• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Hamong Santono *)

dan keterkaitan ini dapat dilihat dalam upaya pemerintah untuk mencapai tar- get MDGs 2015. Dalam kerangka penca- paian MDGs diperlukan peningkatan kapasitas produksi 155.000 liter/detik, dengan cakupan layanan 80 persen penduduk perkotaan dan 40 persen penduduk perdesaan, dan untuk men- capainya dibutuhkan investasi sebesar Rp 25 trilyun sedangkan kemampuan pemerintah hanya Rp. 600 milyar/- tahun. Diperkirakan ada gap pembi- ayaan investasi sebesar Rp. 19 trilyun. Partisipasi sektor swasta diharapkan bisa menutup gappembiayaan ini. Ke- bijakan untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur air bersih secara jelas dapat dilihat dari UU No.7/2004 ten- tang Sumberdaya Air dan PP No.16/- 2005 tentang SPAM.

Permasalahan Orang Miskin ter- hadap Infrastruktur Air Bersih dan Permasalahan PSP terhadap Agenda Pengurangan Kemiskinan Dalam konteks kemiskinan, per- masalahan mendasar yang dihadapi oleh orang miskin dalam infrastruktur adalah (1) akses kepada pelayanan yang sangat terbatas bahkan tidak tersedia sama sekali, dan (2) kemampuan orang miskin untuk membayar pelayanan yang diberikan sangat rendah dan bahkan tidak ada. Sebagai contoh, ke- lompok masyarakat miskin membayar jauh lebih mahal untuk mendapatkan air bersih dibandingkan non-miskin, selain itu ketiadaan akses juga menye- babkan waktu terbuang karena harus mendatangi sumber-sumber air. De- ngan permasalahan tersebut seharus- nya kebijakan infrastruktur harus mampu menjamin akses orang miskin terhadap fasilitas dan pelayanan dan dapat berkontribusi terhadap pening- katan finansial kelompok masyarakat miskin.

Jika dikaitkan dengan dengan kebi- jakan infrastruktur terutama infrastruk-

tur dasar seperti air bersih saat ini, ter- lihat bahwa pemerintah dengan keter- batasan pendanaan infrastruktur yang dimiliki berupaya untuk mencari sum- ber pembiayaan lainnya terutama dari sektor swasta (privatisasi/Private Sec- tor Participation). Perdebatan apakah infrastruktur air bersih dikelola oleh sektor publik atau sektor swasta masih terus berlangsung sampai saat ini. Dukungan terhadap sektor publik da- lam penyediaan layanan air didasarkan atas cara pandang bahwa air meru- pakan hak asasi manusia, public goods, dan pengelolaannya adalah monopoli alamiah, sedangkan dukungan terhadap private sector dalam pengelolaan layanan air didasarkan atas cara pan- dang bahwa air merupakan barang ekonomi dan negara gagal dalam menyediakan layanan yang baik . Dalam perspektif hak asasi manusia layanan air merupakan layanan mendasar (essential services), dan merupakan pusat dari kontrak sosial antara negara dan masyarakat. Kontrak sosial mem- promosikan keadilan dan keseragaman melalui mekanisme redistribusi untuk menjamin akses minimal terhadap barang atau jasa yang sangat dibu- tuhkan bagi penghidupan .

Pada sisi lain, utilitas publik di sek- tor air dipandang gagal menyediakan layanan yang cukup, baik dalam layan- an maupun cakupan. Kegagalan ini di- sebabkan lemahnya kapasitas peme- rintah dan utilitas publik sering dijadikan subjek dari intervensi politik dan korupsi. Dengan alasan tersebut sektor swasta dipandang lebih efisien daripada sektor publik dan efisiensi tersebut akan membawa manfaat bagi semua pengguna termasuk masyarakat miskin.

Dalam konteks inilah peran dan manfaat dari PSP banyak diperde- batkan. Dalam studinya Eric Guiterezz dkk , menyatakan bahwa:

"PSP does not comprehensively tackle these admittedly difficult under-

lying causes of water utilities failure to serve the poor. For example, privatis- ing the operation of an urban water utility will not necessarily resolve effi- ciency problems if the underlying cause is corruption".

Lebih lanjut, studi tersebut me- nyatakan menentang donor untuk menekan negara berkembang untuk menerima PSP dalam pelayanan air minum sebagai persyaratan bantuan, perdagangan maupun penghapusan utang. Selain itu mendorong PSP seba- gai kebijakan reformasi utama memba- tasi pemerintah dan masyarakat sipil untuk memperbaiki dan berinovasi menggunakan kemungkinan pengatur- an terbaik. Meskipun demikian studi ini menyatakan tidak menolak PSP dalam pelayanan air, dan oleh karenanya kebi- jakan PSP harus diimbangi dengan pen- ingkatan kapasitas, cost recovery, par- tisipasi masyarakat, dan reformasi insti- tusi. Menurut Beecher dan Gleick, keuntungan dari privatisasi hanya mungkin dapat dicapai jika disertai per- aturan yang terpadu, proses penawaran yang kompetitif, penilaian kinerja, mekanisme penyelesaian konflik dan juru runding kontrak yang ulung.

Pendapat lain disampaikan oleh Kessler, yang melakukan kajian ter- hadap rasionalitas pivatisasi air. Pada intinya Kessler menyatakan bahwa sek- tor swasta akan menghindari daerah yang tidak menguntungkan (cherry picking), seperti daerah kumuh atau perdesaan, dengan topografi yang sulit, konsumsi air per kapita yang rendah dan tentu saja pendapatan yang rendah. Pendapat ini semakin diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa kelom- pok miskin membayar 4 sampai 100 kali lipat bahkan dalam penelitian Asian Development Bank (ADB) di Delhi masyarakat miskin harus membayar sampai 489 kali mereka yang memiliki koneksi pipa. ADB mengakui bahwa sektor swasta memang tidak mau atau tidak bisa memecahkan masalah pe-

WAWA S A N

layanan pada daerah miskin, jika pun bisa prestasinya tidak lebih baik dari sektor publik. Partisipasi sektor swasta dalam penyediaan air bersih punya karakteristik monopolistik, sehingga secara teoritik maupun praksis tidak mungkin sektor swasta secara sukarela menyediakan air bersih pada masya- rakat miskin yang kemampuan memba- yarnya rendah .

Alternatif Kebijakan Infrastruk- tur Air Bersih

Berdasarkan uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pembangunan in- frastruktur termasuk air bersih akan berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan, namun kebijakan infra- struktur yang dilakukan dengan meng- undang partisipasi sektor swasta di- khawatirkan akan menjauhkan akses masyarakat miskin terhadap ketersedia- an dan pelayanan air bersih

Oleh karenanya dibutuhkan pen- dekatan yang lebih pro-poor dalam kebijakan infrastruktur air bersih di Indonesia. Dalam konteks ini ada be- berapa hal yang patut dikedepankan, yaitu (1) air bersih merupakan barang yang tidak ada penggantinya, sehingga ketiadaan air bersih akibat ketiadaan akses misalnya tentu saja akan menyengsarakan, (2) ketersediaan in- frastruktur tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya untuk meningkatkan per- tumbuhan ekonomi, tetapi lebih jauh ketersediaan infrastruktur terutama yang bersifat essensial seperti air bersih merupakan hak dasar yang harus di- penuhi oleh negara, sehingga harus menjadi kontrak sosial antara negara dan masyarakat, (3) sebagai sebuah kontrak sosial ketersediaan infrastruk- tur air bersih menuntut peran pemerin- tah yang lebih jauh tidak hanya sebagai regulator ataupun fasilitator, dan (4) sektor swasta tidak dapat menggantikan negara untuk menyediakan infrastruk- tur dasar yang terjangkau terutama untuk kelompok masyarakat miskin.

Dengan demikian, untuk dapat mendorong kebijakan infrastruktur air bersih yang pro-poor, maka harus diikuti perubahan kebijakan ekonomi- makro yaitu dari Market-led Deve- lopment menjadi State-led Develop- ment, dimana infrastruktur dasar seper- ti air bersih dan sanitasi merupakan hak dasar warga negara yang harus di- penuhi oleh negara dan membawa kon- sekuensi negara harus menyediakan/- mengalokasikan dana untuk dapat menyediakannya. Dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki saat ini, peme- rintah harus mengambil keputusan politik untuk mengalokasikan penge- luaran yang lebih besar dalam pemba- ngunan infrastruktur dasar. Pemerintah juga harus mendefinisikan kembali peran sektor swasta. Hal ini didasarkan bahwa sektor swasta tidak dapat meng- gantikan negara untuk menyediakan infrastruktur yang terjangkau terutama untuk kelompok masyarakat miskin. Yang juga perlu dipahami adalah perbe- daan mendasar dari sektor publik dan swasta adalah tujuan investasi.

Investasi sektor publik bertujuan tidak semata-mata untuk memperoleh keuntungan tetapi tujuan sosial yang lebih besar sedangkan sektor swasta semata-mata untuk memperoleh keun- tungan dari investasi yang mereka lakukan tanpa pernah bersinggungan dengan keadilan dan pemerataan. Perbedaan inilah yang menyebabkan

kinerja relatif sektor publik lebih ren- dah dari sektor swasta. Redefinisi peran swasta harus diawali dengan redefinisi peran negara dalam penyediaan infra- struktur dasar di mana negara tidak cukup hanya sebagai regulator dan fasil- itator, tetapi berperan untuk menjamin ketersediaan dan pelayanan infrastruk- tur bagi orang miskin. Pencarian alter- natif pendanaan melalui restrukturisasi APBN dan mobilisasi pendapatan negara juga harus dilakukan.

Selain perubahan kebijakan makro, upaya-upaya perbaikan sektoral air bersih juga harus dilakukan. Jika me- ngacu pada studi yang dilakukan oleh Eric Guiterez (2004), di mana keber- hasilan PSP membutuhkan prasyarat tertentu, hal yang sama sebenarnya juga terjadi di sektor publik. Secara umum ada dua persoalan mendasar dalam penyediaan infrastruktur air bersih, yaitu masalah tata kelola (governance) layanan dan pendanaan. Untuk me- ngatasi hal tersebut perlu dilakukan perbaikan manajemen publik dalam pengelolaan infrastruktur dengan mem- pertegas relasi antara pemerintah dan utilitas publik dan mendorong trans- paransi, akuntabilitas, partisipasi ma- syarakat dan pengelolaan yang otonom. Selain itu juga harus dilakukan peren- canaan berbasis kebutuhan orang mis- kin sehingga perencanaan tidak lagi ter- pusat dan peningkatan kualitas layanan publik melalui perbaikan kinerja la- yanan publik (dalam konteks ini juga perlu diperkenalkan konsep public to public partnership sebagai alternatif kebijakan yang ada sekarang ini). Dari sisi pembiayaan, selain sumber-sum- ber pembiayaan yang ada sekarang ini, bail-out ataupun cut off utang PDAM juga harus menjadi prioritas yang dilakukan. „

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan saat ini menjadi salah satu anggota Infrastructure Watch, sebuah aliansi kelompok masyarakat sipil yang mengkritisi kebijakan pembangunan infrastuktur di Indonesia.

WAWA S A N

Redefinisi peran swasta harus

Dokumen terkait