; atau
3) kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
80
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
1) bukan warga negara Indonesia; dan
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Dalam pengenaan PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan menegaskan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi dan badan.
5. Objek Pajak
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Undang-Undang PPh), yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah