• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Optimasi Komposisi Fase Gerak dan Kecepatan Alir pada KCKT

Metode KCKT yang digunakan pada penelitian ini adalah metode KCKT fase terbalik, di mana fase gerak lebih polar daripada fase diamnya. Fase diam yang digunakan adalah oktadesilsilan (C-18) dan fase gerak yang merupakan campuran dari asetonitril dan air. Bisfenol A yang memiliki log Kow 3,40 merupakan senyawa yang cenderung hidrofobik oleh karena itu digunakan KCKT fase terbalik dimana fase diam lebih non polar dibandingkan dengan fase geraknya sehingga bisfenol A ini dapat berinteraksi dengan fase diam. Digunakan fase diam C-18 yang cocok untuk menganalisis senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, dan tinggi, serta memiliki pH di antara 2,5-7,5. pH bisfenol A adalah ± 5 – 6. Fase diam C-18 ini cocok digunakan untuk senyawa yang memiliki log Kow lebih dari 2, seperti bisfenol A yang memiliki log Kow 3,40. Interaksi pada C-18 didasarkan pada interaksi hidrofobik atau van der Waals. Bagian cincin benzen dari bisfenol A merupakan bagian hidrofobik yang akan berinteraksi dengan fase diam. Kemudian bagian polar dari bisfenol A (-OH) akan berinteraksi dengan fase gerak yang sifatnya lebih polar daripada fase diam

sehingga bisfenol A dapat terelusi keluar dari kolom. Agar dapat terpisah dari matrik, harus terjadi interaksi antara senyawa dengan fase diam sebelum terelusi oleh fase gerak keluar dari kolom.

Dalam sistem KCKT fase terbalik seperti ini, senyawa-senyawa yang polar akan terelusi terlebih dahulu daripada senyawa-senyawa yang non polar karena senyawa-senyawa non polar akan lebih terikat pada fase diam sehingga waktu retensinya lebih lama. Bisfenol A memiliki bagian non polar (bagian hidrofobik), yaitu pada cincin benzen, sehingga bisfenol A dapat tertahan pada fase diamnya. Bisfenol A juga memiliki bagian polar (-OH) yang dapat berinteraksi dengan fase gerak yang polar sehingga bisfenol A dapat terelusi melalui kolom. Oleh karena itu, diperlukan fase gerak dengan kekuatan yang optimal agar dapat membuat bisfenol A tertahan pada fase diam, kemudian dapat terpisah dari senyawa lainnya di dalam matrik, dan kemudian dapat terelusi. Bagian polar dan non polar dari bisfenol A dapat dilihat pada gambar 18.

Pengamatan waktu retensi merupakan salah satu parameter analisis kualitatif senyawa pada penelitian ini. Setiap senyawa analit memiliki waktu retensi yang berbeda. Pada saat senyawa analit berada dalam campuran, dapat dibedakan berdasarkan waktu retensinya masing-masing. Berikut merupakan pengamatan waktu retensi dari baku bisfenol A, serta bisfenol A dalam ekstrak air dan ekstrak botol dengan beberapa komposisi fase gerak yang dioptimasi pada kecepatan alir 1 mL/menit.

Tabel VIII. Waktu retensi baku bisfenol A, ekstrak air, dan ekstrak botol dengan beberapa komposisi fase gerak pada kecepatan alir 1 mL/menit

Konsentrasi (µg/mL) AUC Waktu retensi (menit) CV AUC Waktu retensi 0,2 6505 3,472 1,65 0,04 6434 3,470 6645 3,469 0,8 17296 3,473 1,55 0,09 17375 3,467 16880 3,468 5 104051 3,467 1,10 0,02 105083 3,466 106362 3,467

Dari tabel VIII, dapat dilihat bahwa waktu retensi antara baku bisfenol A dan bisfenol A dalam ekstrak pada masing-masing perbandingan fase gerak hampir sama sehingga dapat dikatakan bahwa dalam ekstrak air dan ekstrak botol tersebut terdapat senyawa bisfenol A. Dapat diamati pula waktu retensi tercepat terdapat pada komposisi fase gerak dengan perbandingan asetonitril : air (80 : 20). Sedangkan waktu retensi paling lama terdapat pada komposisi fase gerak dengan perbandingan 70 : 30. Hal ini disebabkan pada KCKT fase terbalik, semakin polar fase gerak, maka kemampuan mengelusinya akan semakin berkurang. Bisfenol A

akan lebih mudah terelusi oleh fase gerak yang kandungan airnya lebih sedikit, karena lebih bersifat kurang polar seperti halnya bisfenol A itu sendiri (like dissolve like).

Berdasarkan pengamatan ini belum dapat ditentukan fase gerak mana yang paling optimal sebagai fase gerak yang akan digunakan dalam penetapan kadar, karena masih ada faktor lain yang harus diperhatikan seperti resolusi,

tailing factor, jumlah lempeng (N), HETP, ∝, dan k’ seperti tertera pada tabel IX. Berdasarkan tabel IX, dapat dilihat pada komposisi fase gerak asetonitril : air (75 : 25) dan (80 : 20) terdapat banyak parameter yang tidak dapat dihitung nilainya, karena bentuk puncak yang dihasilkan tidak beraturan (puncak tidak memisah), terutama pada ekstrak botol dan baku. Nilai resolusi yang didapatkan ini menggambarkan daya pemisahan yang terjadi pada kromatogram dua senyawa analit, yaitu antara bisfenol A dengan puncak terdekat. Puncak terdekat dengan bisfenol A berada disebelah kiri puncak bisfenol A (terelusi lebih dahulu). Tujuan pengamatan nilai resolusi ini adalah untuk mengetahui pada komposisi serta kecepatan alir fase gerak berapakah yang dapat menghasilkan pemisahan kromatogram dengan nilai resolusi lebih dari 1,5 (Snyder, Kirkland, and Glajch, 2012). Dari data yang diperoleh, tidak semua fase gerak menghasilkan resolusi > 1,5 yaitu pada fase gerak asetonitril : air (70 : 30) dengan kecepatan alir 0,8 mL/menit, fase gerak 75 : 25 pada kecepatan alir 0,8 dan 1 mL/menit, serta fase gerak 80 : 20 dengan kecepatan alir 0,5 mL/menit.

Tabel IX. Nilai tailing factor, resolusi, jumlah lempeng (N), HETP, , dan k’ pada berbagai komposisi fase gerak dan kecepatan alir Komposisi fase gerak Asetonoitril : Air Kecepatan alir (mL/menit) Analit Tailing

factor Resolusi N HETP k'

75 : 25 0,5 Baku - - - - - - Ekstrak air 1,250 3,152 3927,111 0,006 1,776 1,026 Ekstrak botol - - - - - - 0,8 Baku 0,875 3,231 1296,000 0,019 2,135 1,411 Ekstrak air 2,667 0,966 2872,960 0,009 1,156 3,467 Ekstrak botol - - - - - - 1 Baku 1,063 1,273 1866,240 0,013 1,350 0,500 Ekstrak air 1,375 0,778 2862,250 0,009 1,175 0,783 Ekstrak botol - - - - - - 80 : 20 0,5 Baku - - - - - - Ekstrak air 1,500 0,973 3901,444 0,006 1,101 32,833 Ekstrak botol - - - - - - 0,8 Baku - - - - - - Ekstrak air 2,200 2,519 3185,975 0,008 1,493 4,292 Ekstrak botol - - - - - - 1 Baku - - - - - - Ekstrak air 1,500 2,545 2601,000 0,010 2,750 0,759 Ekstrak botol - - - - - - 70 : 30 0,5 Baku 1,000 4,683 3109,702 0,008 33,000 0,717 Ekstrak air 1,038 6,345 2797,235 0,009 4,067 1,052 Ekstrak botol 1,833 1,826 3109,702 0,008 1,286 3,938

Komposisi fase gerak Asetonoitril : Air Kecepatan alir (mL/menit) Analit Tailing

factor Resolusi N HETP k'

70 : 30 0,8 Baku 1,000 5,520 3342,942 0,007 3,464 1,565 Ekstrak air 1,125 5,360 2809,000 0,009 7,700 0,939 Ekstrak botol 1,000 1,000 2466,778 0,010 1,190 1,014 1 Baku 1,000 5,630 2946,939 0,008 4,167 1,111 Ekstrak air 1,100 7,407 3427,962 0,007 6,882 1,427 Ekstrak botol 1,375 1,714 3565,796 0,007 1,149 7,708

Parameter lain yang harus dipenuhi untuk menentukan komposisi fase gerak dan kecepatan alir yang optimum adalah jumlah lempeng (N) dan tailing factor. Jumlah lempeng teoritis (N) menjadi sangat penting dalam pemilihan fase gerak. Nilai N menggambarkan efisiensi yang ada dalam sistem KCKT tersebut. Efisiensi mencerminkan seberapa jauh dan kuat sistem partisi yang ada dalam mengurai analit. Nilai N berbanding terbalik dengan HETP, dimana HETP sederajat dengan tinggi kolom. Semakin tinggi nilai N maka efisiensi yang terdapat pada sistem partisi KCKT semakin besar pula. Dari data yang diperoleh jumlah lempeng teoritis terbesar terdapat pada fase gerak 70 : 30 dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit.

Nilai resolusi dipengaruhi oleh N, ∝, dan k’. Semakin besar nilai N, ∝, dan k’ maka resolusi semakin besar. Optimasi komposisi fase gerak memiliki tujuan utama untuk mencari nilai k’ yang paling besar agar menghasilkan resolusi yang besar pula. Menurut Snyder, Kirkland, and Glajch (2012) nilai k’ harus memenuhi 0,5 < k’ < 20. Selektifitas (∝) harus > 1,0 untuk pemisahan puncak. Selektivitas tergantung pada sifat dari fase diam dan komposisi fase gerak (Ahuja and Dong, 2005). Optimasi kecepatan alir bertujuan untuk mendapatkan kecepatan alir yang menghasilkan nilai HETP terkecil berdasarkan persamaan van Deemter (A, B/V, dan CV). Selektifitas harus > 1,0 untuk pemisahan puncak. Selektifitas tergantung pada sifat dari fase diam dan komposisi fase gerak (Ahuja and Dong, 2005).

Nilai tailing factor yang diperoleh pada pengamatan ini, digunakan sebagai pertimbangan untuk memilih komposisi fase gerak dan kecepatan alir

yang paling optimal. Nilai tailing factor membantu peneliti untuk melihat kesimetrisan dari puncak yang terbentuk di mana puncak yang simetris sempurna adalah menyerupai puncak Gaussian. Penyebab terjadinya pengekoran pada puncak adalah adanya adsorpsi atau adanya interaksi lain yang lebih kuat antara analit dengan fase diam, sedangkan puncak yang fronting dapat disebabkan oleh kolom yang overload, reaksi kimia atau isomerisasi selama proses kromatografi (Ahuja and Dong, 2005). Tailing factor yang masih dapat diterima adalah kurang dari 2. Jika tailing factor yang dihasilkan lebih dari 2 dimungkinkan terjadi permasalahan yang mengakibatkan peak mengalami tailing (Snyder, Kirkland, and Glajch, 2012). Dari data yang diperoleh terdapat nilai tailing factor yang lebih besar daripada 2, yaitu pada fase gerak asetonitril : air dengan perbandingan 75 : 25 dan 80 : 20 dengan kecepatan alir 1,0 mL/ menit.

Untuk memperjelas hasil yang disajikan pada tabel IX maka hasil dari optimasi komposisi fase gerak dan kecepatan alir ini akan dibahas satu persatu beserta dengan kromatogramnya.

1. Komposisi fase gerak asetonitril : air (75 : 25) a. Kecepatan alir 0,5 mL/menit

Gambar 19. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (75 : 25) dan kecepatan alir 0,5 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

b. Kecepatan alir 0,8 mL/menit

Gambar 20. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (75 : 25) dan kecepatan alir 0,8 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

c. Kecepatan alir 1 mL/menit

Gambar 21. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (75 : 25) dan kecepatan alir 1 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

bisfenol A dalam sampel air, (C) = Kromatogram bisfenol A dalam sampel botol

Komposisi fase gerak asetonitril : air (75 : 25) yang pernah digunakan dalam penelitian Waisak and Rykowska (2006) menghasilkan pemisahan bisfenol

A yang kurang baik. Pada kecepatan alir 0,5; 0,8; dan 1 mL/menit, masih ada puncak yang tidak dapat memisah dengan baik. Puncak-puncak yang dihasilkan masih melebar dan ada yang memiliki dua puncak. Hal ini menyebabkan parameter-parameter optimasinya tidak dapat dihitung. Fase gerak dengan perbandingan asetonitril : air (75 : 25) ini belum mampu memisahkan puncak bisfenol A dari senyawa lain yang muncul di dekatnya. Hal ini mungkin karena asetonitril yang memiliki daya pengelusi yang kuat sehingga bisfenol A terelusi sebelum terpisah dari senyawa lain yang juga ada dalam sampel. Oleh karena itu, fase gerak asetonitril : air (75 : 25) tidak mampu memisahkan bisfenol A dengan baik sehingga tidak dapat digunakan dalam penelitan ini. Selanjutnya, dilakukan optimasi dengan menambah dan mengurangkan jumlah asetonitril untuk melihat pengaruhnya terhadap pemisahan bisfenol A.

2. Komposisi fase gerak asetonitril : air (80 : 20) a. Kecepatan alir 0,5 mL/menit

Gambar 22. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (80 : 20) dan kecepatan alir 0,5 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

b. Kecepatan alir 0,8 mL/menit

Gambar 23. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (80 : 20) dan kecepatan alir 0,8 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

c. Kecepatan alir 1 mL/menit

Gambar 24. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (80 : 20) dan kecepatan alir 1 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

bisfenol A dalam sampel air, (C) = Kromatogram bisfenol A dalam sampel botol

Komposisi fase gerak asetonitril : air (80 : 20) menghasilkan pemisahan bisfenol A yang kurang baik juga. Pada kecepatan alir 0,5; 0,8; dan 1mL/menit,

masih banyak puncak yang belum bisa memisah dengan baik. Seperti halnya pada fase gerak asetonitril : air (75 : 25), puncak-puncak yang dihasilkan masih melebar dan ada yang memiliki dua puncak sehingga parameter-parameter optimasinya tidak dapat dihitung. Fase gerak dengan perbandingan asetonitril : air (80 : 20) ini belum mampu memisahkan puncak bisfenol A dari senyawa lain yang muncul di dekatnya. Hal ini mungkin karena jumlah asetonitril yang semakin ditingkatkan, di mana asetonitril memiliki daya pengelusi yang kuat sehingga bisfenol A semakin cepat terelusi sebelum terpisah dari senyawa lain yang juga ada dalam sampel. Oleh karena itu, fase gerak asetonitril : air (80 : 20) tidak mampu memisahkan bisfenol A dengan baik sehingga tidak dapat digunakan dalam penelitan ini. Dari hasil penelitian pada dua komposisi fase gerak di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah asetonitril yang ditambahkan maka pemisahan bisfenol A dari senyawa lain di dalam sampel semakin kurang baik, karena puncak yang dihasilkan cenderung melebar dengan bentuk yang tidak beraturan. Oleh karena itu, pada optimasi selanjutnya jumlah asetonitril dikurangi dan jumlah air ditambah dari perbandingan fase gerak yang digunakan dalam penelitian Waisak dan Rykowska (2006). Dengan penambahan air dan pengurangan asetonitril ini, diharapkan dapat diperoleh pemisahan bisfenol A yang baik.

3. Komposisi fase gerak asetonitril : air (70 : 30) a. Kecepatan alir 0,5 mL/menit

Gambar 25. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (70 : 30) dan kecepatan alir 0,5 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

b. Kecepatan alir 0,8 mL/menit

Gambar 26. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (70 : 30) dan kecepatan alir 0,8 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram

c. Kecepatan alir 1 mL/menit

Gambar 27. Kromatogram pada fase gerak asetonitril : air (70 : 30) dan kecepatan alir 1 mL/menit. (A) = Kromatogram baku bisfenol A 10 µg/mL, (B) = Kromatogram bisfenol

A dalam sampel air, (C) = Kromatogram bisfenol A dalam sampel botol

Dilihat dari kromatogram yang dihasilkan dan nilai yang diperoleh pada parameter-parameter optimasi, fase gerak asetonitril : air (70 : 30) mampu

memisahkan bisfenol A dari senyawa-senyawa lainnya dengan baik. Puncak yang dihasilkan juga relatif tidak melebar, lebih simetris, dan tidak ada yang memiliki dua puncak seperti halnya pada kedua perbandingan fase gerak sebelumnya. Rata-rata puncak yang dihasilkan telah memenuhi kriteria penerimaan untuk parameter optimasi, yaitu resolusi > 1,5; tailing factor < 2; jumlah lempeng (N) > 3000, dengan nilai HETP yang paling kecil. Ada beberapa puncak yang tidak memenuhi kriteria penerimaan, yaitu pada sampel botol dengan kecepatan alir 0,8 mL/menit memiliki resolusi 1; dan nilai HETP yang kurang dari 3000 adalah pada ekstrak air pada kecepatan alir 0,5 mL/menit; ekstrak air dan ekstrak botol pada kecepatan 0,8 mL/menit; dan baku pada kecepatan alir 1 mL/menit.

Baku, sampel air, dan sampel botol pada kecepatan alir 1 mL/ menit menghasilkan resolusi dan jumlah lempeng (N) yang lebih besar daripada dua kecepatan alir yang lain. Selain itu, nilai HETP yang dihasilkan juga lebih kecil daripada kecepatan alir lainnya. Semakin besar nilai resolusi dan jumlah lempeng, serta semakin kecil tailing factor dan nilai HETP maka pemisahan akan semakin bagus. Nilai ∝ dan k’ yang diperoleh juga memenuhi kriteria penerimaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa fase gerak asetonitril : air (70 : 30) pada kecepatan alir 1 mL/menit merupakan perbandingan fase gerak dan kecepatan alir yang optimal untuk pemisahan bisfenol A dalam ekstrak air dan ekstrak botol.

Gambar 28. Perbandingan peak bisfenol A dari sampel air dengan komposisi fase gerak

(70 : 30) pada berbagai kecepatan alir

Gambar 29. Perbandingan peak bisfenol A dari sampel botol dengan komposisi fase gerak (70 : 30) pada berbagai kecepatan alir

Pada kedua gambar di atas warna hitam, merah, dan biru merupakan peak dari bisfenol A menggunakan komposisi fase gerak (70:30) pada kecepatan alir masing-masing 1; 0,8; dan 0,5 mL/menit. Dari kedua gambar tesebut terlihat bahwa puncak yang paling ramping dan simetris adalah yang dihasilkan oleh fase gerak (70:30) dengan kecepatan alir 1 mL/menit. Pada kecepatan alir 0,8 dan 0,5 mL/menit, puncak yang dihasilkan cenderung melebar.

Kesimpulan dari data yang diperoleh adalah fase gerak yang dipilih sebagai fase gerak yang optimum adalah fase gerak asetonitril : air dengan perbandingan (70 : 30) pada kecepatan alir 1,0 mL/menit. Hal ini berdasarkan pertimbangan berikut.

 Resolusi yang dihasilkan adalah yang paling besar dan lebih besar dari 1,5

 Nilai N paling besar dan lebih besar dari 3000  HETP terkecil

 Nilai ∝ > 1

 Nilai k’ lebih dari 1 dan kurang dari 20

 Kromatogram baku, ekstrak air, maupun ekstrak botol menunjukkan pemisahan yang sempurna puncak bisfenol A dari puncak lainnya

 Puncak yang dihasilkan adalah yang paling ramping

Selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien variasi dari AUC dan waktu retensi baku bisfenol A pada tiga konsentrasi menggunakan komposisi fase gerak dan kecepatan alir yang optimal, yaitu asetonitril : air (70 : 30) dan kecepatan alir 1 mL/menit. Nilai koefisien variasi ini menunjukkan ripitabilitas dari sistem KCKT. Nilai koefisien variasi AUC dan waktu retensi baku bisfenol A pada konsentrasi 0,2; 0,8; dan 5 µg/mL disajikan dalam tabel berikut.

Tabel X . Nilai koefisien variasi AUC dan waktu retensi baku bisfenol A

Konsentrasi (µg/mL) AUC Waktu retensi (menit) CV AUC Waktu retensi 0,2 6505 3,472 1,65 0,04 6434 3,470 6645 3,469 0,8 17296 3,473 1,55 0,09 17375 3,467 16880 3,468 5 104051 3,467 1,10 0,02 105083 3,466 106362 3,467

Menurut (Snyder, Kirkland, and Glajch, 2012) kriteria penerimaan untuk nilai koefisien variasi adalah ≤ 2%. Pada ketiga konsentrasi baku di atas, pada ketiga replikasi nilai koefisien variasi AUC dan waktu retensi kurang dari 2%. Hal

ini menunjukkan analisis bisfenol A menggunakan fase gerak asetonitril : air (70 : 30) dan kecepatan alir 1 mL/menit menghasilkan keterulangan yang baik.

Dokumen terkait