• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (16)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (16)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dari Redaksi 1

Suara Anda 2

Laporan Utama

Penyedia Air Skala Kecil

Setetes Air di Padang Gersang 3

Pelayanan Air Minum di kota Ho Chi Minh

Memperhatikan ProviderKecil 7

Reportase

SMU 34 Jakarta, Juara UKS Tingkat Nasional

Sekolah Sehat, Tak Semata Ada UKS 9

Pelayanan Air Minum di Kota Ho Chi Minh

Memperhatikan ProviderKecil 7

Teropong

Pokja AMPL Propinsi Banten Berbekal Semangat dan Komitmen 11 Kisah

Sumber Air Hilang, Kocoran Jarang 13

Wawancara

Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral Bappenas,

Delthy S.Simatupang, SH : Persiapan Proyek Jadi Penentu 15

Seputar AMPL 18

Seputar WASPOLA 22

Abstrak

Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyediaan Air Bersih di Pedesaan 24 Inovasi

Instalasi Penjernih Air (IPA) Air Mandiri 26

Wawasan

Air Untuk Penduduk Miskin Jakarta 27

Kebijakan Infrastruktur Air Bersih dan Kemiskinan 30

Makna Kelembagaan AMPL Bagi Keberlanjutan Sarana 33

Menjadikan PDAM Lebih Mandiri, Transparan dan Profesional 36

Info Buku 46

Info CD 47

Info Situs 47

Klinik IATPI 50

Agenda 51

Pustaka AMPL 52

Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

Diterbitkan oleh:

Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

(Pokja AMPL)

Penasihat/Pelindung:

Direktur Jenderal Cipta Karya DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Penanggung Jawab:

Direktur Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS

Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, DEPKES

Direktur Pengembangan Air Minum, Dep. Pekerjaan Umum Direktur Pengembangan Penyehatan

Lingkungan Permukiman, Dep. Pekerjaan Umum Direktur Bina Sumber Daya Alam dan

Teknologi Tepat Guna, DEPDAGRI Direktur Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, DEPDAGRI

Pemimpin Redaksi:

Oswar Mungkasa

Dewan Redaksi:

Ismail, Johan Susmono, Indar Parawansa, Bambang Purwanto

Redaktur Pelaksana:

Maraita Listyasari, Rewang Budiyana, Rheidda Pramudhy, Joko Wartono,

Essy Asiah, Mujiyanto

Desain/Ilustrasi:

Rudi Kosasih

Produksi:

Machrudin

Sirkulasi/Distribusi:

Agus Syuhada

Alamat Redaksi:

Jl. Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta Pusat. Telp./Faks.: (021) 31904113

http://www.ampl.or.id e-mail: redaksipercik@yahoo.com

redaksi@ampl.or.id oswar@bappenas.go.id

(3)

P

embaca, selamat berjumpa lagi denganPercik edisi pertama di tahun 2006. Sejak akhir tahun lalu, Percik baru bisa menyapa Anda kembali, pembaca setia di seantero nusantara. Kami akan selalu hadir di ruang baca Anda, kendati dengan jad-wal yang agak maju mundur. Bagai-mana situasi air minum dan penyehatan lingkungan di lingkungan Anda? Lebih baik atau tambah buruk dibandingkan tahun lalu?

Secara umum, kita masih menghadapi persoalan layanan. Belum semua ma-syarakat terlayani secara memadai. Ini pekerjaan rumah yang hingga kini belum terselesaikan. Di sisi lain, pihak yang kita harapkan mampu memenuhi tuntutan itu masih menghadapi banyak persoalan. Walhasil, semuanya seolah berlangsung sesuai dengan hukum pasar.

Masyarakat harus memenuhi kebu-tuhan air dari sumber alternatif. Satu di antara sumber alternatif itu yaitu pe-nyedia air skala kecil. Kendati dengan harga lebih mahal dari PDAM dan mutu yang tak terkontrol, masyarakat tetap saja membeli air dari mereka. Air ada-lah kebutuhan dasar yang tidak bisa ter-gantikan.

Secara ekonomi, proses yang ber-langsung itu wajar. Ada permintaan (demand), ada pemenuhan (supply). Hanya saja, bila dilihat dari karakter pembeli air dari penyedia air skala kecil yang kebanyakan golongan miskin, ten-tu ini kurang mengunten-tungkan dalam proses pengentasan kemiskinan. Kaum miskin harus membayar lebih mahal. Kapan mereka bisa meningkatkan kese-jahteraannya kalau penghasilannya di-belanjakan untuk kebutuhan dasar yang seharusnya bisa didapat dengan harga murah?

Di sisi lain, banyak persoalan yang dihadapi untuk menjangkau kalangan ini. Pihak perusahaan BUMD atau swas-ta ada keengganan melayaninya karena beberapa alasan misalnya mereka ting-gal di daerah ileting-gal dan tidak mampu

membayar biaya penyambungan di mu-ka. Makanya perlu ada terobosan kebi-jakan dan pemikiran bagaimana bisa memberikan layanan air yang murah bagi mereka. Penyedia air skala kecil bi-sa menjadi jembatan. Namun mereka perlu pembinaan. Kerja sama dengan penyedia air skala besar masih me-mungkinkan. Inilah yang kami coba angkat dalam laporan utama edisi ini.

Pembaca, masih berkaitan dengan penyelenggaraan air minum dan penye-hatan lingkungan, kami mencoba me-ngetengahkan wawancara dengan Di-rektur Pembiayaan Luar Negeri Mul-tilateral. Ini penting untuk memberikan gambaran di mana posisi kita me-nyangkut utang luar negeri dan sejauh mana kita harus pandai-pandai menge-lola keuangan yang didapat dari utang tersebut. Jangan sampai kita malah membebani rakyat dengan tambahan utang sementara hasilnya tidak ada atau tidak optimal.

Pada edisi ini, kami juga menam-pilkan rubrik-rubrik baru yakni per-aturan dan abstrak. Rubrik perper-aturan

memuat peraturan yang baru diterbit-kan oleh pemerintah. Kami berharap ini sebagai sosialisasi. Sedangkan rubrik abstrak memuat abstraksi hasil diserta-si, tesis, atau penelitian lainnya. Kami berharap sajian ini mampu mencerah-kan dan menambah pengetahuan Anda. Pada rubrik Reportase, Anda bisa melihat bagaimana SMU 34 Jakarta mampu meraih Juara Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Tingkat Nasional tahun 2005. Bayangkan kalau setiap sekolah melaksanakan program tersebut, dam-paknya pasti luar biasa. Sedang di ru-brik Kisah, kami mengetengahkan nasib proyek WSLIC 2 yang rusak akibat ter-kena bencana. Ini bisa menjadi pelajar-an dpelajar-an pemikirpelajar-an, bagaimpelajar-ana mena-ngani kasus sarana yang telah diserah-kan kepada masyarakat tapi mengha-dapi masalah.

Akhirnya, kami berharap Percik te-tap menjadi referensi Anda di bidang air minum dan penyehatan lingkungan. Kami selalu menunggu umpan balik da-ri Anda berupa tulisan atau lainnya. Wassalam. „

D A R I

R E DA K S I

FOTO:POKJA AMPL

(4)

WSLIC 2 vs CLTS

Kalau kita melihat dua program ter-sebut memang keduanya berbeda. Tapi coba kita lihat apa yang melatarbela-kangi program itu sehingga adanya per-bedaan itu bisa menjadi suatu yang sa-ling berguna.

WSLIC 2 merupakan program sara-na air bersih dan sanitasi untuk masya-rakat yang berpenghasilan rendah khu-susnya di daerah perdesaan. Program ini dijalankan dengan pola pendekatan pemberdayaan masyarakat secara aktif dalam pengambilan keputusan, peren-canaan, pelaksanaan kegiatan, peng-operasian dan pemeliharaan. Semuanya dilaksanakan oleh masyarakat. Empat komponen pokoknya yaitu peningkatan kapasitas kelembagaan dan masyara-kat; peningkatan program kesehatan dan sanitasi; pengembangan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan per-mukiman; dan komponen manajemen proyek. Program ini dibiayai dana hibah Bank Dunia, AusAID, pemerintah Indo-nesia, dan masyarakat penerima proyek melalui kontribusi incash daninkind.

CLTS (sanitasi total atas prakarsa masyarakat) merupakan program sani-tasi yang menitikberatkan pada penya-daran masyarakat akan pentingnya jamban/kakus dalam aspek kesehatan pribadi dan penyehatan lingkungan. Pe-laksanaannya memperhatikan pemeta-an, transect, alur kontaminasi, dan si-mulasi. Program ini disampaikan kepa-da masyarakat dengan mengacu kepakepa-da pemahaman dan bahasa mereka. Peran perempuan di sini penting karena mere-ka lebih punya rasa malu.

Kalau kita mau mencermati kedua program tersebut, sebetulnya tidak perlu ada pertentangan. Justru kedu-anya bisa dikombinasikan dalam satu paket yang menguntungkan karena kedua program tersebut sama-sama

menggunakan pendekatan tanggap kebutuhan. Sebagai contoh, dalam penyusunan struktur Tim Kerja Masyarakat (TKM) dalam WSLIC 2, selain ada ketua dan wakil ketua, ben-dahara, sekretaris, tim teknis, tim kese-hatan, perlu kiranya ada orang khusus yang menangani CLTS. Bisa saja dia menjadi bagian dari tim kesehatan yang kita beri nama 'Koordinator Sanitasi'. Tugasnya mendata yang BAB sem-barangan/di tempat terbuka dan men-catat hasil perubahan perilaku tanpa subsidi maupun bantuan dana apapun. Tentu dalam hal ini kepada masyarakat dijelaskan bahwa pembangunan jam-ban/kakus tidak identik dengan tangki septik.

Itu sudah dan sedang kami lakukan di Ponorogo untuk WSLIC 2 tahun 2006. Kendati belum mendapat pelatih-an CLTS dpelatih-an hpelatih-anya belajar dari ppelatih-andu- pandu-an, ternyata program ini pun bisa dilakukan dan masyarakat menyambut dengan tangan terbuka.

Bambang Apriyanto, ST PMC Kabupaten Ponorogo

Percik Tak Sampai

Saya mewakili Subdin Teknik Pe-nyehatan Lingkungan Dinas Ciptakarya Kabupaten Cianjur, memberitahukan bahwa selama ini pengiriman majalah

Percik tidak pernah sampai ke subdin yang berkaitan langsung dengan diaan air bersih (minum) dan penye-hatan lingkungan. Karena itu untuk menghindari kesalahan disposisi dan mengingat pentingnya majalah tersebut sebagai sarana komunikasi dan media informasi menyangkut bidang peker-jaan kami, maka kami mohon untuk pengiriman majalah Percik ke Kepala Dinas Kimpraswil Kab. Cianjur diala-matkan sebagai berikut:

Dinas Cipta Karya Kab. Cianjur

cq. Subdin Teknik Penyehatan Ling-kungan

Jl. Prof. Moch. Yamin No. 131 CIANJUR 43213

Titih Titisari (danelaini@yahoo.com)

Setiap kali terbit, kami mengi-rimkan satu eksemplar untuk dinas terkait. Menurut catatan kami, dinas Anda sudah masuk dalam daftar. Namun kalau Anda membutuhkan, kami akan kirimkan sesuai alamat di atas. Terima kasih.

Info SANIMAS

Saya dan teman-teman tertarik de-ngan program SANIMAS yang saat ini dikembangkan. Kami pun berencana membuat semacam Community Sewe-rage Course. Kami berpikir apa yang kami rencanakan ini juga sejalan de-ngan program SANIMAS. Mungkin se-kiranya Bapak/Ibu bisa memberikan in-fo dan konsep teknis tentang Pelaksana-an SANIMAS dPelaksana-an sekirPelaksana-anya bisa mem-berikan soft copy dan juga Prosiding Seminar Nasional SANIMAS di Bali 2004. Selain itu, bagaimana caranya menjalin kerja sama dengan WASPOLA. Terima kasih atas bantuannnya.

Nurul Ichsan Teknik Lingkungan UNDIP

Untuk informasi pelaksanaan SANI-MAS secara lengkap, termasuk prosiding seminar, Anda bisa menghubungi BORDA, Jl. Kaliurang Km. 6, Yogyakarta 55283 Telp. 0274 888273. Sedangkan un-tuk kerja sama dengan WASPOLA, sila-kan hubungi Jl. Cianjur No. 4, Menteng, Jakarta Pusat. Telp. 021 3142046.

(5)

L A P O R A N

U TA M A

Penyedia Air Skala Kecil

S

ETETES

A

IR

DI

P

ADANG

G

ERSANG

Lebih dari 100 juta orang Indonesia belum memiliki

akses air minum dan penyehatan lingkungan.

Sesuai dengan Millennium Development Goals,

tahun 2015 nanti Indonesia harus mampu

mengurangi setengah dari angka tersebut.

Mampukah itu diwujudkan?

Dengan apa target itu bisa dikejar?

Adakah alternatif pelayanan yang lain?

A

ir tak bisa dipandang

sebagai benda sosial semata. Air pun me-miliki nilai ekonomi. Kedua nilai tersebut tak bisa dipisahkan. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan hilangnya fung-si sofung-sial dari air dan mengabaikan kebutuhan penduduk miskin. Dalam kaitan ini pemerintah dituntut untuk meningkatkan jangkauan pelayanan dan kualitas air minum ke seluruh lapisan masyarakat karena air adalah hak dasar. Ini tantangan yang belum

(6)

bisa terjawab hingga kini, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga negara-negara lain.

Pengalaman di beberapa negara me-nunjukkan bahwa pengelolaan oleh pe-merintah cenderung menerapkan harga rendah sehingga tidak mampu mem-pertahankan kualitas layanan jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jang-kauan pelayanan. Meskipun harga ren-dah dikatakan bermanfaat bagi pen-duduk miskin tapi kenyataannya tidak semua penduduk miskin terlayani. Mereka tetap saja harus mencari sum-ber alternatif dengan harga air yang jauh lebih mahal.

Kondisi ini kemudian memunculkan gagasan keterlibatan swasta dalam pe-nyediaan air minum. Di sisi lain me-mang air telah menjadi 'emas biru' yang sangat menggiurkan bagi kalangan swasta untuk mengeruk keuntungan. Investasi swasta masuk ke sektor ini dalam skala besar. Akhirnya ada dua model pengelolaan air skala besar ini. Ada yang oleh perusahaan negara dan swasta.

Pengelolaan oleh perusahaan ini berlangsung beberapa dekade. Sayang hasilnya belum memuaskan. Banyak anggota masyarakat yang belum ter-layani, terutama kalangan miskin. Ada kendala struktur tarif dan bentuk pengelolaan. Beberapa alasan masya-rakat tidak terjangkau layanan air mi-num dari perusahaan yaitu (i) biaya sambungan terlalu tinggi dan pemba-yaran sekaligus di depan menghalangi penduduk miskin untuk berlangganan; (ii) air yang tersedia tidak selamanya mencukupi kebutuhan dan prioritas utama yang tidak mendapat layanan adalah penduduk miskin; (iii) struktur tarif dan rendahnya konsumsi air pen-duduk miskin mengakibatkan perusa-haan air minum tidak tertarik melayani penduduk miskin; (iv) jika penduduk bertempat tinggal di permukiman liar maka mereka tidak akan mendapat layanan publik.

Di sisi lain, perusahaan air minum sering minim pengetahuan terhadap penduduk miskin sehingga (i) tingkat layanan sering tidak sesuai kebutuhan, dan lebih mengutamakan standar teknis yang sering tidak terjangkau; (ii) sistem pembayaran tepat waktu tidak sesuai dengan bentuk penerimaan penduduk miskin yang tidak teratur; (iii) tidak ter-jadi komunikasi yang baik antara perusahaan air minum dan penduduk miskin.

Dalam kondisi seperti ini muncullah kemudian penyedia air minum skala kecil (Small Scale Water Provider). Me-reka hadir memenuhi kebutuhan pen-duduk miskin terutama di perkotaan yang belum terjangkau jaringan perusa-haan air skala besar atau sudah ter-jangkau tapi aliran airnya tidak kon-tinyu. Usaha ini berpotensi melayani penduduk miskin dengan biaya inves-tasi yang relatif rendah.

Berdasar tinjauan terhadap bebera-pa studi empiris, maka penyedia air minum skala kecil dapat dikelom-pokkan dalam beberapa kategori yaitu:

Penyedia yang mempunyai hubungan permanen dengan perusahaan air mi-num, yang mendistribusikan air me-lalui kios atau hidran. Beberapa con-toh adalah kios air di Nairobi (Kenya), Lilongwe (Malawi), Batam (Indone-sia); hidran umum dikelola oleh

ko-munitas di Dakar (Senegal), Mopti (Mali), Dhaka (Bangladesh); dan hidran umum dikelola oleh asosiasi komunitas skala kecil di Segou (Mali). Masyarakat yang menjual air perpipa-an ke komunitas yperpipa-ang belum terlayperpipa-ani air perpipaan. Beberapa contoh ada-lah sistem air minum dibangun ma-syarakat Buenos Aires (Argentina); sistem air minum dibangun oleh wi-ra usaha di Guatemala City (Guate-mala) dan pusat penjualan air minum hasil pemurnian air sungai menggu-nakan sinar matahari di Manila (Phi-lipina); truk tangki air, gerobak air yang diambil dari air perpipaan pada waktu dan tempat di mana perusa-haan air minum tidak dapat melayani. Contohnya di Dakar (senegal), Port-au-Prince (Haiti), Jakarta (Indone-sia).

Sistem air minum skala komunitas di Dhulikel (Nepal) (Snell, 1998 dan McIntosch, 2003).

Usaha skala kecil ini memiliki ka-rakteristik khas yakni inisiatif individu, fleksibel, mudah mengadaptasi pasar dalam konteks pengaturan keuangan, dan pilihan teknis. Selain itu, usaha ter-sebut memiliki efisiensi operasi dalam hal (i) pemulihan biaya, (ii) tidak terda-pat kebocoran air; (iii) tidak mem-butuhkan subsidi publik, dan pinjaman. Berdasar studi "Small Scale Water Providers" yang didanai ADB, dite-mukan bahwa pelayanan air minum skala komunitas mempunyai beberapa karakteristik yaitu (i) Strategi teknis dan manajemen yang fleksibel. Ham-batan investasi dan biaya operasi dita-ngani dengan memilih jenis teknologi yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Masyarakat yang dilayani sebagian be-sar merupakan pekerja harian sehingga penagihan dilakukan tidak sebulan se-kali tetapi lebih sering sesuai dengan kemampuan masyarakat; (ii) Perusaha-an air minum menjadi patokPerusaha-an pela-yanan. Pelayanan skala kecil mengang-gap perusahaan air minum sebagai

pe-L A P O R A N

U TA M A

a.

b.

c.

(7)

saing sehingga kualitas pelayanan di-usahakan setingkat; (iii) Kurang dihar-gai oleh pemerintah daerah dan perusa-haan air minum. Kebutuhan investasi sulit terpenuhi karena dianggap usaha ilegal, tidak menguntungkan, dan aset-nya tidak dapat dinilai. Akibataset-nya akses kredit terbatas dan berbunga tinggi se-hingga resiko investasi menjadi tinggi; (iv) Keterkaitan erat antara keabsahan dan tingkat pelayanan

Bentuk pelayanan usaha ini berma-cam-macam. Ada yang menggunakan ge-robak dorong, saluran pipa ke rumah (ter-minal air), truk tangki air, kios air, dan sebagainya. Khusus kios air minum, ada alasan mengapa usaha ini marak terutama di kota, yakni (i) memungkinkan penggu-na membeli dalam jumlah dan waktu yang sesuai kemampuan mereka; (ii) memung-kinkan biaya modal rendah per rumah tangga yang terlayani; (iii) memung-kinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan air minum lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan yang diper-gunakannya.

Lebih dari itu penyedia air skala kecil dapat berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Beberapa kasus menunjukkan usaha dengan gerobak dorong bisa menja-di truk tangki air bahkan menjamenja-di sam-bungan pipa bawah tanah ke rumah. Namun di Indonesia belum ada penyedia air skala kecil yang berubah menjadi perusahaan besar.

Oleh karena itu, keberadaan penye-dia air skala kecil ini mampu men-dorong pencapaian MDGs tahun 2015. Mereka layak dimasukkan dalam strate-gi investasi air minum karena usahanya mampu mempercepat peningkatan ca-kupan layanan. Hanya saja perlu ada perhatian khusus kepada mereka ter-utama dalam hal kendala tarif yang re-latif mahal dan kurangnya dana inves-tasi serta aspek legalitas.

Kondisi Indonesia

Penyedia air skala kecil bisa dijum-pai di kota-kota di Indonesia. Namun

hingga saat ini belum ada data yang lengkap tentang usaha tersebut baik dari sisi jumlah maupun tingkat cakup-an laycakup-ancakup-annya. Ini bisa dipahami kare-na usaha tersebut umumnya tidak ter-catat alias illegal dari sisi hukum.

Gambaran umum usaha kecil ini bisa dilihat dari hasil survai yang dilak-sanakan oleh Puslitbang Permukiman Dep. PU dan Hydroconsell, di lima kota (Bandung, Subang, Jakarta, Palembang, Makassar). Usaha ini mampu mem-berikan kontribusi sekitar 2 persen ter-hadap cakupan pelayanan.

a. Sistem Distribusi dan Tipe La-yanan

Sistem distribusi penyedia air skala

kecil memiliki ciri khas tersendiri. Ada yang menggunakan sistem distribusi bertingkat, tapi ada yang langsung ke konsumen.

Pengelola pelayanan air minum skala kecil ini hampir semuanya swasta dengan pola mandiri. Mereka ada yang berasal dari yayasan, kelom-pok swadaya masyarakat, atau indi-vidual. Pola mandiri ini terlihat dari sistem manajemennya yang tak ter-gantung pihak manapun. Semuanya diurus sendiri. Untung dan rugi di-tanggung sendiri. Sedangkan hubung-an denghubung-an distributor-seperti peda-gang keliling-hanya sebatas penyedia. (Lihat Tabel)

Sambungan rumah tangga

Jaringan pipa dan armada (pangkalan) air

Truk tangki air

Gerobak dorong

Air minum isi ulang

TIPE

PELAYANAN

pelayanan kontinyu/giliran suplai air mencukupi kebu-tuhan sehari-hari

sumber air permukaan/sumur bor

melayani pembelian air dengan menggunakan mobil tangki yang datang ke lokasi pangkalan

pelayanan berdasarkan peme-sanan

pelayanan minimum 4 meter kubik

jangkauan pelayanan dalam dan luar kota

pelayanan berdasar pesanan atau dari pintu ke pintu pelayanan untuk penjual ecer-an

jangkauan pelayanan perko-taan kurang lebih 1 RT jerigen yang dipakai kapasitas 20 liter

pengolahan air baku sampai kualitas air minum pembelian berdasarkan pesanan atau beli di tempat

TIPE

AREA

PELAYANAN

perumahan padat

perumahan dengan status sosial ekonomi menengah

dalam jangkauan perpipaan 40 KK penyambungan berdasarkan perhi-tungan skala ekonomi

Truk tangki

perumahan yang punya reservoir bawah tanah dengan jalan lebih dari 6 m

industri perkantoran niaga

depo-depo air isi ulang

perumahan dengan kualitas air sumur tidak dapat bisa diminum perumahan yang relatif datar dan mudah ditempuh dengan gerobak dorong

masyarakat membeli air hanya untuk keperluan minum dan masak

penjualan berdasarkan pesanan jangkauan layanan 1-2 km (perhi-tungan jarak tempuh, pengantaran dengan motor, pengambilan sendiri jarak 200 meter)

Tipe Layanan dan Daerah Layanan Air Minum Swasta

(8)

-b. Harga/Tarif Air

Sesuai karakternya, penyedia air minum skala kecil memiliki cara ma-sing-masing dalam menentukan har-ga/tarif air yang dijualnya. Ini tergan-tung pada sumber air baku dari mana mereka mengambilnya, jarak jangkau ke pelanggan, dan fasilitas yang digu-nakan. Secara umum, penyedia air minum skala kecil menetapkan har-ga/tarif jauh lebih mahal dibandingkan harga air penyedia jasa formal dalam hal ini PDAM. Perbandingan harga air bisa dilihat dalam tabel berikut:

Masyarakat tak bisa berkutik meng-hadapi harga tersebut. Ini terjadi karena air adalah kebutuhan dasar sehingga harus dipenuhi meskipun dengan harga yang mencekik. Kata 'terpaksa' menjadi jawaban satu-satunya, karena tidak ada alternatif lainnya.

c. Legalitas

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penye-diaan Air Minum. Secara umum ketentuan itu mengatur sistem penyediaan air minum (SPAM), perlindungan air baku, penyelenggaraan, wewenang dan tang-gung jawab, badan pendukung pengem-bangan SPAM, pembiayaan dan tarif, pem-binaan dan pengawasan, dan sanksi

administratif. Dari pasal-pasal yang ada di dalamnya, tidak ada yang terkait langsung dengan penyedia air skala kecil.

Pada pasal 10 PP tersebut misalnya, tertulis ''Unit distribusi wajib mem-berikan kepastian kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pengaliran'' (ayat 2), dan pada ayat berikutnya ''Jaminan pengaliran 24 jam''. Selain itu pada pasal 6 ada ketentuan air minum yang dihasilkan SPAM harus memenuhi syarat kualitas (ayat 1), dan air minum yang tidak memenuhi syarat kualitas dilarang didistribusikan ke masyarakat. Jelas kedua pasal ini akan sulit diterap-kan bagi penyedia air skala kecil.

Perlu diakui, bahwa pasal-pasal dalam peraturan itu baru mengatur penyelenggara SPAM skala besar. Pasal 1 (9) menyebutkan yang disebut penye-lenggara adalah badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, ko-perasi, badan swasta, dan/atau kelom-pok masyarakat yang melakukan pe-ngembangan sistem penyediaan air mi-num. Aturan itu tak menyinggung sama sekali penyedia air skala kecil.

Memang, keberadaan penyedia air skala kecil bisa saja dimasukkan dalam golongan swasta atau kelompok ma-syarakat. Hanya saja itu menyangkut kelembagaannya. Tapi aktivitasnya se-cara umum tak ada payungnya.

Oleh karena itu, ada pemikiran agar penyedia air skala kecil ini memperoleh tempat dalam sistem penyediaan air minum. Aspek perizinan/kontrak perlu dipikirkan oleh pemerintah daerah sebagai regulator sehingga penyedia air skala kecil ini memperoleh kesempatan yang setara. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penyedia air skala kecil yang beroperasi secara legal dapat memberikan pelayanan yang kontinyu dengan kualitas setara dengan penyedia jasa formal dan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan penyedia air skala kecil yang beroperasi secara ilegal.

Yang pasti, keberadaan penyedia air skala kecil saat ini mampu menutup celah yang belum ditutup oleh perusa-haan air minum skala besar. Aktivitas mereka ibarat 'setetes air di padang ger-sang'. „(MJ)

447.368 Sistem Distribusi Pelayanan Air Minum Usaha Kecil

TIPOLOGI SUPPLYER

DISTRIBUTOR TKT 1

DISTRIBUTOR

TKT 2 KONSUMEN

GEROBAK

Terminal Kecil Pedagang airgerobak

(9)

H

o Chi Minh City adalah kota terbesar di Republik Sosialis Vietnam, lebih besar dari Ha-noi yang merupakan ibukota negara. Pada tahun 2004 penduduk Ho Chi Minh City berjumlah 6,1 juta orang de-ngan luas area 2.094 km2, sedangkan Hanoi berpenduduk 2.9 juta dengan lu-as area 921 km2. Seperti umumnya ma-salah kota-kota besar di negara berkem-bang, Ho Chi Minh City menghadapi kesulitan dalam menyediakan infrstruk-tur dasar bagi masyarakatnya termasuk penyediaan air minum.

Dalam sektor air minum kesulitan yang dihadapi adalah: (i) kekurangan air karena kebutuhan domestik dan industri naik dengan cepat sejalan de-ngan pertumbuhan ekonomi, (ii) tinggi-nya angka kehilangan air (non-revenue water), dan (iii) terbatasnya dana pe-merintah untuk meningkatkan pelayan-an air minum sesuai dengpelayan-an permin-taan dan kebutuhan masyarakat. Fak-tor-faktor tersebut membuat pelayanan publik di sektor air minum yang dila-kukan oleh perusahaan pemerintah ber-nama Saigon Water Supply Corpora-tion (SAWACO, sebelumnya bernama Ho Chi Minh City Water Company) ma-sih di bawah target yang ingin dicapai.

Dalam rencana induk (master plan) 2001-2005 pemerintah kota Ho Chi Minh menargetkan 90 persen pendu-duk akan mempunyai akses air minum, namun sampai akhir tahun 2001 cakup-an laycakup-ancakup-an SAWACO baru sekitar 50 persen dengan tingkat kebocoran ham-pir mencapai 40 persen. Kondisi ini membuat pemerintah kota Ho Chi Minh menyadari bahwa dengan hanya meng-andalkan SAWACO akan sulit bagi mereka untuk bisa mencapai target tersebut. Oleh karena itu pada De-sember 2001 pemerintah kota Ho Chi

Minh memutuskan untuk mengem-bangkan kerangka kebijakan dalam rangka meningkatkan peran swasta ter-masuk penyedia layanan air minum-skala kecil (small scale water provi-ders) sebagai mitra perusahaan air mi-num kota (SAWACO) untuk mengejar target yang telah ditetapkan.

Socialization Program

Kemauan politik pemerintah kota Ho Chi Minh untuk memberikan akses air minum kepada seluruh masyarakat-nya dituangkan ke dalam sebuah ke-rangka kebijakan yang lebih dikenal se-bagai "Socialization Program", pro-gram untuk meningkatkan keterlibatan perusahaan swasta lokal untuk berin-vestasi dalam sektor air minum. Pro-gram ini dituangkan dalam kerangka peraturan yang dikembangkan oleh pemerintah kota Ho Chi Minh dengan perusahaan air minum kota (SAWACO) di tahun 2002. Peraturan itu sendiri telah disahkan dan dicanangkan oleh People's Committee of Ho Chi Minh City

(lembaga eksekutif) pada bulan Agustus 2003. Diawali dengan uji coba dengan salah satu penyedia jasa lokal skala kecil (Hiep An Co. Ltd), untuk kemudian di-terapkan secara luas.

Selain untuk menciptakan iklim yang menarik bagi perusahaan swasta agar mereka mau berinvestasi di sektor air minum, peraturan mengenai pro-gram investasi ini (socialization pro-gram) juga dikembangkan untuk (i) meningkatkan produksi air minum, (ii) meningkatkan kualitas dan cakupan layanan terutama di area yang belum terlayani oleh perusahaan air minum kota, dan (iii) menurunkan angka kebo-coran melalui perbaikan jaringan dis-tribusi terutama di area dengan tingkat kebocoran tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut peraturan ini mena-warkan enam skema kerjasama, yaitu:

Skema 1: Investasi sistem lengkap, investor menginvestasikan dananya un-tuk membangun sistem lengkap dari mulai unit produksi hingga ke jaringan distribusi dan sambungan rumah.

In-L A P O R A N

U TA M A

Pelayanan Air Minum di Kota Ho Chi Minh

Memperhatikan

Provider

Kecil

Penyedia jasa skala kecil (the Hiep An Co. Ltd) yang menjadi mitra SAWACO dan area yang dilayaninya.

(10)

vestasi ini dilakukan di area yang belum ada jaringan distribusi perusahaan air minum kota.

Skema 2: Investasi unit produksi, investor menginvestasikan dananya un-tuk membangun unit produksi. Produk-si air minumnya dijual seluruhnya ke perusahaan air minum kota. Investasi ini dilakukan di area yang telah terdapat jaringan distribusi SAWACO namun selalu kekurangan air dan tekanannya rendah.

Skema 3: Investasi perbaikan ja-ringan, investor menggunakan dananya untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi seluruh sistem jaringan dis-tribusi di area tertentu. Investasi ini di-lakukan di area yang telah terdapat ja-ringan distribusi SAWACO yang memi-liki angka kebocoran tinggi.

Skema 4: Investasi pengangkutan air minum, investor menggunakan da-nanya untuk menyediakan layanan di area terpencil dengan mendatangkan sejumlah air dari perusahaan air minum kota. Biaya pengangkutan/transportasi sebagian disubsidi oleh SAWACO.

Skema 5: Investasi peningkatan ki-nerja unit produksi, investor menggu-nakan dananya untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja unit produksi. Keuntungan dari penjualan produksi air minum yang berhasil ditingkatkan diba-gi bersama antara perusahaan air mi-num kota dan investor.

Skema 6: Investasi jaringan distri-busi, investor menggunakan dananya untuk membangun jaringan distribusi baru dan mendistribusikan air dari me-ter induk milik SAWACO.

Sampai saat ini hampir semua skema kerja sama tersebut telah dimi-nati oleh investor kecuali skema 6, ada yang telah berjalan dan beberapa masih dalam proses negosiasi atau kontrak. Selain skema kerja sama peraturan tersebut juga memuat hal-hal lain seperti prosedur kerja sama/berinves-tasi, hak dan kewajiban investor, dan mekanisme serah terima di akhir peri-ode kontrak atau pada saat area

pe-layanan telah disentuh oleh jaringan perusahaan air minum kota. Hal lain yang menarik buat investor untuk berinvestasi adalah insentif yang ditawarkan, mulai dari kemudahan untuk mendapatkan hak guna lahan, pengurangan pajak baik untuk tanah maupun pendapatan (tax exemption), bahkan untuk barang atau peralatan yang diimpor investor tidak dikenakan pajak bea masuk. Namun penyedia layanan air minum skala kecil juga diharuskan untuk memenuhi standar pelayanan perusahaan air minum kota, baik standar teknis maupun kualitas air, untuk itu pemerintah kota Ho Chi Minh mewajibkan SAWACO untuk mem-berikan dampingan teknis bagi para penyedia jasa skala kecil tersebut.

Manfaat dari upaya inovatif tersebut tidak hanya dirasakan oleh para penye-dia jasa layanan air minum skala kecil dan masyarakat yang dilayani, namun juga oleh pemerintah kota Ho Chi Minh dan perusahaan air minum kota. Selain membantu meningkatkan akses air

minum bagi masyarakat, program ini juga memacu SAWACO untuk mening-katkan kinerja dalam memberikan pe-layanaan publik. Saat ini cakupan layan-an mereka mulai bergerak naik, menu-rut SAWACO saat ini masyarakat yang telah terlayani oleh sistem perpipaan mencapai 74 persen. Dan sejak tahun 2005 SAWACO telah berhasil menda-patkan keuntungan.

Pelayanan terhadap Masyarakat Miskin

Pada umumnya penyedia jasa skala kecil memberikan pelayanan di area yang belum terjangkau oleh penyedia jasa formal, dan biasanya sebagian besar adalah masyarakat miskin. Di Ho Chi Minh City pelayanan kepada masya-rakat miskin tidak hanya dilakukan oleh penyedia layanan air minum skala kecil tetapi juga penyedia jasa publik seperti SAWACO, termasuk bagi masyarakat miskin yang tinggal di area ilegal atau ti-dak memiliki hak guna lahan (illegal settlement). Kebijakan ini baru diambil oleh pemerintah kota Ho Chi Minh, sebelumnya penyedia jasa publik tidak dibenarkan untuk melayani masyarakat yang tinggal di area ilegal.

Kebijakan ini diambil dengan per-timbangan bahwa air minum meru-pakan kebutuhan dasar bagi semua orang termasuk masyarakat miskin dan tidak memiliki hak guna lahan. Namun menurut Deputi Direktur Kantor Transportasi Kota & Pekerjaan Umum penyediaan kebutuhan dasar ini tidak berarti melegalkan penggunaan lahan, jika pemerintah kota berencana meng-gunakan lahan tersebut masyarakat yang tidak mempunyai hak guna lahan tetap harus pindah dari area tersebut. Agar pelayanan air minum terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah penyedia jasa publik memberlakukan blok tarif atau tarif progresif, blok pemakaian terendah dikenakan tarif di bawah biaya produksi. „(lina damayanti)

Laporan dari kunjungan ke Vietnam

L A P O R A N

U TA M A

P

eople's Committee adalah lembaga eksekutif yang memegang peranan sen-tral di Republik Sosialis Vietnam. Lembaga ini terdapat di semua tingkat pemerintah-an dari mulai pemerintah pusat sampai de-ngan pemerintahan terendah atau ward

(setara dengan desa/kelurahan di Indo-nesia).

People's Committeedipilih oleh People's Council (lembaga legislatif), sedangkan People's Council dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan. Struktur People's Committee di Ho Chi Minh City ter-diri dari 1 ketua, 4 wakil ketua, dan 7 ang-gota yang merupakan representasi dari lem-baga-lembaga pemerintah kota seperti ke-polisian, militer, dan seluruh departemen yang ada di tingkat kota (setara dengan dinas). Biasanya yang duduk dalam ke-anggotaan People's Committee adalah pim-pinan dari lembaga-lembaga tersebut.„

(11)

A

ngin semilir menyambut tamu yang datang ke sekolah itu. Se-buah pohon besar mengayun-ayunkan daunnya. Tepat di pintu ger-bang sekolah, sebuah taman air ber-tingkat menyembulkan suara gemericik. Tanaman nan hijau menghiasi setiap sudut. Nuansa itu semakin serasi de-ngan warna cat tembok sekolah yang berwarna hijau muda. Demikian pula lapangan olah raga pun berwarna sama.

Di sudut-sudut sekolah terpampang peringatan untuk senantiasa menjaga kebersihan. Ada peringatan untuk tidak mencoba narkoba, larangan merokok di lingkungan sekolah, serta waspada ter-hadap nyamuk demam berdarah. Tempat sampah terpasang di depan ruang kelas. Ada untuk sampah organik dan sampah anorganik. Di dinding luar tergantung pot bunga. Tanaman itu menjulurkan dahannya ke bawah. Setiap ruang kelas dilengkapi dengan air conditioner (AC). Wastafel ter-pasang di dalam ruang tersebut. Khusus di ruang kelas percontohan, wastafel ada dua.

Di sekolah yang memiliki luas tanah 8.747 meter persegi itu, tak ada ruang yang telantar. Di belakang bangunan sekolah bertingkat tiga ini, siswa menanam tanaman obat keluarga (Toga). Di sudut yang lain, siswa meme-lihara burung dalam sangkar raksasa. Ada juga rumah daur ulang sampah, un-tuk memproses bahan-bahan yang bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang ber-manfaat.

Itulah kondisi Sekolah Menengah

Umum (SMU) Negeri 34 Jakarta. Seko-lah yang berdiri sejak 13 September 1978 tersebut memang memiliki misi meningkatkan partisipasi siswanya da-lam program sekolah berwawasan ling-kungan. Tujuan menjadi sekolah yang berwawasan lingkungan tampaknya te-lah menjadi kenyataan.

Kondisi itu semakin mantap dengan keberhasilan sekolah tersebut sebagai juara Program Usaha Kesehatan Se-kolah (UKS) tingkat nasional tahun 2005. Tak heran bila kini sekolah terse-but menjadi referensi sekolah lain di In-donesia dalam program UKS dan pro-gram lingkungan.

Tak Sekejap

Mewujudkan sekolah yang sehat ti-daklah gampang. Butuh waktu dan

ke-seriusan. Tahun 2000 lalu, sekolah ini selesai direnovasi. Semangat kepala se-kolah dan para guru mewujudkan visi dan misinya tergolong luar biasa. Jadi-lah sekoJadi-lah ini saJadi-lah satu dari sekoJadi-lah terbaik di Jakarta.

Imbas dari semua itu, UKS yang bagi sebagian sekolah dirasa kurang penting atau malah ada yang tidak peduli sama sekali, mendapat perhatian yang sangat memadai. ''Dulu UKS menyatu dengan palang merah remaja (PMR) dengan memanfaatkan sebuah ruang kecil,'' kata Septina Wibarini, SPd, guru sekaligus koordinator UKS SMU 34.

Namun seiring kebutuhan, UKS akhirnya harus diwujudkan secara man-diri. ''Kalau upacara selalu ada yang pingsan. Makanya kita berpikir menga-pa kita tidak menyediakan ruang

khu-R E P O khu-RTA S E

SMU 34 Jakarta, Juara UKS Tingkat Nasional

Sekolah Sehat,

Tak Semata Ada UKS

FOTO:MUJIYANTO

(12)

sus bagi kesehatan siswa,'' kenangnya. Dari situlah mulai dirintis program UKS dengan memanfaatkan ruang di pojok sekolah.

Pada tahap awal, ruang ini hanya di-isi satu set meja dan satu tempat tidur. Itu pun dengan kondisi sederhana. De-ngan doroDe-ngan dan modal pihak se-kolah bekerja sama dengan instansi ter-kait seperti dinas kesehatan, dinas pen-didikan nasional, dan puskesmas seko-lah berhasil mengembangkan UKS ini. Instansi terkait ini membantu obat-obatan, lemari, dan tempat tidur. Jadi-lah UKS ini memiliki fasilitas yang lu-mayan lengkap. Saat ini ada empat tem-pat tidur tetap dan satu temtem-pat tidur da-rurat serta satu kursi pasien gigi. Ada juga lemari obat dan perangkat penyu-luhan kesehatan lainnya. UKS SMU ini menempati ruangan 6 x 8 meter perse-gi. ''UKS yang baik memiliki minimal empat tempat tidur pasien untuk seribu siswa, ada dokter, dan ada klinik gigi,'' jelas Septina.

Aktivitas

UKS ini buka setiap hari kerja. Seti-ap jam istirahat ada siswa yang piket. Mereka ini adalah anggota Kader Ke-sehatan Remaja (KKR). Mereka bertu-gas melayani siswa kalau ada yang ingin berobat atau membantu dokter yang ke-betulan sedang praktek. Memang setiap Senin hingga Kamis, ada dokter yang praktek yakni dokter gigi dan dokter umum secara bergantian. ''Anggota KKR ini bisa langsung memberikan obat ringan kepada teman-temannya yang membutuhkan. Kalau ada dokter, mere-ka bertugas sebagai layaknya perawat yang membantu dokter,'' kata Septina.

Setiap tahun kelompok kerja UKS sekolah ini merekrut kader baru. Rata-rata setiap tahun atau per angkatan ada sekitar 30 siswa yang menjadi anggota KKR. Mereka dibina khusus mengenai penanggulangan kecelakaan ringan, pe-ngetahuan umum tentang seks, narko-ba, dan AIDS. Pembinaan ini

melibat-kan instansi terkait dan lembaga swada-ya masswada-yarakat. Sewaktu-waktu anggota KKR ini ikut terlibat dalam program pe-nyuluhan di puskesmas. ''Mereka ini adalah kader inti kesehatan sekolah,'' tandas Septina.

Mengenai keberadaan dokter, guru biologi ini menjelaskan, mereka berasal dari orang tua siswa. ''Mereka secara su-karela berpraktek di sini. Khusus dokter gigi, prakteknya sesuai perjanjian,'' kata-nya sambil menjelaskan dokter ini digaet ketika ada rapat orang tua siswa bila ada penerimaan murid baru. Sedangkan ngenai obat-obatan beresep, sekolah me-lalui komite sekolah telah menganggar-kan khusus setiap tahun.

Setiap hari Jumat UKS dan kader-nya memelopori program pemberantas-an sarpemberantas-ang nyamuk (PSN) di sekolah. Ke-giatan ini melibatkan seluruh siswa se-lama setengah jam. Kader UKS menjadi tim kesehatan jika siswa SMU 34 meng-adakan kegiatan di luar seperti pertan-dingan olah raga dan lainnya.

Pengaruh

Septina menjelaskan keberadaan UKS membantu meningkatkan pema-haman siswa terhadap kesehatan dan yang terkait dengan bidang tersebut. Se-bagai contoh soal AIDS. Program-pro-gram yang dirancang UKS menyebab-kan siswa tak lagi buta soal penyakit berbahaya tersebut. Selain itu, siswa ju-ga bisa berkonseling langsung denju-gan dokter di sekolah bila mengidap suatu penyakit. ''Yang pasti mereka lebihcare terhadap hidup sehat. Dan tak kalah pentingnya, mereka gampang nyari

obat kalau sedang sakit, gratis lagi,'' katanya sambil tersenyum.

Keberadaan UKS mau tidak mau men-dorong insan akademika sekolah turut menyukseskan program tersebut. ''Ham-pir setiap mata pelajaran diharuskan me-ngaitkannya dengan kesehatan,'' jelas guru yang sejak awal merintis UKS seko-lah itu. Sementara anggota KKR menjadi agen perubahan bagi rekan-rekannya sesama siswa untuk hidup sehat.

Prasarana dan sarana sekolah pun dikondisikan mendukung program ter-sebut. Saat ini ada 36 MCK khusus sis-wa di sekolah yang terdiri atas 24 ruang kelas itu. Belum lagi ada MCK khusus guru, di masjid, dan di ruang serba gu-na. Perawatan saluran air juga menjadi perhatian, termasuk pengelolaan sam-pah sekolah. ''Jadi kesehatan sekolah ti-dak semata-mata UKS,'' tandas Septina.

Tantangan

Mempertahankan lebih sulit daripa-da meraih. Ungkapan ini pun berlaku bagi UKS SMU 34. Kaderisasi anggota KKR menjadi masalah. Bukan pada per-soalan mendapatkan sukarelawan yang sudi menangani UKS tapi bagaimana menumbuhkan semangat seperti ketika sekolah tersebut meraih juara tahun la-lu. ''Semangat mereka berbeda dengan pendahulunya. Barangkali karena ku-rang ditempa ya,'' kata Septina seraya mengungkapkan anak didiknya yang menjadi generasi awal UKS berkiprah memiliki semangat yang luar biasa.

Di samping mempertahankan kon-disi UKS yang cukup baik tersebut, ke-lompok kerja UKS sekolah itu masih memiliki obsesi yang belum tercapai. Mereka ingin membangun klinik untuk umum. Klinik ini nantinya khususnya bagi kalangan keluarga miskin dengan biaya murah. Obsesi ini sebagai wujud kepedulian sekolah terhadap masyara-kat sekitar. ''Itu yang kita impikan,'' masyara-kata Septina sembari tak bisa memastikan kapan impian itu terwujud. Semoga ber-hasil. „(MJ)

R E P O RTA S E

UKS buka setiap

hari kerja. Setiap jam

istirahat ada siswa yang

piket. Mereka ini adalah

anggota Kader Kesehatan

(13)

T

ak ada anggaran, program tak jalan. Ini mitos yang umum dihadapi kalangan birokrasi di Indonesia. Seolah-olah uang yang men-jadi penentu. Tak bisakah mitos ini dilawan dan hilangkan? Jawabnya: bisa. Kelompok Kerja (Pokja) Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Propinsi Banten menjadi salah satu yang bisa membuktikan hal itu. Tahun 2003, Pokja ini dibentuk. Tak ada dana. Tak ada surat keputusan (SK) pemben-tukan. Namun pokja itu bisa berjalan hingga ada SK Gubernur dua tahun kemudian (2005).

Kelahiran Pokja AMPL Banten dipicu oleh kegiatan Pokja Nasional dan WASPOLA di Yogyakarta tahun 2003. Peserta dari Banten kemudian mem-bentuk Pokja Propinsi. Di sisi lain, komitmen pemerintah daerah sendiri mendukung upaya itu karena cakupan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan di propinsi baru ini tergo-long masih rendah. Cakupan air bersih 64,35 persen dan sanitasi dasar 53,64 dari penduduk yang berjumlah 8.939.946 jiwa. Pemicu lainnya yakni intensitas kunjungan yang dilakukan oleh anggota Pokja Nasional.

Makanya meski tanpa dana, kegiat-an berjalkegiat-an. Ketiadakegiat-an kegiat-anggarkegiat-an khusus bagi Pokja itu akibat persoalan adminis-trasi pemerintahan. Ada persyaratan bahwa anggaran harus jelas perun-tukannya dan harus memiliki nomor rekening tersendiri. Padahal, ini belum bisa dipenuhi karena SK pembentukan-nya pun belum turun.

Sejak dibentuk, pokja yang berang-gotakan perwakilan dari Bapeda, BPM, Bapedal, Dinas Kesehatan, Dinas Pen-didikan, dan Dinas Pekerjaan Umum tersebut melaksanakan rapat koordinasi

rutin bulanan. Biasanya di awal bulan. Kadang-kadang ada penambahan rapat dalam sebulan, tergantung situasi dan kepentingan. Seluruh kegiatan pokja baik berupa rapat maupun kegiatan di luar, pendanaannya dibebankan kepada instansi-instansi yang terlibat di dalam-nya secara bergilir. Dengan kata lain, instansi terkait menyubsidi Pokja.

Keberlangsungan pokja tanpa SK itu tak lepas dari kepedulian Ketua Pokja, yang juga menjabat sebagai Kepala Bapeda, saat itu Ir. H. Hilman Nitia-midjaya. Dia-satu-satunya eselon satu--terlibat secara aktif. Selain itu faktor Gubernur, dan Sekretaris Daerah Pro-pinsi Banten tak bisa dikesampingkan. Ketiga pejabat ini tak segan bertindak sebagai pengundang dalam berbagai kegiatan Pokja. Walhasil semangat dan komitmen para pejabat ini menular kepada para anggota Pokja.

Aktivitas Pokja AMPL Banten ini sangat menonjol dibandingkan yang lain. Dari 20-an Pokja yang ada di sana, mungkin hanya Pokja AMPL yang memiliki paling banyak kegiatan de-ngan frekuensi yang rutin dan terus me-nerus. Apa yang dilakukan oleh Pokja ini akhirnya menjadi'trade mark' yang bisa memicu sektor lain dan juga kabu-paten kota yang ada di Propinsi Banten untuk melakukan hal serupa.

Tahun 2005, Pokja mendapat legalitas dengan keluarnya SK Gubernur Banten No. 618/Kep.173-Huk/2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang pembentukan Pokja AMPL Banten. Pokja ini beranggotakan 20 peja-bat yang terdiri atas 10 orang eselon IV, tujuh orang eselon III, dua orang eselon II, dan satu orang eselon I. Instansi yang ter-libat yakni Bapeda, Bapedal, BPM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Dinas PU. Semenjak itu, Pokja memiliki

anggaran operasional tersendiri. Tahun 2005, anggaran diletakkan di BPM sebe-sar Rp. 127.500.000. Tahun 2006, anggaran meningkat menjadi Rp. 215 juta yang diletakkan di BPM, Bapeda, dan Dinkes.

Sosialisasi

Proses sosialisasi memegang pe-ranan penting dalam keberhasilan pro-gram, tak terkecuali sektor AMPL. Sosi-alisasi diarahkan kepada seluruh stake-holder termasuk kalangan wakil rakyat. Selama ini, proses tersebut telah dilak-sanakan kendati masih bersifat indivi-dual. Kendati begitu hasilnya sudah lumayan. Ketua Pokja AMPL Prop. Banten yang baru Ir. Harmin Lanjumin menyatakan dukungan DPRD cukup besar. Menurutnya, Dewan menyatakan bersedia menganggarkan anggaran bagi sektor ini dengan syarat ada kegiatan riil di lapangan yang langsung menyen-tuh masyarakat bawah.

Di kalangan birokrasi, LSM, dan perguruan tinggi, keberadaan Pokja pun cukup dikenal. Ini bisa terjadi karena mereka sering dilibatkan dalam kegiat-an Pokja AMPL. Pemerintah kabupa-ten/kota di wilayah propinsi tersebut juga cukup mengenal pokja ini. Bahkan kini tiga pemda tingkat II dari enam yang ada telah menerima kebijakan nasional AMPL berbasis masyarakat. Ketiga pemda tingkat II itu yaitu Ka-bupaten Lebak, Pandeglang, dan Kota Tangerang. Sedangkan Kabupaten Se-rang, TangeSe-rang, dan Kota Cilegon ditargetkan akan menyusul tahun ini.

Hambatan

Sebagai Pokja yang baru dengan model pendekatan yang baru, wajar bila Pokja tersebut menghadapi

kenda-T E R O P O N G

Pokja AMPL Propinsi Banten

(14)

la/hambatan dalam pelaksanaan pro-gram kerjanya. Berdasarkan inven-tarisasi, hambatan itu antara lain:

Ketersediaan data cakupan air mi-num dan sanitasi yang masih belum valid dan perlu penyempurnaan Perhatian pemerintah terhadap pembangunan sektor AMPL belum menjadi prioritas sehingga berimpli-kasi terhadap ketersediaan dana yang terbatas

Pemahaman masyarakat terhadap arti pentingnya perilaku hidup ber-sih dan sehat (PHBS) maber-sih perlu ditingkatkan

Aktivitas yang dilakukan oleh dae-rah melalui konsultan pendamping dari WASPOLA masih pada tataran kebijakan belum menyentuh pada implementasi

Belum ada kerja sama yang konkret antara pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat dalam pembangunan AMPL

Saat ini, khususnya wakil rakyat di propinsi tersebut, sangat menunggu implementasi kebijakan yang ada. Mereka menilai waktu untuk diseminasi dan sosialisasi terlalu lama. Mereka berharap segera ada proyek nyata di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dewan nantinya bisa memu-tuskan anggaran bagi sektor tersebut.

Kegiatan Pokja

Selama tahun 2005, Pokja AMPL Banten berhasil memfasilitasi pemben-tukan Pokja AMPL Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Kota Tangerang. Seluruh rencana kerja 2005 terlaksana kecuali satu kegiatan yakni Dialog Publik, yang baru akan dilaksanakan awal tahun ini. Pokja juga mengadakan pelatihan dan pembinaan CLTS di tiga desa yakni Desa Parigi, Kertasana, dan Rahayu di Kabupaten Pandeglang. Selain itu Pokja memfasilitasi sosialisasi

program Pamsimas dan SANIMAS. Tahun ini Pokja AMPL Banten akan melaksanakan 15 kegiatan, antara lain road show ke kabupaten/kota yang belum mengikuti program sekali-gus sosialisasi kebijakan AMPL ke dae-rah tersebut; dialog publik dengan ka-bupaten/kota; finalisasi draft renstra AMPL agar definitif dan dapat diter-bitkan SK Gubernur; rapat koordinasi rutin tingkat propinsi, kabupaten, dan pusat; audiensi dengan Pokja Nasional, WASPOLA, dan lembaga negara donor; mengikuti pelatihan yang diadakan Pokjanas; menye-lenggarakan lokakarya tingkat nasio-nal, propinsi, dan kabupaten; me-nyempurnakan data AMPL; pendam-pingan dan kunjungan kerja ke kabupaten/kota; sinkronisasi pro-gram/kegiatan Pokja AMPL tahun 2007; serta monitoring dan evaluasi kegiatan AMPL. „

T E R O P O N G











Ir. Harmin Lanjumin

, Ketua Pokja AMPL Prop. Banten

P

okja AMPL Banten telah dua tahun lebih. Sekarang yang diharapkan implementasinya seperti apa? Kita sudah menganggarkan di Dinkes, BPM, tinggal kita menge-masnya sehingga jadi apa. Dari sisi kesiapan, Pokja Propinsi sebenarnya sudah siap, tinggal sekarang Pokja Kab/kota harus lebih siap lagi karena mereka yang lang-sung berhubungan dengan masyarakat.

Dukungan terhadap sektor ini sudah ada dari dewan. Hanya saja dewan sebenarnya menunggu implementasinya. Jangan sampai anggaran hanya digu-nakan untuk rapat-rapat saja. Jadi tidak banyak menunggu waktu dengan mengedepankan pemberdayaan saja. Kan AMPL ini sudah 2 tahun, mereka mau lihat hasilnya di lapangan. Mereka tidak melihat renstranya. Kalau hasil-nya jelas, mereka akan menambah anggaran. Itu komitmen mereka. Jangan terlalu lama proses sosialisasinya. Saya kira dampak pembangunan sektor AMPL sangat luar biasa dalam masyarakat, terutama di bidang kesehatan.

Ir. H. Nuryanto, MM,

anggota Pokja AMPL Banten

A

walnya dulu sempat pusing, bagaimana membentuk pokja tapi tidak ada dana. Tapi setelah dipicu, pikiran itu tak muncul. Kita langsung action kendati tanpa dana dan SK. Makanya cara yang sama saya gunakan memicu kabupaten/kota. Saya selalu katakan, ''Jangan terlalu pu-singmikiruang.'' Ternyata kita bisa bergerak meskipun

tanpa anggaran. Kini Pokja AMPL dijadikan model oleh instansi dan Pokja lain-nya. Malah beberapa utusan negara donor berkunjung ke Pokja AMPL Banten untuk melihat keberadaan kita yang dinilainya berhasil.

Keberadaan Pokja mampu menghilangkan ego sektoral karena Pokja ikut terlibat dalam kegiatan. Artinya Pokja ikut mengontrol. Bahkan sekarang instansi terkait malah minta dikontrol oleh Pokja. Instansi terkait tak tersing-gung kalau kita berikan masukan.

Kita berharap ke depan Pokja akan semakin maju karena mantan Ketua Pokja, Pak Ir. H. Nitiamidjaya, MM kini menjadi sekretaris daerah. Semoga perhatian terhadap sektor AMPL juga semakin meningkat. Menurut saya, masyarakat Banten ini tidak akan maju kalau setiap hari mereka minum air yang tidak layak.

Saprudin

, anggota Pokja dari BPM

Sebenarnya sudah ada model pemberdayaan sebelum adanya Pokja AMPL. Hanya saja sifatnya sektoral dan tersebar. Dengan adanya Pokja maka kegiatan menjadi terarah. Ada kesepakatan dan pertemuan untuk menen-tukan arah pembangunan AMPL bersama-sama.

Rustiantoko

, anggota Pokja AMPL dari Bapedal

Dulu ada proyek air bersih dan penyehatan lingkungan (ABPL). Setiap sek-tor punya program sendiri-sendiri. Sekarang instansi terkait bisa berjalan bersama-sama dengan acuan data yang sama. Artinya semuanya terlibat dalam satu titik. Pokja menjamin keberhasilan dan kebersamaan, serta ke-berlanjutan. „(MJ)

(15)

W

arga tak pernah menduga sumber air itu akan hilang. Entah sudah berpuluh-pu-luh tahun mereka hidup di kaki Gunung Anjasmoro, tak pernah merasakan Kali Sekopek kering. Karenanya ketika ada proyek WSLIC 2 tahun 2003, air ini menjadi salah satu sumber air dari tiga sumber air-lainnya sumber Luh dan Benda Putih-bagi warga Desa Banaran, Kec. Kandangan, Kab. Kediri, Jawa Timur.

Hingga suatu pagi 24 Januari 2006, banjir bandang melanda wilayah Kan-dangan dan sekitarnya yang berada di lereng Gunung Anjasmoro. Sungai Me-dowo-begitu warga menyebutnya-yang menjadi induk sungai Sekopek meluap. Bukan hanya air, banjir itu membawa material kayu, lumpur, dan batu. Air bah yang menelan enam orang tewas dan belasan rumah hancur di Desa Me-dowo-letaknya 1 km dari Desa Banaran-membuat hulu sungai Sekopek yang berada di Sungai Medowo tertutup batu. Aliran air yang tak pernah berhenti mengalir dari sungai yang cukup besar itu tak lagi singgah di sungai Sekopek. Hulu sungai Sekopek itu kini tinggal tumpukan batu-batu besar yang tak lagi bisa disingkirkan.

Sungai Sekopek menjadi monumen sungai. Kali tak berair. Warga RW 1 Du-sun Putuk, Desa Banaran yang biasa mengandalkan sumber air ini hanya bisa pasrah. Dua hari aliran air ke rumah-rumah mati. Hadi Suwito, Kepa-la Dusun Banaran, yang sekaligus Ketua HIPAM (Himpunan Pemakai Air Mi-num) Margorukun, menjelaskan kon-disi itu memaksa para pengurus HIPAM dan warga mencari akal agar air kemba-li mengakemba-lir ke rumah-rumah. Sebagai

alternatif darurat, warga mengalirkan aliran sungai kecil ke sebuah bak pe-nampungan yang pernah dibangun se-cara swadaya-sebelum banjir sudah tak difungsikan. ''Yang penting kita ada air dululah,'' katanya.

Sumber air ini debitnya kecil. Untuk itu warga membendung sungai itu de-ngan kantong pasir. Puluhan kantong pasir dijajar secara gotong royong. Ke-mudian intakesumber dari Kali Seko-pek dicopot dan dipindahkan ke sumber ini. Hasilnya lumayan. Air kembali mengalir. Namun warga harus bersabar. Air mengalir secara bergilir. Itupun kotor dan agak berbau. ''Padahal dulu air Sekopek sangat jernih,'' kata Hadi.

Dulunya instalasi WSLIC 2 yang telah diserahkan tahun 2005 itu mela-yani 313 kepala keluarga atau 1.800 jiwa yang berada pada satu dusun atau 17 RT. Selain sumber air hilang, sebuah

bak penampung utama berkapasitas 7 meter kubik pun kini tak berfungsi.

Hadi menjelaskan warganya hingga saat ini belum memiliki alternatif lain untuk menggantikan sumber air Seko-pek. Namun demikian, menurutnya, ji-ka ada alternatif yang layak, warganya siap untuk memberikan kontribusi. ''Warga tak ada masalah untuk me-ngumpulkan uang lagi. Mereka sudah percaya dengan pengurus,'' tandas Hadi.

Hendra, CF yang pernah mendam-pingi proyek WSLIC 2 di desa tersebut berpendapat ada dua alternatif yang bisa dipilih warga yakni memperta-hankan sumber air darurat sekarang atau mengambil air langsung melalui pipa ke Sungai Medowo. Kelemahan al-ternatif pertama yakni air mengandung lumpur, debit sangat kecil, dan sering kering di musim kemarau. Namun di

K I S A H

Sumber Air Hilang,

Kocoran Jarang

FOTO:MUJIYANTO

(16)

sisi biaya lebih murah. Alternatif kedua kelemahannya butuh dana yang cukup besar karena perlu pipa yang pan-jangnya lebih dari 1.200 meter. Hanya saja sumber airnya mengalir sepanjang tahun. ''Kalau menurut saya, alternatif kedua lebih layak, tapi itu terserah warga dan dana yang ada,'' kata Hendra. Berdasarkan perkiraan hitungan Hendra, kebutuhan pipa sekitar Rp. 25

juta. Itu belum termasuk biaya pema-sangan dan pondasi bagi intake. ''Ini perkiraan kasar. Kita belum memper-timbangkan faktor keamanan terhadap pipa dan sebagainya,'' katanya seraya menambahkan dulu ada kasus pencuri-an pipa di lokasi sumber air tersebut. Padahal lokasi pipa yang hilang tidak terlalu jauh dengan desa.

Hadi Suwito mengaku belum

ber-pikir sejauh itu. Pihaknya juga belum tahu ke mana akan mencari dana pen-damping seperti yang pernah didapat-kannya dari proyek WSLIC 2. Sejak ben-cana memang warga belum pernah berkumpul secara serius untuk mem-bicarakan masa depan sumber air mere-ka. Apa yang dilakukan baru sebatas upaya tanggap darurat terhadap instala-si yang rusak. ''Warga instala-sih bisa berkon-tribusi, tapi tentu kan tidak semuanya dibebankan kepada warga,'' katanya.

Iuran warga sebesar Rp. 1.500 per KK per bulan yang selama ini dikum-pulkan telah habis untuk biaya pemeli-haraan. Itu pun para pengurus HIPAM tidak dibayar. Kini sejak air tak lagi lan-car, warga pun enggan membayar, ke-cuali warga yang mendapatkan air dari sumber air Bendo Putih (51 KK) dan Luh (50 KK) yang pasokan airnya tetap lancar.

Nasib instalasi air di Banaran berbe-da dengan di Desa Medowo di atasnya. Di Medowo seluruh instalasi air dari WSLIC 2 rusak total. Akibatnya, pemda Kabupaten Kediri mengucurkan dana untuk perbaikan sarana permukiman termasuk air bersih. Sementara Banar-an yBanar-ang hBanar-anya terkena efek bencBanar-ana, lu-put dari perhatian. „(MJ)

K I S A H

D

esa Banaran terletak di kaki pegunungan Anjasmoro. Topo-grafinya berupa lereng. Posisi-nya ada di bagian timur laut Ka-bupaten Kediri. Wilayahnya berba-tasan dengan Kabupaten Jombang. Penduduk desa ini berjumlah lebih kurang 2.200 jiwa. Masyarakatnya hidup dari pertanian dan berkebun.

Air menjadi masalah utama warga desa tersebut. Dulu warga meman-faatkan air sungai kecil yang melintas di areal Perum Perhutani sebagai sum-ber air minum. Air ini dikelola secara swadaya dan sederhana oleh masya-rakat. Sebagian kecil warga yang tinggalnya di bagian bawah bisa men-dapatkan air dari sumur gali.

Ketika proyek WSLIC 2 masuk tahun 2003, masyarakat menyambut secara antusias.

Masyarakat langsung memberikan kontribusi yang dipersyaratkan untuk memperoleh proyek tersebut. Saat itu tiap warga bersedia membayar dana

incash.

Dengan proses MPA/PHAST warga menentukan sendiri apa yang akan dibangunnya. Ada tiga opsi yang mun-cul yakni air minum perpipaan dengan sistem gravitasi sumur gali, dan sumur pompa. Alternatif kedua sulit dipenuhi karena ternyata kedalaman sumber air bervariasi. Ada yang mencapai 50 meter. Sedangkan alternatif ketiga tak

dipilih karena biaya pemeliharaan tinggi. Akhirnya dipilih alternatif per-tama.

Warga mengalirkan tiga sumber yang ada di sekitar desa. Semua sum-ber air itu sum-berada di tanah Perum Per-hutani. Masing-masing sumber air itu diperuntukkan untuk warga yang ber-beda sesuai dengan jarak dan letak ru-mah warga, serta kapasitas sumber air yang ada.

Oleh karena itu dana incash yang dikumpulkan pun berbeda. Untuk war-ga yang mendapatkan air dari Bendo Putih iurannya Rp. 20.000, Luh Rp. 18.000, dan Sungai Sekopek Rp. 26.000.

Sebelum ada bencana semuanya berjalan lancar. Iuran warga cukup ba-ik. Hingga datangnya bencana itu, ko-coran air tak lagi lancar. „(MJ)

Selintas

Banaran

FOTO:MUJIYANTO

(17)

M

ungkinkah kita tidak mengandalkan pinjaman luar negeri dalam pem-bangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan?

Bisa saja kita tidak menggantungkan pada pinjaman luar negeri sepanjang APBN kita mendukung untuk itu. Na-mun sektor air minum dan penyehatan lingkungan ini kan sudah masuk dalam program dunia dalam MDGs. Kalau kita lihat, untuk mencapai target MDG 2015, kalau hanya mengandalkan kepada ru-piah (APBN) kita akan jauh ketinggalan. Sementara investasi untuk sektor air bersih saja, kita butuh dana yang sangat berat. Pak Basah pernah mengungkap-kan untuk sampai di air bersih-bumengungkap-kan air minum-kita butuh Rp. 15 trilyun. Sampai saat ini APBN tidak bisa untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu kalau kita hanya mengandal-kan APBN, mungkin pencapaian target MDGs akan teralisasi jauh lebih lama.

Mungkin bisa jadi sampai 2030. Jadi pinjaman luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan untuk mem-percepat pencapaian MDGs di sektor ini. Saya kira pinjaman luar negeri untuk sektor ini masih diperlukan.

Lalu apakah ada jaminan jika menggunakan utang luar negeri target tercapai?

Paling tidak kita mulai mendekati kondisi yang diharapkan pada tahun 2015.

Bagaimana trend pembiyaan sektor ini ke depan?

Kalau APBN membaik, saya kira pembiayaan akan kita isi dari APBN dan PHLN. Ini pilihan yang paling masuk akal. Hanya saja komposisi akan ber-ubah. Kalau APBN makin membaik, tentu porsinya akan makin baik pula. Kita mengharapkan porsi PHLN-nya akan turun. Ini tentu saja berlaku

semua sektor. Sepanjang sektor AMPL ini masih menjadi prioritas pemerintah maka sektor ini harus tetap dibiayai dari kedua sumber tersebut.

Selama ini dari mana saja sum-ber pinjaman itu sum-berasal?

Sumber pembiyaan itu bisa kita bagi menjadi tiga. Pertama, dari negara-ne-gara bilateral. Kedua, dari multilateral agencies (ADB, Bank Dunia, masyara-kat Eropa dsb). Dan ketiga komersial. Sedangkan jenis pinjaman paling tidak bisa dibagi dalam tiga yakni hibah, pin-jaman lunak, pinpin-jaman komersial, dan yang di antara pinjaman lunak dan ko-mersial yang disebut sebagai mix credit.

Bagaimana karakteristik pin-jaman tersebut?

Karakteristik pinjaman satu dan yang lain berbeda. Pinjaman bilateral umumnya pinjaman lunak yang memi-liki tenggang pembayaran 25-40 tahun dengan suku bunga antara 0,75-2,5 persen. Biasanya ada grace period (ma-sa tenggang) 5-7 tahun dan tidak ada fee lainnya. Yang bisa membedakan antar-pinjaman itu adalah sifatnya yakni ada yang tiedada yang untied. Tiedberarti dalam pengadaan barang dan jasa harus datang dari negara pemberi pinjaman. Untied, pengadaan barang dan jasa bisa melalui international competition. Wa-laupun di dalamnya ada pengecualian misalnya seperti Jepang yakni peng-adaan barangnya dibagi yaitu 30 persen harus barang Jepang dan sisanya bisa international competition. Kalau yang multilateral biasanya general untied.

Mana yang lebih murah antara yang bilateral dan multilateral?

Ada dua pendapat berdasarkan

WAWA N C A R A

Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral Bappenas,

Delthy S. Simatupang, SH.

Persiapan Proyek Jadi Penentu

Anggaran pemerintah be-lum mampu mencukupi kebu-tuhan pembangunan. Mau ti-dak mau pemerintah memin-jam kepada kreditor asing. Sampai Desember 2005, utang pemerintah Indonesia kepada kreditor asing berjumlah 61,048 milyar dolar. Jumlah itu merupakan 45 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pemerintah berencana akan menurunkan stok utang tersebut. Caranya dengan pe-lunasan atas pinjaman yang

telah selesai digunakan,clearanceatas pinjaman yang sedang berjalan, dan berhati-hati atas peng-usulan pinjaman baru. Di sisi lain, pemerintah akan berusaha meningkatkan pertumbuhan PDB melalui peningkatan investasi dan perbaikan fun-damental ekonomi dan menjaga stabilitas ekono-mi makro. Harapannya pada tahun 2009, utang luar negeri ini hanya tinggal 31,8 persen dari PDB.

Saat ini Bappenas juga se-dang menyusun strategi pinjaman pemerintah (Government Borro-wing Strategy) untuk membenahi manajemen pengelolaan pinjam-an luar negeri. Secara makro strategi itu berisi peta kebutuhan dan rencana pemanfaatan pin-jaman luar negeri tahun 2006-2009. Secara mikro, pengetatan penilaian usulan proyek melalui tiga screening deviceyaitu fokus prioritas, kriteria kegiatan dan kesiapan proyek, serta pening-katan kualitas monitoring dan evaluasi pelaksanaan. Nantinya hanya usulan pro-yek yang betul-betul siap dan sesuai prioritas yang akan mendapatkan pembiayaan luar negeri. Yang tidak siap minggir.

Untuk mengetahui seluk beluk utang luar negeri dan kaitannya dengan strategi baru terse-but. Percikmewawancarai Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral Bappenas, Delthy S. Simatupang, SH. Berikut petikannya:

(18)

pengalaman pelaksana proyek. Yang konvensional bilateral, dari sisi cost of borrowing-nya, lebih murah. Tetapi da-lam cost of project-nya jauh lebih mahal karena sifat pinjamannya tied. Sebalik-nya yang ICB (International competi-tive bidding), cost of borrowing-nya tinggi, tapi harga proyeknya relatif lebih murah karena prosesnya tender, inter-national competitive bidding. Kalau yang bilateral sifatnya LCB, limited competitive bidding, hanya ditenderkan di negara pemberi pinjaman. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau per-usahaan-perusahaan di negara tersebut mengatur harga sehingga muncul harga yang lebih tinggi karena tender yang diatur. Harganya tidak akan sekompeti-tif yang ICB. Kita tinggal pilih.

Sejauh mana keterlibatan pengusul/pemilik proyek dalam menentukan harga proyek dalam proses persiapan?

Kalau menurut saya yang penting owner estimate harus kuat. Ini yang harus diperhatikan oleh pemilik proyek. Dalam menentukan satuan harga mere-ka harus tahu betul. Selama ini penga-laman menunjukkan owner estimate (satuan harga) lebih banyak dikerjakan olehtechnical assistance(TA) dari luar. Harganya jadi lebih mahal. Oleh karena itu, untuk menghindari harga yang mahal itu pemerintah harus menyedia-kan uang untuk preparation of the pro-ject. Kenapa project mahal? Karena biasanya kita mendapatkan harga dari PPTA atau TA dari pemberi pinjaman. Jelas ini akan membuat size dari proyek itu lebih besar. Ini terkait dengan port-foliomereka meminjamkan. Logis saja. Konsultan itu dibayar oleh mereka bukan oleh pemerintah dalam bentuk technical assistant kepada kita. Wajar bila ownership mereka ada di negara pemberi pinjaman, bukan di pemerin-tah. Oleh karena itu desainnya menjadi lebih mahal. Kesulitannya sekarang pemerintah tidak menyediakan dana untuk persiapan. Walaupun ada tapi

tidak cukup sehingga persiapan lebih banyak dilakukan oleh konsultan asing. Kalau ini tidak diperbaiki, maka ownership-nya akan sangat berkurang. Jika ini berlangsung sejak di desain awal, bagaimana nanti kalau masuk pada tahap negosiasi. Saya banyak me-nemukan pada tahap negosiasi ini, yang banyak bicara itu adalah pihak do-nornya atau konsultannya. Ini menun-jukkan onwnership-nya itu kecil. Bagai-mana proyek akan berjalan baik kalau misalkan masalah ownership ini mun-cul sejak di desain.

Jadi proyek-proyek itu tidak berjalan dengan baik karena fak-tor ownership tersebut?

Ownership-nya tidak besar karena semuanya depend on (tergantung) ke-pada si konsultan. Penguasaan terhadap proyek bisa kita pertanyakan.

Artinya persiapan proyek men-jadi sangat krusial?

Persiapan proyek ini sangat penting. Kita di Bappenas akan sangat ketat da-lam melakukan persiapan proyek dari mulai persiapan, negosiasi, hingga mo-nitoring. Artinya kita harus mulai me-miliki kualitas sejak ide proyek itu di-sampaikan. Ini yang kita sebut sebagai quality at entry. Ini nanti ada di buku biru. Jadi semuanya nanti sudah terse-leksi dari sisi prioritas nasional, anggar-an, dan kesesuaian dengan RPJM. Wak-tu proyek iWak-tu masuk dalam buku biru berarti proyek ini siap dibiayai pinjam-an luar negeri. Setelah itu usulpinjam-an proyek ini akan bertanding lagi dalam peng-usulan kita ke negara donor. Baru nanti kita akan lihat lagi seleksi prioritas an-tarsektor. Dalam tahap pengusulan sampai tahap negosiasi, ini yang paling kritis. Ini akan kita cermati betul. Kita akan terapkan apa yang namanya readi-ness criteriaitu.

Kenapa harus ketat dalam

readiness criteria?

Karena kalau semua kriteria ini

dipenuhi maka akan mengurangi per-masalahan dalam pelaksanaan proyek. Kita sudah mengevaluasi selama 10 ta-hun terakhir ini, mengapa proyek-pro-yek tidak tepat waktu, ada perpanjang-an, proyek tidak jalan dan sebagainya. Kita temukan misalnya masalah penye-diaan lahan, penyepenye-diaan dana pen-damping, hal-hal kecil lainnya seperti PMU atau PMG yang seharusnya sudah terbentuk dari awal. Kita ingin perma-salahan itu di depan sudah clear semua. Selama ini masalah-masalah itu tidak clear. Dulu kita berani berangkat ne-gosiasi dengan membawa beban yang ti-dak clearini. Akibatnya, begitu kita tan-da tangani negosiasi, proyek titan-dak jalan. Konsekuensi, kita harus membayar apa yang namanya unnecessary commit-ment charge. Ini berarti kerugian buat negara. Proyek juga waktunya akan lebih panjang. Ini cost juga. Dan man-faatnya sudah berubah. Misalnya kita ingin membangun air minum untuk suatu kota. Harusnya selesai 2008, tahu-tahu menjadi 2012. Ini kan tidak sesuai rencana. Dan cakupan layanan-nya pun bisa jadi menjadi kecil karena pertambahan jumlah penduduk. Selama ini kita tidak memperhatikan ini dan cenderung main-main. Buat kreditor, mereka tidak peduli. Dengan ditanda-tanganinya pinjaman itu, mereka sudah dapat 1 persen. Bank adalah bank, mes-kipun namanya development bank. Ti-dak ada yang namanyafree of charge. Makanya kita saat ini sangat teliti dalam masalah readiness criteriaitu.

Berarti ada perubahan para-digma dalam kaitan persiapan proyek ini?

(19)

satupun yang siap maju untuk negosi-asi. Dari sisi pemberi pinjaman, mar-ket-nya hilang. Akhirnya semua turun portfolionya. Bank dunia turun. Ba-yankan dari 1,2 milyar tinggal 100-200 juta dolar. ADB bahkan pernah nol. Se-karang, proyek yang melakukan per-siapan lebih baik, pelaksanaannya pun baik. Oleh karena itu baik itu pemerin-tah daerah maupun departemen, readi-nessini harus diperhatikan.

Bagaimana mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan pinjaman luar negeri?

Project preparation menjadi sangat penting. Sekarang ini Bappenas sedang menyusun borrowing strategy (strategi pinjaman). Isinya mengatur mengenai ke-mampuan kita meminjam dan proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman luar negeri itu harus merupakan turunan dari proyek-proyek yang ada di RPJM. Tidak lagi proyek itu berdiri sendiri. Kita berharap ke depan, dengan strategi ini bisa menurunkan pinjaman pemerintah yang pada tahun 2009 itu menjadi 31,8 persen. Nantinya stok utang itu bisa terkontrol. Dengan demikian nanti kita bisa menga-lokasikan berapa besaran utang untuk masing-masing sektor prioritas sehingga setiap sektor itu ada pagunya. Dengan kapasitas meminjam yang ditentukan maka pemberi pinjaman akan berkom-petisi untuk membiayai proyek-proyek tersebut. Contohnya, kapasitas kita me-minjam per tahun 2,5 milyar dolar. Dengan kreditornya yang banyak, angka yang di-tawarkan mungkin tiga kali lipat lebih be-sar. Tapi kita hanya meminjam terbatas itu sehingga mereka akan berkompetisi mem-biayai proyek-proyek itu. Dengan demiki-an persiapdemiki-an proyek akdemiki-an betul-betul ba-gus dan prioritas. Di samping itu kita juga punya disiplin terhadap anggaran pinjam-an luar negeri. Tidak bisa sekarpinjam-ang setiap departemen mau pinjam sesuai kebutuh-annya. Mungkin kalau 2,5 milyar dolar ka-lau dilihat dari usulan PU, mungkin untuk PU doang.Sekarang itu harus dibagi. Jadi ini betul-betul untuk proyek yang siap dan

mendapat skala prioritas. Dan ini tidak ha-nya untuk proyek yang memiliki cost re-covery, tapi juga proyek-proyek sosial. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Apakah dengan adanya project

preparation tidak akan

memper-lambat proyek di lapangan? Sebetulnya tidak harus memperlam-bat. Sebaliknya kalau persiapan proyek lebih baik maka akan mempercepat pe-laksanaan proyek. Selama ini persiapan proyek buruk sehingga pelaksanaan men-jadi terhambat. Oleh karena itu, waktu per-siapan proyek harus lebih panjang.

Apa tantangan ke depan dalam sektor AMPL ini dikaitkan dengan pembiayaan luar negeri?

Bidang AMPL memiliki tantangan tersendiri. Ini berkaitan dengan diber-lakukannya UU no. 33 tentang desen-tralisasi. Artinya dengan undang-un-dang ini masalah AMPL itu sudah didesentralisasikan sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Se-harusnya intervensi pemerintah pusat sudah tidak ada. Tapi yang terjadi, ke-mampuan pemerintah daerah masih terbatas. Akhirnya pemerintah pusat masih mau melakukan intervensi di daerah. Kalau pendanaan itu dari APBN tidak masalah. Tapi kalau pendanaan berasal dari utang luar negeri, itu tim-bul masalah. Seharusnya pendanaan itu menjadi pinjaman daerah. Untuk dae-rah meminjam, ada kriterianya. Salah satunya diukur dari kapasitas fiskal mereka. Banyak daerah yang tidak

me-menuhi kapasitas fiskal tersebut. Itu ar-tinya daerah tidak boleh pinjam, pa-dahal air minum adalah kebutuhan da-sar. Ini menjadi dilema. Di sisi lain, un-tuk daerah yang mampu, karena sudah desentralisasi, mereka meminjam lewat pusat. Itu yang namanya onlanding. Ini juga persoalan karena mereka umum-nya tidak mau. Mereka haumum-nya mau dana itu dipakai untuk proyek yang cost reco-verysehingga bisa membayar utangnya. Sementara air minum da penyehatan lingkungan, apalagi untuk masyarakat miskin, termasuk non cost recovery. Pe-merintah daerah tidak akan mengambil untuk itu.

Bagaimana cara untuk meng-atasi ini?

Saat ini departemen keuangan se-dang menggodok KMK 35 untuk dire-visi. Juga ada revisi Permenkeu untuk on granting, pemberian hibah. Mudah-mudahan ini bisa memberikan kon-tribusi untuk menyelesaikan masalah pinjaman daerah.

Apakah kita tidak mungkin mengharapkan dana hibah?

Hibah itu selalu ada. Tetapi jumlah-nya tidak besar sehingga tidak bisa kita harapkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Jumlahnya tidak signifi-kan. Hibah yang diberikan kepada kita-pun lebih banyak menyangkut prepara-tion, dalam rangka proyek. Malah kita katakan itu sebagai foredernya. Jadi kadang-kadang perlu hati-hati dalam menerima hibah-hibah seperti itu kare-na di belakangnya biasa akan ada loan. Ini penting untuk diketahui dan dian-tisipasi. Kalau namanya PPTA (Project Preparation Technical Assistance), di belakangnya pasti ada loan-nya. Kecuali dari ADB ada yang namanya IDTA, yang sifatnya lebih lunak. Tidak jadipun tidak apa-apa. Makanya departemen dan dae-rah perlu hati-hati di dalam menerima tawaran-tawaran hibah. Karena PPTA sifatnya mengikat, meskipun tidak dise-butkan di dalamnya mengikat. „(MJ)

WAWA N C A R A

KRITERIA

KESIAPAN

PROYEK:

Organisasi proyek

Rencana pembiayaan dan penyediaan dana pendamping

Penyiapan dokumen pengadaan barang dan jasa pada tahun pertama

Rencana pembebasan tanah dan peminda-han penduduk (untuk proyek fisik) Indikator pencapaian proyek sebagai dasar pelaksanaan monitoring dan evaluasi Petunjuk pelaksanaan operasional proyek

Referensi

Dokumen terkait

Asumsi dasar kedua dari lahirnya filsafat pendidikan adalah bahwa ilmu pendidikan merupakan ilmu pengetahuan praktis, artinya bahwa tugas budaya dari pada

Penelitian Lun dan Bond (2013) menemukan hasil yang berbeda di mana religiusitas dan spiritualitas memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan terhadap hidup dan

[r]

Sebagian perempuan bahkan tak menyadari betapa terikatnya atau betapa cintanya sampai2 mrk merasakan sentakan saat pasangannya tidak ada. Kita terbiasa menganggap kerinduan

[r]

Berdasarkan hasil penelitian pada peserta didik kelas IIIA Sekolah Dasar Negeri 29 Pontianak Kota dengan materi menulis karangan yang diajarkan dengan dengan

students of SMPN 3 Sungai Raya, Action Research was an appropriate design to help the teacher found the right technique for teaching English, especially to improve

Merujuk pada rumusan masalah, tujuan penelitian, hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Kondisi aktual kepemimpinan pembelajaraan kepala